Anda di halaman 1dari 11

A.

Euthanasia dalam Medikolegal

Ada dua masalah dalam bidang kedokteran/kesehatan yang berkatan dengan


aspek hukum yang selalu aktual untuk dibicarakan dari waktu ke waktu sehingga dapat
digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran, yaitu tentang Arbortus
provokatus dan Euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter disusun oleh Hippokrates (460-
377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan diingatkan, sampai kini, tetap saja persoalan
yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi dan diselesaikan dengan
baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak,
tindakan Arbortus provokatus dan Euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang
diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan
dengan hukum, moral dan agama. Kedua masalah ini setiap waktu dihadapai oleh
kalangan kedokteran dan masyarakat, bahkan diperkirakan akan semakin meningkat di
masa yang akan datang.

Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini
juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan:

1. Arbortus provocatus (Menggugurkan kandungan) :


Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah arbortus
provocatus ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang, dapat kita lihat dalam
pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut:.
“seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun”.
Disamping pasal 346 KUHP, masih banyak pasal-pasal lain yang
menyatakan bahwa abortus provocatus ini merupakan tindak pidana, misalnya
pasal-pasal 347, 348, dan pasal 349 KUHP. Walaupun abortus provocatus ini
merupakan perbuatan terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang
dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan, dan apabila perbuatan itu hanya
merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut.
Keputusan untuk melakukan abortus provocatus ini harus diambil
sekurang- kurangnya oleh dua dokter, dengan persetujuan tertulis dari pada
perempuan yang hamil dan suaminya, atau keluarga yang terdekat. Abortus jenis
inilah yang disebut sebagai: arbortus provocatus therapeuticus. Pelubang seorang
dokter dapat melakukan tindakan aborsi dan bersifat legal dilakukan oleh tenaga
kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten berdasarkan indikasi medis.
Persyaratannya adalah :
1) Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan teraputik.
2) Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompeten.
3) Dilakukan di tempat pelayanan kesehatan yang diakui oleh suatu otoritas
yang sah.
Dasar hukum aborsi adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan pasal 15:
“dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.
Kemudian dalam UU Kesehatan No.36 tahun 2009, dalam pasal 75 Ayat 1
dinyatakan dengan tegas bahwa “bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi”.
Ketentuan tentang larangan aborsi ini dikecualikan berdasarkan UU Kesehatan
No.36 tahun 2009 pasal 75 ayat 2, berdasarkan :

a. “Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan.

b. “Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis


bagi korban perkosaan. Di dalam rumusan Undang-undang Hukum Pidana,
aborsi dilarang dan dapat dikenai sanksi pidana, namun berdasarkan pasal 75
ayat (2) Undang- Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, perbuatan
aborsi mendapat pengecualian jika hal tersebut dilakukan dengan maksud
kedaruratan medis yang dapat mengancam jiwa si ibu, yang sesuai dengan
rumusan pasal tersebut. Dan tentunya hal tersebut harus dapat dibuktikan.
Dan bagaimana halnya dengan Euthanasia.

2. Euthanasia (Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan


pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi)
Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, bukan mustahil pasien
yang penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan itu, minta agar hidupnya
diakhiri saja. Begitu kira-kira penafsirannya, sampai sebegitu jauh, tidak semua
orang sejutu akan prinsip Euthanasia. Para dokter pun demikaian halnya. Pada
umumnya kelompok yang menentang, mengemukakan alasan yang bertitik tolak
dari segi religius. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang
dialami manusia memang dijadikan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia,
karena hal itu mengandung makna dan tujuan tertentu. Dengan demikian berarti
penderitaan seseorang dalam sakit yang di deritanya, walau bagaimanapun
keadaanya, memang sudah terjadi kehendak Tuhan oleh sebab itu, mengakhiri
hidup seseorang yang sedang menerima cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkan.
Argumentasi demikian tadi juga dikemukakan dalam penjelasan Kode Etik
Kedokteran Indonesia, Bab II, pasal 9, yang sekaligus juga mencermikan sikap
atau pandangan para dokter di Indonesia. Sebaliknya kelompok yang menyetujui
adanya Euthanasia itu, disertai argumentasi bahwa perbuatan demikian, terpaksa
dilakukan atas dasar prikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang
dialami oleh pasiennya, dan telah berulang kali minta kepadanya agar
penderitaanya diakhiri saja.
Pada kenyataanya, perdebatan tentang Euthanasia memang telah
diperkirakan oleh beberapa ahli, bersama beberapa masalah lain, yakni
transplantasi organ tubuh manusia, inseminasi buatan, sterilisasi, bayi tabung dan
arbortus provocatus (pengguguran kandungan). Perdebatan atau kontroversi
masalah-masalah tersebut lebih terfokus pada soal moralitas, etika maupun
hukumnya. Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat
akhir- akhir ini, ternyata tidak di ikuti dengan kemajuan dibidang hukum dan
etika.
“contemporary development have posed a whole series of new problem.
One could even say: if medicine is in of trouble because of too much change, law
is in trouble because of too little change”.
Tugas seorang dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama
manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-
kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap
dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemulyaan profesi dokter
tersebut tetap terjaga dengan baik. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter di
seluruh dunia, dan hampir tiap Negara telah mempunyai Kode Etik
Kedokterannya masing-masing. Pada umunya kode etik tersebut didasarkan pada
sumpah Hippocrates, yang dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan
Dokter se-Dunia di London bulan Oktober 1949 dan diperbaiki oleh Sidang ke-22
Himpunan tersebut di Sydney bulan agustus 1968.
Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para dokter berkeyakinan bahwa
suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas etik yang mengatur
hubungan antara manusia pada umumnya. Disamping itu harus memiliki akar-
akarnya dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam
masyarakat itu secara universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam
Declaration Of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se-
Dunia di genewa pada bulan September 1948, didalam deklarasi tersebut antara
lain dinyatakan sebagai berikut :
“I will maintain the utmost respect for human life from the time of
conception, eve under threat, I will not use my medical knowledge contrary to the
laws of humanity”.Khusus untuk di Indonesia, pertanyaan semacam ini secara
tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai
berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan Surat Keputusan Mentri
Kesehatan RI tentang: pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia,
tertanggal 23 Oktober 1969. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini dibuat
Bedasarkan Peraturan Mentri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus 1969 No.
55/WSKN/1969. Dalam Bab II pasal 9 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia
tersebut, dinyatakan bahwa:
“seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
makhluk insani”.Pada pasal ini yang mengharuskan seorang dokter untuk selalu
memberikan pelayanan kesehatan yang sebaik mungkin kepada si pasien yang
bersumber pada “Lafal sumpah dokter” (yang berlaku saat ini, hasil
penyempurnaan Rakernas MKEK tahun 2012) khusus lafal sumpah dokter pada
pasal ke-5,6,7, yakni:
1. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang
bertentangan dengan prikemanusiaan, sekalipun diancam.
2. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
3. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan si pasien, dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat.

Juga bila dilihat dari sumpah/ janji dokter yang dinyatakan sebagaimana
telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 tahun
1951 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1951 Nomor 46) berbunyi
sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji bahwa:

 Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;


 Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan
bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya
 Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur
jabatan kedokteran
 Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena
pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai Dokter
 Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan
 Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita saya akan berikhtiar
dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh
pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian
atau Kedudukan Sosial
 Saya akan memberikan kepada Guru-guru saya penghormatan dan
pernyataan terima kasih yang selayaknya
 Teman-sejawat saya akan saya perlakukan sebagai saudara kandung
 Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan
 Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan
Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum
perikemanusiaan
 Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan
mempertaruhkan kehormatan diri saya".

Dengan demikian, berarti di Negara manapun di dunia ini seorang dokter


mempunyai kewajiban untuk “menghormati setiap hidup insani mulai saat
terjadinya pembuahan”. Dalam hal ini berarti bahwa bagaimanapun gawatnya
sakit seseorang pasien, setiap dokter harus tetap melindungi dan
mempertahankan hidup pasien tersebut.

Dalam keadaan demikian mungkin pasien ini sebenarnya sudah dalam


keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam hubungan ini
dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban untuk selalu melindungi
hidup manusia, sebagaimana yang diucapkan dalam sumpahnya.

Dalam hal Euthanasia indikasi medis untuk mencapai tujuan yang konkret
tidak ada, kecuali hanya menghentikan penderitaan rasa sakit. Dilakukan
menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran dapat
terpenuhi bila ada standar of procedure yang dibuatnya, dan untuk
persetujuan pasien dapat terjadi. Dengan demikian Euthanasia pasti
bertentangan dengan hukum.

Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa


derita. Tetapi kemudian pengertian ini berkembang menjadi
pembunuhan/pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan
membiarkan seseorang seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy
death).
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) mengenai Euthanasia dalam 3
pengertian yakni:

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan,


untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Ketika Hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Kode Etik Kedokteran tentang proses dan Eksistensi Kematian pasien


Euthanasia. secara garis besar, Euthanasia dikelompokkan dalam dua
kelompok, yaitu Euthanasia aktif dan Euthanasia pasif. Pandangan yang
mengelompokan Euthanasia sebagai aktif dan pasif mendasarkan pada cara
Euthanasia itu dilakukan.

Menurut Kartono Muhammnad, Euthanasia aktif adalah suatu


tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan
suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti
saluran asam, melepas pemacu jantung dan sebagainya. Termasuk
tindakan mempercepat proses kematian disini adalah jika kondisi
pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan
adanya harapan hidup. Dengan kata lain tanda-tanda kehidupan masih
terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. Sedangkan
Euthansaia pasif, baik atas permintaan ataupun tidak atas permintan
pasien, yaitu, ketika dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja
tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang
hidup kepada pasien (catatan bahwa perawatan rutin yang optimal
untuk mendampingi/membantu pasien dalam fase terakhirnya
diberikan).

R. Soeprono dalam suatu diskusi panel tentang Euthanasia


mengatakan bahwa segala perbuatan dokter terhadap si sakit bertujuan
memelihara kesehatan dan kebahagiannya. Dengan sendirinya ia harus
mempertahankan dan menerima kehidupan manusia. Harus diingat,
meringankan penderitaan juga menjadi kewajiban seorang dokter.

Mungkin dari segi inilah sehingga beberapa ahli ada yang menerima satu
macam Euthanasia dan ada pula yang menerima kedua-duanya dengan
beberapa pertimbangan tertentu.

Terlepas dari benar atau tidaknya praktek Euthanasia telah terjadi


Indonesia, masalah ini penting dikaji untuk medapatkan solusinya sebab
sebagai Negara hukum, tentu saja ada konsekuensi pertanggungjawaban
terhadap suatu perbuatan yang dijalankan oleh setiap warga Negara atas dasar
profesinya. Pengertian tanggung jawab menurut kamus hukum adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, kalau suatu terjadi dapat
dilakukan penuntutan. Menurut Black Law Dictionery , istilah liability dapat
diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang terikat secara hukum atau
keadilan untuk melaksanakan sesuatu tindakan. Tanggungjawab hukum
tenaga kesehatan dimaksudkan sebagai keterkaitan tenaga kesehatan terhadap
ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya.

Kajian dan telaah dari sudut medis, etika dan moral maupun hukum oleh
masing-masing pakarnya, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk
pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan Euthanasia, tetapi
sebenarnya ternyata bukan Euthanasia, Oleh professor Leenen kasus-kasus
demikian ini akan disebut sebagai Psuedo-Euthanasia dan secara hukum tidak
dapat diterapkan sebagai Euthanasia, dalam bahasa Indonesia, mungkin
istilah yang tepat adalah Euthanasia semu.

Bentuk-bentuk Pseudo-Euthanasia diuraikan Leenen ialah diantaranya :

1. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati batang otak:Ialah


fungsi berpikir atau merasakan pada manusia dapat berlangsung jika
otak masih berfungsi. Walaupun pernapasan dan detak jantung masih
ada, namun jika otak tidak lagi berfungsi maka kehidupan secara
intelektual dan psikis/ kejiwaan telah berakhir. Mati otak menjadi
tanda bahwa seorang telah meninggal dunia dalam proses kematian.

2. Pasien menolak perawatan atau bantuan medik terhadap dirinya:


Undang-undang perdata telah mengatur tentang perikatan/perjanjian,
demikian pula syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut (pasal 1320).
Salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah kehendak bebas, artinya
perjanjian itu bebas dari paksaan, tipuan atau salah pengertian. Selain
itu suatu tindakan yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat
dikategorikan sebagai penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal
351 KUHP. Secara umum dapat dikatakan bahwa dokter tidak berhak
melakukan tindakan apapun terhadap pasien jika tidak diizinkan atau
dikehendaki oleh pasien tersebut.

3. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak


terlawan (force majure) :Hal ini diatur dalam pasal 48 KUHP. Misal si
suatu RS hanya ada 2 buah alat bantu napas (rispirator) yang telah
terpakai oleh pasien yang membutuhkan. Jika kemudian datang pasien
ketiga yang juga memerlukan respirator, dokter harus memilih kepada
siap respirator harus dipasang. Namun harus diingat bahwa dokter
tidak berhak melepaskan respirator dari kedua pasien pertama tanpa
izin.

4. Penghentian perawatan/ pengobatan/ bantuan medik yang diketahui


tidak ada gunanya lagi :Dengan demikian seorang dokter tidak
memulai atau meneruskan suatu perawatan/pengobatan, jika secara
medik telah diketahui tidak dapat diharapkan suatu hasil apapun,
walaupun langkah ini mengakibatkan kematian pasien. Penghentian
perawatan seperti ini tidak dimaksudkan untuk
mengakhiri/memperpendek hidup pasien, melainkan untuk
menghindari dokter bertindak diluar kompetensinya. Dapat dikatakan
bahwa langka tersebut mencegah terjadinya penganiyayaan terhadap
pasien, berdasarkan pasal 351 KUHP.

Kita di Indonesia, sebagai Negara yang ber-Agama dan ber-


Pancasila, percaya kepada kekuasaan mutlak daripada Tuhan Yang Maha
Esa. Segala sesuatu diciptakan-Nya, dan penderitaan yang dibebankan kepada
mahkluk manusia, ada arti dan maksudnya. Oleh sebab itu, dokter harus
mengerahkan segala kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan
penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhiri hidup dari pada
sesama manusia. Adalah tugas ilmu kedokteran membantu meringankan
penderitaan pasien, atau bahkan menyembuhkan penyakit selama masih
dimungkinkan. Pasien yang benar- benar menderita atas penyakitnya, sudah
menjadi tugas dokter untuk ikut membantu meringankan penderitaanya.
Walaupun kadang-kadang dari tindakan peringanan tersebut dapat
mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan (euthanasia
tidak langsung).

Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang


tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak
sebagai Tuhan (don’t play god). Medical ethics must be pro life, not pro
death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan,
bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life
judgers). Kiranya tidak memerlukan penjelasan lagi betapa permasalahan
sekitar Euthanasia bagi pihak yang terlibat adalah problematik yang
tampaknya tidak begitu saja dapat diatasi dan dilampaui. Penerapan
penyelenggara Euthanasia pada pasien-pasien terminal semata-mata
merupakan tindakan yang mengalir dari sumber rasa kemanusiaan yang
dalam dan demi menghormati keinginan orang lain. Keterlibatan emosionil
dokter merupakan satu-satunya alasan mengapa ia menyediakan diri
memberikan bantuan yang nyata kepada pasien yang dalam sakratul maut.

Namun bilamana ia cenderung bersikap positif terhadap


permintaan pasien seraya melakukan tindakan-tindakan aktif, maka diatas
kepalanya mengancam peristiwa tindak pidana. Ada pula sejumlah dokter
yang mengindahkan dan menjunjung tinggi pertimbangan-pertimbangan
keagamaan. Bagi mereka kehidupan adalah suci, anugrah Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang memberi dan mengambilnya kembali, suatu yang berada di luar
kekuasaan manusia.

Menghormati kehidupan insani juga dipompa ke dalam keyakinan


dokter sejak ia mengikuti pendidikan medisnya, secara berkesinambungan ia
belajar mengupayakan peningkatan kualitas dan kuantitas kehidupan.
Penyakit dan kematian adalah musuh-musuh. Suatu tindakan yang diarahkan
kepada kematian pada hakekatya tidak sejalan dengan jalur pemeriksaan
medis.

Anda mungkin juga menyukai