Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini
juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan:
a. “Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan.
Juga bila dilihat dari sumpah/ janji dokter yang dinyatakan sebagaimana
telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 tahun
1951 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1951 Nomor 46) berbunyi
sebagai berikut:
Dalam hal Euthanasia indikasi medis untuk mencapai tujuan yang konkret
tidak ada, kecuali hanya menghentikan penderitaan rasa sakit. Dilakukan
menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran dapat
terpenuhi bila ada standar of procedure yang dibuatnya, dan untuk
persetujuan pasien dapat terjadi. Dengan demikian Euthanasia pasti
bertentangan dengan hukum.
Mungkin dari segi inilah sehingga beberapa ahli ada yang menerima satu
macam Euthanasia dan ada pula yang menerima kedua-duanya dengan
beberapa pertimbangan tertentu.
Kajian dan telaah dari sudut medis, etika dan moral maupun hukum oleh
masing-masing pakarnya, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk
pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan Euthanasia, tetapi
sebenarnya ternyata bukan Euthanasia, Oleh professor Leenen kasus-kasus
demikian ini akan disebut sebagai Psuedo-Euthanasia dan secara hukum tidak
dapat diterapkan sebagai Euthanasia, dalam bahasa Indonesia, mungkin
istilah yang tepat adalah Euthanasia semu.