Pendidikan
Agama Islam
Bab 11
Islam dan Toleransi
13
Teknik Industri Pendidikan Agama 90002 Alimudin, S,Pd.I., M.Si
D2-310-1 Islam
Abstract Kompetensi
Toleransi dalam Islam adalah Mahasiswa mampu memahami
pengertian Toleransi Dan menerapkan
otentik. Artinya tidak asing lagi dan dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara. Mahasiswa
bahkan mengeksistensi sejak Islam juga mampu menjelaskan konsep dasar
Islam dan Toleransi
itu ada. Karena sifatnya yang
organik, maka toleransi di dalam
Islam hanyalah persoalan
implementasi dan komitmen untuk
mempraktikkannya secara konsisten
ISLAM DAN TOLERANSI
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi secara bahasa (etimology) berasal dari
kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh, Belanda: tolerantie,) Toleran mengandung
pengertian bersikap mendiamkan. Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa,
batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, kesabaran,
ketahanan emosional, dan kelapangan dada, sifat menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan
sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Warson Munawwir, bahwa
toleransi biasa disebut tasamuh yang memiliki akar kata samuha- yasmuhu-samhan,wa
simaahan,wa samaahatan, artinya adalah sikap membiarkan dan lapang dada, murah hati,
dan suka berderma.
Dengan memperhatikan definisi dari para ahli di atas, menyimpulkan bahwa toleransi
beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak
melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Dari pengertian diatas konsep terpenting dalam toleransi Islam adalah menolak sinkretisme.
Yakni Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil. Allah Ta'ala
berfirman:
“Barangsiapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidak akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Al-Imran: 85)
Kemudian Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah didunia ini adalah pasti dan tidak ada
keraguan sedikitpun kepadanya. Dan kebenaran itu hanya ada di agama Allah Ta' ala. ”
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka janganlah engkau termasuk kalangan orang
yang bimbang.”( Al- baqarah :147 )
Kemudian Kebenaran Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun yang
selainnya untuk kepastiaan kebenarannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku lengkapi nikmatku atas
kalian dan Aku ridhoi islam sebagai agama kalian”. (Al-Maidah: 3)
Kaum mu'minin derajat kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi daripada orang-orang
kafir (non-muslim) dan lebih tinggi pula daripada orang-orang yang munafik (ahlul bid'ah)
Allah menegaskan yang artinya “maka janganlan kalian bersikap lemah dan jangan pula
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman (Al-Imran: 139)
Kaum muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan
keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah
Ta'ala dalam firmanNya:
“Katakanlah: wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan
kalian tidak menyembah apa yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang kalian
sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian dan
bagiku agamaku”. (Al-Kafirun: 1-6).
Yakni umat Islam dilarang untuk memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama
Islam secara paksa. Karena tidak ada paksaan dalam agama. Allah berfirman:
َف َذ ِّكرْ إِ َّن َما أَ ْنتَ ُم َذ ِّك ٌر لَسْ تَ َعلَي ِْه ْم ِب ُم َسيْطِ ٍر
Ibnu Abbas mengatakan "ayat laa ikraha fid din" diturunkan berkenaan dengan seorang dari
suku Bani Salim bin Auf bernama Al-Husaini bermaksud memaksa kedua anaknya yang
masih kristen. Hal ini disampaikan pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat tersebut .
Demikian pula Ibnu Abi Hatim meriwa-yatkan telah berkata bapakku dari Amr bin Auf, dari
Syuraih, dari Abi Hilal, dari Asbaq ia berkata, "Aku dahulu adalah abid (hamba sahaya)
Umar bin Khaththab dan beragama nasrani. Umar menawarkan Islam kepadaku dan aku
menolak. Lalu Umar berkata: laa ikraha fid din, wahai Asbaq jika anda masuk Islam kami
dapat minta bantuanmu dalam urusan-urusan muslimin."
Dalam hal ini terdapat beberapa hal konsep sikap toleran yang harus ditunjukan umat Islam
yakni diantaranya:
a. Kaum muslimin harus tetap berbuat adil walaupun terhadap orang-orang kafir dan
dilarang mendhalimi hak mereka.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (8) “Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu
karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang dhalim.” (Al-Mumtahanah: 8-9)
Artinya umat Islam diperbolehkan berbuat baik terhadap mereka, hidup bermasyakarat dan
bernegara dengan mereka selama mereka berbuat baik dan tidak memusuhi umat Islam dan
selama tidak melanggar prinsip-prinsip terpenting dalam Islam. Dan hal ini seperti yang
dicontohkan Nabi Saw., dalam jual beli
Dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah membeli onta dari dirinya, beliau menimbang untuknya dan diberatkan (dilebihkan).
Dari Abu Sofwan Suwaid bin Qais Radliyallahu 'anhu dia berkata : "Saya dan Makhramah
Al-Abdi memasok (mendatangkan) pakaian/makanan dari Hajar, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam mendatangi kami dan belaiu membeli sirwal (celana), sedang aku memiliki tukang
timbang yang digaji, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan tukang
timbang tadi.
"Artinya : Timbanglah dan lebihkan !"
Nabi juga pernah memaafkan kesalahan orang kafir dan mendoakannya. Hal ini terjadi
ketika setelah peperangan, yang paman beliau dibunuh kaum musyrikin, dan badannya
dicincang-cincang, Nabi sendiri giginya pecah dan wajah beliau terluka, maka salah seorang
shahabat meminta beliau untuk mendoakan keburukan bagi orang-orang musyrikin yang
dzalim tersebut, namun beliau bersabda:
Dari Abu Hurairah Radliyallahu anhu, bahwasanya ada seorang lelaki yang menagih
Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam sembari bersikap kasar kepada beliau, maka para
sahabat-pun hendak menghardiknya, beliau bersabda : "Biarkanlah dia, karena setiap orang
punya hak untuk berbicara, belikan untuknya seekor onta lalu berikan kepadanya" Para
sahabat berkata : "Kami tidak mendapatkan kecuali yang lebih bagus jenisnya!" Beliau
bersabda : "Belikanlah dan berikan kepadanya karena sebaik-baik kalian adalah yang
terbaik keputusannya"
Bagaimana toleransi atau bentuk berbuat baik yang diajarkan oleh Islam
1- Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang
sakit.
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari
no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam masih mengajarkan peduli sesama.
2- Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau saudara non muslim.
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15). Dipaksa syirik, namun tetap
kita disuruh berbuat baik pada orang tua.
Lihat contohnya pada Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ibuku pernah
mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan membenci Islam.
Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap jalin hubungan baik
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8) (HR. Bukhari no. 5978).
Lebih-lebih lagi untuk membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin mendakwahi mereka,
atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.
َف َقا َل « إِ َّن َما. ك ْال َو ْف ُد َ َرأَى ُع َم ُر ُحلَّ ًة َعلَى َرج ٍُل ُت َبا ُع َف َقا َل لِل َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وسلم – ا ْب َتعْ َه ِذ ِه ْال ُحلَّ َة َت ْل َبسْ َها َي ْو َم ْال ُج ُم َع ِة َوإِ َذا َجا َء
َف َقا َل. َفأُت َِى َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – ِم ْن َها ِب ُحلَ ٍل َفأَرْ َس َل إِلَى ُع َم َر ِم ْن َها ِب ُحلَّ ٍة. » َي ْل َبسُ َه َذا َمنْ الَ َخالَقَ َل ُه فِى اآلخ َِر ِة
َفأَرْ َس َل ِب َها ُع َم ُر إِلَى أَ ٍخ َل ُه مِنْ أَهْ ِل َم َّك َة. » َت ِبي ُع َها أَ ْو َت ْكسُو َها، ْف أَ ْل َب ُس َها َو َق ْد قُ ْلتَ فِي َها َما قُ ْلتَ َقا َل « إِ ِّنى لَ ْم أَ ْك ُس َك َها= لِ َت ْل َب َس َها
َ ُع َم ُر َكي
َق ْب َل أَنْ يُسْ لِ َم
“’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan
ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,
“Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian
sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan
beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun
berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan
bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa
mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap
mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di
Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619). Lihatlah
sahabat mulia ‘Umar bin Khottob masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada
saudaranya yang non muslim.
Islam mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah dan perayaan non muslim,
bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena Islam mengajarkan prinsip,
“Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)
Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian
agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih
dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut.
Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena
sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir
Ath Thobari, 14: 425).
Bertoleransi yang ada saat ini sebenarnya ditawarkan dari non muslim. Mereka sengaja
memberi selamat kepada kita saat lebaran atau Idul Fitri, biar kita nantinya juga
mengucapkan selamat kepada mereka. Prinsip seperti ini ditawarkan oleh kafir Quraisy
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa silam. Ketika Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash
bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan pada beliau,
كن==ا ق==د، فإن كان الذي جئت به خيرا مم==ا بأي==دينا، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله، وتعبد ما نعبد، هلم فلنعبد ما تعبد، يا محمد
وأخذت بحظك منه، كنت قد شركتنا في أمرنا، وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك. وأخذنا بحظنا منه، شاركناك فيه
Itulah prinsip toleransi yang digelontorkan oleh kafir Quraisy di masa silam, hingga Allah pun
menurunkan ayat,
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu
dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Jangan heran, jika non muslim sengaja beri ucapan selamat pada perayaan Idul Fitri yang
kita rayakan. Itu semua bertujuan supaya kita bisa membalas ucapan selamat di perayaan
Natal mereka. Inilah prinsip yang ditawarkan oleh kafir Quraisy di masa silam pada nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun bagaimanakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi toleransi seperti itu?
Tentu seperti prinsip yang diajarkan dalam ayat, lakum diinukum wa liya diin, bagi kalian
agama kalian, bagi kami agama kami. Sudahlah biarkan mereka beribadah dan berhari raya,
tanpa kita turut serta dalam perayaan mereka. Tanpa ada kata ucap selamat, hadiri
undangan atau melakukan bentuk tolong menolong lainnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non
muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-
kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al
Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ال تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم
Umar berkata,
“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.” Demikian apa yang disebutkan oleh
Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.
Juga sifat ‘ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman juga tidak menghadiri acara yang
di dalamnya mengandung maksiat. Perayaan natal bukanlah maksiat biasa, karena
perayaan tersebut berarti merayakan kelahiran Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan.
Sedangkan kita diperintahkan Allah Ta’ala berfirman menjauhi acara maksiat lebih-lebih
acara kekufuran,
“Dan orang-orang yang tidak memberikan menghadiri az zuur, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah,
mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Yang
dimaksud menghadiri acara az zuur adalah acara yang mengandung maksiat. Jadi, jika
sampai ada kyai atau keturunan kyai yang menghadiri misa natal, itu suatu musibah dan
bencana.
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali
silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia
lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya,
perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama
merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia.
Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-
masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa
setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan
tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk
memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud
perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
3. Memuaskan batin orang lain karena dapat mengambil haknya sebagaimana mestinya.
4. Kepuasan batin yang tercermin dalam raut wajahnya menjadikan semakin eratnya
hubungan persaudaraan dengan orang lain.
5. Eratnya hubungan baik dengan orang lain dapat memperlancar terwujudnya kerjasama
yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.
6. Dapat memperluas kesempatan untuk memperoleh rezeki karena banyak relasi.
Hal-hal yang dapat terjadi apabila toleransi di dalam masyarakat diabaikan adalah :
1. Menimbulkan konflik di dalam masyarakat dikarenakan tidak adanya saling menghormati
satu sama lain. Yang paling membahayakan dari konfllik adalah menyebabkan lahirnya
kekerasan dan adanya korban, dan hal ini dapat berpengaruh pada keamanan dan
stabilitas suatu negara.
2. Semakin maraknya pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan oleh reduksi universalitas
agama yang mengakibatkan agama tersekat dalam tempurung yang sempit dan
mewujudkan angan-angan tersendiri bagi pengikutnya bisa dalam bentuk fanatisme
sempit yang tidak rasional bahkan menimbulkan ketakutan terhadap agama atau
kelompok yang bisa terkespresi dengan perilaku melanggar HAM.
Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah Islam itu sering menimbulkan peperangan.
Tapi peperangan itu dilakukan hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami
kekalahan. Peperangan itu bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi
karena ekses-ekses politik sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan
keyakinan agama adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa,
banyak agama lokal yang tetap dibolehkan hidup.
Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa “salah
satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan
mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam
yang amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara
apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada
keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”.
Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Spanyol
adalah pengakuan yang sangat tepat. Ia bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban
Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah
agama, pendidikan, maupun asimilasi. Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya,
tidak pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya.
Kutipan ini saya tegaskan karena ini dapat menjadi kesaksian dari seorang non-Muslim
tentang toleransi Islam. Dan toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah
Islam di masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di
Nusantara. Melalui para pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia
masuk Islam dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini.
Secara perlahan dan pasti, islamisasi di seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna
yang dilakukan tanpa konflik sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan
segala gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa
jika tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka perkembangan
Islam di Nusantara tak akan sefantastik sekarang.
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat
komprehensif. Kita harus bersikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa
mempersoalkan perbedaan keyakinan. Prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran
Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama
fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan
konsekuensi alamiah dari prinsip ini.
Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar
umat Islam berbuat baik dan bertindak adil. Selama tidak berbuat aniaya kepada umat
Islam.
Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta
berkat adanya toleransi agama. Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan
mendinamisasikan semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan
bangsa dan menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup
dinegeri ini.
Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan
mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam
Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara
konsisten
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan.
Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang
berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi,
ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di
mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling
menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-
haknya.
Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan
kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak
ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang
amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga
dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di
masa depan.