Anda di halaman 1dari 2

Komentar

Home Tekno Hunian

Pemerintah Gagal, Program Rumah Susun Terbengkalai!

Selasa, 2 April 2013 | 10:46 WIB

Perumnas.co.id

Perumnas berencana untuk segera membangun Rumah Susun Milik (Rusunami) Menara A4 dan A5 di
komplek Rusun Bandar Kemayoran, Jakarta Utara.

Editor: Latief

JAKARTA, KOMPAS.com - Macetnya program 1.000 tower rumah susun sederhana milik (rusunami)
bersubsidi setelah enam tahun digulirkan menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola
program rumah susun. Kemacetan program rumah susun (rusun) terutama terjadi di DKI Jakarta,
padahal kebutuhannya mencapai 60 persen dari total kebutuhan rusun bagi masyarakat menengah
bawah.

"Program rusun untuk masyarakat berpenghasilan rendah menunjukkan kegagalan kebijakan


Kementerian Perumahan Rakyat. Sangat disayangkan, program tersebut seperti dibiarkan berjalan tanpa
arah," ujar Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch di Jakarta, Senin (1/4/2013).

Undang-Undang Nomor 20/2011 tentang Rumah Susun, Pasal 72, mengamanatkan pemerintah untuk
membentuk atau menugasi badan pelaksana guna mewujudkan penyediaan rumah susun yang layak
dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hingga kini, badan pelaksana belum terbentuk.
Untuk itu, pemerintah perlu segera membentuk badan pelaksana dan bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap penyediaan dan pengelolaan hunian masyarakat berpenghasilan rendah.

Terhenti

Sejak 2010, pengembang menghentikan pembangunan proyek rumah susun sederhana milik bersubsidi
(rusunami) atau rumah sejahtera susun bersubsidi. Kendala regulasi, minimnya insentif, membuat
proyek rumah susun subsidi tidak lagi menarik minat pengembang.
Harga rumah sejahtera susun bersubsidi Rp 216 juta per unit. Rumah itu ditujukan bagi masyarakat
berpenghasilan maksimum Rp 5,5 juta per bulan.

Ali mengemukakan, pembangunan rumah susun bersubsidi seharusnya tidak diserahkan ke pihak swasta
karena akan menimbulkan masalah dalam penjualan. Hal ini terbukti dengan maraknya pengembang
menjual unit rusun bersubsidi dengan harga komersial atau nonsubsidi dengan alasan subsidi silang.

Sementara itu, patokan harga maksimum rumah susun bersubsidi terus naik, dari semula Rp 144 juta
per unit saat program diluncurkan tahun 2007, kini sudah Rp 216 juta per unit. Kenaikan harga itu
menyebabkan rumah susun semakin sulit terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Anggota Tim Pakar HUD Institute, Hari Nugraha Nurjaman, mengemukakan, pengembang saat ini
cenderung memilih apartemen nonsubsidi bagi masyarakat menengah bawah yang juga memiliki ceruk
pasar tinggi. Mereka tidak berharap banyak pada janji-janji pemerintah. (LKT)

Anda mungkin juga menyukai