Anda di halaman 1dari 65

PERANAN ARAB SAUDI

DALAM DAKWAH DAN PENDIDIKAN


DI INDONESIA

Oleh :
KH. ABDULLAH SYUKRI ZARKASYI, MA
(Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo)

Disampaikan dalam rangka menyambut


100 TAHUN BERDIRINYA KERAJAAN ARAB SAUDI
1
Daftar Isi

A. Pendahuluan
B. Sejarah Berdirinya Kerajaan Arab Saudi
C. Peranan Arab Saudi dalam Penyebaran Islam ke Indonesia (Nusantara)
D. Peranan Arab Saudi Sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan Islam
1. Hubungan Dunia Arab dengan Indonesia
2. Haramain Sebagai Pusat Penyebaran Ilmu Pengetahuan Islam ke Indonesia
3. Pusat-pusat Studi di Arab Saudi Dewasa Ini
4. Lembaga Pendidikan di Indonesia yang Didirikan oleh Para Ulama yang
Pernah Belajar di Haramain
a. Di Sumatra
b. Di Jawa
c. Di Jakarta
d. Di Sulawesi
5. Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab Saudi (LIPIA)

E. Pengaruh Kebangkitan Gerakan Salafiyah di Arab Saudi terhadap Umat Islam


Indonesia
1. Situasi Keagamaan Dunia Arab Menjelang Era Kebangktian Gerakan
Salafiyah.
2. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab: Tokoh Kebangkitan Kembali Gerakan
Salafiyah.
3. Kebangkitan Gerakan Salafiyah di Indonesia
a. Gerakan Salafiyah di Kerajaan Mataram (Islam), Jawa
b. Gerakan Paderi di Minangkabau
c. Muhammadiyah
d. Al-Irsyad

F. Penutup
Sumber Tulisan

2
PERANAN ARAB SAUDI
DALAM DAKWAH DAN PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA

Oleh: K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A.


(Pimpinan pondok Modern Gontor Ponorogo)

Arab Saudi adalah sebuah negara kerajaan terbesar di Semenanjung Arab; yakni

menempati hampir sembilan persepuluh Semenanjung itu. Di sebelah utara berbatasan

dengan Kuwait dan Irak; di timur berbatasan dengan Teluk Persia, Qatar, dan Emirat

Arab; berbatasan dengan Oman di tenggara; Yaman di selatan; Laut Merah di barat;

dan berbatasan dengan Yordania di barat laut. Luas negeri ini 2.240.000 km2, dengan

jumlah penduduk lebih kurang 15 juta, dan beribukota Riyadh.

Penduduk negeri ini hampir seluruhnya beragama Islam. Mereka keturunan

bangsa Semit yang telah mendiami kawasan ini sejak ribuan tahun silam. Sebagian

besar penduduk tinggal di kota-kota. Selain ibukota Riyadl, kota-kota penting lainnya

adalah Mekkah, Madinah, Jeddah, dan Dahran.

Arab Saudi memiliki peranan sangat penting dalam pengembangan dan

penyebaran Islam. Pada pokoknya peranan tersebut antara lain: Pertama, sebagai

tempat lahirnya Islam, dari sini Islam tersebar ke seluruh dunia. Kedua, Arab Saudi

menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam sejak zaman klasik hingga kini, terutama di

Mekkah dan Madinah, dan sejumlah umat Islam belajar agama di negeri ini. Ketiga,

pada awal abad delapanbelas, tepatnya tahun 1703M/1115H, telah lahir di negeri ini

seorang tokoh yang membangkitkan kembali Gerakan Salafiyah bernama Muhammad

bin Abdul Wahab; bersama dengan para penguasa Arab Saudi, ia telah berhasil

3
memurnikan tauhid dan membasmi berbagai bid’ah yang mengotori akidah umat

Islam.

Tulisan ini bermaksud membahas ketiga peranan tersebut, dan ketiganya

diletakkan dalam bingkai dakwah dan pendidikan, khususnya bagi negara Indonesia.

Namun sebelumnya kiranya perlu dijelaskan secara singkat sejarah berdirinya

Kerajaan Arab Saudi untuk dapat melihat dengan baik hubungan antara

kepemimpinan politik dan kepemimpinan agama yang mendjadi ciri kerajaan ini.

1. Sejarah Berdirinya Kerajaan Arab Saudi

Kerajaan Arab Saudi menempati suatu wilayah yang strategis. Negeri ini terletak

pada jalur lalu lintas yang menghubungkan pantai Teluk Persia dengan pantai Laut

Tengah serta daerah-daerah lain di Timur Tengah. Sejak ribuan tahun yang silam,

negeri ini, terutama kota Mekkah, sudah terkenal di antara para pengembara dan

kafilah yang mengarungi padang pasir Arab. Mekkah dan sekitarnya dikenal sebagai

pusat perjalanan dan tempat transit pada jalur perdagangan yang pada berikutnya

menjadikan perekonomian negeri ini baik.

Kelahiran Islam di wilayah yang sekarang disebut sebagai Kerajaan Arab

Saudi menjadikan negeri ini semakin penting dalam percaturan dunia. Dari sini Nabi

Muhammad SAW mengembangkan Islam ke seluruh dunia, dan di wilayah negeri ini

pula (Madinah) didirikan untuk pertama kali sebuah negara Islam di bawah pimpinan

Rasulullah SAW. Sejarah mencatat bahwa negara Islam yang pertama ini telah

melahirkan Piagam Madinah yang merupakan konstitusi pertama dalam sejarah

kemanusiaan. Hingga kini Piagam tersebut selalu menjadi kerangka acuan bagi

negara-negara Islam.
4
Sepeninggal Nabi SAW, negara Islam ini diperluas dan diperkokoh oleh para

Khalifah terkenal dan berpengaruh: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,

dan Ali bin Abi Thalib. Sampai khalifah ketiga, pusat kekhalifahan tetap dikendalikan

dari Madinah sebagaimana pada zaman Nabi SAW. Baru pada masa khalifah

keempat, Ali bin Abi Thalib, pusat pemerintahan dipindahkan ke Kufah. Pada waktu

itu negara Islam telah berhasil menaklukkan daerah-daerah yang cukup luas yang

meliputi, antara lain: Persia, Irak, Damaskus, Yaman, Yerussalem, Mesir, Sudan,

Maroko, Armenia, dan Asia Minor.

Sejak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana telah disebutkan di atas,

pusat pemerintahan telah dipindahkan dari wilayah yang sekarang disebut sebagai

Kerajaan Arab Saudi. Mula-mula dipindahkan ke Kufah, pada zaman Ali. Kemudian

ke Damaskus pada zaman Dinasti Umayyah. Pada masa pemerintahan Dinasti

Abbasiah, ibukota dunia Islam telah dipindahkan ke Baghdad. Demikianlah hingga

seterusnya pusat pemerintahan dunia Islam tidak lagi berada di wilayah Arab Saudi.

Kerajaan Arab Saudi yang kita kenal saat ini berasal dari penguasaan Dinasti

Sa`ud atas keemiran di Dar’iyah, dekat kota Riyadh sekarang. Kekuasaan Dinasti

Sa`ud kemudian diperluas sehingga pada awal abad ke-18 Mekkah dan Madinah, dua

kota suci terpenting bagi umat Islam, telah berhasil dikuasai.

Suatu momentum sangat penting dalam sejarah Kerajaan Arab Saudi terjadi

pada tahun 1744, pada saat pendiri Saudi modern, Muhammad bin Sa`ud,

mengadakan kerjasama dengan seorang tokoh pembaruan Muhammad bin Abdul

Wahhab, yang membangkitkan kembali Gerakan Salafiyah yang pernah dicetuskan

oleh Imam Ibn Taimiyah.

5
Kesepakatan dan persekutuan ini tidak hanya bermakna buat Kerajan Arab

Saudi, tetapi juga buat dunia Islam secara keseluruhan. Kesepakatan ini telah

mempertemukan kembali antara kepemimpinan politik, yang diwakili oleh Ibn Sa`ud

sebagai penguasa, dengan kepemimpinan agama yang diwakili oleh Muhammad bin

Abdul Wahhab. Sejak berakhirnya kekhalifahan Khulafaurrasyidun, dunia Islam telah

mengalami masa panjang keterpisahan antara kepemimpinan politik dan

kepemimpinan agama. Persatuan antara kepemimpinan agama dan kepemimpinan

politik adalah ciri khas dan sekaligus keunggulan dan kekuatan dari sebuah model

kepemimpinan (kekhalifahan) yang dibangun dan ditegakkan oleh Nabi SAW.

Pemisahan antara kedua kepemimpinan di atas dalam sejarh umat Islam

menyebabkan semakin tersisihkannya kepemimpinan agama. Para ulama, yang

serigkali mewakili suatu oposisi terhadap kekuasaan politik, terus menerus ditekan

untuk menjauhi dunia politik. Imam Abu Hanifah misalnya telah meninggal di dalam

penjara karena menolak diangkat menjadi hakim. Imam Malik bin Anas pernah

disiksa oleh penguasa karena berani mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan

fatwa penguasa mengenai talaq secara paksa (al-thalaq bi al-jabr). Demikian juga

Imam Syafi`i harus meninggalkan Baghdad menuju Mesir karena tekanan penguasa.

Pemisahan ini telah menimbulkan bencana bagi umat. Struktur tubuh umat

telah dihinggapi penyakit-penyakit kebohongan, kebodohan, dan kesombongan.

Pikiran-pikiran keagamaan hanya berhenti pada tataran yang abstrak dan tidak dapat

berfungsi mengatur dan mengevaluasi kehidupan bernegara secara praktis-empiris.

Dampak terburuk dari pemisahan ini adalah timbulnya sikap saling tidak

mempercayai antara kepemimpinan agama dan kepemimpinan politik yang berakibat

buruk bagi keduanya. Bagi kepemimpinan politik, hal ini jelas akan menyebabkannya
6
cenderung dan mudah melakukan penyelewengan-penyelewengan dan dengan

sewenang-wenang membungkam apa saja yang dianggap sebagai oposisi, termasuk di

dalamnya oposisi dari kepemimpinan agama. Sedangkan bagi kemepimpinan agama,

hal ini berakibat timbulnya sikap curiga dan skeptis terhadap segala inisiatif yang

diambil oleh para politisi tanpa melihat validitas dari inisiatif tersebut. Sikap skeptis

ini melahirkan kecenderungan menutup diri dalam kepemimpinan agama yang

membukakan jalan bagi sikap kaku yang mengarah pada penutupan pintu ijtihad,

dengan alasan untuk melindungi ajaran-ajaran agama dari sebarang penyelewengan.

Kecenderungan untuk bersikap kaku semacam ini, pada tataran tertentu, dapat

dipahami, tetapi harus diakui bahwa para pemimpin agama tidak dapat melihat

bahayanya pikiran-pikiran mereka yang melulu bersifat abstrak. Konflik yang

demikian ini tentu saja memiskinkan aktivitas keilmuan para ahli agama yang

berdampak pada melemahnya karakter budaya dan peradaban umat Islam.

Harapan besar diletakkan pada pertemuan kembali antara kepemimpinan

agama dan kepemimpinan politik yang diupayakan oleh dua tokoh penting dalam

sejarah Kerajaan Arab Saudi semacam di atas untuk mengembalikan ciri khusus

sistem kepemimpinan Islam yang pernah diwujudkan pada masa awal sejarahnya.

Pokok-pokok pikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menandai

kebangkitan kembali Gerakan Salafiyah yang digagas oleh Ibn Taimiyah (mengenai

gerakan ini dan pengaruhnya terhadap Indonesia akan dibahas pada bagian E.) ini

memberikan kesan yang mendalam dalam diri Muhammad bin Sa`ud. Dia melihat

bahwa pikiran-pikiran itu adalah benar belaka dan ia merasa sangat penting dan tepat

menjadikannya sebagai landasan bagi upaya-upaya politik regional yang hendak

dilakukannya. Sedangkan Ibn Abdul Wahhab yang hendak menghidupkan kembali


7
Gerakan Salafiyah ini menyadari betul bahwa pesan keagamaan yang dibawanya

akan berdampak lebih besar jika mendapat dukungan dari kekuasaan pilitik yang

dimiliki keluarga Sa`ud. Pertemuan antara kedua kepemimpinan ini telah

mendatangkan manfaat ganda. Di satu sisi, segera setelah kedua tokoh itu berjanji

untuk saling mendukung, apa yang disebut sebagai Kerajaan Arab Saudi saat itu telah

lahir. Antara tahun 1773-1819, gabungan kekuatan itu telah berhasil mempersatukan

masyarakat Islam untuk pertama kalinya sejak masa-masa awal. Di sisi lain, bagi

seluruh dunia Islam, gerakan pemurnian ajaran-ajaran Islam ini semakin bergema

dengan timbulnya gerakan perang melawan segala bid`ah dan khurafat di berbagai

penjuru negeri Muslim.

Gabungan kedua kekuatan di atas juga telah menjadi kunci keberhasilan

upaya-upaya Abdul Aziz bin Sa`ud untuk merebut dan menyatukan kembali daerah-

daerah kekuasannya dari tangan Kesultanan Turki Usmani. Usaha ini dilakukan

dengan memukimkan suku Badui (nomaden) tertentu dengan tujuan menciptakan

masyarakat yang mempunyai tempat tinggal tetap dalam suatu ikatan persaudaraan

(ikhwan ukhuwwah). Di sini kepentingan politik dan agama saling mendukung.

Jelas sekali bahwa motivasi dari tindakan di atas bernafaskan Islam. Ikatan

persaudaraan itu disebut ikhwan, pengikutnya disebut akh, dan tempat pemukimannya

disebut hijrah, yakni suatu perpindahan dari keadaan kotor menuju keadaan bersih,

persis sebagaimana hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah. Dengan cara ini, dalam

waktu singkat Raja Abdul Aziz Al-Saud telah dapat mengkonsolidasikan

kekuatannya. Ia berhasil menguasai Riyadh, Nejd tahun 1906 (1319), Hasa tahun

1913, Asir tahun 1923, dan Hijaz tahun 1925. Keberhasilah-keberhasilan yang luar

biasa inilah yang meletakkan Raja Abdul Aziz sebaga pendiri Kerajaan Arab Saudi.
8
Semangat gabungan ini juga tampak jelas dalam sistem pemerintahan Arab

Saudi. Saudi adalah negara kerajaan yang menjadikan al-Qur’an sebagai konstitusi

dan syari`ah sebagai undang-undang dasarnya. Menurut ajaran Islam kekuasaan itu

hanya milik Allah dan manusia memiliki kekuasaan dalam kapasitasnya sebagai

khalifah Allah. Tidak ada seseorang atau satu kelompok tertentu yang dapat

mengklaim kekuasaan Allah untuk dirinya, kekuasaan itu diberikan kepada orang-

orang atau mereka yang dipilih untuk hal itu, yang pada akhirnya semua itu kembali

kepada Tuhan.

Dalam sistem suksesi raja, Kerajaan Arab Saudi tidak mendasarkannya pada

keturunan sebagaimana lazimnya suatu sistem pemerintahan kerajaan. Jika seorang

raja meninggal atau turun tahta, suatu badan konsultatif atau Syura, sebagaimana

disebutkan dalam al-Qur’an, menunjuk penggantinya. Demikian pula perihal

kedudukan raja. Sebagaimana rakyat pada umumnya, raja dalam sistem pemerintahan

Arab Saudi juga tunduk kepada undang-undang yan sama, yakni syari`ah.

Seorang sarjana Muslim kenamaan, Akbar S. Ahmad, telah menyoroti hal ini.

Dia menulis: ‘Arab Saudi tengah berusaha untuk menjawab permasalahan pokok yang

kita hadapi dewasa ini: bagaimanakah seharusnya pemerintahan Muslim itu menjadi

Islami? Jawabannya telah diberikan dengan baik oleh dunia Arab pada abad ke-18.

Agama dan pemerintah menyatu ketika Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab

mengawinkan anaknya dengan Muhammad bin Sa`ud, penguasa Dar’iyyah di dekat

Riyadl, ibukota Nejd. Sebuah aliansi yang mampu menghadapi tantangan zaman telah

terbentuk. Pembagian kerja telah ditetapkan antara keduanya, Syekh bertugas

memberikan bimbingan keagamaan, sedangkan Ibn Sa`ud menjalankan kekuasaan

politik.’
9
Kerajaan ini menempatkan Islam sepenuhnya dalam struktur pemerintahan,

kebijaksanaan, legitimasi, dan dalam melakukan setiap perubahan. Akbar menyebut

bahwa Islam telah merembes keseluruh sektor kehidupan di Kerajaan Arab Saudi;

‘Islam sebagai teologi, sebagai makanan, dan sebagai pakaian. Dan kini bagi orang-

orang Saudi, Islam sebagai politik.’ Sementara itu al-Farsi, seorang ilmuwan Saudi

lulusan Amerika, mengamati bahwa Arab Saudi adalah ‘satu-satunya bangsa yang

menjadikan kitab suci, yakni al-Qur’an, sebagai konstitusi.

A. Peranan Arab Saudi dalam Penyebaran Islam ke Indonesia (Nusantara)

Arab Saudi di sini tentu saja bukan dimaksudkan Kerajaan Arab Saudi sebagaimana

dijelaskan di atas. Tetapi wilayah-wilayah yang sekarang termasuk ke dalam daerah

kekuasaan Kerajaan Arab Saudi.

Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai kedatangan Islam ke

Indonesia. Setidaknya ada tujuh teori tentang asal kedatangan Islam ke Nusantara.

Dari berbagai teori tersebut tampaknya “teori Arab” banyak memperoleh dukungan

baik dari kalangan ilmuwan Muslim sendiri maupun kalangan orientalis. Dalam

seminar yang diadakan pada 1969 dan 1978 mengenai kedatangan Islam ke Indonesia,

sebagian ahli Indonesia menyimpulkan bahwa Islam datang ke Indonesia langsung

dari Arabia, tidak dari tempat lain; hal ini terjadi tidak pada abad ke-12 atau ke-13,

melainkan pada abad pertama Hijrah atau abad ke-7 Masehi, tetapi baru setelah abad

ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Terori tentang kedatangan Islam ke

Nusantara langsung dari Arabia ini selaras dengan cerita yang ditulis dalam

historiografi lokal tentang Islamisasi di wilayah ini.

10
Historiografi lokal tersebut menyebutkan secara jelas peranan Mekkah dan

Jeddah—dua kota dalam wilayah Kerajaan Arab Saudi saat ini—sebagai asal daerah

tinggal para penyebar agama Islam ke Nusantara. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai

(ditulis setelah 1350), seseorang bernama Syekh Ismail datang dengan kapal dari

Mekkah melalui Malabar menuju Pasai. Sesampainya di Pasai, syekh Ismail berhasil

membuat penguasa setempat, Merah Silu, masuk Islam. Merah Silu kemudian

mengambil gelar Malik al-Shalih; ia wafat tahun 698/1297. Sedangkan Sejarah

Melayu (ditulis setelah 1500) mencatat bahwa seabad kemudian, sekitar tahun

817/1414, penguasa Malaka juga berhasil diislamkan oleh Sayyid Abdul Aziz,

seorang Arab dari Jeddah. Setelah masuk Islam, penguasa yang bernama asli

Parameswara itu mengambil gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi lain,

Hikayat Merong Mahawangsa (ditulis setelah 1630), juga mencatat bahwa seorang

Syekh Abdullah al-Yamani datang dari Mekkah ke Nusantara dan berhasil

mengislamkan penguasa Kedah (Phra Ong Mahawangsa), para menterinya, dan

penduduk setempat. Setelah masuk Islam dia mengambil gelar Sultan Muzhaffar

Syah.

2. Peranan Arab Saudi Sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan Islam

Dalam karyanya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan

XVIII, Azyumardi Azra telah membahas dengan sangat baik mengenai peranan Arab

Saudi (terutama Mekkah dan Madinah) sebagai pusat studi ilmu-ilmu keislaman bagi

umat Islam di Indonesia pada era tersebut. Tulisan pada bagian berikut ini (juga pada

bagian B di atas) banyak didasarkan pada karya Azra tersebut.

11
Beberapa ahli telah mencatat bahwa hubungan antara Nusantara dengan dunia

Arab telah terjadi sejak masa yang sangat tua. Dalam hal perdagangan misalnya,

hubungan tersebut dapat ditelusuri sejak zaman Phunisia dan Saba. Hubungan ini

menjadi semakin meluas ke berbagai bidang lain yang meliputi agama, sosial, politik,

dan budaya setelah pengenalan dan penyebaran Islam di wilayah ini.

1. Hubungan Dunia Arab dengan Indonesia

Para sejarawan Arab telah mencatat adanya hubungan ini sejak masa awal, di antara

mereka adalah al-Ya`qubi, Abu Zaid, dan al-Mas`udi. Hanya saja riwayat-riwayat

mereka ini bersifat fragmentaris dan juga terkadang secara inheren problematis.

Namun para pengembara belakangan, Ibn Batutah misalnya, telah memberikan

gambaran yang lebih akurat dan otentik mengenai masalah ini.

Riwayat mengenai hubungan dua kawasan ini juga dapat dibaca, misalnya,

dalam Kitab al-Hayawan, karya al-Jahidz (163-255/783-869) yang mengutip tentang

sepucuk surat yang diyakini sebagai berasal dari penguasa di Nusantara; Ibn Abd al-

Rabih (246-329/860-940) dalam karyanya al-`Iqd al-Farid yang memuat surat dari

penguasa di wilayah Nusantara kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz; Ibn

Tighribirdi (813-874/1410-1470) dalam al-Nujum al-Zhahirah fi Muluk Mishr wa al-

Qahirah juga mencatat dan memberi tambahan kalimat pada surat yang sama yang

dikirim kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Surat ini diperkirakan diterima oleh

Khalifah pada bagian akhir tahun 100/718.

Hubungan yang lebih khusus antara kerajaan-kerajaan Nusantara dengan pusat

keagamaan Islam, yakni Mekkah dan Madinah juga berlangsung intensif; baik dalam

kaitan keagamaan maupun politis. Contohnya adalah hubungan para penguasa


12
kerajaan-kerajaan di Nusantara, antara lain Aceh, Banten, Mataram, Palembang, dan

Makasar dengan penguasa Haramain. Sultan Alauddin, raja Aceh yang mulai naik

tahta pada 943/1537, telah mengadakan kontak dengan penguasa Haramain; dia juga

pernah mendapat “stempel emas Bayt al-Haram, Mekkah” dari penguasa Haramain;

dan sejak 1570-an Aceh menerima kedatangan ulama dari Hijaz secara reguler.

Penguasa Banten, Abdul Qadir, berkuasa dari 1037-1063/1626-1651, mendapat gelar

Sultan dari Syarif Mekkah sebagai hasil misi khusus yang dikirimkannya ke Tanah

suci. Demikian juga halnya yang dilakukan oleh penguasa Mataram, Pangeran

Rangsang, yang kemudian bergelar Sultan Agung. Sedangkan penguasa Palembang

telah menerima beberapa pucuk surat dari Mekkah yang dikirimkan dengan kapal-

kapal Aceh. Mekkah juga mengirimkan dua ulama terkemuka ke Makassar yang

kemudian mengislamkan penguasa kerajaan tersebut. Hubungan semacam ini juga

menunjukkan keberadaan orang-orang Nusantara dari masing-masing wilayah itu di

Mekkah. Boleh jadi mereka itu adalah para pedagang atau jamaah haji yang kemudian

memperpanjang masa tinggal mereka di Mekkah untuk berdagang dan menuntut ilmu

serta sekaligus memainkan peranan sebagai duta-duta kerajaan mereka di Haramain.

2. Haramain Sebagai Pusat Penyebaran Ilmu Pengetahuan Islam Ke Indonesia

Haramain yang berarti dua kota suci, yakni Mekkah dan Madinah, merupakan

tempat-tempat penting bagi umat Islam. Islam sendiri lahir di Mekkah dan demikian

juga Nabi SAW serta di kota ini pulalah kiblat umat Islam seluruh dunia terletak.

Sedangkan Madinah adalah kota hijrah Nabi; tempat dibangunnya negara Islam

pertama; dan di situ dibangun Masjid Nabi. Gabungan antara keutamaan kedua kota

13
suci itu dan perhatian agama yang sangat tinggi terhadap menuntut ilmu semakin

meningkatkan nilai pengetahuan yang diperoleh di kedua kota tersebut.

Mekkah

Mekkah merupakan salah satu dari kota yang tertua, terbesar, dan terkenal di tanah

Hijaz dalam Kerajaan Arab Saudi. Sejak zaman dulu, Mekkah sudah terkenal di

antara para pengembara dan kafilah yang melintasi padang pasir Arab, karena kota ini

merupakan pusat perjalanan dan tempat transit yang penting. Ptolemeus telah

menyebutkan kota Mekkah dengan nama Macoraba dan menghubungkan nama ini

dengan pusat perdagangan rempah-rempah. Sejak sebelum datangnya Islam kota

Mekkah telah menjadi pusat berbagai pertemuan dan perayaan: perdagangan,

kebudayaan, dan keagamaan. Di wilayah ini terdapat Thaif yang memiliki tiga

berhala; `Ukazh sebagai pusat lomba bersyair; Dzul Majaz tempat diadakannya

pertemuan keagamaan yang kemudian memuncak pada upacara khusus dari pesta

akbar di Arafah, lalu di Quzah atau Muzdalifah, dan kemudian di Mekkah sendiri

dengan Ka`bah sebagai pusatnya yang dikelilingi oleh patung-patung dan berhala-

berhala dari berbagai suku dan bangsa.

Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa kota Mekkah itu terletak di suatu lembah

yang tandus (Q.S. 14:40). Di sini tidak banyak mata air, sumur, kebun-kebun dan

pepohonan. Di mana ada mata air, di situ ada kampung. Peternakan hanya terbatas

pada binatang-binatang yang tidak begitu banyak membutuhkan air, semisal domba

dan unta. Mekkah juga disebut dengan berbagai nama di dalam al-Qur’an. Ada

istilah al-balad al-amin (negeri yang aman, terlindungi), sebagaimana disebutkan

dalam Surat al-Thin ayat 1-3. Istilah lain untuk Mekkah adalah Bakkah (Q.S. 3:96),
14
yakni lembah yang dimaksudkan oleh Nabi Ibrahim AS sebagai lembah yang tandus

dan tiada bertumbuhan, karena lembah ini dikelilingi bukit-bukit. Nama lain yang

diberikan oleh al-Qur’an untuk kota ini adalah Umm al-Qura yang berarti ibukota.

Nama ini sekarang dijadikan nama sebuah universitas di kota ini.

Islam datang membawa perubahan luar biasa terhadap kota Mekkah. Nabi

Muhammad SAW membawa risalah tauhid yang memproklamirkan bahwa tidak ada

tuhan selain Allah. Karena itu Nabi membersihkan segala berhala dan patung yang

menjadi sesembahan di sekitar Ka`bah, ketika itu berjumlah lebih kurang 360-an.

Sebagaimana telah dijelaskan, Mekkah itu dikelilingi oleh bukit-bukit dari

timur hingga ke barat. Dengan demikian kota Mekkah terletak di tengah-tengah,

dibentengi oleh bukit-bukit itu. Salah unsur terpenting Mekkah sebagai pusat ilmu

pengetahuan Islam adalah keberadaan Al-Masjid al-Haram di kota ini. Para sejarawan

Arab mencatat bahwa pada zaman Nabi SAW dan Abu Bakar RA, al-Al-Masjid al-

Haram itu tidak mempunyai dinding di sekelilingnya. Diriwayatkan bahwa luas Al-

Masjid al-Haram ketika itu adalah seluas lapangan yang sekarang diberi tanda tiang-

tiang lampu di sekitar Ka’bah. Umar-lah yang disebut sebagai yang mula-mula

meluaskan Masjid ini dengan membeli rumah-rumah penduduk yang didirikan di

sekitar Masjid. Kemudian ia membuat dinding di sekelilingnya setinggi manusia. Di

atas dinding itu diletakkan lampu-lampu untuk menerangi Masjid. Demikianlah

perluasan dan pembangunan Al-Masjid al-Haram terus berlangsung dari zaman

Khulafaurrasyidun, ke kekhalifahan Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan

seterusnya hingga zaman Dinasti Usmani serta Para penguasa dari keturunan Sa`ud.

Keberadaan al-Al-Masjid al-Haram ini menjadi sangat penting bagi Mekkah

sebagai pusat studi Islam, terlebih lagi dengan terjadinya pertemuan terbesar kaum
15
Muslimin dari berbagai penjuru dunia untuk menunaikan ibadah haji pada setiap

tahun. Biasanya, sebagian di antara para jamaah haji itu tinggal di kota ini untuk

menuntut ilmu atau untuk kepentingan lainnya. Karena itu di lingkungan Al-Masjid

al-Haram timbul kelompok-kelompok studi dalam bentuk halaqah, majlis al-tadris,

dan kuttab. Sedangkan istilah madrasah sebagai institusi pengajaran—baru

diperkenalkan di dunia Islam secara agak luas pada abad ke-9—dikenal di Mekkah

pada abad ke-12 dengan didirikannya Madrasah al-Ursufiyyah oleh Afif Abdullah

Muhammad al-Ursufi (w. 595/1196) di dekat Pintu Umrah, bagian selatan Al-Masjid

al-Haram.

Sejarah umat Islam di Indonesia mencatat Mekkah, dengan Al-Masjid al-

Haram yang menjadi pusatnya, sebagai pusat studi ilmu-ilmu agama yang sangat

prestisius. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh

ulama besar dalam sejarah negeri ini pernah mengenyam pendidikan di Mekkah.

Sebut saja misalnya tokoh-tokoh agama kenamaan semisal:

Hamzah al-Fansuri (w. 1016/1607)

Nuruddin al-Raniri (w. 1068/1658)

Abdurrauf al-Sinkli (1024-1105/1615-1693)

Muhammad Yusuf al-Makasari (1037-1111/1627-1699)

Abdussamad al-Palembani (1116-1203/1704-1789)

Muhammad Arsyad al-Banjari (1122-1227/1710-1812)

Muhammad Nafis al-Banjari (lahir 1148/1735)

Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1230-1314/1813-1879)

Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1855-1916)

Muhammad Jamil Jambek (1860-1947)


16
Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945)

Syekh Ahmad Soorkati (1872-1943)

Haji Abdullah Ahmad (1878-1933)

Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir 1869-1923)

Kyai Haji Hasyim Asy`ari (lahir 1871)

Kyai Haji Bisyri (lahir 1887)

Mereka adalah sebagian contoh dari para ulama besar Indonesia yang pernah

mengenyam pendidikan di Mekkah. Kebesaran dan kedalaman ilmu mereka itu

misalnya dapat dilihat dari karya-karya mereka maupun kiprah mereka bagi

masyarakat Indonesia, sebagaimana akan diuraikan secara singkat berikut ini.

1). Hamzah al-Fansuri (w. 1016/1607)

Hamzah adalah seorang ulama besar Aceh pada masanya. Ia pernah menjabat sebagai

semacam “chief bishope” di Kerajaan Aceh. Raja dan seluruh rakyat Aceh sangat

menghormatinya karena kedalaman ilmunya dan karena sikapnya yang bijak dan

tenang. Ia juga penulis produktif, di antara karyanya yang terkenal adalah:

- Asrar al-`Arifin

- Syarab al-`Asyiqin, dan

- Muntahi.

2) Nuruddin al-Raniri (w. 1068/1658)

Al-Raniri seorang alim besar keturunan Arab (Hadlrami) yang dilahirkan di Ranir

(modern: Randir), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat. Meski lahir di India

dari keturunan Arab, ia secara umum dianggap lebih sebagai seorang alim Indonesia.

Ia pernah diangkat sebagai Syaikh al-Islam di kesultanan Aceh, salah satu kedudukan
17
tertinggi di Kesultanan di bawah Sultan sendiri. Al-Raniri juga dikenal sebagai tokoh

pembaru ajaran tasawuf yang telah tersebar di kalangan masyarakat Aceh saat itu.

Kebesaran dan kedalaman ilmu al-Raniri juga dapat dilihat dari karya-karyanya yang

cukup banyak, antara lain:

- Hujjat al-Shiddiq li daf’i al-Zindiq

- Bustan al-Salathin,

- Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan,

- Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tartib

- Durrat al-Fara’id bi Syarh al-`Aqa’id, dan

- Shirath al-Mustaqim

3) Abdurrauf al-Sinkli (1024-1105/1615-1693)

Selain di Mekkah, al-Sinkli pernah belajar di beberapa tempat lain misalnya di Doha

(Uni Emirat Arab), Yaman, Jeddah, dan terakhir di Madinah. Ia dicatat telah

melewatkan masa 19 tahun untuk belajar di Arabia. Sebagaimana dua tokoh

sebelumnya, al-Sinkli juga pernah menduduki jabatan penting di Kerajaan Aceh,

yakni Mufti Kerajaan atau Qadli Malik al-`Adil, yang bertanggungjawab atas

administrasi masalah-masalah keagamaan. Al-Sinkli juga merupakan penulis

produktif; ia menulis tidak kurang dari 22 karya dalam berbagai bidang: tafsir, fikih,

tasawuf, dan kalam. Ia dikenal sebagai ulama pertama yang menulis mengenai fiqh

al-mu`amalat. Dia juga tercatat sebagai alim pertama yang di Nusantara yang

bersedia memikul tugas besar mempersiapkan tafsir lengkap al-Qur’an dalam bahasa

Melayu yang didasarkan pada Tafsir al-Jalalain dan Tafsir al-Baghawi. Di antara

karya-karya al-Sinkli adalah:

- Tarjuman al-Mustafid
18
- Mir’at al-Thullab fi Tafshil Ma`rifat al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-

Wahhab

- Fiqh al-Mu’amalat

- Kifayat al-Muhtajin

- Daqa’iq al-Huruf

- Risalah Mukhtasharah fi Bayan Syurut al-Syaikh wa al-Murid

- Risalah Adab Murid akan Syaikh

- Al-Mau’izhah al-Badi’ah

- Hadits Arba’in

4) Muhammad Yusuf al-Makasari (1037-1111/1627-1699)

Al-Makassari adalah seorang ulama kenamaan dari Nusantara yang memiliki reputasi

internasional. Tokoh ini juga dikenal sebagai penyebar dan pengembang Islam di

Afrika Selatan, hingga kini umat Islam di kawasan tersebut masih mengenangnya

sebagai alim besar yang berjasa kepada dakwah Islam di negeri ini. Al-Makasari

adalah menantu dari Sultan Goa, Ala’uddin, yang memerintah tahun 1591-1636.

Setelah belajar dalam waktu yang lama di dunia Arab dia kembali ke Indonesia dan

menetap di Banten untuk beberapa. Di Kesultanan Banten ini dia menduduki salah

satu jabatan tertinggi di kalangan elit istana Banten, dan juga menjadi anggota Dewan

Penasehat Sultan yang paling berpengaruh. Selama di Banten ia pernah mengambil

alih kepemimpinan pasukan perang Banten yang berjumlah 4000 untuk melawan

Belanda, ketika Sultan Banten ditangkap oleh penjejah Belanda. Al-Makasari ternyata

seorang yang ahli dan memiliki keberanian luar bias di medan pertempuran. Berkali-

kali Belanda gagal menangkapnya, sampai akhirnya Belanda menggunakan tipudaya

licik untuk menangkapnya pada tanggal 14 Desember 1683. Pada 1684 al-Makassari
19
diasingkan ke Sri Langka selama hampir satu dasawarsa. Pengasingannya ke Sri

Langka ini tidak membuat hubungan al-Makassai putus dengan Indonesia, karena itu

Belanda memindahkannya ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Para penulis Islam

di Afrika Selatan telah menobatkan al-Makassari sebagai “pendiri” Islam di wilayah

ini.

Sebagai penulis produktif, Syekh Yusuf al-Makassari telah menulis karya

cukup banyak, antara lain:

- Asrar al-Shalat

- Al-Barakah al-Sailaniyyah

- Bidayat al-Mubtadi’

- Al-Futuhat al-Rabbaniyyah

- Habl al-Warid

- Kaifiyyat al-Mughni

- Mathlab al-Salikin

- Al-Minhah al-Sailaniyyah atau al-Nafhah al-Sailaniyyah

- Qurrah al-`Ain

- Al-Risalah al-Naqsyabandiyyah

- Safinat al-Najat

- Sirr al-Asrar

- Taj al-Asrar

- Tuhfah al-Labib

- Zubdat al-Asrar

Di samping menulis karya sendiri, al-Makassari, dengan kepercayaan yang

diberikan kepadanya oleh gurunya ketika belajar di Madinah, Ibrahim al-Kurani,


20
juga menyalin kitab Risalah fi al-Wujud dan al-Durrah al-Fakhirah, keduanya karya

Nur al-Din al-Jami (w. 1492). Menurut Nicholas Heer, salinan al-Durrah al-

Fakhirah yang dilakukan oleh al-Makassari tersebut adalah yang terbaik dan paling

akurat dari beberapa salinan yang lain dari buku yang sama ini.

5) Abdussamad al-Palembangi (1116-1203/1704-1789)

Jika tiga ulama besar terdahulu berada di lingkungan Kerajaan Aceh, dan al-

Makassari berasal dari Sulawesi, al-Palembani adalah seorang ulama besar abad ke-18

yang berasal dari Sumatra Selatan. Dia adalah ulama Palembang jebolan Mekkah

yang paling berpengaruh, terutama melalui karya-karyanya yang meluas di Nusantara.

Karya-karya itu antara lain:

- Zuhrat al-Mufid fi Bayan Kalimat al-Tauhid

- Sair al-Salikin ila Ibadat Rabb al-‘Alamin

- Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin

- Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu’minin fi Fadla’il al-Jihad fi Sabil

Allah wa Karamah al-Mujahidin fi Sabil Allah.

6) Muhammad Arsyad al-Banjari (1122-1227/1710-1812)

Alim dari Kalimantan ini pernah belajar di Mekkah selama sekitar tigapuluh tahun.

Dia juga pernah mengajar selama beberapa tahun di Al-Masjid al-Haram sebelum

kemudian meninggalkan Mekkah. Setibanya di Martapura, Kalimantan Selatan, al-

Banjari mendirikan lembaga pendidikan Islam untuk mendidik kader-kader Muslim

untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang agama dan agar mereka dapat

menjalankan praktik-praktik agama dengan baik. Dalam hal ini dia bekerjasama

21
dengan Sultan Tahmid Allah II (1187-1223/1773-1808) untuk mendirikan lembaga

pendidikan. Di pusat pendidikannya itu dia membangun ruang-ruang untuk kuliah,

pondokan para murid, rumah para guru, dan perpustakaan. Lembaga pendidikan ini

kemudian berhasil melahirkan para ahli agama terkemuka di kalangan masyarakat

Kalimantan. Muhammad Arsyad juga mengambil langkah penting lain untuk

menguatkan Islamisasi di daerahnya dengan memperbarui adminiustrasi keadilan di

Kesultanan Banjar. Dia juga menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai acuan terpenting

dalam pengadilan kriminal. Dengan dukungan Sultan dia mendirikan pengadilan

Islam yang terpisah untuk mengurusi masalah-masalah hukum sipil murni. Dia juga

mendirikan lembaga fatwa yang bertanggungjawab mengeluarkan fatwa-fatwa

menganai berbagai persoalan keagamaan. Di antara karya uatama al-Banjari adalah:

- Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amr al-Din

- Perukunan Besar al-Banjari atau Perukunan Melayu

7) Muhammad Nafis al-Banjari (lahir 1148/1735)

Muhammad Nafis adalah seorang alim penting lainnya dari Kalimantan. Dia adalah

penulis buku terkenal berjudul al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Af`al wa al-

Asma` wa al-Shifat wa al-Dzat al-Taqdis yang beredar luas di Nusantara. Buku ini

dicetak berkali-kali di Kairo oleh Dar al-Thiba`ah (1347/1928) dan percetakan

Mushthafa al-Halabi (1362/1943), sedangkan di Mekkah diterbitkan oleh Mathba`ah

al-Karim al-Islamiyyah (1323/1905), serta dicetak di berbagai tempat di Nusantara.

8) Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1230-1314/1813-1879)

22
Imam Nawawi adalah seorang alim kenamaan berasal dari Banten yang pernah

belajar di Mekkah, dan wafat di sana. Ilmunya sangat luas meliputi bidang tafsir,

hadis, fikih, tauhid, tasawwuf, sejarah, akhlak, dan bahasa. Hal ini tampak dari karya-

karya yang ditulis yang berjumlah tidak kurang dari 99 buah, di antaranya ialah:

- Al-Tafsir al-Munir li Ma`alim al-Tanzil

- Al-Tsimar al-Yani`ah

- Tanqih al-Qaul

- Al-Taushiyah

- Fath al-Majid

- Fath al-Mujib

- Muraqi al-`Ubudiyah

- Nasha’ih al-`Ibad

- Al-Futuhat al-Madaniyah

- Bahjat al-Wasa’il

- Qathr al-Ghaits

- Sullam al-Fudhala’

- Sullam al-Munajat

- Tijan al-Darari

- Qami` Thughyan

9) Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1855-1916)

Ahmad Khatib adalah seorang alim terkenal yang dianggap tokoh pertama yang

memperkenalkan pembaruan di Minangkabau. Hal ini dilakukan dengan

menyebarkan pikiran-pikirannya melalui murid-murid dan buku-bukunya, sementara


23
dia sendiri tetap tinggal di Mekkah. Di Mekkah dia telah mencapai kedudukan sangat

tinggi dalam mengajarkan agama, yakni sebagai imam mazhab Syafii di Al-Masjid al-

Haram. Di antara karya-karyanya adalah:

- Izhar Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabbuhihim bi al-Shiddiqin

- Al-Ayat al-Bayyinah li al-Munsifin fi Izalat Ba`dl al-Myta’ashibin

- Al-Saif al-Bath-thar fi Mahq Kalimat Ba’dl ahl Ightirar.

9) Muhammad Jamil Jambek (1860-1947)

10) Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945)

11) Haji Abdullah Ahmad (1878-1933)

12) Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir 1869)

Mereka bertiga adalah para tokoh gerakan pembaruan di Minangkabau yang akan

dibicarakan erat kaitannya dengan kebangkitan kembali Gerakan Salafiyah di Arab

Saudi. Sedangkan Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah tokoh pendiri Muhammadiyah.

Perihal mereka akan diuraikan secara agak rinci ketika membicarakan pengaruh

Gerakan Salafiyah di Arab Saudi terhadap Indonesia.

13) Syekh Ahmad Sookatti (1872- 1943)

Syekh Ahmad Soorkatti adalah salah seorang pendiri perhimpunan al-Irsyad, sebuah

perhimpunan yang sangat berpengaruh di lingkungan masyarakat Arab di Indonesia.

Syekh Soorkatti lahir di Dunggula, Sudan, tahun 1872. Setelah ayahnya meninggal

Syekh Soorkatti pergi ke Tanah Suci untuk menuntut ilmu; di Madinah selama 4

tahun dan kemudian pindah belajar ke Mekkah selama 11 tahun.

Selama di Tanah Suci Syekh ini bekenalan dengan ide-ide pembaruan Ibn

Abdul Wahhab dan Muhammad Abduh. Ia juga berlangganan majalah al-Manar yang
24
terbit di Mesir. Pada tahun 1911, Syekh yang sangat tekun dan alim ini tiba di

Jakarta. Setibanya di Indonesia Syekh Ahmad gencar melakukan dakwah dan

menyebarkan ide-ide pembaruan dengan mengajar di lembaga pendidikan yang

didirikan oleh Jama’at al-Khairat, dan kemudian mendirikan sendiri Madrasah al-

Irsyad al-Islamiyyah. Hal ini dia wujudkan dengan mendirikan organisasi pembaruan

bernama Jam’iyyah al-Ishlah wa al-Irsyad al-Islamiyyah, atau yang lebih dikenal

dengan al-Irsyad.

Di samping mendidik secara formal melalui lembaga pendidikan yang

didirikannya, Syekh Ahmad juga sering tampil dalam berbagai perdebatan terbuka

tentang Islam, terutama tentang masalah-masalah furu’. Semangat pembaruannya

mendorongnya untuk membongkar hadis-hadis palsu, dengan gigih membasmi segala

bid’ah seperti pemujaan kuburan atau tempat-tempat yang dikeramatkan. Ia

menentang kejumudan, menegakkan ijtihad, membasmi segala perbuatan yang

bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang murni. Untuk hal ini dia juga menulis

buku yang berjudul al-Masa’il al-Tsalats yang menggambarkan pertentangan antara

aliran lama dan baru mengenai: (1) ijtihad dan taqlid, (2) sunnah dan bid’ah, dan (3)

ziarah kubur dan tawassul.

14) Kyai Haji Hasyim Asy`ari (lahir 1871)

15) Kyai Haji Bisyri (lahir 1887)

16) Kyai Haji Wahid Hasyim (1914-1953)

Ketiganya adalah ulama yang pernah tinggal dan belajar di Mekkah. Pada tahun 1926,

dua tokoh pertama ikut mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama. Di samping

itu, Kyai Haji Hasyim Asy`ari adalah pendiri pondok pesantren Tebuireng yang telah

berhasil melahirkan banyak ulama terkenal di Indonesia, termasuk putranya sendiri


25
yang bernama K.H. Wahid Hasyim, seorang alim besar yang pernah menjabat sebagai

Menteri Agama RI.

Madinah

Kota ini mempunyai beberapa nama, antara lain Madinah al-Nabi (Kota Nabi),

Madinah al-Rasul (Kota Rasul), Tayyibah, Qaryah al-Anshar, al-`Ashimah, al-

Mubarakah, al-Mukhtarah, Bait Rasulillah, Sayyidah al-Buldan, Dar al-Iman, Dar

al-Abrar, Dar al-Akhyar, Dar al-Sunnah, Dar al-Salam, dan juga dikenal sebagai al-

Madinah al-Munawwarah.

Berbeda dengan Mekkah yang terletak di lembah yang tandus, Madinah

menempati sebuah lembah yang subur. Di sebelah selatan, Madinah berbatasan

dengan Bukit Air; di sebelah utara dengan Bukit Uhud dan Sur; gurun pasir di sebelah

timur dan barat.

Sebelum datangnya Islam, kota ini bernama Yatsrib. Ada yang mengatakan

nama ini berasal dari bahasa Ibrani atau Aram. Ada juga yang berpendapat bahwa

Yatsrib itu berarti orang-orang Arab selatan. Ptolemeus, dalam buku geografinya

yang ditulis pada pertengahan abad ke-2, menyebut kota ini Iathrippa, demikian juga

Stephen dari Bizantin memberikan nama yang sama untuk kota ini. Setelah Nabi

berhijrah ke kota ini, Yatsrib diganti menjadi Madinah al-Nabi atau al-Madinah al-

Munawwarah.

Hijrah Nabi tersebut merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kota ini

sehubungan dengan pengembangan Islam. Penduduk kota ini (kaum Anshar) telah

bersedia menerima Nabi SAW dan para pengikutnya. Selanjutnya Nabi SAW

mempersudarakan orang-orang Islam dari Mekkah dengan orang-orang Islam dari


26
Madinah berdasarkan ikatan aqidah atau al-ukhuwwah al-Islamiyyah. Nabi SAW juga

mempersatukan seluruh penghuni Madinah, baik Muslim, Yahudi, maupun para

penyembah berhala. Mereka semua dipersatukan berdasarkan ikatan sosial, politik,

dan kemanusiaan yang ditandai dengan disepakatinya Piagam Madinah. Piagam ini

memuat prinsip-prinsip persamaan, persaudaraan, persatuan, kebebasan, toleransi

beragama, perdamaian, tolong-menolong, membela yang teraniaya, dan

mempertahankan Madinah dari serangan musuh.

Uapaya ini dapat dikatakan sebagai proklamasi terbentuknya negara Islam;

dengan Piagam Madinah sebagai undang-undang dasar; Nabi SAW sebagai kepala

negara; Madinah dan sekitarnya sebagai wilayah; orang Islam, Yahudi, dan

penyembah berhala sebagai rakyatnya.

Dengan dijadikannya Madinah sebagai ibukota negara Islam itu berarti

Rasulullah SAW menjadikan kota ini sebagai pusat pemerintahan dan dakwah Islam

dan tempat mengatur segala strategi yang berkaitan dengan kehidupan sosial, politik,

hukum, ekonomi, dan keagamaan umat Islam.

Satu hal lagi yang menjadikan kota ini menjadi semakin penting dalam dunia

keilmuan Islam adalah dibangunnya Masjid Nabi di kota ini. Di samping merupakan

salah satu masjid yang paling utama bagi umat Islam setelah Al-Masjid al-Haram di

Mekkah dan Masjid al-Aqsha di Yerussalem, Masjid Nabi ini juga menjadi pusat

pengajaran ilmu-ilmu keislaman.

Bagi umat Islam Indonesia, Madinah juga merupakan kota tujuan untuk

menuntut ilmu, meskipun pusat-pusat studi di sana tidak sebanyak pusat-pusat

pengajaran yang ada di Mekkah. Hampir semua tokoh yang disebutkan di atas pernah

mengenyam pendidikan di Madinah. Bahkan sebagian mereka ada yang mengatakan


27
bahwa kapasitas keilmuan mereka menjadi semakin dalam setelah mereka belajar di

Madinah. Demikian pula rata-rata mereka itu mendatangi pusat-pusat studi di

Madinah setelah mereka belajar di pusat-pusat studi di Mekkah.

3. Pusat-pusat Studi di Arab Saudi Dewasa Ini

Era kekuasaan Raja Abdul Aziz Al-Saud, sang pendiri Kerajaan Arab Saudi,

merupakan awal kebangkitan pendidikan modern di Arab Saudi. Setelah Raja Abdul

Aziz berhasil menguasai situasi dan menyatukan seluruh penjuru Semenanjung

Arabia di bawa panji-panji Kerajaan Arab Saudi, mulailah didirikan Sekolah

Pengiriman Mahasiswa ke Luar Negeri dan al-Ma’had al-‘Ilmi al-Su’udi di

Mekkah.

Kebangkitan pendidikan modern ini mencapai momentumnya ketika Pangeran

Fahd, Khadim al-Haramain al-Syarifain, diangkat menjadi Menteri Pendidikan. Saat

itu mulailah pengembangan berbagai sarana pendidikan di setiap tingkatan; baik dari

segi kualitas maupun kuantitasnya.

Perlu dicatat bahwa riwayat perjalanan orang-orang Indonesia yang menuntut

ilmu di Arab Saudi dari masa lampau menunjukkan bahwa sebagian besar mereka

yang datang ke pusat-pusat pengajaran di negeri tersebut telah membekali diri mereka

dengan pengetahuan pada suatu tingkatan yang memungkinkan mereka untuk

mengikuti pendidikan di negeri ini. Bahkan tidak jarang juga sebelum mereka pergi

ke Arab Saudi, mereka telah belajar ilmu-ilmu agama secara intensif di pusat-pusat

belajar di Nusantara (Aceh, Jawa, Minangkabau, Palembang, Goa, Kalimantan, dan

Malaka) atau di wilayah dunia Arab yang lain (Uni Emirat Arab, Yaman, dan Siria).

Dengan demikian dimungkinkan mereka itu mendatangi Arab Saudi (Haramain) guna
28
menuntut ilmu untuk tingkat lanjutan, lebih kurang sama dengan tingkatan ilmu-ilmu

agama yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi saat ini.

Menuntut ilmu-ilmu agama ke dunia Arab, khususnya Arab Saudi, telah dan

tetap merupakan tradisi yang mengakar dalam diri umat Islam di Nusantara. Dewasa

ini tidak sedikit pemuda-pemuda Islam Nusantara yang melanjutkan belajarnya di

berbagai tempat di Arab. Pusat- pusat ilmu di Arab Saudi merupakan salah tujuan

utama para penuntut ilmu itu. Terutama di berbagai universitas yang telah dilengkapi

dengan kampus-kampus, sumber daya manusia, dan teknologi serta dengan adanya

pemberian beasiswa, pelayanan kesehatan, penyediaan tempat tinggal dan transportasi

yang memungkinkan para penuntut ilmu di tempat itu mewujudkan cita-cita mereka.

Di antara perguruan tinggi itu adalah:

a. Universitas al-Malik Sa`ud

Universitas ini, merupakan universitas tertua di Kerajan Arab Saudi, mulai dirintis

tahun 1947 bertempat di Riyadl, ibukota Kerajaan Arab Saudi. Universitas ini

mempunyai beberapa fakultas: Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi, Fakultas

Pendidikan, Fakultas Pertanian, dll. Pada 1962, universitas ini mulai membuka

program paskasarjana.

b. Universitas Umm al-Qura

Universitas Umm al-Qura bermula dari Fakultas Syariah yang dibuka tahun 1949, di

Mekkah. Fakultas Tarbiyah dibuka kemudian pada 1962. Sejak 1971 kedua fakultas

ini menginduk ke Universitas al-Malik Abdul Aziz. Baru pada 1981 lembaga ini

resmi menjadi universitas yang membawahi beberapa fakultas berikut ini: Fakultas
29
Syariah dan Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Ilmu-ilmu Terapan dan Teknik,

Fakultas Bahasa Arab, Fakultas Dakwah dan Usuluddin, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial,

dan Fakultas Pertanian.

c. Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa`ud

Universitas ini bermula dari Ma`had al-Riyadl al-`Ilmi yang didirikan tahun 1950 di

Riyadl. Pada tahun 1953 mulai dibuka fakultas syariah dan kemudian fakultas bahasa

Arab. Baru pada tahun 1974 lembaga ini berubah menjadi sebuah universitas

sebagaimana sekarang ini. Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa`ud

membawahi beberapa fakultas, antara lain: Fakultas Syariah, Fakultas Bahasa Arab,

Fakultas Dakwah dan Informasi, Fakultas Usuluddin, dan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial.

Universitas juga memiliki banyak cabang di tempat-tempat lain.

d. Universitas Islam Madinah

Universitas yang dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan Islam internasional ini

didirikan tahun 1961 di Madinah. Sifat internasional universitas ini dapat dilihat dari

jumlah mahasiswa non-Saudi yang belajar di lembaga ini. Hingga tahun 1983/1984

telah banyak mahasiswa luar Saudi yang menyelesaikan program pendidikan di

universitas ini, sebagaimana yang ditunjukkan oleh data berikut:

- Asia : 3060 alumni

- Afrika : 1342 alumni

- Eropa : 21 alumni

- Amerika Utara : 3 alumni

- Amerika Selatan : 9 alumni


30
- Australia : 1 alumnus

Saat ini Universitas Islam Madinah mempunyai 5 fakultas: Fakultas Syariah,

Fakultas Dakwah dan Usuluddin, Fakultas al-Qur’an dan Studi Islam, Fakultas Hadis

dan Studi Islam, dan Fakultas Bahasa Arab.

e. Universitas Petroleum dan Pertambangan

Universitas yang bertempat di Dahran ini bermula dari Fakultas Petroleum dan

Pertambangan yang dibuka tahun 1963. Pada 1975, fakultas ini berubah menjadi

sebuah universitas yang bertujuan untuk meningkatakan keupayaan ekonomi dan

teknik untuk menangani sumber-sumber minyak dan tambang yang melimpah di

Kerajaan ini. Universitas ini mempunyai beberapa fakultas, antara lain: Fakultas Ilmu

Teknik, Fakultas Teknik Terapan, Fakultas Ilmu-ilmu (esksakta), Fakultas

Administrasi Industri, dan Fakultas Paska Sarjana.

f. Universitas al-Malik Faisal

Universitas ini didirikan tahun 1964 di Hasa, Wilayah Timur Arab Saudi. Universitas

ini mempunyai beberapa fakultas, antara lain: Fakultas Ilmu Pertanian dan Makanan,

Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Pendidikan, Fakultas Ilmu-ilmu Administrasi

dan Perencanaan, Fakultas Pembangunan dan Perencanaan.

g. Universitas al-Malik Abdul Aziz

Universitas al-Malik Abdul Aziz mulai dibuka tahun 1968. Mulanya perguruan ini

berstatus swasta. Pada tahun 1971 ia berubah menjadi perguruan tinggi negeri dengan
31
berbagai fakultas berikut: Fakultas Ekonomi dan Administrasi, Fakultas Sastra dan

Ilmu-ilmu Kemanusiaan, Fakultas Ilmu-ilmu (eksaktas), Fakultas Teknik dan Ilmu-

ilmu Terapan, Fakultas Kedokteran, Fakultas Geologi, Fakultas Ilmu Bahari,

Fakultasa Tarbiyah, dll.

Saat ini banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di beberapa perguruan

tinggi di atas, terutama Universitas Islam Madinah, Universitas Islam Imam Ibn

Sa`ud, Universitas Umm al-Qura, dan Universitas al-Malik Sa`ud. Bahkan Kerajaan

Arab Saudi telah memberikan jatah khusus serta beasiswa kepada mahasiswa

Indonesia untuk dapat belajar di beberapa universitas negara itu. Setiap tahun puluhan

mahasiswa Indonesia memasuki berbagai universitas di Arab Saudi melalui

pemberian jatah dan beasiswa oleh penguasa Kerajaan itu. Demikian juga, puluhan

mahasiswa Indonesia dalam setiap tahunnya yang berhasil menamatkan studi mereka

di Arab Saudi.

4. Lembaga Pendidikan di Indonesia yang Didirikan oleh Para Ulama yang

Pernah Belajar di Haramain.

a. Di Sumatra

1) Madrasah/Surau Sungayang

Lembaga pendidikan ini didirikan oleh H. M. Thaib Umar pada tahun 1315/1897 di

Sungayang, Batu Sangkar. H. M. Thaib Umar (1291-1338/1874-1920) pernah belajar

di Mekkah lebih kurang 5 tahun lamanya. Di lembaga ini diajarkan berbagai ilmu

agama dan bahasa Arab, yaitu: tauhid, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, fara’idl, nahwu,

sharf, dan balaghah. Lembaga pendidikan yang hanya menempati surau ini telah

berhasil melahirkan para tokoh agama yang cukup berpengaruh di Minangkabau,


32
antara lain: Abdul Wahid Tabat Gadang Padang Japang dan Makhudum Solok,

keduanya adalah ulama Perti yang masyhur dan dari keduanya juga lahir murid-murid

yang banyak dan terkenal; Abdul Manaf Batusangkar dan Makhudum Lintau,

keduanya dikenal sebagai ulama terkenal dan berhasil mendidik murid-murid yang

alim; dll.

2) Sumatra Thawalib Padang Panjang

Sumatra Thawalib adalah suatu perkumpulan khusus untuk pelajar-pelajar madrasah

di Mingkabau yang didirikan oleh Haji Abdul Karim Amrullah tahun 1918. Tetapi

nama ini juga digunakan untuk nama tempat-tempat pendidikan yang tergabung di

dalamnya. Misalnya:

(1) Sumatra Thawalib Pandang Panjang,

(2) Sumatra Thawalib Parabek,

(3) Sumatra Thawalib Padang Japang,

(4) Sumatra Thawalib Sungayang/Batusangkar, dan

(5) Sumatra Thawalib Maninjau.

Sumatra Thawalib Padang Panjang didirakan oleh Haji Abdul Karim

Amrullah tahun 1914, seorang ulama dan tokoh pembaru kenamaan jebolan Mekkah,

pada mulanya dengan nama Surau Jembatan Besi, dengan sistem halaqah. Kemudian

tahun 1921 dia mengubah sistem halaqah Surau Jembatan Besi dengan sistem kelas

sebagaimana sekolah-sekolah modern. Lembaga pendidikan ini telah berhasil

mencetak para ulama besar di Sumatra, mereka itu antara lain: Abdul Hamid Hakim,

seorang yang sangat alim yang kemudian menggantikan kedudukan gurunya itu

setelah yang terakhir ini wafat. Abdul Hamid Hakim adalah seorang penulis
33
produktif. Hingga kini karya-karyanya, terutama buku-buku usul fikih (al-Mabadi’ al-

Awwaliyyah, dan al-Bayan) masih tetap digunakan di beberapa lembaga pendidikan

Islam semisal Pondok Modern Gontor dan sebagian besar pondok yang didirikan oleh

alumni Gontor. Tokoh lain yang pernah belajar di Sumatra Thawalib Padang Panjang

ini adalah A.R. Sutan Mansur. Kedalaman ilmu tokoh ini telah menarik perhatian

Pergerakan Muhammadiyah ketika melebarkan sayapnya ke Sumatra. Untuk itu

Pengurus Besar Muhammadiyyah mengangkat A. R. Sutan Mansur menjadi

muballigh besarnya di Sumatra. Alumnus lain lembaga ini adalah H. Jalaluddin Thaib

yang pernah menjadi ketua partai politik PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia).

3) Sumatra Thawalib Parabek

Lembaga pendidikan ini didirikan pada tahun 1921 oleh H. Ibrahim Musa, seorang

ulama yang pernah belajar selama lebih kurang 9 tahun di Mekkah,. Sekolah ini

sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1910 di surau Parabek, hanya saja ketika itu

masih menggunakan sistem halaqah. Setelah diubah dengan sistem modern sekolah

ini mempunyai tujuh kelas: kelas 1-4 untuk bagian tsanawiyah pertama dan kelas 5-7

untuk bagian tsanawiyah atas yang juga disebut Kulliyatu al-Diyanah.

4) Adabiah School Padang

Pada 1909, H. Abdullah Ahmad mendirikan sekolah agama bernama Adabiah School

di Padang. Sekolah ini terus berkembang pesat mengikuti perkembangan zaman. Pada

1915 sekolah ini diubah menjadi HIS Adabiah. Pada masa kemerdekaan sekolah itu

berubah menjadi S.R. (Sekolah Rakyat), SMP, dan SMA.

34
b. Di Jawa

1) Pondok Pesantren Tebuireng

Tepat menjelang abad ke-20 di Jawa didirikan sebuah pondok pesantren oleh seorang

ulama kenamaan K.H. Hasyim Asy’ari. Kyai yang sangat berpengaruh dan juga

pendiri pergerakan Nahdlatul Ulama ini pernah belajar selama lebih kurang 8 tahun di

Tanah Suci. Ilmunya yang luas dan mendalam menjadi daya tarik tersendiri bagi para

santri yang hendak menuntut ilmu di Tebuireng. Pondok ini berkembang dengan

cepat dan pesat. Para santri yang menuntut di pesantren ini berasal dari berbagai

penjuru Indonesia dan baraneka lapisan masyarakat. Dalam perjalanannya, Tebuireng

telah berhasil melahirkan generasi penerus umat yang berkiprah dalam berbagai

bidang kehidupan. Banyak di antara alumninya yang mendirikan pesantren, menjadi

kyai besar, tokoh masyarakat yang berpengaruh, guru, pejabat, dan bahkah ada di

antara mereka ada yang pernah menjadi menteri, contohnya adalah mantan Menteri

Agama K.H. A. Wahid Hasyim, yang juga putra pendiri Tebuireng.

2) Lembaga Pendidikan Muhammadiyah

Di antara tujuan didirikannya pergerakan Muhammadiyah oleh Kyai Haji Ahmad

Dahlan, seorang ulama yang pernah belajar beberapa tahun di Tanah Suci, adalah

untuk memajukan pendidikan dan pengajaran umat Islam di Indonesia agar mereka

menjadi orang-orang yang bermanfaat. Untuk mewujudkan tujuan ini

Muhammadiyah sejak awal telah berusaha mendirikan berbagai lembaga pendidikan

Islam.

Di antara lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tertua adalah:

(1) Kweekschool Muhammadiyah di Yogya


35
(2) Mu’allimin Muhammadiyah di Yogya dan Solo

(3) Mu’allimat Muhammadiyah di Yogya

(4) Tabligh School di Yogya

(5) HIK Muhammadiyah di Yogya

Kini lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah sudah tersebar di

seluruh Indonesia dalam jumlah yang tak terhitung. Bahkan lembaga pendidikan

Muhammadiyah juga telah didirikan di negara sahabat semisal Singapura.

c. Di Jakarta

Salah satu lembaga pendidikan Islam terkenal di Jakarta yang didirikan pada peremat

awal abad ini (1913) ialah Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah. Madrasah ini didirikan

oleh perhimpunan al-Irsyad, sebuah perhimpunan umat Islam yang didirkan oleh

Syekh Ahmad Surkati. Syekh Ahmad pernah belajar di Madinah selama empat tahun

dan di Mekkah selama sebelas tahun.

Pada mulanya madrasah al-Irsyad terdiri dari beberapa tingkatan:

(1) Awwaliyah, 3 kelas, ditempuh 3 tahun.

(2) Ibtidaiyah, 4 kelas, ditempuh 4 tahun.

(3) Tajhiziyah, 2 kelas, ditempuh 2 tahun.

(4) Mu’allimin, 4 kelas, ditempuh 4 tahun.

(5) Takhssus, 2 kelas, ditempuh 2 tahun.

Dengan perkembangan perhimpunan al-Irsyad yang telah tersebar di berbagai

daerah, sekolah-sekolah al-Isryad juga berkembang dengan pesat; baik kuantitas

maupun kualitasnya.

36
d. Di Sulawesi

Pada tahun 1350/1931, di Sengkang didirikan sebuah lembaga pendidikan Islam

bernama Madrasah Wajo Tarbiyah Islamiyah. Nama ini kemudian diganti menjadi

Madrasah As’adiyah, sesuai dengan nama pendirinya yaitu, Syekh H.M. As’ad bin

H.A. Rasyid (1907-1952). Pendiri madrasah ini lahir di Mekkah. Pendidikannya juga

sepenuhnya ditempuh di Mekkah dan Madinah, dan dia baru kembali ke Sulawesi

tahun 1928. Madrasah ini berkembang pesat, jumlah santrinya sangat banyak, dan

akhirnya madrasah ini berhasil mencetak para alim dan guru yang tidak sedikit

jumlahnya.

Madrasah As’adiyah terdiri dari empat tingkatan:

(1) Tingkat Awwaliyah

(2) Tingkat Ibtidaiyah

(3) Tingkat Tsanawiyah

(4) Tingkat Aliyah

5. Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab Saudi (LIPIA)

Dalam membahas peranan Kerajaan Arab Saudi dalam dakwah dan pendidikan di

Indonesia kiranya belum mewakili jika tidak dibahas tentang Lembaga Ilmu

Pengetahuan Islam dan Arab Saudi (LIPIA) yang berlokasi di Jakarta. LIPIA

merupakan lembaga yang berafiliasi ke Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud

di Riyad. Lembaga semacam ini didirikan di beberapa negara di luar Arab Saudi

sebagai menara dan pusat penyebaran dakwah Islam, pengajaran Bahasa Arab dan

Ilmu-ilmu keislaman.

37
LIPIA merupakan salah satu jembatan penghubung budaya yang memainkan

peranan penting dalam mempererat hubungan Arab Saudi dengan Indonesia,

khususnya untuk kepentingan dakwah dan pendidikan. Di tempat ini puluhan bahkan

ratusan generasi muda Muslim Indonesia, yang datang dari berbagai penjuru negeri

ini, telah dan sedang mendapatkan pendidikan dan pengajaran tentang berbagai ilmu

keislaman dan Bahasa Arab. Keterkaitan ilmu-ilmu Islam dengan Bahasa Arab

tampaknya mendapatkan penekanan khusus yang tercermin pada nama lembaga ini.

Penekanan ini dapat dimengerti karena penguasaan ilmu-ilmu Islam secara baik akan

menjadi lebih mungkin jika seseorang itu mempunyai bekal Bahasa Arab yang baik.

Untuk memperoleh hasil yang labih baik, terutama dalam kaitannya dengan

pengajaran Bahasa Arab, para tenaga akademis di lembaga ini didatangkan langsung

dari Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud

Untuk memperluas bidang cakupan dakwah dan pendidikannya, lembaga ini

juga aktif mengadakan dan mengikuti berbagai kegiatan di luar kampus. Kegiatan-

kegiatan luar kampus yang dilakukan oleh lembaga ini dalam rangka mengemban

misi dakwah dan pendidikan, antara lain:

1) Penataran

a) Penataran Bahasa dan Pendidikan

Program ini dilaksanakan, bekerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan lain di

Indonesia, untuk menatar guru-guru dan dosen-dosen Bahasa Arab dan ilmu-ilmu

Islam. Penataran ini antara lain dimaksudkan untuk memperluas wawasan keislaman

dan memperbaiki serta meningkatkan sistem dan metode pengajaran Bahasa Arab

yang efektif. Penataran ini sudah pernah diadakan di berbagai daerah di tanah air ini,

antara lain: di Ujung Pandang dengan bekerjasama dengan Universitas Muslimin


38
Indonesia; di Lombok Barat, bekerjasama dengan Pesantren Salafi Nurul Hakim; di

Jawa Timur, bekerjasama dengan Pondok Modern Gontor; di Yogyakarta, bekerjasa

dengan Universitas Gajah Mada; dan di Jakarta, bekerjasama dengan Pondok

Darunnajah.

b) Penataran Ilmu Syariah

Penataran ini dimaksudkan untuk memperluas dan mendalami ilmu syariah. Sebagai

contoh adalah penataran yang pernah dilakukan di Bogor pada pertengahan tahun

1419 yang lalu.

2) Bantuan Dosen

Dalam rangka menyebarkan dan meningkatkan bahasa Arab di Indonesia, LIPIA

menugaskan beberapa orang dosennya untuk mengajar di beberapa perguruan tinggi

dan berbagai lembaga pendidikan di Indonesia untuk jangka waktu tertentu. Lembaga

pendidikan yang pernah mendapat bantuan dosen tersebut antara lain: Fakultas Sastra,

Jurusan Bahasa Arab, Universitas Indonesia, Depok; Fakultas Agama Islam,

Universitas Ibn Khaldun, Bogor; Fakultas Pendidikan Sastra, Jurusan Pendidikan

Bahasa Arab, IKIP, Jakarta; Lembaga Pengajaran Bahasa Arab, Pusat Pendidikan

Bahasa, Dep. Hankam, Jakarta; dan Fakultas Adab, IAIN Syarif Hidayatullah,

Jakarta.

3) Ceramah, Seminar, Halaqah.

Lembaga ini juga aktif mengirimkan tenaga akademisnya untuk mengikuti dan

menyumbangkan pikirannya dalam berbagai ceramah, seminar, dan halaqah di


39
beberapa daerah di Indonesia. Di samping itu lembaga ini juga mengadakan kajian-

kajian ilmiah dengan menghadirkan para cendekiawan Indonesia.

3. Pengaruh Kebangktian Gerakan Salafiyah di Arab Saudi Terhadap Umat


Islam Indonesia.

1. Situasi Keagamaan Dunia Arab Menjelang Era Kebangkitan Gerakan


Salafiyah
Banyak sejarawan menuturkan bahwa kondisi keagamaan dunia Arab menjelang era

pembaruan begitu menyedihkan. Bahkan ada yang menyebutkan kondisi saat itu tidak

berbeda dengan zaman jahiliyah. Praktik-praktik kemusyrikan, bid’ah, khurafat, dan

berbagai pertentangan antara berbagai kelompok agama terjadi di mana-mana. Di

Nejd misalnya, sebagian orang Islam biasa mendatangi kuburan, pohon-pohon yang

dianggap keramat, dan batu-batu yang dianggap bertuah untuk meminta pertolongan.

Di Mekkah dan Madinah juga merajalela praktik semacam ini, bahkan ada yang minta

pertolongan kepada jin dan orang gila. Di Yamamah, ada satu pohon kurma yang

diyakini oleh penduduk sebagai memiliki kekuasaan yang luar biasa, mereka meminta

berkah ke pohon itu. Di Dar’iyyah terdapat satu gua yang juga dikeramatkan. Mereka

mengajukan berbagai permintaan ke benda-benda itu. Ada yang meminta supaya

diberi anak. Ada yang minta supaya dapat jodoh, Ada lagi yang meminta supaya

disembuhkan dari penyakit. Ada yang meminta kekayaan. Mereka beranggapan

bahwa benda-benda atau orang-orang itu dapat menyelesaikan berbagai persoalan

hidup yang mereka hadapi.

Pengaruh ajaran-ajaran tarekat yang sesat menyebar di mana-mana merasuki

seluruh sendi-sendi kehidupan umat Islam. Do’a tidak lagi langsung dipanjatkan

kepada Tuhan, tetapi harus melalui syafa’at syekh atau wali dalam satu tarekat yang
40
dipandang sebagai orang yang dapat mendekati Tuhan dan dapat memperoleh rahmat-

Nya. Karena itu kuburan para syekh dan orang-orang yang dianggap wali serta tempat

syekh-syekh atau orang-orang yang dianggap wali yang masih hidup ramai

dikunjungi orang. Mereka berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bisa didekati kecuali

melalui perantara, yang pada akhirnya Tuhan itu sendiri dilupakan.

Kondisi praktik-praktik keagamaan yang demikian mundur ini utamanya juga

karena tersebarnya taklid sebagai sikap hidup beragama. Taklid mengajarkan untuk

tunduk dan patuh begitu saja kepada penafsiran dan pendapat orang-orang terdahulu.

Sikap ini menjadikan umat statis dan tidak kritis, mereka cenderung menerima dan

mengikuti begitu saja apa-apa yang dikatakan oleh orang yang dianggap mengerti

agama.

Kondisi semacam inilah yang mendorong Muhammad bin Abdul Wahhab

untuk membangkitkan kembali Gerakan Salafiyah.

2. Gerakan Salafiyah

Salafiyah adalah kata jadian; asalnya salafa, yaslufu, dan salafan; padanannya adalah

kata taqaddama dan madla; artinya berlalu, sudah lesat, atau terdahulu. Al-Salaf

berarti orang-orang terdahulu, berlalu, dan sudah lewat dalam tindakannya.

Dalam tradisi pemikiran sering disebut kata al-Salaf al-salih, artinya orang

saleh yang terdahulu atau yang sudah lewat. Biasanya kata ini dipakai untuk merujuk

kepada orang-orang Muslim yang hidup sezaman dengan Nabi SAW sampai abad ke-

3 H. Mereka itu terdiri dari sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan atba’ al-tabi’in. Hal

ini didasarkan pada sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik abad adalah abadku ini,

kemudian abad berikutnya, dan abad berikutnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
41
Pertimbangan masa dalam memaknai kata Salaf tidaklah mencukupi sebab

pada tiga abad pertama itu ada orang-orang yang tidak sepenuhnya memenuhi kriteria

dan ciri utama Salaf, yakni mendasarkan segala pandangan, pikiran, dan perbuatan

pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Kriteria yang baru disebutkan ini sudah semestinya

dijadikan pertimbangan penting dalam memaknai kata Salaf.

Mereka yang hidup pada tiga abad pertama dan mengikuti pola pikir dan

hidup sesuai dengan kriteria Salaf, disebut Salafiyun. Sedangkan Salafiyah merujuk

kepada suatu keterkaitan terhadap metode Salaf. Sebagai sebuah gerakan, Salafiyah

adalah gerakan yang berusaha menghidupkan kembali ajaran kaum Salaf, bertujuan

agar umat Islam kembali kepada ajaran-ajaran yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-

Sunnah serta meninggalkan segala ajaran yang tidak didasarkan pada keduanya.

Gerakan ini meliputi seluruh bidang kehidupan: akidah, ibadah, dan bahkan

mu’amalah. Ajaran pokok gerakan ini adalah:

(1) Pintu ijtihad tetap terbuka sepanjang masa.

(2) Taklid tanpa mengethui sumbernya diharamkan.

(3) Perlu sikap hati-hati dalam berijtihad dan berfatwa.

(4) Perdebatan teologis harus dihindarkan.

(5) Penolakan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat.

Gerakan Salafiyah juga sering disebut gerakan Tajdid (pembaruan), gerakan

Ishlah (perbaikan), dan gerakan Tathhir (pemurnian). Pencetus gerakan ini dalam

Islam adalah Ibn Taimiyah. Bahkan dia juga disebut sebagai Muhyi Atsar al-Salaf

(orang yang menghidupkan kembali ajaran Salaf). Sepeninggal Ibn Taimiyah,

gerakan ini dilanjutkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid Ibn Taimiyah.

42
Setelah era Ibn Qayyim, pelita gerakan Salafiyah meredup di hampir seluruh

belahan dunia Islam. Sampai akhirnya lahirlah seorang pembangkit gerakan ini di

dunia Arab yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab. Genderang kebangkitan

Gerakan Salafiyah ditabuh dengan kerasnya oleh tokoh ini di tengah dunia Islam yang

sedang tertidur lelap dalam syirk, bid’ah, khurafat, tahayul, dst.

Semangat kebangkitan Gerakan Salafiyah ini kemudian melahirkan tokoh-

tokoh Mujaddid semisal Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad

Rasyid Rida. Pada akhirnya Gerakan ini kemudian tersebar ke negara-negara Islam

atau negara-negara yang berpenduduk Muslim, semisal Indonesia.

3. Muhammab bin Abdul Wahhab (1703-1787): Tokoh Kebangkitan Kembali

Gerakan Salafiyah

Muhammad bin Abdul Wahhab adalah tokoh pembaruan Islam yang sangat

berpengaruh di dunia Arab khususnya dan dunia Islam umumnya. Dia lahir pada

1115/1703, di Uyainah, sebuah desa yang terkenal di Yamamah, Nejd. Nama lengkap

tokoh ini adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali al-Tamimi al-

Hanbali al-Najdi.

Pendidikan dasarnya diperoleh dari ayahnya dan ulama-ulama lain

bermadzhab Hanbali. Dari mereka dia belajar al-Qur’an, fikih, hadis, dan tafsir.

Kemudian dia melanjutkan belajar di Mekkah dan Madinah. Di Madinah dia belajar

di bawah bimbingan ulama-ulama yang masyhur, antara lain: Syekh Abdullah bin

Ibrahim Ibn Saif al-Najdi, Syekh Muhammad Hayat al-Sindy, Syekh Sulaiman al-

Sindy, dan Syekh Sulaiman al-Kurdi.

Muhammad Hayat (w. 1163/1749) adalah termasuk salah satu guru yang

memberi pengaruh kuat pada Ibn Abdul Wahhab, terutama mengenai pentingnya
43
ajaran tauhid, penentangan terhadap bid`ah dan khurafat, penolakan terhadap taklid,

dan perlunya kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam karyanya `Unwan al-

Majd, Ibn Bisyr meriwayatkan bahwa pada suatu kesempatan Ibn Abdil Wahhab

memandangi beberap orang Muslim yang sedang berdoa di pusara Nabi dengan

harapan melalui perantaraan beliau mereka akan diselamatkan. Muhammad Hayat

mendekati Ibn Abdul Wahhab, lalu sambil menunjuk ke arah orang-orang itu dia

berkata bahwa apa yang mereka lakukan itu sangat salah, tetapi sayang mereka tidak

menyadarinya.

Guru Ibn Abdul Wahhab yang lain yang sangat berpengaruh terhadap

pandangannya adalah Abdullah bin Ibrahim bin Saif. Dia adalah seorang ahli fikih

Hanbali dan ahli hadis yang sangat mengagumi Ibn Taimiyyah. Besar kemungkinan

bahwa dialah yang menyuruh Ibn Abdul Wahhab untuk membaca karya-karya Ibn

Taimiyyah. Ibn Saif juga memiliki gagasan-gagasan pembaruan yang diperolehnya

dari Ibn Taimiyyah. Dengan mengikuti Ibn Taimiyyah, Ibn Saif percaya bahwa

pembaruan harus dilakukan untuk menyebarkan pemahaman serta praktik-praktik

Islam yang benar. Bedanya dengan muridnya, Ibn Abdul Wahhab, Ibn Saif

menyarankan pembaruan ini secara bertahap dan damai melalui pengajaran.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab juga pernah belajar di Bashrah,

Baghdad, Kurdistan, Hamadzan, Isfahan, dan terakhir di Qum. Sepulang dari Qum,

Muhammad bin Abdul Wahhab pulang ke kampung halamannya dan menetap selama

8 bulan sambil merenungkan hasil belajarnya dan pengalaman-pengalamannya. Dia

melihat umat Islam telah menyimpang jauh dari ajaran-ajaran agama yang murni;

betapa bedanya antara ajaran Islam yang murni dengan praktek-praktek keagamaan

yang hidup dalam masyarakat. Kemusyrikan tumbuh subur, bid`ah dan khurafat
44
menjadi hiasan hidup sehari-hari umat. Ia berkesimpulan bahwa inilah penyebab

utama terjadinya kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan: politik,

sosial, ekonomi, dll. Melihat realitas umat semacam ini, dia tergugah untuk

mengadakan perbaikan dan pembaruan.

Pokok-pokok pikiran pembaruan Muhammad bin Abdul Wahhab termuat

dalam karya-karyanya yang cukup banyak, antara lain:

- Ushul al-Iman,

- al-Ushul al-Tsalatsah wa Adillatuha,

- al-Tauhid wa Kitab al-Qaul al-Sadid,

- Mukhtashar Shahih al-Bukhari,

- Mukhtashar al-Sirah al-Nabawiyah,

- Nasihat al-Mudzlimin bi Ahadis Khatam al-Nabiyin,

- Tafsir Surat al-Fatihah,

- Kitab al-Kaba’ir,

- Kasyf al-Syubhat,

- Mukhtashar Zad al-Ma`ad,

- al-Masa’il allati Khalafa fiha Rasulullah ahl al-Jahilihiyah.

Dari karya-karyanya ini dapat dirumuskan pikiran-pikiran Ibn Abdul Wahhab

yang menandai kebangkitan kembali Gerakan Salafiyah. Pikiran-pikiran tersebut

antara lain:

- Hanyalah Allah yang boleh dan wajib disembah. Siapa saja yang menyembah

selain Allah berarti telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.

- Mayoritas umat Islam tidak lagi berpegang kepada tauhid yang sebenarnya,

karena mereka tidak lagi meminta pertolongan kepada Allah, tetapi kepada para
45
syekh dan orang-orang yang dianggap wali serta dari kekuatan gaib lain. Orang

Islam yang berbuat demikian telah menjadi musyrik juga.

- Menyebut nama Nabi, syekh, atau Malaikat sebagai perantara dalam doa adalam

syirk.

- Meminta syafaat selain kepada Allah adalah syirk.

- Bernazar kepada selain Allah adalah syirk.

- Memperoleh pengetahuan selain dari al-Qur’an, Hadis, dan qiyas adalah

kekufuran.

- Tidak percaya kepada qadla dan qadar juga merupakan kekufuran.

- Menafsirkan al-Qur’an dengan takwil adalah juga kufur.

Secara garis besar kedelapan pikiran di atas dapat diringkas menjadi tiga

pokok pikiran, yaitu:

(1) Pemurnian tauhid.

Tauhid menurut tokoh ini adalah ibadah atau pengabdian hanya kepada Allah. Dalam

kaitannya dengan ibadah, tokoh ini membagi tauhid menjadi empat:

(a) Tauhid uluhiyyah, yakni tauhid terhadap Allah sebagai Yang disembah.

(b) Tauhid rububiyyah, yakni tauhid terhadap Allah sebagai Pencipta segala

sesuatu.

(c) Tauhid asma’ dan sifat, yakni tauhid yang berhubungan dengan nama dan

sifat Allah.

(d) Tauhid al-af`al, yakni tauhid yang berhubungan dengan perbuatan Allah.

Menurut Ibn Abdul Wahhab, tiga tauhid yang disebut terakhir hanyalah tauhid

ilmu dan keyakinan. Sedangkan tauhid yang sesungguhnya adalah tauhid yang

pertama, yaitu tauhid uluhiyyah, dan inilah yang dikehendaki Allah.


46
(2) Memerangi bid’ah dan apa saja yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

(3) Membuka pintu ijtihad dan memerangi sikap jumud dan taklid.

Fenomena kebangkitan kembali Gerakan Salafiyah ini sebenarnya telah

menjadi kecenderungan perkembangan keilmuan di lingkungan para ulama ketika itu,

terutama yang tinggal di Madinah. Tetapi Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab telah

mendorong bandul kebangkitan ini jauh lebih keras ketimbang semua tokoh lain.

b. Kebangkitan Gerakan Salafiyah di Indonesia

Persatuan antara Muhammad Ibn Abdul Wahhab dengan Muhammad Sa`ud benar-

benar memiliki dampak luar biasa bagi suksesnya penyiaran Gerakan Salafiyah di

satu sisi. Di sisi lain persatuan ini juga memantapkan posisi Ibn Sa`ud dan

membukakan jalan buatnya untuk memperluas wilayah kekuasaannya sebagaimana

terwujud pada masa Raja Abdul Aziz yang berhasil menyatukan seluruh wilayah yang

kini berada di bawah panja-panji Kerajaan Arab Saudi.

Sebagaimana telah disinggung di atas, kebangkitan kembali Gerakan

Salafiyah tidak hanya terbatas pada wilayah Kerajaan Arab Saudi, tetapi melintasi

banyak negara di dunia Islam. Pusat-pusat studi di Haramain serta musim haji

merupakan sarana sangat baik untuk penyebaran Gerakan ini. Terhadap jama`ah haji

ide-ide Gerakan ini disampaikan kepada para pemimpin jamaah dari berbagai negara.

Sepulang dari berhaji mereka menyiarkan ide-ide tersebut di negeri mereka masing-

masing. Di Afrika, yakni Zanzibar, terdapat kelompok besar umat Islam yang

memegang teguh ajaran-ajaran Gerakan ini. Di Afrika Utara ada Imam al-Sanusi yang

ketika berhaji di Mekkah mendengar dan menerima ide-ide di atas, lalu mewujudkan

semangat ide-ide itu dalam tarekat khas yang didirikannya di Maghribi. Di India
47
terdapat seorang ulama besar Sayyid Ahmad. Pada 1822 ia pergi haji dan pada

kesempatan itu dia mempelajari pikiran-pikiran para tokoh dalam Gerakan Salafiyah.

Sepulangnya ke India dia menyiarkan ide-ide tersebut di Punjab dan bahkan

menjangkau daerah utara India. Di Mesir lahir Muhammad Abduh yang juga

membawa ajaran Gerakan Salafiyah ke Mesir. Indonesia menerima kedatangan

semangat Gerakan Salafiyah ini dari orang-orang Indonesia yang pergi haji atau dari

orang-orang Indonsia yang pernah belajar di pusat-pusat studi Islam, terutama

Haramain dan Mesir, atau juga dari orang-orang Arab yang datang ke Indonesia.

Gerakan Salafiyah di Kerajaan Mataram (Islam), Jawa

Hamka, salah seorang tokoh terkemuka dalam gerakan pembaruan di Indonesia,

mencatat bahwa Gerakan Salafiyah pertama kali masuk ke Indonesia terjadi pada

1790. Pada tahun itu ada orang-orang Arab yang datang ke wilayah Mataram untuk

menyebarkan ajaran-ajaran Gerakan Salafiyah, di antaranya ialah:

- Kembali kepada Islam sebagaimana yang terdapat pada masa al-salaf al-shalih

- Membersihkan akidah dan ibadah dari berbagai bid’ah dan khurafat.

- Membersihkan akidah tauhid dari pengaruh ajaran-ajaran tasawuf yang

menyeleweng dan yang bertentangan ajaran Islam itu sendiri.

- Berpegangteguh kepada ajaran-ajaran Islam yang murni.

Gerakan dakwah ini mendapat sambutan hangat dari Paku Buwana IV,

penguasa Mataram saat itu. Paku Buwana IV terkesan dengan misi yang dibawa oleh

para juru dakwah ini. Karena itu Paku Buwana IV segera mengamalkan ajaran-ajaran

yang mereka dakwahkan tersebut dengan senang hati. Berbagai tradisi dan adat

istiadat Hindu dan Budha dihilangkang, kebiasaan-kebiasaan mengagung-agungkan

penguasa dihapuskan, dan segala bentuk praktik-praktik syirk dan bid’ah dibasmi.
48
Dakwah ini mulai menampakkan hasilnya, hanya saja penjajah Belanda

kemudian mencium bahaya misi dakwah ini buat pelanggengan kekuasaan mereka

atas negeri ini. Untuk itu penjajah merekayasa tipu muslihat untuk dapat mengusir

para juru dakwah itu agar pengaruhnya tidak sampai menyebar di negeri ini. Mereka

kemudian melancarkan tuduhan bahwa para juru dakwah itu melakukan tindakan-

tindakan yang merongrong kekuasaan penguasa Mataram. Penguasa termakan oleh

tipu daya tersebut dan akhirnya para juru dakwah itupun diusir dari Mataram.

Gerakan Paderi di Minangkabau

Di bagian Indonesia yang lain (Minangkabau), pengaruh Gerakan Salafiyah masuk

pada permulaan abad ke-19. Pada tahun 1803 ada tiga anak muda Minangkabau pergi

haji ke Mekkah dan kemudian menetap di sana kira-kira lima tahun untuk menuntut

ilmu. Mereka itu ialah Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji

Abdurrahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh), dan Haji Muhammad Arif dari

Sumanik (Luhak Tanah Datar). Ketika itu Mekkah berada dalam kekuasaan dan

pengaruh para pengikut Ibn Abdul Wahhab. Semasa berada di Mekkah ketiga orang

ini sangat terkesan dengan berbagai hal yang ditemuinya di sana. Mereka ketika itu

menyaksikan dakwah hebat yang dilakukan oleh para pendukung Gerakan Salafiyah.

Mereka melarang keras membesar-besarkan kuburan orang yang dipandang keramat,

memberantas orang-orang yang meminta pertolongan ke wali, pohon, dan apa saja

selain Allah. Membatalkan dengan keras amalan-amalan yang tidak memiliki dasar

dalam dan bertentangan dengan agama.

Ketiga ulama muda ini begitu terpengaruh dengan cara-cara dakwah itu..

Mereka kemudian pulang ke Minangkabau membawa semangat dan ide-ide

pembaruan yang dikobarkan oleh para pendukung Gerakan Salafiyah. Mereka


49
berkesimpulan bahwa orang-orang Minangkabau baru mengaku beragama Islam saja,

tetapi belum mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Karena itu mereka

bertekad menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang benar itu.

Haji Muhammad Arif menyiarkan ide-ide ini di Sumanik, tetapi di sana dia

mendapat perlawanan hebat, sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Abdurrahman

di Piabang relatif tidak mendapat tantangan. Di Pandai Sikat, Haji Miskin mendapat

perlawanan keras sehingga dia terpaksa hijrah ke Batu Tebal (Ampat Angkat). Di sini

dia mendapat sambutan baik dari para tuanku alim ulama setempat. Bersama-sama

mereka, dia melarang orang menyabung ayam, berjudi, mengisap candu, meminum

tuak, merampok membunuh, dan kejahatan-kejahatan lain yang dilarang syara’.

Selanjutnya, Haji Miskin mendapat teman-teman seperjuangan yang setia di keliling

Agam. Mereka itu adalah Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang,

Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di

Koto Ambalau, dan Tuanku di Lubuk Aur. Mereka bertujuh ditambah dengan Tuanku

Haji Miskin ini kemudian dikenal dengan sebutan Harimau Nan Salapan, karena

jumlah mereka delapan.

Mereka berpikir bahwa gerakan mereka ini akan lebih efektif jika mendapat

dukungan dari para ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan

Tuo di Ampang Angkat. Tetapi mereka gagal. Kegagalan ini tidak mematahkan

emangat dakwah pembaruan mereka menyala-nyala. Mereka bergerak menaklukkan

nagari-nagari, dan di setiap nagari yang mereka taklukkan mereka mereka

mengharuskan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam yang murni. Mereka memang benar-

benar bisa menaklukkan satu persatu nagari-nagari di sekitar Agam, jika suatu nagari

melawan mereka tidak segan-segan untuk membakarnya. Di setiap nagari yang


50
berhasil mereka taklukkan diangkat seorang “Tuan Kadi” dan seorang “Tuan Imam”.

Tuan Kadi bertugas menjaga pelaksanaan hukum syara`, sedangkan Tuan Imam

bertugas memimpin bidang peribadatan. Perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum

syara` semisal berjudi, mengadu ayam, mengadu balam atau puyuh, dan meminum

tuak dilarang keras. Siapa yang melanggar larangan-larangan itu boleh dibunuh. Pola

dakwah ini jelas menunjukkan pengaruh yang sangat dalam dari ide-ide Gerakan

Salafiyah yang dikobarkan kembali oleh Ibn Abdul Wahhab.

Gerakan ini berhasil membangkitkan gelora baru dalam hidup beragama di

Minangkabau. Di banyak nagari, paham yang dianggap baru ini diterima oleh kaum

adat dengan sukarela. Banyak pengulu dan ninik-mamak yang menjadi orang penting

dalam gerakan ini, sehingga gerakan ini menjadi cepat tersebar dan banyak mendapat

pengikut. Di Lintau gerakan ini mendapat tantangan dari kaum bangsawan yang

mulai merasa terusik posisinya dengan kehadiran gerakan ini. Mereka tidak

menunjukkan i’itikad yang baik mengahadapi gerakan ini. Karena itu, Tuanku Lintau

marah lalu menangkap dan membunuh bangsawan itu. Adapun bangsawan Raja Alam

Muningsih dapat meloloskan diri dari Tuanku Lintau.

Melihat kenyataan demikian, kalangan bangsawan merasa kurang aman,

mereka meminta bantuan kepada penjajah Belanda di Padang. Inilah yang kemudian

menyulut meletusnya Perang Paderi. Perang ini berlangsung enambelas tahun

lamanya (1821-1837). Kaum ulama-lah yang memimpin perlawanan terhadap

penjajah itu. Mereka mewarisi gagasan memurnikan ajaran Islam dan memerangi apa

saja yang bertentangannya dengannya, yang dikobarkan oleh Muhammad bin Abdul

Wahhab.

51
Ide-ide pembaruan ini secara terus-menerus hidup dan diwarisi oleh generasi-

generasi berikutnya. Di antara tokoh kenamaan yang juga mewarisi ide-ide ini adalah

Ahmad Khatib al-Minangkabawi serta murid-murid yang pernah belajar kepadanya,

antara lain: Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, dan Muhammad

Jamil Jambek. Semua tokoh ini pernah belajar di Mekkah untuk beberapa tahun, dan

mereka menerima ide-ide pembaruan dari para pelanjut Gerakan Salafiyah. Di

samping ide-ide Gerakan Salafiyah yang dihidupkan oleh Muhammad bin Abdul

Wahhab, ketiga tokoh terakhir itu juga cukup intensif berkenalan dengan ide-ide

pembaruan Muhammad Abduh, terutama melalui Majallah al-`Urwah al-Wutsqa.

Pengaruh Gerakan ini tampak jelas dalam gagasan-gagasan keempat tokoh di

atas. Mereka menolak praktik-praktik dalam tarekat yang bertentangan dengan al-

Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Mereka menolak praktik-praktik bid’ah dan khurafat

serta segala sesuatu yang mendorong kepada syirk. Hanya saja cara-cara yang mereka

tempuh berbeda-beda. Ahmad Khatib misalnya bersikap keras terhadap praktik-

praktik menyeleweng yang dilakukan oleh para pengikut tarekat dan terhadap

berbagai bentuk bid’ah. Hal ini terlihat dalam karya-karyanya, antara lain: Izhar

Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabbuhihim bi al-Shiddiqin, Al-Ayat al-Bayyinah li al-

Munsifin fi Izalat Ba`dl al-Myta’ashibin, dan Al-Saif al-Bath-thar fi Mahq Kalimat

Ba’dl ahl Ightirar.

Cara yang lebih keras ditempuh oleh murid Ahmad Khatib, yaitu Haji Abdul

Karim Amrullah (ayah Hamka). Pendekatan yang diambil oleh tokoh yang sering

dipanggi Haji Rasul ini cukup keras, tiada maaf, dan tanpa kompromi. Ceramah-

ceramahnya ditandai dengan kecaman dan serangan terhadap segala perbuatan yang

dinilainya menyeleweng dari ajaran Islam yang sejati. Ia bersikap keras dalam
52
melaksanakan pendapatnya, termasuk kepada keluarganya sendiri. Pokok-pokok

pikiran pembaruan tokoh ini benar-benar sejalan dengan ide-ide pembaruan Ibn

Abdul Wahhab. Di antara pokok-pokok pikiran Haji Rasul adalah:

(1) Kenduri di rumah orang mati dan meratapi orang mati haram hukumnya. Karena

itu adat kenduri tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dst. berkaitan

dengan kematian seseorang haruslah dibasmi.

(2) Berziarah dan membesar-besarkan kuburan, bernazar dan berkaul kepada tempat-

tempat yang dipandang keramat adalah perbuatan merusak tauhid dan membawa

kemusyrikan.

(3) Menggunakan suatu cara tertentu dalam berzikir yang tidak berasal dari

Rasulullah SAW adalah bid’ah hukumnya.

(4) Rabitah kepada guru dan mengambil perantara dalam berhubungan dengan

Tuhan, sebagaimana yang dipraktikkan oleh pengikut berbagai tarekat, adalah

melangar ajaran Islam yang sejati.

(5) Taklid buta adalah serendah-rendah derajat. Agama tidak bisa ditegakkan selama

taklid dipegang teguh.

(6) Pintu ijtihad tidak pernah tertutup bagi orang yang mampu.

(7) Adat bernalam, yaitu membaca zikir dan puji-pujian dengan menggunakan rebana

atau talam dan mementingkan lagu sehingga bacaannya salah haruslah diberantas.

(8) Talqin mayat di atas kubur tidak mempunyai dasar yang kuat dalam agama.

Karena itu, perbuatan tersebut harus dihentikan.

Sedangkan dua tokoh yang lain, yaitu Haji Abdullah Ahmad dan M. Jamil

Jambek menempuh cara-cara dakwah yang lembut dan tenang. Abdullah Ahmad

adalah pendiri Sekolah Adabiyah yang telah berhasil melahirkan banyak ulama di
53
Sumatra Barat. Dia juga termasuk orang yang membidani kelahiran dan orang yang

sangat penting dalam penerbitan surat kabar al-Munir yang merupakan media dakwah

bagi kaum pembaru.

Cara-cara yang lebih ramah dalam berdakwah ini juga dilakukan oleh

Muhammad Jamil Jambek. Pada usia 16 tahun Jambek dibawa ayahnya pergi ke

Mekkah untuk belajar di sana. Ia bermukim selama sembilan tahun di sana untuk

mempelajari agama. Pengaruh ide-ide pembaruan tampak dalam diri Jambek berupa

perhatian yang mendalam untuk upaya-upaya peningkatan iman dan penolakannya

yang tegas terhadap tarekat dan berbagai praktik keagamaan yang menyeleweng dari

al-Qur’an dan Hadis, dalam ceramah-ceramah dan pengajaran-pengajaran yang dia

sampaikan. Hanya saja semua itu disampaikan tanpa menyakiti pihak yang terkena

kritik-kritiknya.

Muhammadiyah

Muhammadiyyah adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Didirikan

pada 1912/1330 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muahammadiyah dikenal sebagai

organisasi yang teleh mengobarkan jiwa pembaruan pemikiran Islam di negeri ini.

Jiwa pembaruan yang melekat pada diri pendiri organisasi ini telah ditempa sejak dia

belajar di Mekkah selama 5 tahun, yaitu antara 1890-1895. Pada tahun 1903 dia

kembali lagi ke Mekkah untuk belajar lagi selama 3 tahun. Di Mekkah dia belajar

tauhid, tafsir, fikih, tasawwuf, qira’at, mantiq, dan falak. Selama di Mekkah tokoh ini

tertarik dengan pikiran-pikiran Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah, Muhammad

bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida.

Perkenalannya dengan pemikiran tokoh-tokoh itu dimungkinkan karena lingkungan


54
Mekkah saat itu telah dipengaruhi dan diwarnai oleh trend Salafiyah.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Gerakan Salafiyah yang digagas oleh Ibn

Taimiyyah sangat mendalam pengaruhnya dalam semangat dan pikiran-pikiran

pembaruan Muhammad bin Abdul Wahhab. Pengobaran semangat pembaruan yang

dilakukan Ibn Abdul Wahhab ini kemudian berpengaruh bagi meningkatnya minat

para ulama untuk menelaah kembali karya-karya Ibn Taimiyyah. Kondisi kondusif

untuk pembaruan yang diupayakan oleh para pengikut Ibn Abdul Wahhab, termasuk

dan terutama para penguasa Kerajan Arab Saudi dari keturunan Muhammad Sa’ud,

memungkinkan lahirnya para tokoh pembaru semisal Jamaluddin, Abduh, dan Rida.

Pengaruh mereka inilah yang kemudian terlihat kental dalam oraganisasi yang

didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan ini.

Faktor terpenting yang mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan

organisasi adalah:

(1) Kenyataan bahwa umat Islam Indonesia telah banyak yang meninggalkan al-

Qur’an dan Sunnah. Mereka cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang

termasuk takhayul, bid’ah, dan syirk. Amalan-amalan mereka merupakan

campuran antara yang hak dan yang batil.

(2) Lembaga-lembaga pendidikan agama Islam yang ada ketika itu tidak efisien;

tidak dapat menjawab tantangan dan tuntutan perkembanganmasyarakat.

Lembaga pendidikan terpecah menjadi dua: pendidikan sekuler yang hanya

mengajarkan ilmu-ilmu umum dan pendidikan pesantren yang hanya mempelajari

ilmu-ilmu agama dalam arti sempit. Akitabnya umat terpecah dan hal ini

menyebabkan semakin melemahnya kekuatan umat.

55
(3) Mayoritas umat Islam yang terdiri dari petani dan buruh menjadi semakin miskin.

Sementara yang kaya tidak ingat berzakat, sehingga hak-hak orang miskin

terabaikan.

(4) Aktivitas misi Kristen semakin gencar. Bahkan mereka mendapat bantuan dari

penjajah Belanda.

(5) Kebanyakan umat Islam terperangkap dalam fanatisme sempit, taklid buta, dan

pola hidup yang statis.

Untuk mewujudkan tujuan-tujuan di atas Muhammadiyah melakukan berbagai

aktivitas sebagai berikut:

(1) Menggalakkan dan meningkatkan mutu pendidikan umat Islam. Hal ini

dimaksudkan agar umat Islam dapat mengerti ajaran-ajaran agama mereka secara

benar. Ajaran agama yang benar itu ialah yang memurnikan tauhid, memperteguh

iman, meningkatkan ibadah, memperbaiki akhlak, meluaskan dakwah amar

makruf nahi mungkar

(2) Mengadakan pembaruan ajaran-ajaran agama agar selaras dengan tantangan

zaman.

(3) Memperbarui ajaran-ajaran agama dan sistem pendidikan Islam.

(4) Mempertahankan Islam dari segala pikiran dan perbuatan yang bertentangan

dengan Kitab dan Sunnah.

Sebagai salah satu oraganisasi Islam terbesar di Indonesia, saat ini

Muhammadiyah telah menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Pertumbuhan ini

berlangsung begitu cepat, tidak sampai 15 tahun dari masa berdirinya organisasi ini

telah menjangkau wilayah-wilayah yang cukup luas di luar Jawa.

56
Di Aceh Muhammadiyah telah masuk untuk pertama kali tahun 1922/1923

melalui Djajasukarta. Perkembangannya menjadi sangat cepat setelah A.R. Sutan

Mansur masuk ke wilayah ini pada tahun 1927.

Wilayah Sumatra Barat telah dimasuki Muhammadiyah sejak tahun 1925. Di

sini Muhammadiyah mendapat dukungan kuat dari seorang ulama kenamaan Dr. Haji

Abdul Karim Amrullah, pelopor gerakan pembaruan di wilayah ini.

Pada tahun 1927 Muhammadiyah tersebar di Sumatra bagian timur dibawa

oleh orang-orang yang datang dari Tapanuli, Suatra Barat dan Jawa. Merekalah yang

pertama mendirikan Muhammadiyah di tempat ini.

Untuk wilayah Kalimantan, Muhammadiyah masuk melalui para saudagar

yang datang ke sana. Perintis Muhammadiyah di Kalimantan adalah H. Usman Amin,

dari Alabio, Hulu Sungai Utara. Tokoh ini masuk menjadi anggota Muhammadiyah

tahun 1923, dan pada 1925 dia kembali ke Alabio untuk menyiarkan Muhammadiyah

di sana. Pada 1925 Muhammadiyah memasuki wilayah Kuala Kapuas, Kalimantan

Tengah. Sedangkan untuk Kalimantan Selatan, Muhammadiyah imasuk ke wilayah

ini pada tahun 1926.

Melalui seorang orator ulung, H. Abdullah, Muhammadiyah masuk ke daerah

Sulawesi. Keberadaan Muhammadiyah di Sulawesi ini menjadi semakin berkembang

setelah Pimpinan Pusat Muhammdiyah mengutus M. Yunus Anis ke daerah ini tahun

1928.

Perkembangan Muhammadiyah ini tidak hanya terbatas di dalam negeri,

bahkan ia telah menjangkau negeri-negeri jiran. Pada tanggal 25 Desember 1957

berdirilah Muhammadiyah di Singapur yang dirintis oleh Ustadz Abdurrahman

Haron. Sedangkan di Malaysia, Muhammadiyah untuk pertama kali didirikan di


57
Pulau Penang tahun 1967 oleh Ustadz Zainal Abidin Zamzam. Selanjutnya

Muhammdiyah didirikan di Thailand pada tanggal 11 Agustus 1988, tepatnya di

Kabupaten Canak, Propinsi Songkhla, Thailand Selatan.

Demikian pula, sebagai organisasi besar, Muhammadiyah mempunyai

beberapa organisasi otonom yang gerak dan tujuannya seiring dengannya. Organisasi-

organisasi itu adalah:

(1) Aisyiyah, didirikan tahun 1917 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Organisasi ini bergerak

dan berjuang di kalangan kaum ibu atau muslimat Indonesia.

(2) Nasyi’atul Aisyiyah, berdiri tahun 1930, untuk membina remaja putri Islam.

(3) Pemuda Muhammadiyah, didirikan tahun 1350/1932 berdasarkan hasil keputusan

Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Ujung Pandang. Organisasi ini dimaksudkan

untuk membina dan menggerakkan potensi pemuda Islam.

(4) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), didirikan tahun 1381/1961. Organisasi ini

bertugas membina dan menggerakkan potensi para pelajar Islam.

(5) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), didirikan tahun 1384/1964. IMM

dibentuk untuk membina dan menggerakkan potensi para mahasiswa Islam; baik

dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan, ataupun kemahasiswaan.

(6) Tapak Suci, didirikan tahun 1963. Tapak Suci juga disebut Persatuan Pencak Silat

Putra Muhammadiyah.

(7) Hizbul Wathan (HW), didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan tahun 1918. Organisasi

ini bergerak di bidang kepanduan. Andil HW cukup besar dalam menyiapkan para

pemuda Indonesia untuk menghadapi penjajah Belanda. Di antara mantan anggota

HW adalah Jenderal Sudirman yang pada tahun 1945 diangkat oleh Presiden RI,

Sukarno, menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat yang menjadi cikal
58
bakal TNI. Pada tahun 1961, HW ditiadakan dan dileburkan ke dalam Gerakan

Pramuka.

Muhammadiyah dengan segala perangkat organisasi, amal usaha, dan

perjuangannya telah memberikan andil yang cukup besar dalam mencapai dan

mengisi kemerdekaan negeri ini; baik dalam sisi pendidikan, dakwah,

kemasyarakatan, ekonomi, dll.

Al-Irsyad

Nama lengkap gerakan ini adalah Jam’iyyah al-Ishlah wa al-Irsyad al-Islamiyyah.

Didirikan tahun 1914, di Jakarta, oleh Syekh Ahmad Soorkatti dengan dibantu oleh

beberapa kawannya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Syekh Ahmad

adalah seorang tokoh pembaru yang mengenal ide-ide pembaruan Ibn Taimiyah, Ibn

al-Qayyim al-Jauziyah, Ibn Abdul Wahhab, dan Muhammad Abduh semasa dia

belajar di Tanah Suci. Ide-ide pembaruan itu dia siarkan di Indonesia melalui

organisasi Al-Irsyad yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial keagamaan.

Sejak awal berdirinya, al-Irsyad telah mendirikan lembaga pendidikan. Murid-

muridnya terdiri dari anak-anak keturunan Arab dan sebagian kecil anak-anak

Indonesia asli. Lembaga pendidikan al-Irsyad mengemban misi penyiaran Gerakan

Salafiyah yang dibangkitkan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang

dilakukan berdasarkan gagasan-gagasan pembaruan dalam pendidikian yang dibawa

oleh Muhammad Abduh. Hal ini terlihat dalam tujuan yang hendak dicapai al-Irsyad

dengan memasukkan ilmu tauhid, ilmu fikih, dan sejarah Islam.

Dengan mempelajari ilmu tauhid diharapkan seseorang dapat mengembangkan

jiwa dan hartanya secara benar. Pengajaran ilmu fikih dimaksudkan untuk
59
memperbaiki akhlak seseorang dengan berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah.

Sedangkan sejarah Islam diajarkan dengan harapan agar seseorang mengetahui

kemajuan dan kemunduran peradaban umat Islam pada masa lalu untuk dijadikan

pelajaran bagi masa kini dan masa mendatang.

Pergerakan al-Irsyad saat ini telah tersebar di hampir seluruh kota-kota besar

di Indonesia. Keanggotannya tidak lagi terbatas pada orang-orang keturunan Arab,

setiap umat Islam dari keturunan apapun bisa menjadi anggota pergerakan ini sesuai

dengan ketentuan yang telah ditepkan dalam AD/ART-nya.

Demikian pula, dalam perkembangannya kemudian, al-Irsyad telah banyak

mendirikan lembaga pendidikan yang tidak hanya terbatas pada sekolah agama, tetapi

juga sekolah umum.

F. Penutup

Dakwah dan pendidikan adalah dua bidang yang saling terkait, keduanya bagai dua

sisi dari satu mata uang yang sama. Pendidikan tidak akan bermakna jika ia

dilepaskan dari kepentingan dakwah. Sedangkan dakwah baru akan dapat

dilaksanakan secara efektif dan efisien jika pendidikan diberi perhatian yang

semestinya. Dakwah mengajak manusia ke jalan Allah sedangkang pendidikan

merupakan upaya mempersiapkan dan membekali manusia baik secara jasmani

maupun rohani untuk menempuh jalan tersebut.

Hubungan Indonesia dengan wilayah-wilayah yang kini berada dalam

Kerajaan Arab Saudi telah berlangsung sejak masa-masa awal lahirnya Islam.
60
Hubungan itu terjadi dalam berbagai bidang yang meliputi, antara lain: ekonomi,

politik, budaya, dakwah dan pendidikan. Bahkan sebenarnya kedua bidang terakhir

itu dapat merangkum dan mewakili hubungan dalam semua bidang yang ada.

Hubungan ekonomi, politik, dan budaya misalnya tidak semata-mata dilakukan untuk

kepentingannya sendiri, lebih dari itu dilakukan untuk suatu misi dakwah. Misi

dakwah ini terlihat menjadi sangat intensif ketika melibatkan hubungan di bidang

pendidikan. Dalam hal ini, kedudukan Haramain sebagai pusat pendidikan Islam

menjadi sangat penting bukan saja bagi Indonesia, tetapi bagi dunia Islam pada

umumnya.

Bagi umat Islam Indonesia peranan Haramain sangatlah menentukan;

keduanya merupakan mata air dakwah dan pendidikan yang mengalir ke Indonesia

melalui mereka yang belajar ke sana kemudian kembali ke negeri ini atau melalui

orang-orang Haramain yang datang ke sini.

Ketika air dakwah dan pendidikan di mata airnya mengeruh, lahirlah seorang

pejuang yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menjernihkan air itu kembali.

Upaya pejuang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab untuk membangkitkan

ajaran-ajaran Gerakan Salafiyah yang dicetuskan oleh Ibn Taimiyah dan dilanjutkan

oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah ini ternyata mendapat dukungan dari pihak

penguasa setempat. Gabungan (antara kepemimpinana agama dan kepemimpinan

politik) ini menghasilkan kekuatan luar biasa untuk mewujudkan tujuan yang hendak

dicapai itu.

Pengaruh gerakan penjernihan (pembaruan) ini sampai ke Indonesia melalui

para jamaah haji dan/atau orang-orang Indonesia yang menuntut ilmu di Haramain,

ketika wilayah ini telah berhasil ditaklukkan oleh penguasa yang memiliki semangat
61
pembaruan, yakni Keluarga dan keturunan Saud. Pengaruh gerakan ini di Indonesia

dapat dilihat dalam Gerakan Paderi di Minangkabau, Pergerakan Muhammadiyah,

dan Pergerakan al-Irsyad misalnya, juga lahirnya berbagai lembaga pendidikan yang

berada didirikan oleh pergerakan-pergerakan ini ataupun oleh yang lain.

Lahirnya berbagai pergerakan pembaruan di Indonesia memberikan andil

cukup besar bagi mengantarkan negeri ini mencapai kemerdekaannya. Sebab gerakan

pembaruan tersebut bertekad untuk menolak dan membasmi segala sesuatu yang

dianggap betentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang sejati. Karena itu pergerakan-

pergerakan ini tidak hanya berperang melawan syirk, bid’ah, khurafat, takhayul, dan

sejenisnya; tetapi juga membangkitkan genderang peperangan melawan kaum

penjajah yang kafir itu.

Pada saat Raja Abdul Aziz Al-Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi, berkuasa,

ia mulai merintis pendirian lembaga-lembaga pendidikan modern, di antaranya adalah

dengan mendidirikan Sekolah Pengiriman Mahasiswa ke Luar Negeri dan al-Ma’had

al-‘Ilmi al-Su’udi di Mekkah.

Kebangkitan pendidikan modern ini mencapai momentumnya ketika Pangeran

Fahd, Khadim al-Haramain al-Syarifain, diangkat menjadi Menteri Pendidikan.

Ketika Fahd sudah dinobatkan menjadi raja, perhatiannya terhadap dunia dakwah dan

pendidikan tetap tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pengembangan dan peningkatan

berbagai sarana pendidikan di setiap tingkatan; baik dari segi kualitas maupun

kuantitasnya. Saat ini telah ada 8 universitas di Kerajaan ini. Berbagai universitas ini

menjadi tujuan para penuntut ilmu dari Indonesia. Hingga kini telah banyak orang

Indonesia yang menyelesaikan pendidikannya di berbagai universitas itu, dan mereka

telah kembali ke Indonesia serta berkiprah luas dalam dakwah dan pendidikan di
62
Indonesia. Sebagai contoh bisa disebutkan, antara lain: Prof. Dr. Said Agil Husein al-

Munawwar, Ketua Program Paskasarjana, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan

Pengurus Majlis Syuria, Nahdlatul Ulama’; K.H. Hasan Abdullah Sahal, salah

seorang dari tiga Pimpinan Pondok Modern Gontor; K.H. Sutaji Tajuddin, Direktur

Kulliyatul Mu`allimat al-Islamiyah, Pondok Modern Gontor, di Ngawi; K.H. Tijani

Jauhari, mantan Sekretaris pada Kantor Rabitah al-`Alam al-Islami, di Mekkah, dan

kini menjadi pimpinan Pondok al-Amin, Sumenep, Madura; dan Dr. Hidayat Nur

Wahid, Ketua MPP, Partai Keadilan.

Terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah kehadiran LIPIA sebagai jembatan

penghubung budaya Arab Saudi dengan Indonesia, terutama dalam bidang dakwah

dan pendidikan Islam.

Sebenarnya masih ada lagi peranan sangat penting yang dimainkan oleh

Kerajaan Arab Saudi yang perlu mendapat perhatian, yakni sumbangan ekonominya

bagi upaya-upaya dakwah dan pendidikan di Indonesia; baik melalui berbagai

organisasi bantuan maupun melului Penguasa Kerajaan Arab Saudi sendiri. Tetapi

karena beberapa hal, peranan tersebut belum dapat disajikan di tulisan ini.

Wallahu a`lam bi al-shawab.

63
Sumber Tulisan:

Abu Sulayman, Abdul Hamid A., Islamization: Reforming Contemporary

Knowledge,

Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1994.

Aceh, Aboebakar, Sejarah Ka’bah dan Manasik Haji, Solo: Ramadhani, 1984.

Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan,

1995.

Al-Arkhabil: Buletin Berita dan Budaya, Jakarta: LIPIA, Universitas Islam

Muhammad bin Saud, Saudi Arabia, tahun 4, vol. 6, Syawwal 1419/1999.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII, Bandung : Mizan, 1995.

Choudhury, Golam W, Islam and The Modern Muslim World, Kuala Lumpur: WHS

Publications Sdn. Bhd., 1993.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van

Hove, 1993.

Hamka, Ayahku: Riyawat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan

Kaum Agama di Sumatra, Jakarta: Umminda, 1982.

Al-Jami’ah bi al-Mamlakah al-`Arabiyah al-Su`udiyah, Riyadl: Dar al-Jisr, t.t.

Peretz, Don, “Saudi Arabia”, dalam Encyclopedia Americana, hlm. 300-7

Nasution, Harun, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:

Bulan Bintang, 1975.

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1985.

Philby, H. St. J. B., “Mecca”, dalam Encyclopedia Britanica, hlm. 139-43.

Piscatori, James P., “Politik Ideologis di Arab Saudi”, dalam Harun Nasution dan
64
Azyumardi Azra (peny.), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1985.

Shiddiqi, Nourouzzaman, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996.

Watt, W. Montgomery, “Mecca”, dalam Encyclopedia Americana, hlm. 601-2.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber

Widya, 1995.

Zarkasyi, Amal Fathullah, al-Ittijah al-Salafi fi al-Fikr al-Islami al-Hadits bi

Indonesia, Tesis Master pada Jurusan Filsafat Islam, Kulliyah Dar al-Ulum,

Universitas Kairo, 1986. tidak diterbitkan.

Gontor, 9-9-1999

65

Anda mungkin juga menyukai