PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siswa berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi kemampuan
/intelegensi, suku/ras, agama, kehidupan ekonomi dan social, latar belakang
keluarga, dan lain-lain. Perbedaan ini tidak seharusnya menjadi jurang perkembangan
siswa di sekolah, namun sebaliknya perbedaan ini membutuhkan penanganan khusus
dari guru baik secara klasikal, maupun individual. Guru diharapkan mampu
menciptakan kondisi lingkungan belajar yang kondusif, yang memungkinkan siswa
1
untuk bisa mengembangkan seluruh kemampuan/potensi yang ada dalam dirinya,
baik dari segi kemampuan intelegensi (IQ), emosional (EQ)siswa, dan spriritual (SQ)
Guru sebagai seorang pemimpin kelas, yang memiliki hak prerogative untuk
mengatur pembelajaran, memegang peran penting serta tugas dan tanggung jawab
yang berat. Bukanlah perkara mudah untuk mengatur seseorang bertindak sesuai
dengan yang kita inginkan, karena perbedaan yang kita miliki. Guru tidak bisa
sepenuhnya mengarahkan siswa, mengelola kelas untuk bertindak sesuai dengan
arahan guru. Ada siswa yang patuh, yang mau mengikuti petunjuk guru, dan
sebaliknya ada beberapa siswa (yang mungkin dalam jumlah kecil dari anggota kelas)
yang tidak mau mendengarkan/peduli dengan arahan guru dan tidak serius dalam
belajar. Hal-hal semacam ini tentu menjadi masalah bagi guru. Karena itulah sesuai
dengan amanah undang-undang, setiap guru hendaknya memiliki empat kompetensi,
keempat kompetensi inilah yang akan menjadi modal bagi guru untuk mengelola dan
melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Empat kompetensi tersebut adalah
kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi
professional.
2
Berdasarkan fenomena dan masalah-masalah ini, seorang pendidik seharusnya
memiliki pengetahuan lebih tentang berbagai cara yang dapat membantu siswa
belajar. Sesuai dengan perannnya sebagai fasilitator, seharusnya pendidik mengetahui
dan memfasilitasi cara yang mempermudah siswa untuk belajar, salah satunya dengan
memanfaatkan teori belajar. Dengan mengetahui teori belajar diharapkan dapat
membantu guru untuk mengembangkan potensi siswa, dan memberikan cara-cara
yang tepat untuk mengatasi perbedaan/keanekaragaman kemampuan, sifat dan
perilaku siswa dalam proses belajar. Oleh karena itu, mengingat begitu pentingnya
teori belajar bagi guru dalam pembelajaran, maka kami membuat makalah ini dengan
judul “Teori-teori Belajar dalam Perspektif Psikologi”
Dengan adanya teori belajar dan pembelajaran guru bisa memanfaatkan teori
belajar dan pembelajaran untuk menjadi guru yang professional. Misalnya dalam
merumuskan tujuan pembelajaran yang tepat, memilih strategi yang sesuai,
memberikan bimbingan atau konseling, memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta
didik, menciptakan iklim belajar yang kondusif, berinteraksi dengan siswa secara
tepat dan memberi penilaian secara adil terhadap hasil pembelajaran.
B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini secara
umum adalah untuk menjelaskan Teori-teori Belajar dalam Perspektif Psikologi.
3
C. Metode Penulisan
D. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan yang meliputi latar belakang, tujuan penulisan, metode dan
sistematika penulisan
Bab III Penutup yang berisi kesimpulan hasil pembahasan pada BAB II.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. TEORI BEHAVIORISME
Walaupun teori ini didukung oleh beberapa ahli dengan teorinya masing-
masing, namun secara umum terdapat prinsip-prinsip dan asumsi dasar yang sama,
khususnya terkait dengan belajar. Pertama, aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Seseorang dikatakan belajar jika terjadi
perubahan tingkah laku. Kedua, teori ini dalam memandang manusia hanya pada sisi
jasmaniah saja, sehingga mengabaikan aspek-aspek mental rohaniah seperti
2
kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam belajar. Ketiga, teori ini
dikenal dengan model hubungan antara Stimulus (S) dan Respon (R) dalam belajar.
Maksudnya belajar merupakan akibat adanya interaksi antara Stimulus dan Respon
(Slavin, 2000)3. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
1
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2008), h.19
2
Ratna Yudhawati, S.Psi., M.Psi.,Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Prestasi
Pustakarya, 2011), h. 41
3
Slavin, Robert E, Educational Psychology, Theory and Practice, (Massachusets: Allyn & Bacon
Publishers), h. 44
5
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon merupakan rekasi atau tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara
stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Keempat, teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah
laku tersebut.
6
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut:
7
diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan
binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan
manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia
berbeda dengan binatang.
8
c. Teori Operant Conditioning menurut Burrhus Frederic Skinner (1904-
1990)
Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar perlu
terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta
memahami respons yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang
mungkin akan timbul sebagai akibat dari respons tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai
alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah.
9
3. Pengaplikasian dalam Belajar Pembelajaran
10
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur
rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku
sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang
berada di luar diri pebelajar.
B. TEORI KOGNITIF
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar.
Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati,
11
melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain,
kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa
proses belajar terjadi karena ada varasziabel penghalang pada aspek-aspek kognisi
seseorang.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Teori Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang
hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan
psikolog perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan,
yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan
dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada
kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata-skema
tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan
perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan
informasi secara mental.
Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada
perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu
apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
2. Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
3. Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya
menghafal tanpa pengertian penyajian
12
Menurut Jean Piaget salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa
proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni: 1) asimilasi, 2) akomodasi,
dan 3) equilibrasi (penyeimbangan).5 Proses asimilasi adalah proses penyatuan
(pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam bentuk
siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam benak siswa.
Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi. Tanpa adanya proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi ini,
perkembangan kognitif seseorang akan tersendat dan berjalan tak teratur.
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori-motor tentu lain
dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua
(praoperasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap
yang lebih tinggi (operasional kongkret dan operasioanl formal). Secara umum,
semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak)
cara berpikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru seyogyanya memahami tahap-tahap
perkembangan anak didiknya ini, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan
jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
b. Ausubel (1968)
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut
”pengatur kemajuan (belajar)” (Advance Organizers) didefinisikan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepda siswa.7 Pengatur kemajuan belajar
5
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: Sinar Grafika
offset, 2008), h. 10
6
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Ibid, h. 11
7
Degeng I Nyoman Sudana, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel, (Jakarta: Proyek P2T Dirjen Dikti,
1989), h. 115
13
adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mancangkup) semua isi
pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Oleh karena itu, pengetahuan guru terhadap isi mata pelajaran harus sangat
baik. Hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi ,
yang menurut Ausubel ”sangat abstrak, umum dan inklusif”, yang mewadahi apa
yang akan diajarkan. Selain itu, logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin.
Tanpa memiliki logika berpikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah-milah
materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta
mengurutkan meteri demi materi ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah
dipahami.8
c. Brunner (1960)
14
memperlajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh-contoh itulah
siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata ”kejujuran”.
15
tampak sebagai perilaku belajar tentang suatu hal. Siswa adalah penentu terjadinya
atau tidaknya proses belajar.
16
pada motivasi, persepsi, kemampuan berfikir, pengetahuan awal dan
sebagainya.
C. TEORI HUMANISTIK
Pada teori Humanistik ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada
manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori inilah yang paling abstrak dan
mendekati dengan dunia filsafat daripada dunia pendidikan.10
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar,
dalam kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik
pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa
adanya, seperti apa yang kita amati dalam dunia keseharian.
Belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Meskipun teori
ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini
lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang
paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam
bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang
bisa kita amati dalam dunia keseharian.
10
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Ibid, h. 13
17
lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar
ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya dan bias dikatakan memanusiakan manusia.
2. Tokoh-tokoh Utama
a. Arthur Combs
Arthur Combs et al. (1974) menjelaskan bagaimana perserpsi ahli-ahli
psikologi dalam memandang tingkah laku. Untuk mengerti tingkah laku manusia,
yang terpenting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dati sudut
pandangannya11.
b. Maslow
c. Rogers
Rogers (1969,1983) adalah ahi psikologi humanistik yang mempunyai ide-ide
yang mempengaruhi pendidikan dan penerapannya. Melalui bukunya yang sangat
11
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 181-182.
18
populer Freedom to Learn and Freedom to Learn for the 80’s, dia menganjurkan
pendekatan pendidikan sebaiknya mencoba membuat belajar dan mengajar lebih
manusiawi, lebih personal, dan berarti.
Pendekatan Rogers dapat dimengerti dari prinsip-prinsip penting belajar
Humanistik yang diidentifikasikan sebagai sentral dan filsafat pendidikannya.
1) Keinginan untuk belajar (The Desire to Learn)
Rogers percaya manusia secara wajar mempunyai keinginan untuk belajar,
keinginan ini dapat dilihar dengan keingintahuan yang sangat dari seorang anak
ketika dia menjelajahi (meng-explore) lingkungannya. Keingintahuan anak yang
sudah melekat atau sudah menjadi sifatnya untuk belajar adalah asumsi dasar yang
penting untuk pendidikan humanistik.dalam pandangan humanistik, anak diberi
kebebasan untuk memuaskan keingintahuan merek, untuk menemukan diri mereka
sendiri, serta apa yang penting dan berarti tentang dunia yang mengelilingi mereka12.
Orientasi ini sangat berlawanan dengan kelas tradisonal, di mana guru atau
kurikulum menentukan apa yang harus siswa pelajari.
12
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 183-184.
19
Untuk Teori Humanistik, belajar akan paling signifikan dan meresap ketika
belajar itu atas inisiatifnya sendiri, dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran
si pelajar sendiri. Dengan memilih pengarahan dari orang yang sedang belajar sendiri,
akan memberi motivasi tinggi dan kesempata kepada siswa untuk belajar bagaimana
balajar. penguasaan mata pelajaran tidak diragukan lagi pentingnya, tetapi tidak lebih
penting daripada kemampuan untuk menentukan sumber, merumuska masalah,
menguji hipotesis dan menilai hasil belajar. Belajar atas inisiatif sendiri dengan
memusatkam perhatian siswa pada program belajar hasilnya amat baik.
5) Belajar dan berubah (Learning and Change)
Prinsip akhir bahwa Rogers telah mengidentifikasi bahwa belajar yang paling
bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar. Rogers mencatat bahwa siswa pada
masa lalu belajar satu set fakta ilmu statistic dan ide-ide. Dunia menjadi lambat untuk
berubah dan apa yang dipelajari di sekolah cukup untuk memenuhi tuntutan waktu.
Sekarang, perubahan adalah fakta hidup13.
Satu strategi yang disarankan rogers adalah memberi siswa dengan berbagai
macam sumber yang dapat mendukung dan membimbing pengalaman belajar mereka.
Sumber-sumber meliputi materi pengajaran yang biasam seperti buku, bimbingan
referensi dan alat-alat bantu listrik (misalnya kalkulator, komputer). Sumber dapat
juga meliputi oran, seperti anggota masyarakat yang mempunyai suatu bidang minat
atau ahli yang bersedia mengungkapkan pengalaman-pengalaman kepada siswa.
Guru-guru dapat juga sebagai sumber dengan pengetahuan dan pengalaman
keterampilang yang tersedia yntuk siswa jika diperlukan.
13
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 184-186
20
Strategi lain yang disarankan adalah perr-tutoring siswa yang mengajar siswa
lain. Banyak bukti yang menunjukkan bhwa pengalaman ini berguna untuk
keduanya, siswa yang mengajar maupun yang diajar.
Novel ini mengambil arti pribadi ketika siswa mulai berpikir bagaimana mereka
harus bereaksi terhadap suatu situasi yang sama.
14
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 181-182
21
2) Pendidikan terbuka (Open education)
Karena bingung akan apa yang terjadi sebenernya terlibat dalam pendidikan
terbuka, Welberg dan Thomas (1972) meninjau kepustakaan yang relevan pada
pendidikan terbuka, memecahnya ke dalam empat komponen, dan menudian
mencari sumber lain ke berbagai pendidikan terbuka yang terkemuka. Mereka
membuat delapan tema sebagai berikut.
1) Syarat-syarat belajar (Provisions for Learning)
Memanipulasi persediaan bahan perlajaran untuj memenuhi
keanekaragaman dan luasnya mata pelajaran. Anak-anak bergerak bebas
dikelas. Mendorong untuk bercakap-cakap. Tidak dipisahkan ke dalam
kelompok dengan menggunakan skor tes.
2) Manusiawi, hormat, terbuka, dan hangat (Humanness, Respect, Opennes, and
Warmth)
Menggunakan bahan pelajaran yang dibuat siswa. Guru berhadapan
dengan tingkah laku siswa yang berrmasalah dengan berkomunikasi dengan
anak tanpa melibatkan kelompok.
3) Mendiagnosis kejadian selama pelajaran
Siswa mengoreksi pekerjaan mereka sendiri. Guru nengobservasi dan
menanyakan pertanyaan. Secara individual. Tidak ada tes atau buku tugas15.
4) Pengajaran. Secara individual. Tidak ada tes atau buku tugas.
5) Penilaian
Guru mengambil catatan. Secara individual. Beberapa tes formal
6) Mencari kesempatan untuk menumbuhkan profesionalisme (Search for
Opportunitiess for Propessional Growth)
Guru menggunakan bantuan orang lain. Guru bekerja dengan teman
sejawat
7) Presepsi guru tentang dirinya (Self-Perception of Taecher)
Guru mencoba untuk menyompan semua presepsi tentang anak-anak di
dalam pengamatannya dan memonitor pekerjaan mereka.
15
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 188-189
22
8) Mengasumsikan anak-anak dan proses belajar (Assumption about children and
the Learning Process)
Suasana kelas hangat dan diterima. Anak-anak terlihat dengan apa yang
sedang mereka kerjakan
Walberg dan Thombs (1972) menemukan kelas terbuka berbeda dengan kelas
tradisonal pada empat dari delapan kriteria : syarat-syarat belajar, manusiawi,
diagnosis, pengajaran, dan penilaian16.
D. TEORI KONSTRUKTIVISME
Asumsi dasar teori konstruktivisme tentang belajar adalah bahwa setiap orang
pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan atau bekal awal tentang sesuatu yang
16
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikollogi Pendidikan,(Jakarta, 2006), h. 189-190
17
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
142
23
akan dipelajari. Pembelajaran pada intinya adalah bagaimana mengembangkan atau
mengkonstruksi (membangun) pengetahuan atau bekal awal yang sudah dimiliki
tersebut menjadi sebuah pengetahuan baru dan utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat
Yatim Riyanto yang mengatakan bahwa tujuan pembelajaran konstruktivisme
ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang
menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong si belajar
untuk berfikir dan berfikir ulang lalu mendemostrasikannya.18
18
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Ibid, h. 144
24
1. Belajar merupakan pencarian makna. Oleh sebab itu pembelajaran harus dimulai
dengan isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk secara aktif mengkonstruk
makna.
2. Pemaknaan memerlukan pemahaman bahwa keseluruhan (Wholes) itu sama
pentingnya seperti bagian-bagiannya. Sedangkan bagian-bagian harus dipahami
dalam konteks keseluruhan. Oleh karena itu, proses pembelajaran berfokus
terutama pada konsep-konsep primer dan bukan kepada fakta-faktanya.
3. Supaya dapat mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental
yang dipergunakan siswa terkait bagaimana cara pandang mereka tentang dunia
serta asumsi-asumsi yang disusun yang menunjang model mental tersebut.
4. Tujuan pembelajaran adalah bagaimana setiap individu mengkonstruksi makna,
tidak sekedar mengingat jawaban apa yang benar dan menolak makna orang lain.
Karena pendidikan pada fitrahnya memang antar disiplin, satu-satunya cara yang
meyakinkan untuk mengukur hasil pembelajaran adalah melakukan penilaian
terhadap bagian-bagain proses pembelajaran, menjamin bahwa setiap siswa akan
memperoleh informasi tentang kualitas pembelajarannya.
25
mata sebagai suatu proses pengaturan model mental seseorang untuk mengakomodasi
pengalaman-pengalaman baru.
2. Tokoh-tokoh Utama
26
sesuatu” . Ini berarti bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru
jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu, mungkin
beberapa kali da nada penerimaan dalam struktur kognitifnya, sebagai hasil proses
berpikirnya (proses of mind) tentang apa sesungguhnya sesuatu itu. Jadi sesuatu itu
telah diketahuinya karena telah dikonstruksikan dalam pikirannya. Sementara itu
sejumlah ahli lain berpendapat bahwa kontrktivisme sebagai salah satu bentuk
pragmatisme, oleh sebab itu dapat dima’lumi jika tokoh pragmatism, John Dewey
yang terkenal dengna konsep belajar dengna melakukan ( learning by doing),
dikategorikan sebagai ahli pendukung kontruktivisme.
27
dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut: (Suparno, 1997: 65-
66):20
a. Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinakan pesrta didik ikut
bertanggungjawab dalam membuat disain, proses dan penelitian. Maka
menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama
seorang pendidik.
28
anatar guru dan siswa, maka pesan pembelajaran akan dengan mudah
ditransformasikan ke benak siswa.21
21
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
153
22
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
146
29
Dari tujuan tentang konstruktivisme dalam pembelajaran, pada dasarnya ada
beberapa tujuan yang ingin diwujudkan anatara lain:
Konstruktivis bukan sebuah teori yang bersih dari kekurangan. Teori ini juga
terbatas pada ruang dan waktu dalam pengaplikasiannya. Ada beberapa kendala yang
mungkin timbul dalam penerapan teori ini.
BAB III
30
PENUTUP
Rangkuman
23
Ratna Yudhawati, S.Psi., M.Psi.,Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Prestasi
Pustakarya, 2011), h. 41
24
Slavin, Robert E, Educational Psychology, Theory and Practice, (Massachusets: Allyn & Bacon
Publishers), h. 44
31
Pada teori Humanistik ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada
manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori inilah yang paling abstrak dan
mendekati dengan dunia filsafat daripada dunia pendidikan.25
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar,
dalam kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik
pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa
adanya, seperti apa yang kita amati dalam dunia keseharian. Belajar harus berhulu
dan bermuara pada manusia itu sendiri.
Asumsi dasar teori konstruktivisme tentang belajar adalah bahwa setiap orang
pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan atau bekal awal tentang sesuatu yang
akan dipelajari. Pembelajaran pada intinya adalah bagaimana mengembangkan atau
mengkonstruksi (membangun) pengetahuan atau bekal awal yang sudah dimiliki
tersebut menjadi sebuah pengetahuan baru dan utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat
Yatim Riyanto yang mengatakan bahwa tujuan pembelajaran konstruktivisme
ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang
menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong si belajar
untuk berfikir dan berfikir ulang lalu mendemostrasikannya.26
25
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Ibid, h. 13
26
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Ibid, h. 144
32
DAFTAR PUSTAKA
33
Dra. Eveline Siregar, Mpd. Teori Belajar dan Pembelajaran, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2011
34