Anda di halaman 1dari 14

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM

DAN RELEVANSINYA BAGI AKTIVITAS BISNIS


DI DUNIA PENDIDIKAN PESANTREN:
STUDI KASUS PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR

Oleh:
K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A.

A. PENDAHULUAN

Bisnis merupakan suatu bidang kegiatan yang dilakukan manusia untuk


memperoleh laba guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Keuntungan atau laba
merupakan bagian penting, kalau tidak dikatakan sangat penting atau bahkan
terpenting, dalam berbisnis. Karena dengan adanya laba, kegiatan bisnis dapat
bertahan dan berkembang. Hal ini mendorong para pelaku bisnis untuk
memaksimalkan perolehan laba. Upaya maksimalisasi laba semacam ini
berpeluang memunculkan perilaku-perilaku bisnis yang tidak terpuji dan
menimbulkan krisis moral yang dapat merugikan banyak pihak. Kondisi ini
meninggalkan citra buruk bagi bisnis yang kemudian menyadarkan kalangan
tertentu mengenai perlunya bisnis memiliki aturan main di luar pakem bisnis itu
sendiri. Di sini pintu masuk terbuka bagi etika untuk menjadi unsur penting dalam
bisnis. Di sini pula etika memiliki posisi strategis untuk melakukan perubahan
secara mendasar bagi citra bisnis.
Etika merupakan suatu cabang filsafat yang membicarakan teori ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk berkaitan dengan perilaku manusia,
termasuk di dalamnya perilaku dalam berbisnis. Persoalan baik dan buruk ini
dapat dilihat secara obyektif maupun subyektif. Secara obyektif dikatakan bahwa
nilai suatu tindakan itu terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Sedangkan
pandangan yang subyektif mengatakan bahwa nilai perbuatan itu ditentukan oleh
pertimbangan subyek tertentu, baik individu, masyarakat, maupun agama.


Disampaikan dalam Seminar Nasional Sehari “Business Ethics and Enterpreneurship in
Islamic Perspective”, diadakan oleh Forum Pengembangan Ekonomi Islam (Islamic Economics
Development Forum), Fakultas Syariah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu, 26 Februari
2003, di Yogyakarta.

Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo.
Islam adalah agama yang sarat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang
mengatur perilaku hidup manusia; baik dalam bidang sosial, politik, hukum,
budaya, maupun ekonomi. Berdasarkan pada hal ini dan merujuk pada pandangan
bahwa Islam adalah agama yang sempurna, diyakini bahwa agama ini memiliki
prinsip-prinsip mengenai etika dalam bisnis. Karena itu tulisan ringkas ini akan
berusaha membahas tentang etika bisnis dalam Islam dengan merujuk pada
sekumpulan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam yang relevan dengan topik
pembahasan ini. Selanjutnya, setelah hal ini dilakukan, akan diuraikan secara
ringkas mengenai relevansi dan aplikasi etika tersebut dalam kegiatan bisnis di
dunia pendidikan, khususnya di pesantren yang dalam hal ini akan disajikan kasus
penyelenggaraan bisnis di Pondok Modern Darussalam Gontor.

B. ETIKA BISNIS DALAM ISLAM


Istilah “etika” seringkali dipandang identik dengan istilah “moral” dan keduanya
digunakan secara bergantian untuk merujuk kepada suatu maksud yang sama. Hal
ini dapat dipahami karena pada dasarnya, secara etimologis, keduanya memiliki
arti yang sama, keduanya bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat-istiadat.
Tetapi jika kita berusaha meletakkan garis pembeda antara keduanya, maka
“moral” adalah kumpulan aturan-aturan atau sistem norma-norma yang berlaku
dalam suatu masyarakat tertentu yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Berlakunya
sistem norma-norma itu setelah ia melalui proses penetapan dan pengesahan
bersama oleh masyarakat. Setelah ditetapkan dan disahkan, maka setiap orang
berusaha menginternalisasikan norma-norma tersebut sehingga ia menjadi norma
moral yang dilaksanakan secara sukarela untuk mengatur kehidupan pribadi dan
kehidupan bersama. Di sini terlihat bahwa moralitas lebih terkait dengan tingkah
laku konkrit dan moral lebih merupakan suatu produk jadi yang siap pakai yang
cenderung menutup diri dari kajian kritis. Berbeda dengan moral atau moralitas,
maka etika bekerja pada tataran teori dan ia merupakan suatu wilayah kajian
keilmuan yang justru membahas mengenai moral itu sendiri. Etika
mempersoalkan dan mengkaji secara kritis dan sistematik rumusan-rumusan
norma moral. Persoalan utama dalam wilayah etika adalah menemukan jawaban

2
tentang apa dan mengapa suatu perbuatan itu dianggap benar atau salah, baik
ataupun buruk.
Berbicara mengenai etika dalam perspektif Islam tidak dapat tidak kecuali
harus merujuk kepada sumber utama agama ini, yaitu wahyu dalam kedua
bentuknya: wahyu matluw (al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (al-Sunnah).
Dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam yang panjang terjadi perbedaan
pendapat antara berbagai paham mengenai batas penggunaan akal di hadapan
wahyu. Tulisan singkat ini tidak bermaksud membahas mengenai persoalan
hubungan antara akal dan wahyu dalam etika Islam serta tidak pula membicarakan
tentang tipologi etika Islam. Pembahasan dalam tulisan ini akan lebih diarahkan
pada pemaparan mengenai prinsip-prinsip etika Islam yang relevan dengan
kegiatan ekonomi bisnis yang boleh jadi akan merujuk kepada suatu pola tertentu
dalam hubungan antara akal dan wahyu ataupun juga masuk dalam atau lebih
cenderung kepada suatu kategori tertentu dari tipologi etika dalam Islam.
Dalam al-Qur’an dan Sunnah banyak ditemukan kata atau ungkapan yang
terkait secara langsung dengan aktivitas bisnis, di antaranya untuk menyebut
sebagai contoh adalah: bai’, hirfah, isytara, kail, kasb, mihnah, mudarabah,
muzara’ah, qardl, shina’ah, tijarah, dll Ini menunjukkan perhatian Islam
mengenai aspek kehidupan ini. Islam memberikan seperangkat nilai yang menjadi
landasan bagi setiap usaha yang dilakukan oleh umatnya dalam menempuh
kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan mengenai bisnis,
sebagaimana akan diuraikan berikut ini.

1. Prinsip `Ibadah
`Ibadah merupakan alasan terpenting dari penciptaan manusia di bumi ini
(Q.S. 51:56). Secara mendasar `ibadah adalah pengabdian dan penghambaan
diri dari seorang `abd (hamba) kepada Sang Ma’bud (Allah SWT). Dalam
pengertian ini `ibadah meliputi seluruh kegiatan manusia dalam hidup di
dunia ini, termasuk di dalamnya adalah kegiatan-kegiatan “duniawi” sehari-
hari, jika kegiatan tersebut dilakakukan dengan sikap batin serta niat
pengabdian dan pengahambaan diri kepada Allah SWT. Pengertian ini
menunjukkan bahwa `ibadah bukanlah semata-mata praktek-praktek ritual

3
formal keagamaan sebagaimana biasa disebut dengan istilah `ibadah mahdah.
`Ibadah di sini ini mencakup suatu bidang kegiatan yang sangat luas dari
seorang hamba yang dilakukan dengan niat mengabdi dan memperoleh rida
Allah SWT. Tidak terkecuali di dalamnya kegiatan-kegiatan yang biasa
disebut sebagai bersifat duniawi, semisal berbisnis.
Beribadah adalah suatu hal yang fitri bagi manusia; yaitu sesuatu yang
secara inheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan alam kejadian
asalnya sendiri. Ibadah merupakan simbol pengagungan seorang hamba
kepada Penciptanya serta pernyataan penerimaan hamba itu akan tuntutan
moral-Nya. Melalui ibadah seorang hamba berharap bahwa Tuhannya akan
menolong dan membimbingnya menempuh jalan menuju kebenaran.
Dalam pancaran prinsip etika ini, suatu kegiatan bisnis dalam berbagai
bentuknya hendaklah diniatkan tidak semata-mata untuk bisnis, tetapi untuk
sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada sekadar bisnis itu sendiri.
Yaitu untuk beribadah mencari rida Allah SWT. Bisnis dalam pengertian ini
tidak hanya berdimensi material, tetapi juga berdimensi spiritual dengan
mengikuti tata cara dan norma-norma yang telah ditetapkan oleh syariat-Nya.
Artinya bisnis itu diikatkan pada prinsip ilahiah dan pada tujuan ilahi.

2. Prinsip Khilafah
Manusia adalah khalifah Allah di bumi yang ditugaskan untuk memelihara
dan memakmurkan kehidupan di bumi (Q.S. 2:30, 38:26, 7:129, 24:55). Agar
misi kekhalifahan ini dapat diemban secara efektif, manusia diberkahi dengan
semua kelengkapan spritual dan mental, juga sumber-sumber material.
Manusia diberi kemampuan untuk mengubah dirinya, masyarakatnya, dan
alam sekitarnya untuk mewujudkan kehendak Allah SWT. Demikian pula
Allah SWT telah menjadikan manusia dan alam sekitarnya siap untuk
menerima perlakuan dan pengelolaan oleh manusia. Alam telah dijadikan
mungkin untuk dibentuk, diolah, dan diubah sesuai dengan kehendak manusia
(Q.S. 14:32-33, 16:12, 22:65, 31:20, 45:12-13).
Dalam mengemban tugas sebagai khalifah ini manusia bebas untuk
berpikir dan menalar, bebas untuk memilih antara benar dan salah, baik dan

4
buruk, serta bebas mengubah kondisi hidup, masyarakat, dan perjalanan
sejarahnya. Kebebasan ini penting karena manusia akan dimintai
pertanggungjawaban untuk misi dan tugas yang diembannya itu.
Prinsip ini penting untuk diaplikasikan dalam bidang bisnis; sebuah bidang
yang tak dapat dipungkiri merupakan salah satu aspek penting dari upaya
untuk memelihara dan memakmurkan kehidupan di bumi. Menjalankan roda
bisnis adalah juga berarti menjalan misi dan tugas kekhalifahan. Artinya bisnis
itu tidak hanya berdimensi material fisikal, tetapi ia juga berdimensi moral
spiritual. Pertanggungjawaban bisnis tidak hanya berhenti pada kehidupan
dunia, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Berbisnis dengan
didasarkan pada kesadaran etis semacam ini akan menghindarkan pelaku
bisnis dari perilaku-perilaku yang menyimpang dan merugikan.

3. Prinsip `Adalah
`Adalah bermakna keadilan. Untuk makna keadilan dengan berbagai
nuansanya al-Qur’an juga menggunakan istilah qisth, wasth, juga mizan.
Tercatat tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda-beda dalam al-
Qur’an yang memuat gagasan tentang keadilan; baik langsung maupun tidak
langsung. Semua pengertian dari berbagai kata itu bertemu dalam suatu ide
umum sekitar “sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur”. Ciri
pertengahan dan keseimbangan dalam Islam tercermin dalam pandangan Islam
tentang keseimbangan antara dunia dan akhirat, iman dan amal, ibadah dan
mu’amalah, jasmani dan ruhani, akal dan hati, pikir dan zikir, individu dan
masyarakat, dll.
Penerapan prinsip ini dalam bidang ekonomi dan bisnis dapat dilihat dari
sikap pertengahan Islam terhadap individu dan masyarakat; tidak menganiaya
masyarakat, terutama yang lemah, dan tidak pula menganiaya hak-hak dan
kebebasan individu. Tidak menolak dunia, tetapi tidak juga menjadikannya
sebagai tujuan. Tidak membolehkan hidup bermewah-mewah, dan tidak pula
menganjurkan hidup miskin. Tidak membolehkan sikap israf (berlebih-
lebihan) dan tabzhir (boros), juga tidak memboleh sikap bukhl (kikir) dan

5
tamak kepada harta. Penerapan prinsip keadilan ini akan dapat menghapuskan
berbagai kesenjangan dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

4. Prinsip Shidq
Shidq berarti jujur, lawannya adalah kidzb yang berarti bohong. Bersikap
jujur itu berarti bersikap obyektif dan apa adanya. Imam Ghazali menyebutkan
bahwa istilah shidq (jujur) digunakan dalam enam pengertian: jujur dalam
perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur dalam kemauan dan tekad,
jujur dalam memenuhi tekad, jujur dalam perbuatan, jujur dalam menjalankan
ajaran-ajaran agama. Jujur ini merupakan nilai yang penting yang diajarkan
oleh Islam dalam kaitannya dengan kegiatan bisnis. Nabi SAW, sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, pernah berjalan di pasar dan melihat seorang
penjual gandum. Beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam gandum itu dan
mendapati tangannya basah. “Wahai penjual (gandum), apa yang terjadi pada
gandum ini?”, tanya Nabi SAW. Orang itu menjawab: “Gandum itu basah
terkena hujan.” Nabi SAW bersabda: “Mengapa kamu tidak meletakkan
gandum yang basah itu di bagian atas agar pembeli tahu? Orang yang menipu
bukanlah golongan kami.”
Masih banyak lagi riwayat mengenai kejujuran ini. Di antaranya adalah:
“…Seorang Islam itu tidak dibenarkan menjual suatu barang kepada orang
lain jika barang itu ada cacatnya dan tidak memberitahukan cacatnya itu.”
Diriwayatkan dalam hadis lain bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pembeli
dan penjual mempunyai kebebasan untuk membatalkan urusan jual beli
sehingga mereka bersepakat satu dengan lainnya. Jika mereka bersikap jujur
dan benar, jual beli itu akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Jika
mereka tidak berterus terang dan berbohong, maka kebaikan perjanjian jual
beli tiu akan terhapus.”

5. Prinsip Amanah
Amanah berarti dapat dipercaya. Prinsip ini terkait erat dan melengkapi
prinsip shidq yang dijelaskan sebelumnya. Amanah merupakan norma moral
Islam yang berhubungan dengan bidang-bidang yang luas, mulai soal-soal

6
pemerintahan dan kepemimpinan sampai pada pengelolaan harta agama dan
soal utang-piutang (Q.S. 33:72, 4:85, 8:27, 23:8, 7:32). Lebih lanjut, amanah
merupakan dasar bagi ketahanan masyarakat, kestabilan negara, kekuasaan
dan kehormatan. Dalam bidang ekonomi, amanah berarti mengembalikan
setiap hak kepada pemiliknya baik sedikit maupun banyak, tidak mengambil
lebih banyak dari yang ia miliki, dan tidak mengurangi hak orang lain baik
berupa hasil penjualan, fee, jasa, ataupun upah.

6. Prinsip Ihsan
Secara harfiyah ihsan berarti kebaikan (Q.S. 16:90, 55:60, 2:84, 2:178, 2:229,
4:62: 9:100, 46:15) . Dalam makna luas ihsan mencakup tingkah laku yang
baik, jujur, bersikap simpati, bekerjasama, pendekatan yang
beperikemanusiaan dan ikhlas, mementingkan orang lain, menjaga hak orang
lain, memberikan sesuatu kepada orang lain walaupun melebihi yang
sepatutnya diterima oleh seseorang itu dan berpuas hati dengan sesuatu
walaupun nilainya kurang dari yang semestinya. Dengan pengertian ini ihsan
dapat dipandang melebihi `adl. Jika keadilan dianggap sebagai dasar dari
kehidupan bermasyarakat, maka ihsan adalah keindahan dan pelengkapnya.
Jika keadilan dapat menyelamatkan masyarakat dari gejala yang tidak sehat
dan kejahatan, ihsan akan menjadikan kehidupan manusia lebih mesra dan
harmoni. Dalam hal berusaha, ihsan tidak hanya memerintahkan untuk
bekerja, tetapi memerintahkan bekerja dengan lebih baik, lebih tekun, dan
lebih sungguh-sungguh, serta lebih inovatif. Prinsip ihsan ini memiliki
dimensi sosial yang sangat kental. Suatu kegiatan bisnis yang dijalankan
dengan prinsip ini akan menghasilkan pelayanan atau pertolongan yang
mengatasi kepentingan diri sendiri. Prinsip ini juga akan mendorong pelaku
bisnis untuk bekerjasam dengan pihak lain untuk kebaikan masyarakat dan
dalam masa yang sama ia juga dapat menikmati keuntungannya.

7. Prinsip Ta`awun
Prinsip ta`awun ini berarti kerjasama saling tolong menolong, yaitu suatu
proses yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk saling membantu dan bahu

7
membahu dalam suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Ta`awun
merupakan prinsip moral yang diperintahkan dalam Islam. Tentu saja yang
diperintahkan di sini adalah ta`awun dalam kebajikan dan ketakwaan, bukan
dalam melakukan perbuatan dosa dan perbuatan yang melampui batas (Q.S.
5:2). Kerjasama yang dilakukan dalam bidang bisnis juga harus mengacu
kepada kerjasama untuk mewujudkan kebajikan dan ketakwaan, bukan yang
sebaliknya.

Demikianlah pemaparan beberapa prinsip moral dan etis Islam yang


relevan dengan dunia bisnis. Penerapan prinsip-prinsip moral yang komprehensif
yang tidak hanya terbatas pada aspek materi, tetapi juga mencakup wilayah
spiritual tersebut, memungkin pelaku bisnis untuk menghindarkan diri dari
praktek-praktek bisnis yang tidak terpuji yang dapat merugikan pihak lain.

C. APLIKASI ETIKA BISNIS ISLAM DALAM PENYELENGGARAAN


USAHA-USAHA EKONOMI DI PONDOK MODERN DARUSSALAM
GONTOR: PERSPEKTIF PANCA JIWA

Secara umum pesantren atau pondok bisa didefinisikan sebagai “lembaga


pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai sentral figurnya dan masjid
sebagai titik pusat yang menjiwainya.” Definisi ini menunjukkan bahwa inti dari
dunia pesantren adalah pendidikannya. Pendidikan di dunia pesantren yang
berlangsung 24 jam dengan sistem asrama semacam itu tentu saja mencakup suatu
bidang yang sangat luas, tidak terbatas pada pendidikan intelektual saja, tetapi
juga meliputi aspek-aspek spiritual, moral-emosional, sosial, dan termasuk juga
aspek pendidikan fisik.
Pondok Modern Darussalam Gontor, atau lebih populer disebut Pondok
Gontor, adalah salah satu dari sekian banyak pondok yang terdapat di negeri ini.
Pondok Gontor didirikan pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 1345/20 September
1926 oleh tiga bersaudara yang dikenal dengan sebutan “Trimurti”, mereka adalah
K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi. Saat ini
dipimpin oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A., K.H. Hasan Abdullah Sahal,

8
dan K.H. Drs. Imam Badri. Sejak tahun 2002 Pondok Gontor telah memiliki 7
cabang yang berlokasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan di Sulawesi Tenggara.
Pondok Modern Gontor memberikan perhatian yang serius terhadap
berbagai upaya mandiri untuk mencukupi segala sarana dan prasarana serta
berbagai kebutuhan lain demi berlangsungnya proses pendidikan dan pengajaran
di dalamnya. Usaha-usaha ini kemudian dilembagakan menjadi sebuah yayasan
pada tanggal 18 Maret 1959 dengan nama Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan
Wakaf Pondok Modern (YPPWPM).
Upaya mewujudkan jiwa mandiri itu dilakukan dengan membuka berbagai
unit-unit usaha; baik yang ditangani oleh santri-santri yunior yang tergabung
dalam Koperasi Pelajar OPPM dan Gerakan Pramuka, maupun yang ditangani
oleh santri senior (guru) yang tergabung dalam Koperasi Pondok Pesantren
(Kopontren) dengan nama “Koperasi La-Tansa Pondok Modern Gontor”.
Berikut ini adalah unit-unit usaha yang dikelola oleh para guru menurut
tahun berdirinya:

No Jenis Usaha Berdiri Th. Lokasi


1 Penggilingan Padi 1970 Gontor
2 Percetakan Darussalam 1983 Gontor
3 Usaha Kesejahteraan Keluarga 1986 Gontor
(UKK)
4 Toko Bahan Bangunan 1988 Bajang
5 Toko Buku 1989 Ponorogo
6 Toserba mini 1997 Ponorogo
7 Toko Palen I 1990 Ponorogo
8 Toko Palen II 1994 Bajang
9 Kedai Bakso I 1990 Ponorogo
10 Kedai Bakso II 1997 Ponorogo
11 Photo Copy dan Alat Tulis I 1990 Bajang
12 Apotik 1991 Ponorogo
13 Wartel I 1991 Gontor
14 Wartel II 1999 Gontor
15 Pabrik Es Balok 1996 Gontor
16 Pusat Perkulakan 1997 Gontor
17 Jasa Angkutan 1998 Gontor
18 Pasar Sayur 1998 Gontor
19 Kredit Usaha Tani 1998 Ponorogo
20 Budidaya Ayam Potong 1999 Siman
21 Photo Copy dan Alat Tulis II 1999 Gontor

9
Sedangkan unit usaha atau koperasi yang di dikelola oleh siswa yang
tergabung dalam Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM) dan Gerakan
Pramuka Pondok Modern Gontor, antara lain: 1) Koperasi Pelajar, 2) Koperasi
Warung Pelajar, 3) Fastfood, 4) Kantin/Kafetaria, 5) Kafe, 6) Koperasi Dapur, 7)
Toko obat-obatan, 8) Kedai Potokopi, 9) Kedai Potografi, 10) Kedai Perlengkapan
Pramuka dan benda-benda pos, dan 11) Kedai Binatu.
Di samping unit-unit usaha ini, Pondok juga mendirikan usaha sosial
berupa Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat dan Wisma Darussalam, yang
terakhir ini menyediakan sarana untuk diklat dan penginapan. Usaha-usaha lain
yang dilakukan pondok adalah pertanian dan perkebnunan di tanah-tanah milik
Pondok.
Keberadaan berbagai unit usaha ini di atas segalanya adalah merupakan
salah satu sarana untuk mendidik santri. Ini sejalan dengan falsafah pendidikan di
Pondok ini yang berbunyi: “segala yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami
santri adalah untuk pendidikan”. Pendidikan merupakan alasan utama
diselenggarakannya berbagai usaha di bidang ekonomi. Hal ini dapat dipahami
dari dua sisi: pertama pendirian berbagai unit usaha itu dilakukan untuk
mendidikkan ajaran dan nilai-nilai Pondok kepada para santri; kedua usaha-usaha
ini merupakan upaya untuk menjaga kelangsungan proses pendidikan dan
pengajaran di Pondok dengan menyediakan sumber dana secara mandiri.
Dengan demikian perilaku para pelaku bisnis di Pondok Gontor didasari
oleh jiwa, nilai, falsafah, dan moto pendidikan dan pengajarannya yang bersumber
pada ajaran-ajaran Islam dan nilai-nilai keindonesiaan yang dipadukan secara
sedemikian rupa.yang memungkinkannya untuk diaplikasikan dalam
penyelenggaraan kegiatan bisnis di Pondok ini. Berikut akan dijelaskan secara
singkat beberapa prinsip moral bisnis di Pondok Modern Gontor dengan
menggunakan perspektif Panca Jiwa Pondok, yaitu lima jiwa yang mendasari
seluruh kehidupan di Pondok, termasuk kehidupan dalam bidang ekonomi. Panca
Jiwa tersebut adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah
Islamiyah, dan jiwa bebas.

10
1. Keikhlasan
Ikhlas berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong
oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu. Pekerjaan-pekerjaan
dilakukan dengan niat semata-mata ibadah, lillah. Kyai dan para guru ikhlas
dalam mendidik, santri ikhlas dididik dan mendidik diri sendiri. Dalam
kaitannya dengan mengurus, mengelola, dan mengembangkan unit-unit usaha,
para guru dan santri melakukannya bukan dengan niat memperoleh
keuntungan pribadi, tetapi itu dilakukan dengan suatu niat yang lebih mulia,
yakni untuk memperjuangkan kelangsungan hidup Pondok sebagai lembaga
penyelenggara pendidikan dan pengajaran. Para pelaku bisnis yang terdiri dari
para siswa tidak menerima gaji sama sekali, sedangkan para pengolal unit
usaha yang terdiri dari para guru tidak memperoleh imbalan berdasarkan
posisi mereka dalam struktur keorganisasian bisnis yang ada. Para pelaku
bisnis yang terdiri dari para guru itu memperoleh imbalan yang disebut
“ihsan.” Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa ihsan, di samping berarti
memberikan sesuatu kepada orang lain walaupun melebihi yang sepatutnya
diterima oleh seseorang itu, ia juga berarti berpuas hati dengan sesuatu
walaupun nilainya kurang dari yang semestinya. Para pelaku bisnis yung
terdiri dari para guru itu menyadari betul tentang makna dari pekerjaan yang
mereka lakukan, bahwa perilaku bisnis itu bukanlah bersifat material duniawi
semata, tetapi lebih dari itu ia berdimensi spiritual ukhrawi. Dalam pancaran
jiwa keikhlasan ini timbul kesadaran mengenai prinsip-prinsip bahwa:
a. Pondok adalah lapangan perjuangan, bukan tempat mencari
penghidupan.
b. Berjasalah tetapi jangan minta jasa.
c. Perjuangan itu memerlukan pengorbanan: bondo, bahu, pikir, lek
perlu sak nyawane.
d. Hidupilah Pondok tetapi jangan menggantungkan hidup kepada
Pondok.
e. Kemaslahatan Pondok di atas kemaslahatan pribadi
f. Pondok perlu dibantu, dibela, dan diperjuangkan

11
2. Kesederhanaan
Kehidupan di dalam pondok diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana
tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru
dalam kesederhanaan itu terdapat nilai-nilai kewajaran, keseimbangan,
kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan penguasaan diri dalam menghadapi
perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani
maju, dan pantang mundur dalam segala keadaan.
Relevansinya dengan pengelolaan bisnis di lembaga pendidikan ini adalah
bahwa perilaku bisnis dijalankan secara wajar dan seimbang, kewajaran dan
keseimbangan antara produksi dan konsumsi, kewajaran dan keseimbangan
antara suplay dan demand, kewajaran dan keseimbangan antara daya jual
dengan daya beli masyarakat konsumen setempat. Para santri dan guru hidup
dalam suasana kesederhanaan, sederhana dalam makan, minum, berpakaian,
dan bertingkah laku. Tidak hidup mewah, tetapi juga tidak kekurangan. Para
guru yang berkeluarga pun hidup dalam standar kesederhanaan, kewajaran,
dan kepantasan dengan lingkungan sosialnya.

3. Kemandirian
Kemandirian ini berarti kesanggupan menolong diri sendiri. Hal ini tidak saja
dalam arti bahwa Pondok mendidik santri untuk sanggup mengurus segala
kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri—sebagai lembaga
pendidikan—juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah
menyandarkan kelangsungan hidupnya kepada bantuan atau belas kasihan
pihak lain.
Dalam kaitannya dengan perilaku bisnis, prinsip kemandirian ini tidak
berarti mengisolasi diri dari dunia bisnis di luar pesantren, karena jelas hal itu
tidak mungkin dan akan merugikan. Kemandirian berarti tidak bergantung
kepada (bukan tidak bekerjasama dengan) pihak lain dalam penyedian modal,
tenaga kerja, dan barang, serta dalam mencari pasar. Kebergantungan kepada
pihak lain akan berakibat hilangnya kemandirian dan membuka peluang
intervensi yang dapat memaksakan kemauan.

12
4. Ukhuwwah Islamiyah
Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang rukun dan
akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan
persaudaraan keagamaan. Ukhuwwah ini bukan saja selama mereka di dalam
Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan umat dalam masyarakat
sepulang para santri itu dari Pondok.
Ukhuwwah Islamiyah ini merupakan modal penting bagi para pelaku
bisnis, karena ia menjadi dasar dari upaya kerjasama yang diperlakukan dalam
menjalankan roda bisnis. Sebagaimana disinggung di atas, bahwa pelaku
bisnis tidak bisa mengisolasi diri, kecuali dia tidak menghendaki kemajuan
untuk usahanya itu. Di Gontor, unit-unit usaha yang ada melakukan kerjasama
dengan berbagai pihak untuk berbagai kepentingan misalnya dalam produksi
dan penyediaan barang dan dalam manajemen.

5. Kebebasan
Kebebasan ini berarti bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam
menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas
dari berbagai pengaruh negatif dari luar. Tentu saja kebebasan ini adalah
bebas di dalam garis-garis disiplin yang positif, dengan penuh tanggungjawab;
baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam
kehidupan masyarakat.
Kebebasan dalam perilaku bisnis di Pondok ini tercermin antara lain pada
kebebasan dalam memproduksi dan menyediakan barang, kebebasan dalam
menentukan harga, kebebasan dalam mencari pasar, dan kebebasan dalam
melakukan perjanjian.

D. PENUTUP
Sebelum mengakhir tulisan singkat ini perlu disampaikan bahwa Pendirian aneka
usaha dan koperasi, yang berada di lingkungan masyarakat, ini juga merupakan
upaya peran aktif Pondok yang kongkrit dalam pembinaan dan pemberdayaan
masyarakat di bidang ekonomi.
Demikianlah dan semoga bermanfaat. Wallahu a`lam bi al-shawab.

13
BACAAN:

Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1995.

Chapra, M. Umar. Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi


Kontemporer. Nur Hadi Ihsan dan Rifqi Amar (penerjemah). Surabaya:
Risalah Gusti, 1999

Al-Faruqi, Ismail Raji. Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Herndon
Virginia: IIIT, 1982.

Al-Ghazali, al-Imam. Ihya’ Ulumuddin. Badawi Thabanah (ed.) Kairo: Dar Ihya’
al-Kutub al-`Arabiyah,

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kamanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 1992.

Majid, Fakhry. Etika dalam Islam. Zakiyuddin Baidhawy (penerjemah).


Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pusat Studi Islam
UMS, 1996.

Muhammad dan Lukman Fauroni. Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis.
Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.

Rahardjo, M. Dawam. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Tiara


Wacana, 1990.

Rahman, Budhy Munawar (editor). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam


Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

Siddiq, M. Nejatullah. Perusahaan Ekonomi dalam Islam. Md. Sharit Bharuddin


dan Akibah Abu Hassan (penerjemah). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 1988.

Gontor, 25 Februari 2003

14

Anda mungkin juga menyukai