Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

   Proses pendidikan merupakan hal yang sangat kompleks, yang didalamnya


terlibat banyak unsur yang saling terkait, mulai dari guru, siswa, sarana, metode,
strategi, media dan lain-lain.  Pendidikan bukan saja bicara tentang hasil, tapi lebih
kompleks lagi, sebenarnya pendidikan berkaitan dengan bagaimana proses untuk
mencapai hasil. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan nasional
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kretif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Dari sini terlihat bahwa ada banyak tujuan yang ingin dicapai dengan
berlangsungnya proses pendidikan yang diwujudkan dari pembelajaran di kelas.

Proses pembelajaran di kelas melibatkan guru sebagai pengajar dan siswa


sebagai pelajar. Seiring dengan pesatnya perkembangan pendidikan, pendidikan
Indonesia saat ini menginginkan pembelajaran yang menempatkan guru tidak lagi
sepenuhnya sebagai sumber dari segala sumber belajar, namun guru diharapkan
menjadi fasilitator bagi proses belajar siswa. Siswa tidak lagi mencawan akan apa
yang disampaikan guru, tapi sebaliknya siswa sebagai individu aktif.

Siswa berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi kemampuan
/intelegensi, suku/ras, agama,  kehidupan ekonomi dan social, latar belakang
keluarga, dan lain-lain. Perbedaan ini tidak seharusnya menjadi jurang perkembangan
siswa di sekolah, namun sebaliknya perbedaan ini membutuhkan penanganan khusus
dari guru baik secara klasikal, maupun individual. Guru diharapkan mampu
menciptakan kondisi lingkungan belajar yang kondusif, yang memungkinkan siswa

1
untuk bisa mengembangkan seluruh kemampuan/potensi  yang ada dalam dirinya,
baik dari segi kemampuan intelegensi (IQ), emosional (EQ)siswa, dan spriritual (SQ)

Guru sebagai seorang pemimpin kelas, yang memiliki hak prerogative untuk
mengatur pembelajaran, memegang peran penting serta tugas dan tanggung jawab
yang berat. Bukanlah perkara mudah untuk mengatur seseorang bertindak sesuai
dengan yang kita inginkan, karena perbedaan yang kita miliki. Guru tidak bisa
sepenuhnya mengarahkan siswa, mengelola kelas untuk bertindak sesuai dengan
arahan guru. Ada siswa yang patuh, yang mau mengikuti petunjuk guru, dan
sebaliknya ada beberapa siswa (yang mungkin dalam jumlah kecil dari anggota kelas)
yang tidak mau mendengarkan/peduli dengan arahan guru dan tidak serius dalam
belajar. Hal-hal semacam ini tentu menjadi masalah bagi guru. Karena itulah sesuai
dengan amanah undang-undang, setiap guru hendaknya memiliki empat kompetensi,
keempat kompetensi inilah yang akan menjadi modal bagi guru untuk mengelola dan
melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Empat kompetensi tersebut adalah
kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi
professional.

Penguasaan secara penuh empat kompetensi tersebut, bukanlah hal yang


mudah, ini menuntut guru untuk terus berkembang dan belajar agar bisa menghadapi
berbagai persoalan yang ditemui guru di lapangan, terutama bagi pendidik. Seorang
pendidik diharapkan mampu menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif dan
menjadi fasilitator yang baik bagi proses pembelajaran di sekolah.

Mengingat begitu banyaknya keanekaragaman pada siswa, baik dari latar


belakang keluarga, social, ekonomi, motivasi, kemampuan/intelgensi dan lain-lain,
maka seorang guru memerlukan trik dan cara khusus untuk menghadapi dan
membantu siswa belajar. Salah satunya adalah dengan mengetahui berbagai model,
pendekatan dan teori-teori belajar. Maka pertanyaannya adalah apakah guru-guru kita
saat ini, terutama guru dengan label pendidik professional, benar-benar sudah
menguasai ini dalam melaksanakan pelajaran dan mendidik siswanya.

2
Berdasarkan fenomena dan masalah-masalah ini, seorang pendidik seharusnya
memiliki pengetahuan lebih tentang berbagai cara yang dapat membantu siswa
belajar. Sesuai dengan perannnya sebagai fasilitator, seharusnya pendidik mengetahui
dan memfasilitasi cara yang mempermudah siswa untuk belajar, salah satunya dengan
memanfaatkan teori belajar.  Dengan mengetahui teori belajar diharapkan dapat
membantu guru untuk mengembangkan potensi siswa, dan memberikan cara-cara
yang tepat untuk mengatasi perbedaan/keanekaragaman kemampuan, sifat dan
perilaku siswa dalam proses belajar. Oleh karena itu, mengingat begitu pentingnya
teori belajar bagi guru dalam pembelajaran, maka kami membuat makalah ini dengan
judul “Teori-teori Belajar dalam Perspektif Psikologi”

Dengan adanya teori belajar dan pembelajaran guru bisa memanfaatkan teori
belajar dan pembelajaran untuk menjadi guru yang professional.  Misalnya dalam
merumuskan tujuan pembelajaran yang tepat, memilih strategi yang sesuai,
memberikan bimbingan atau konseling, memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta
didik, menciptakan iklim belajar yang kondusif, berinteraksi dengan siswa secara
tepat dan memberi penilaian secara adil terhadap hasil pembelajaran.

B. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini secara
umum adalah untuk menjelaskan Teori-teori Belajar dalam Perspektif Psikologi.

Sedangkan tujuan khususnya adalah :


1. Menguraikan Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Behaviorisme

2. Menguraikan Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Kognitifisme

3. Menguraikan Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Humanisme

4. Menguraikan Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Konstruktivisme

5. Merumuskan aplikasi Teori Psikologi Behaviorisme, Kognitifisme,


Humanisme, dan Pendekatan Konstruktivisme dalam Belajar Pembelajaran

3
C. Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini bersifat deskriptif. Bahan-bahan yang diperoleh


melalui kajian dari berbagai sumber yang relevan diolah dan dideskripsikan kembali
untuk menjelaskan tujuan penulisan makalah ini sebagaimana yang tertuang pada
tujuan umum dan tujuan khusus di atas.

D. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah memahami makalah ini, maka dikembangkan dalam


sistematika sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan yang meliputi latar belakang, tujuan penulisan, metode dan
sistematika penulisan

Bab II Pembahasan sebagai inti makalah disusun sebagai berikut:

1. Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Behaviorisme serta Aplikasinya


dalam Belajar Pembelajaran
2. Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Kognitifisme serta Aplikasinya
dalam Belajar Pembelajaran
3. Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Humanisme serta Aplikasinya
dalam Belajar Pembelajaran
4. Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Konstruktivisme serta
Aplikasinya dalam Belajar Pembelajaran

Bab III Penutup yang berisi kesimpulan hasil pembahasan pada BAB II.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. TEORI BEHAVIORISME

1. Konsep dan Asumsi Dasar

Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang pertama kali


dicetuskan oleh Gage dan Berliner yang selanjutnya dipopulerkan oleh Jhon B.
Waston pada tahun 1913.1 Dalam perkembangannya muncullah beberapa ahli lain
yang mendukung teori ini, seperti: Thorndike,  Skinner, Clark Hull, Edwin Guthrie.
Teori behaviorisme yang pada awalnya merupakan salah satu aliran dalam psikologi
selanjutnya berkembang dan berpengaruh dalam dunia pendidikan dan pembelajaran.
Berdasarkan susunan katanya, behaviorisme terdiri dari dua kata “Behave” yang
berarti berperilaku dan “Isme” yang berarti aliran, sehingga jelas bahwa
penekanannya pada tingkah laku.

Walaupun teori ini didukung oleh beberapa ahli dengan teorinya masing-
masing, namun secara umum terdapat prinsip-prinsip dan asumsi dasar yang sama,
khususnya terkait dengan belajar. Pertama, aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Seseorang dikatakan belajar jika terjadi
perubahan tingkah laku. Kedua, teori ini dalam memandang manusia hanya pada sisi
jasmaniah saja, sehingga mengabaikan aspek-aspek mental rohaniah seperti
2
kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam belajar. Ketiga, teori ini
dikenal dengan model hubungan antara Stimulus (S) dan Respon (R) dalam belajar.
Maksudnya belajar merupakan akibat adanya interaksi antara Stimulus dan Respon
(Slavin, 2000)3. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
1
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2008), h.19
2
Ratna Yudhawati, S.Psi., M.Psi.,Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Prestasi
Pustakarya, 2011), h. 41
3
Slavin, Robert E, Educational Psychology, Theory and Practice, (Massachusets: Allyn & Bacon
Publishers), h. 44

5
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon merupakan rekasi atau tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara
stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Keempat, teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah
laku tersebut.

2. Tokoh-tokoh dalam Teori Belajar Behaviorisme

Ada beberapa tokoh yang telah menghasilkan teori-teori dalam aliran


behaviorisme antara lain adalah: Tordinke dengan teori Connectionism, Ivan Pavlov
dengan teori Classical Conditioning, dan B.F Skinner dengan teori Operant
Conditioning. Berikut ini akan diuraikan masing-masing teori tersebut yang merujuk
pada buku Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan 4 sebagai rujukan utama dan buku-
buku lainnya sebagai penunjang.

a. Teori Connectionism : S-R menurut Thorndike (1874-1949)

Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi


antara stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari
lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
beraksi atau berbuat, sedangkan respon adalah tingkah laku yang dimunculkan karena
adanya perangsang. Untuk menguji teorinya, Thorndike melakukan ekserimen pada
kucing. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box)
tersebut diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons,
perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-
usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih
dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau
selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.
Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut
dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
4
Ratna Yudhawati, S.Psi., M.Psi., Opcit.

6
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut:

1) Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme


memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku
tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat.
2) Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/
dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of
exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan
tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah
bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip
dari hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan.
Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.

3) Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung


diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin
lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat
menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya,
suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan
dan tidak akan diulangi.

b. Teori Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov (1849-1936)

Classic conditioning (pengkondisian) adalah proses yang ditemukan Pavlov


melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan
reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain
tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala
kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.

Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-


rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang

7
diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan
binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan
manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia
berbeda dengan binatang.

Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi pipi pada seekor


anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan
sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan
diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru
makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang
demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya
memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.

Makanan adalah rangsangan wajar, sedang sinar merah adalah rangsangan


buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,
rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur
pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned
Respons.

Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih.


Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia,
yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari
manusia.

Melalui eksperimen tersebut Pavlov menunjukkan bahwa belajar dapat


mempengaruhi perilaku seseorang menghasilkan hokum-hukum belajar, diantaranya :

1) Law Of Respondent Conditioning yakni hokum pembiasaan yang dituntut. Jika


dua macam stimulus dihadirkan secara simutan (yang salah satunya berfungsi
sebagai reinforcer), maka refleks stimulus lainnya meningkat.

2) Law Of Respondent Extinction yakni hokum pemusnahan yang dituntut. Jika


refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent Conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatannya akan menurun.

8
c. Teori Operant Conditioning menurut Burrhus Frederic Skinner (1904-
1990)

Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu


mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia
mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana dan dapat menunjukkan
konsepnya tentang belajar secara komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara
stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang
kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.

Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar perlu
terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta
memahami respons yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang
mungkin akan timbul sebagai akibat dari respons tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai
alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah.

Sebab, setiap alat yang dipergunakan perlu penjelasan lagi,


demikian  seterusnya. Dari semua pendukung Teori behavioristik, Teori Skinnerlah
yang paling besar pengaruhnya. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berpogram, modul, dan program-program pembelajaran lain
yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-
faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang
menerpkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner. Dari eksperimen yang
dilakukan B.F Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati
menghasilkan hokum-hukum belajar, diantaranya :
1) Law Of Operant Conditioning yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.

2) Law Of Operant Extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah


diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka
kekuatan perilaku tersebut akan turun bahkan musnah.

9
3. Pengaplikasian dalam Belajar Pembelajaran

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari


beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna
yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau
guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif


yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu,
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-
hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang
dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang


memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar
kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

10
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur
rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku
sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang
berada di luar diri pebelajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan


biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai
dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan
tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari
kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

B. TEORI KOGNITIF

1. Konsep dan Asumi Dasar

Menjelang berakhirnya tahun 1950-an banyak kritik yang muncul terhadap


behaviorisme. Kognitivisme tidak seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun
lebih cenderung pada perluasannya. Pakar psikologi kognitif modern berpendapat
bahwa belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian,
bahasa, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah.

Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar.
Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati,

11
melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain,
kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa
proses belajar terjadi karena ada varasziabel penghalang pada aspek-aspek kognisi
seseorang.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Teori Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang
hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan
psikolog perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan,
yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan
dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada
kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata-skema
tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan
perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan
informasi secara mental.
Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada
perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu
apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
2. Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
3. Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya
menghafal tanpa pengertian penyajian

2. Tokoh-tokoh dalam Teori Belajar Kognitivisme

a. Jean Piaget (1975)

12
Menurut Jean Piaget salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa
proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni: 1) asimilasi, 2) akomodasi,
dan 3) equilibrasi (penyeimbangan).5 Proses asimilasi adalah proses penyatuan
(pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam bentuk
siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam benak siswa.
Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi. Tanpa adanya proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi ini,
perkembangan kognitif seseorang akan tersendat dan berjalan tak teratur.

Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan


kognitif yang dilalui siswa, yang dalam hal ini Piaget membaginya menjadi empat
tahap, yaitu: tahap sensori-motor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun), tahap
pra-operasional (2-7 tahun), tahap operasional konkret (7-14 tahun), tahap
operasional formal (14 tahun lebih).6

Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori-motor tentu lain
dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua
(praoperasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap
yang lebih tinggi (operasional kongkret dan operasioanl formal). Secara umum,
semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak)
cara berpikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru seyogyanya memahami tahap-tahap
perkembangan anak didiknya ini, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan
jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.

b. Ausubel (1968)

Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut
”pengatur kemajuan (belajar)” (Advance Organizers) didefinisikan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepda siswa.7 Pengatur kemajuan belajar
5
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: Sinar Grafika
offset, 2008), h. 10
6
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Ibid, h. 11
7
Degeng I Nyoman Sudana, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel, (Jakarta: Proyek P2T Dirjen Dikti,
1989), h. 115

13
adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mancangkup) semua isi
pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.

Ausubel percaya bahwa ” Advance Organizers” dapat memberikan tiga macam


manfaat, yakni:

1) Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang


akan dipelajari oleh siswa
2) Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang
sedang dipelajari siswa ”saat ini” dengan apa yang ”akan” dipelajari siswa
sedemikian rupa sehingga
3) Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih
mudah.

Oleh karena itu, pengetahuan guru terhadap isi mata pelajaran harus sangat
baik. Hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi ,
yang menurut Ausubel ”sangat abstrak, umum dan inklusif”, yang mewadahi apa
yang akan diajarkan. Selain itu, logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin.
Tanpa memiliki logika berpikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah-milah
materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta
mengurutkan meteri demi materi ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah
dipahami.8

c. Brunner (1960)

Bruner mengusulkan teorinya yang disebut free discovery learning. Menurut


teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan sutau aturan (termasuk konsep, teori,
definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili)
aturan yang menjadi sumbernya.9 Dengan kata lain siswa dibimbing secara induktif
untuk memahami sutau kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran,
misalnya siswa pertama-tama tidak menghafal definisi kata kejujuran, tetapi
8
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Ibid, h. 12
9
Degeng I Nyoman Sudana, Ibid, h. 115

14
memperlajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh-contoh itulah
siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata ”kejujuran”.

Disamping itu, Bruner mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang


akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas.
Menurut pandangan Bruner, bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan
teori pembelajaran itu bersifat perskriptif. Misalnya, teori belajar memprediksikan
berapa usia maksimum seseorang anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori
pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan penjumlahan.

3. Pengaplikasian dalam Belajar Pembelajaran

Dalam teori kognitivisme, belajar merupakan keterlibatan penguasaan atau


penataan kembali struktur kognitif dimana seseorang memproses dan menyimpan
informasi. Belajar juga merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan,
pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yang
diterima disesuaikan dengan struktur kogniitf yang sudah dimiliki seseorang
berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Teori ini lebih mementingkan
proses belajar dari pada hasil belajar.

Dengan memahami konsep belajar demikian, maka evaluasi yang dilakukan


pun berbeda dengan behaviorisme. Dalam behavioristme evaluasi dilakukan setelah
pembelajaran selesai dan bersifat individu, namun dalam kognitivisme ini evaluasi
dilakukan tidak harus menunggu materi pembelajaran selesai dengan kata lain
ditengah-tengah kegiatan pembelajaran guru sudah bisa melakukan proses evaluasi.
Jawaban yang dibutuhkan pun tidak terbatas pada satu jawaban pasti akan tetapi
siswa dapat lebih kreatif menjabarkan pengetahuan yang dimilikinya selama ini.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:18) “belajar merupakan hal yang


kompleks. Kekompakan tersebut dapat dipandang dari dua subyek yaitu siswa dan
guru”. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses. Siswa mengalami proses
mental dalam menghadapi bahan belajar. Dari segi guru, proses belajar tersebut

15
tampak sebagai perilaku belajar tentang suatu hal. Siswa adalah penentu terjadinya
atau tidaknya proses belajar.

Konsekuensinya proses pembelajaran harus lebih memberi ruang yang luas


agar siswa mengembangkan kualitas intelektualnya. Secara umum proses
pembelajaran harus didasarkan atas asumsi umum:

a. Proses pembelajaran adalah suatu realitas sistem. Artinya, keberhasilan


pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh satu aspek/faktor saja, tetapi lebih
ditentukan secara simultan dan komprehensif dari berbagai faktor yang ada.
b. Proses pembelajaran adalah realitas kultural/natural. Yaitu dalam proses
pembelajaran tidak diperlukan adanya berbagai paksaan dengan dalih
membentuk kedisiplinan.
c. Pengembangan materi harus benar-benar dilakukan secara kontekstual dan
relevan dengan realitas kehidupan peserta didik. Proses belajar tidak harus di
dalam ruang atau gedung. Wilayah pembelajaran bisa dimana saja selama
peserta didik mampu melaksanakan proses untuk mengembangkan daya
analisis terhadap realitas.
d. Metode pembelajaran tidak dilakukan secara monoton, metode yang
bervariasi merupakan tuntutan mutlak dalam proses pembelajaran.
e. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena
dengan mengaktifkan siswa, maka proses asimilasi dan akomodasi
pengetahuan dan pengalamandapat terjadi dengan baik.
f. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar
bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan
hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui
siswa.

g. Pembelajaran harus memperhatikan perbedaan individual siswa, faktor ini


sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya

16
pada motivasi, persepsi, kemampuan berfikir, pengetahuan awal dan
sebagainya.

C. TEORI HUMANISTIK

1. Konsep dan Asumi Dasar

Pada teori Humanistik ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada
manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori inilah yang paling abstrak dan
mendekati dengan dunia filsafat daripada dunia pendidikan.10

Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar,
dalam kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik
pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa
adanya, seperti apa yang kita amati dalam dunia keseharian.

Belajar harus berhulu dan bermuara  pada manusia itu sendiri. Meskipun teori
ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini
lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang
paling ideal. Dengan  kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam
bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang
bisa kita amati dalam dunia keseharian.

Teori belajar humanisme dalam pendidikan lebih menekankan pada


perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk
mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan
kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode
untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati
keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau kemampuan membangun
diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya
dengan keberhasilan akademik. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar

10
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Ibid, h. 13

17
lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar
ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya dan bias dikatakan memanusiakan manusia.

2. Tokoh-tokoh Utama

a. Arthur Combs
Arthur Combs et al. (1974) menjelaskan bagaimana perserpsi ahli-ahli
psikologi dalam memandang tingkah laku. Untuk mengerti tingkah laku manusia,
yang terpenting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dati sudut
pandangannya11.

Salah satu dari pandangan Humanistik adalah perasaan, persepsi, kepercayaan,


dan tujuan tingkah laku inner (dari dalam) yang membuat orang berbeda dari orang
lain. Untuk mengerti orang lain, adalah melihat dunia sebagai dia lihat, dan untuk
menentukan bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau tentang dunianya.
Combs menyatakan bahwa tingkah laku menyimpang adalah “akibat yang tidak ingin
dilakukan, tetapi dia tahu bahwa dia harus me;akukan”

b. Maslow

Maslow (1968) berpendapat bahwa ada hierarki kebutuhan manusia. Kenutuhan


untuk tingkat yang paling rendah, yaitu untuk bisa survive atau mempertahankan
hidup dan rasa aman, dan ini adalah kebutuhan yang paling penting. Tetapi, jika
manusia secara fisik terpenuhi kebutuhannya dan merasa aman, ,ereka akan distimuli
untuk kebutuhan yang lebih tinggi lagi, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dicintai
dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok itu terpenuhi orang akan kembali
mencari kebutuhan yang lebih tinggi lagi, prestasi intelektua;, penghargaan estetis
dan akhirnya self-actualization.

c. Rogers
Rogers (1969,1983) adalah ahi psikologi humanistik yang mempunyai ide-ide
yang mempengaruhi pendidikan dan penerapannya. Melalui bukunya yang sangat

11
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 181-182.

18
populer Freedom to Learn and Freedom to Learn for the 80’s, dia menganjurkan
pendekatan pendidikan sebaiknya mencoba membuat belajar dan mengajar lebih
manusiawi, lebih personal, dan berarti.
Pendekatan Rogers dapat dimengerti dari prinsip-prinsip penting belajar
Humanistik yang diidentifikasikan sebagai sentral dan filsafat pendidikannya.
1) Keinginan untuk belajar (The Desire to Learn)
Rogers percaya manusia secara wajar mempunyai keinginan untuk belajar,
keinginan ini dapat dilihar dengan keingintahuan yang sangat dari seorang anak
ketika dia menjelajahi (meng-explore) lingkungannya. Keingintahuan anak yang
sudah melekat atau sudah menjadi sifatnya untuk belajar adalah asumsi dasar yang
penting untuk pendidikan humanistik.dalam pandangan humanistik, anak diberi
kebebasan untuk memuaskan keingintahuan merek, untuk menemukan diri mereka
sendiri, serta apa yang penting dan berarti tentang dunia yang mengelilingi mereka12.

Orientasi ini sangat berlawanan dengan kelas tradisonal, di mana guru atau
kurikulum menentukan apa yang harus siswa pelajari.

2) Belajar secara signifikan (Significant Learning)


Jenis belajar ini tidak sulit ditemukan. Pikiran siswa yang belajar dengan cepat
untuk menggunakan komputer agar bisa menikmati permainan, atay siswa yang cepat
belajar untuk menghitung uang kembaliannya ketika membeli sesuatu. Kedua conto
tadi menunjukkan bahwa belajar mempunyai tujuan dan kenyataannya dimotivasi
oleh kebutuhan untuk tahu.
3) Belajar tanpa ancaman (Learning without Threat)
Bahwa belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu
lingkungan yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi ketika siswa sapat
menguji kemampuan mereka, mencoba pengalaman baru, bahkan membuat kesalahan
tanpa mengalami rasa sakit hati karena kritik dan celaan.
4) Belajar atas inisiatif sendiri (Self-initiated Learning)

12
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 183-184.

19
Untuk Teori Humanistik, belajar akan paling signifikan dan meresap ketika
belajar itu atas inisiatifnya sendiri, dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran
si pelajar sendiri. Dengan memilih pengarahan dari orang yang sedang belajar sendiri,
akan memberi motivasi tinggi dan kesempata kepada siswa untuk belajar bagaimana
balajar. penguasaan mata pelajaran tidak diragukan lagi pentingnya, tetapi tidak lebih
penting daripada kemampuan untuk menentukan sumber, merumuska masalah,
menguji hipotesis dan menilai hasil belajar. Belajar atas inisiatif sendiri dengan
memusatkam perhatian siswa pada program belajar hasilnya amat baik.
5) Belajar dan berubah (Learning and Change)
Prinsip akhir bahwa Rogers telah mengidentifikasi bahwa belajar yang paling
bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar. Rogers mencatat bahwa siswa pada
masa lalu belajar satu set fakta ilmu statistic dan ide-ide. Dunia menjadi lambat untuk
berubah dan apa yang dipelajari di sekolah cukup untuk memenuhi tuntutan waktu.
Sekarang, perubahan adalah fakta hidup13.

Pengetahuan berada dalam keadaan yang terus berubah secara konsistan.


Belajar seperti waktu yang lalu tidak cukup lama untuk memungkinkan seseorang
akan sukse dalam dunia modern. Apa yang dibutuhkan sekarang, menuut Rogers,
adalah individu yang mampu belajar dan lingkungan yang berubah.

c. Pengaplikasian dalam Belajar Pembelajaran

Satu strategi yang disarankan rogers adalah memberi siswa dengan berbagai
macam sumber yang dapat mendukung dan membimbing pengalaman belajar mereka.
Sumber-sumber meliputi materi pengajaran yang biasam seperti buku, bimbingan
referensi dan alat-alat bantu listrik (misalnya kalkulator, komputer). Sumber dapat
juga meliputi oran, seperti anggota masyarakat yang mempunyai suatu bidang minat
atau ahli yang bersedia mengungkapkan pengalaman-pengalaman kepada siswa.
Guru-guru dapat juga sebagai sumber dengan pengetahuan dan pengalaman
keterampilang yang tersedia yntuk siswa jika diperlukan.

13
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 184-186

20
Strategi lain yang disarankan adalah perr-tutoring siswa yang mengajar siswa
lain. Banyak bukti yang menunjukkan bhwa pengalaman ini berguna untuk
keduanya, siswa yang mengajar maupun yang diajar.

Akhirnya, Rogers adalah pengajur yang kuat pada penemuan dan


penyelidikan, di mana siswa mencari jawaban terhadappertanyaan yang riil, mrmbuat
penemuan autonomus (bebas), dan menjadi pencetus dalam belajar atas inisiatifnya
sendiri.

Psikologi Humanistik dan Pengajaran

1) Pendidikan setara (Confluent education)


George Brown(1971) mengembangkan pusat pendidikan di Universitas
California, Santa Barbara, di mana guru belajar mengintegrasikan pengalaman afektif
fengan belajar kognitif di kelas. Brown menyebutkn pendidikan setara (confluent
education) ini cara menarik untuk melibatkan diri siswa dalam mata pelajaran.
Contoh dari ini adalah pengajaran Inggris pada siswa umur 12 tahun tentang buku
yang berjudul Red Badge Of Courage14.
Guru mengembangkan latihan ini, siswanya mendapatkan pengertian mendalam
tentang novel itu, tetapi memperoleh kesadaran antarpribadi yang lebih besar dengan
mendiskusikan konsep tentang keberanian, keteguhan hati, dan kerakutan mereka
sendiri. Beberapa dari latihan dikembangkan untuk satu unit seperti di bawah ini.
a. Mewawancari seseorang yang tahu tentang perang,
b. Mendengarkan lagu-lagu perang, menulus secara bebas hubungan pikiran dan
perasaan yang membangkitkan kenangan, dan kemudian mengungkapkan
kepada kelompoknya,
c. Mendiskusikan apakah perang itu tak terelakkan, dan

d. Membandingkan perang sipil dengan Perang Dunia II.

Novel ini mengambil arti pribadi ketika siswa mulai berpikir bagaimana mereka
harus bereaksi terhadap suatu situasi yang sama.

14
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 181-182

21
2) Pendidikan terbuka (Open education)
Karena bingung akan apa yang terjadi sebenernya terlibat dalam pendidikan
terbuka, Welberg dan Thomas (1972) meninjau kepustakaan yang relevan pada
pendidikan terbuka, memecahnya ke dalam empat komponen, dan menudian
mencari sumber lain ke berbagai pendidikan terbuka yang terkemuka. Mereka
membuat delapan tema sebagai berikut.
1) Syarat-syarat belajar (Provisions for Learning)
Memanipulasi persediaan bahan perlajaran untuj memenuhi
keanekaragaman dan luasnya mata pelajaran. Anak-anak bergerak bebas
dikelas. Mendorong untuk bercakap-cakap. Tidak dipisahkan ke dalam
kelompok dengan menggunakan skor tes.
2) Manusiawi, hormat, terbuka, dan hangat (Humanness, Respect, Opennes, and
Warmth)
Menggunakan bahan pelajaran yang dibuat siswa. Guru berhadapan
dengan tingkah laku siswa yang berrmasalah dengan berkomunikasi dengan
anak tanpa melibatkan kelompok.
3) Mendiagnosis kejadian selama pelajaran
Siswa mengoreksi pekerjaan mereka sendiri. Guru nengobservasi dan
menanyakan pertanyaan. Secara individual. Tidak ada tes atau buku tugas15.
4) Pengajaran. Secara individual. Tidak ada tes atau buku tugas.
5) Penilaian
Guru mengambil catatan. Secara individual. Beberapa tes formal
6) Mencari kesempatan untuk menumbuhkan profesionalisme (Search for
Opportunitiess for Propessional Growth)
Guru menggunakan bantuan orang lain. Guru bekerja dengan teman
sejawat
7) Presepsi guru tentang dirinya (Self-Perception of Taecher)
Guru mencoba untuk menyompan semua presepsi tentang anak-anak di
dalam pengamatannya dan memonitor pekerjaan mereka.

15
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 188-189

22
8) Mengasumsikan anak-anak dan proses belajar (Assumption about children and
the Learning Process)
Suasana kelas hangat dan diterima. Anak-anak terlihat dengan apa yang
sedang mereka kerjakan

Walberg dan Thombs (1972) menemukan kelas terbuka berbeda dengan kelas
tradisonal pada empat dari delapan kriteria : syarat-syarat belajar, manusiawi,
diagnosis, pengajaran, dan penilaian16.

D. TEORI KONSTRUKTIVISME

1. Konsep dan Asumi Dasar

Konstruktivisme sebagai filsafat belajar pertama kali sudah terungkap dalam


tulisan ahli filsafat (Giambatista Visco, 1710) yang mengemukakan bahwa orang
hanya dapat benar-benar memahami apa yang dikonstruksikannya sendiri. Namun
yang pertama mengembangkan dan mempopulerkan filsafat ini dalam pembelajaran
adalah Jean Piaget.17

Ide dasar lahirnya filsafat belajar konstruktivisme merupakan kritik terhadap


teori belajar Behaviorisme yang sangat mendominasi pada waktu itu. Secara umum
menurut teori Behaviorisme, orang yang belajar adalah orang yang belum memiliki
pengetahuan tentang sesuatu, oleh sebab itu para pengajar harus dapat mentransfer
pengetahuan kepada orang yang belajar. Namun, dari beberapa hasil penelitian
pendidikan sains pada tahun-tahun terakhir telah mengungkapkan bahwa pengetahuan
itu dibangun dalam pikiran seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut oleh
konstruktivisme. Maka proses pendidikan dalam pandangan ini perlu membangun
kemandirian anak untuk mengelola pola pikir secara terarah.

Asumsi dasar teori konstruktivisme tentang belajar adalah bahwa setiap orang
pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan atau bekal awal tentang sesuatu yang

16
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 189-190
17
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
142

23
akan dipelajari. Pembelajaran pada intinya adalah bagaimana mengembangkan atau
mengkonstruksi (membangun) pengetahuan atau bekal awal yang sudah dimiliki
tersebut menjadi sebuah pengetahuan baru dan utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat
Yatim Riyanto yang mengatakan bahwa tujuan pembelajaran konstruktivisme
ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang
menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong si belajar
untuk berfikir dan berfikir ulang lalu mendemostrasikannya.18

Asumsi-asumsi dasar dari kontruktivisme seperti yang diungkap oleh Merril


(1991) adalah sebagai berikut :

1. Pengetahun di kontruktiviskan oleh pengalaman


2. Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata
3. Belajar adalah sebuah proses aktif, dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman.
4. Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna, saling berbagi tentang
prespektif ganda dan perubahan refresantasi mental melalui pembelajaran
kolaboratif
5. Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan
tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaiaan autentitik)

Sementara itu Driver and Bell dalam Hamzah (2008) mengemukakan


karakteristik pembeljaran kontruktivisme, (i) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu
yang pasif melainkan memiliki tujuan, (ii) belajar harus mempertimbangkan
seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (iii) pemngetahuan bukan sesuatu yang
datang dari luasr merupakan dikonstruksi melalui personal, (iv) pembelajaran
bukanlah transmisi pengetahuan melainkan melibatkan situasi lingkungan belajar, (v)
kurikulum bukanlah sesuatu hal yang dipelajari, melainkan seperangkat materi dan
sumber.

Ada sejumlah prinsip-prinsip pemandu dalam konstruktivisme :

18
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Ibid, h. 144

24
1. Belajar merupakan pencarian makna. Oleh sebab itu pembelajaran harus dimulai
dengan isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk secara aktif mengkonstruk
makna.
2. Pemaknaan memerlukan pemahaman bahwa keseluruhan (Wholes) itu sama
pentingnya seperti bagian-bagiannya. Sedangkan bagian-bagian harus dipahami
dalam konteks keseluruhan. Oleh karena itu, proses pembelajaran berfokus
terutama pada konsep-konsep primer dan bukan kepada fakta-faktanya.
3. Supaya dapat mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental
yang dipergunakan siswa terkait bagaimana cara pandang mereka tentang dunia
serta asumsi-asumsi yang disusun yang menunjang model mental tersebut.
4. Tujuan pembelajaran adalah bagaimana setiap individu mengkonstruksi makna,
tidak sekedar mengingat jawaban apa yang benar dan menolak makna orang lain.
Karena pendidikan pada fitrahnya memang antar disiplin, satu-satunya cara yang
meyakinkan untuk mengukur hasil pembelajaran adalah melakukan penilaian
terhadap bagian-bagain proses pembelajaran, menjamin bahwa setiap siswa akan
memperoleh informasi tentang kualitas pembelajarannya.

Seringkali konsep ini dianggap perkembangan dari konsep kognitivisme,


sehingga banyak sumber yang menganggap hanya ada dua varian pokok teori
perkembangan atau teori psikologi yang mempengaruhi teori belajar, yaitu
behaviorisme dan konstruktivisme. Banyak ahli yang telah berkecimpung dalam
aliran konstruktivisme ini, dan boleh dikatakan aliran atau pandangan ini banyak
mewarnai pandangan tentang pembelajaran, metode-metodenya, filsafat-filsafatnya,
dan konsep-konsep lainnya yang berkembang pesat sejak tahun 1980-an sampai saat
ini.

Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis


bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi
pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Setiap kita akan
menciptakan hukum dan model mental kita sendiri, yang kita pergunakan untuk
menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman. Belajar, dengan demikian semata-

25
mata sebagai suatu proses pengaturan model mental seseorang untuk mengakomodasi
pengalaman-pengalaman baru.

Kontutivisme melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu


yang (given) dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan
merupakan hasil dari kontrukvisme (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetuan
bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetuan bukanlah gamabran dari
dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu kontruksi
kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Ia membnetuk skema, kategori,
konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt,
1989, dalam Suparno, 1997:18).

Konstruktivis percaya bahwa pembelajar mengkontstuk sendiri realitasnya


atau paling tidak menerjemahknnya berlandaskan prespsi tentang pengalmannya,
sehingga pengetahuan individu adalah sebuah fungsi dari pengalman sebelumnya,
juga struktur mentalnya, yang kemudian digunaknnya untuk menerjemahkan objek-
objek serta kejadian-kejadian baru. Para ahli yang berkecimpung pada aliran ini
adalah. Brunner, Ullrick, Neissel, Goodman, Kant, Kuhn, Dewey dan Habermas.
Akan tetapi yang berperan besar, yaitu karya dari Jean Piaget, yan gkemudian
diterejmahkan dan dikembangkan oleh Ernste Von Glasserfeld. Sebelum
pengembangan oleh si Von tadi, buah karya Piaget ini belum banyak dikenal di
Amerika Utara.

2. Tokoh-tokoh Utama

Istilah konstruktivisme sendiri sebenarnya sudah dapat dilacak dalam karya


Bartlett (1932), kemudian juga Mark Baldwin yang secara lebih rinci diperdalam oleh
Jean Piaget, kemudian konsep belajar ini disebarluaskandi Amerika Utara (meliputi
Amerika Serikat dan Kanada) oleh Ernest Von Glasersfeld. Namun, konsep terkait
dengan konstruktivisme (walau saat itu belum mempergunakan istilah
konstruktivisme) bahkan sudah diungkap oleh Giambattista Vico pada tahun 1710,
yang mengatakan bahwa ”mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat

26
sesuatu” . Ini berarti bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru
jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu, mungkin
beberapa kali da nada penerimaan dalam struktur kognitifnya, sebagai hasil proses
berpikirnya (proses of mind) tentang apa sesungguhnya sesuatu itu. Jadi sesuatu itu
telah diketahuinya karena telah dikonstruksikan dalam pikirannya. Sementara itu
sejumlah ahli lain berpendapat bahwa kontrktivisme sebagai salah satu bentuk
pragmatisme, oleh sebab itu dapat dima’lumi jika tokoh pragmatism, John Dewey
yang terkenal dengna konsep belajar dengna melakukan ( learning by doing),
dikategorikan sebagai ahli pendukung kontruktivisme.

3. Pengaplikasian dalam Belajar Pembelajaran

Dalam teorinya, konstruktivisme menuntut peran guru agar mampu


menyediakan suasana dimana para siswa mendisain dan mengarahkan kegiatan
belajar itu lebih banyak dari pada mengiginkan siswa agar benar-benar memahami
dan dapat menerapkan pengetahuan. Oleh sebab itu harus dapat diupayakan
bagaimana siswa dapat bekerja memecahkan masalah, menentukan segala sesuatu
untuk dirinya sendiri, serta berusaha dengan ide-ide. Salah satu peran penting guru
dalam mengajar adalah bagaimana memberikan siswa anak tangga yang membawa
siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus memanjat
anak tangga tersebut.19

Dengan demikian, mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari pendidik


ke peserta didik, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun
sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam
membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap
kritis, mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai
mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan
dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan
pada pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitaor ini dapat
19
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
145

27
dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut: (Suparno, 1997: 65-
66):20
a. Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinakan pesrta didik ikut
bertanggungjawab dalam membuat disain, proses dan penelitian. Maka
menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama
seorang pendidik.

b. Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-


kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka
untuk mencari, membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan,
pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya.
Menyediakan sarana yang merangsang berfikir peserta didik secara
produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung
belajar peserta didik. Pendidik hendaknya menyemangati peserta didik dan
bukan sebaliknya. Pendidik perlu menyediakan pengalaman konflik.
Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomaly yang
bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik.
Pengalaman seperti ini akan menantang peserta didik untuk berpikir secara
mendalam.

c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukan apakah pemikiran peserta didik


itu berjalan atau tidak. Pendidik menunjukan dan mempertanyakan apakah
pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang
berkaitan dengannya. Pendidik membantu dalam mengevaluasi hipotesis
dan kesimpulan peserta didik.

Karena itulah diperlukan keahlian seorang pendidik yang mampu menyelam


kehidupan dan dunia peserta didik. Dalam Kuantum Teaching dinyatakan bahwa
setiap interaksi dengan siswa setiap rancangan kurikulum, dan setiap metode
instruksional dibangun di atas prinsip “bawalah dunia mereka ke dunia kita” dan
“hantarkan dunia kita ke dunia mereka” (Bobbi De Porter). Melalui pendekatan
20
Sutarjo Adisusilo, J.R., Pembelajaran Nilai Karakter, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2012), h. 187

28
anatar guru dan siswa, maka pesan pembelajaran akan dengan mudah
ditransformasikan ke benak siswa.21

Secara umum perbedaan antara pembelajaran tradisonal dengan pembelajaran


yang berdasarkan teori konstruktivisme dapat dilihat pada table berikut ini.22

PEMBELAJARAN TRADISIONAL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME


1. Kurikulum diajarkan secara part 1. Disampaikan secara whole to part
to whole dengan penekanan pada dengan penekanan pada big con-cept
basic skill
2. Secara letak mengacu pada 2. Mempengaruhi siswa untuk bertanya
kurikulum untuk mencapai nilai guna mencapai nilai yang tinggi
yang tinggi
3. Aktivitas kurikulum 3. Aktivitas kurikulum menitikberatkan
menitikberatkan pada buku teks pada sumber data dan rekayasa materi
dan pekerjaan siswa
4. Siswa diperlakukan atau 4. Siswa diperlakukan sebagai pemikir
dipandang sebagai “kertas dengan menampilkan teori-teori tentang
kosong” yang hanya diisi dengan dunia
informasi oleh guru-guru
5. Guru pada umumnya bertindak 5. Guru bertindak sebagai orang yang
sebagai orang yang hanya mampu berinteraksi, sebagai moderator
memberi perintah dan penyebaran dengan lingkungannya terhadap siswa
informasi kepada siswa
6. Guru berusaha memperoleh pendapat
6. Guru berusaha mengoreksi
atau pandangan siswa agar bisa
jawaban siswa yang benar untuk
memahami konsep-konsep yang
menerangkan pelajaran kepada
disampaikan untuk digunakan sebagai
siswa
pelajaran berikutnya.
7. Evaluasi belajar siswa dilakukan 7. Evaluasi hasil belajar siswa adalah inter
secara terpisah oleh guru dan wofen (menjalin imajinasi dengan
secara keseluruhan dapat diuji kebenaran) melalui usaha observasi oleh
hanya melalui tes guru terhadap pekerjaan siswa

21
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
153
22
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
146

29
Dari tujuan tentang konstruktivisme dalam pembelajaran, pada dasarnya ada
beberapa tujuan yang ingin diwujudkan anatara lain:

a. Memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggungjawab siswa itu sendiri,


b. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari
sendiri jawabannya,
c. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep
secara lenkap.
d. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri

Konstruktivis bukan sebuah teori yang bersih dari kekurangan. Teori ini juga
terbatas pada ruang dan waktu dalam pengaplikasiannya. Ada beberapa kendala yang
mungkin timbul dalam penerapan teori ini.

a. Sulit mengubah keyakinan guru yang sudah terstruktur bertahun-tahun


menggunakan pendekatan tradisional
b. Guru konstruktivis dituntut lebih kreatif dalam merencenakan pelajaran dan
memilih atau menggunakan media
c. Pendekatan konstruktivis menuntut perubahan siswa yang mungkin belum
bisa diterima oleh otoritas pendidik dalam waktu dekat
d. Fleksibilitas kurikulum mungkin masih sulit diterima oleh guru yang
terbiasa dengan kurikulum yang terkontrol
e. Siswa dan orang tua mungkin imemerluykan waktu beradaptasi dengan
proses belajar dan mengajar yang baru

BAB III

30
PENUTUP

Rangkuman

Secara umum terdapat prinsip-prinsip dalam teori belajar behaviorimse


Pertama, aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai
hasil belajar. Seseorang dikatakan belajar jika terjadi perubahan tingkah laku. Kedua,
teori ini dalam memandang manusia hanya pada sisi jasmaniah saja, sehingga
mengabaikan aspek-aspek mental rohaniah seperti kecerdasan, bakat, minat dan
perasaan individu dalam belajar. 23 Ketiga, teori ini dikenal dengan model hubungan
antara Stimulus (S) dan Respon (R) dalam belajar. Maksudnya belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara Stimulus dan Respon (Slavin, 2000) 24. Menurut teori
ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa,
sedangkan respon merupakan rekasi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak
penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Keempat, teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu
hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada


perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu
apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
2. Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
3. Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya
menghafal tanpa pengertian penyajian

23
Ratna Yudhawati, S.Psi., M.Psi.,Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Prestasi
Pustakarya, 2011), h. 41
24
Slavin, Robert E, Educational Psychology, Theory and Practice, (Massachusets: Allyn & Bacon
Publishers), h. 44

31
Pada teori Humanistik ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada
manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori inilah yang paling abstrak dan
mendekati dengan dunia filsafat daripada dunia pendidikan.25

Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar,
dalam kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik
pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa
adanya, seperti apa yang kita amati dalam dunia keseharian. Belajar harus berhulu
dan bermuara  pada manusia itu sendiri.

Ide dasar lahirnya filsafat belajar konstruktivisme merupakan kritik terhadap


teori belajar Behaviorisme yang sangat mendominasi pada waktu itu. Secara umum
menurut teori Behaviorisme, orang yang belajar adalah orang yang belum memiliki
pengetahuan tentang sesuatu, oleh sebab itu para pengajar harus dapat mentransfer
pengetahuan kepada orang yang belajar. Namun, dari beberapa hasil penelitian
pendidikan sains pada tahun-tahun terakhir telah mengungkapkan bahwa pengetahuan
itu dibangun dalam pikiran seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut oleh
konstruktivisme. Maka proses pendidikan dalam pandangan ini perlu membangun
kemandirian anak untuk mengelola pola pikir secara terarah.

Asumsi dasar teori konstruktivisme tentang belajar adalah bahwa setiap orang
pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan atau bekal awal tentang sesuatu yang
akan dipelajari. Pembelajaran pada intinya adalah bagaimana mengembangkan atau
mengkonstruksi (membangun) pengetahuan atau bekal awal yang sudah dimiliki
tersebut menjadi sebuah pengetahuan baru dan utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat
Yatim Riyanto yang mengatakan bahwa tujuan pembelajaran konstruktivisme
ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang
menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong si belajar
untuk berfikir dan berfikir ulang lalu mendemostrasikannya.26

25
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Ibid, h. 13
26
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Ibid, h. 144

32
DAFTAR PUSTAKA

Ratna Yudhawati, S.Psi., M.Psi.,Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan,


PT Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2011

33
Dra. Eveline Siregar, Mpd. Teori Belajar dan Pembelajaran, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2011

Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru dalam Psikologi


Pembelajaran, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2008

Ratna Yudhawati, S.Psi., M.Psi.,Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan,


PT Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2011

Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru dalam Psikologi


Pembelajaran, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2008

Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Paradigma Baru Pembelajaran,


Kencana, Jakarta, 2009

Sutarjo Adisusilo, J.R., Pembelajaran Nilai Karakter, PT RajaGrafindo,


Jakarta, 2012

Dr. M. Sukardjo, Landasan pendidikan Konsep dan Aplikasinya, PT


RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009

34

Anda mungkin juga menyukai