Anda di halaman 1dari 17

Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan
terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan melakukan upaya kongkrit untuk
mengantisipasinya. Harus di pikirkan suatu bentuk mekanisme bantuan kepada korban dari awal
tempat kejadian, selama perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan fasilitas kesehatan sampai
paska kejadian cedera. (Rahmanta, 2014)
Kegawatdaruratan merupakan layanan keperawatan yang komperhensif diberikan pada pasien
dengan injuri akut atau mengancam kehidupan. kegawatdaruratan dapat terjadi pada daerah yang
sulit dijangkau petugas kesehatan, maka pada kondisi tersebut peran serta masyarakat untuk
membantu korban sebelum ditemukan oleh petugas kesehatan menjadi sangat penting. (Sudiharto
& Sartono, 2011) Penanganan gawat darurat tetap memegang prinsip Do Not Further Harm, Artinya
jangan memperberat keadaan penderita. Hal ini mengingatkan pada kondisi tersebut pasien dapat
kehilangan nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 23 menit pada manusia
dapat menyebabkan kematian yang fatal. (Gadar Medik Indonesia, 2016)
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah instalasi untuk menangani kasus gawat darurat seperti, panas
dan muntah-muntah, diare berat, kecelakaan, keracunan, korban bencana alam yang membutuhkan
penanganan segera untuk menyelamatkan nyawa dan menghindari kecacatan. (Wicaksana, 2008)
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multiple merupakan tugas yang menantang, dan
tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem pelayanan tanggap darurat ditujukan untuk
mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga
beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma).
Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat resiko kecacatan dan bahkan kematian. Hal
ini bisa saja terjadi karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah
trauma tidak mendapatkan penanganan yang optimal. Berdasarkan kasus diatas, Primary Survey
(penilaian awal) dan secondary survey (penilaian akhir) merupakan salah satu item
kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan, bahkan
kematian.
Secondary survey dikerjakan untuk memeriksa lebih lanjut dan lebih teliti semua bagian tubuh
pasien, bagian depan dan bagian belakang pasien. Pada secondary survey ini dilakukan pemeriksaan
neurologis lengkap termasuk mencatat Glasgow coma skale (GCS) dan dilakukan foto rontgen yang
diperlukan. (Gadar medik indonesia, 2016) Primary Survey (penilaian awal) adalah mengatur
pendekatan ke klien sehingga klien segera dapat diidentifikasi dan tertanggulangi dengan efektif.
Pemeriksaan primary survey (penilaian awal) berdasarkan standar A-B-C dan D-E, dengan airway (A:
jalan nafas), breathing (B: pernafasan), circulation (C: sirkulasi), disability (D: ketidak mampuan), dan
exposure (E: penerapan). Keperawatan gawat darurat merupakan pelayanan keperawatan yang
komperhensif diberikan pada pasien dengan injuri akut atau sakit yang mengancam kehidupan.
Sebagai seorang spesialis perawat gawat darurat harus menghubungkan pengetahuan dan
keterampilan untuk menangani respon pasien pada resusitasi, syok, trauma, dan kegawatan yang
mengancam jiwa lainnya, dan salah satu tempat pasien gawat darurat adalah di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) (Krisanty, 2009).
Perawat adalah anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan pasien, sehingga di
harapkan perawat harus mampu membela hak-hak pasien. Perawat bertanggung jawab
meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan serta pemeliharaan
kesehatan dengan penekanan kepada upaya pelayanan kesehatan utama sesuai wewenang,
tanggung jawab dan etika profesi keperawatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan perawat
dituntut untuk lebih profesional agar kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan semakin
meningkat. Perawat dituntut memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan cermat dengan tujuan
mendapatkan kesembuhan tanpa kecacatan. Oleh karena itu perawat perlu membekali dirinya
dengan pengetahuan dan perlu meningkatkan keterampilan yang spesifik yang berhubungan dengan
kasus-kasus kegawatdaruratan utamanya kasus kegawatan pernafasan dan kegawatan jantung.
(Maryuani, 2009).
Dalam dua tahun terakhir ini, kematian akibat trauma meningkat setiap
tahunnya, data Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun
2012 terjadi 109.038 kasus trauma akibat kecelakaan dengan korban meninggal
dunia sebanyak 27.441 orang. Sedangkan pada 2011 terjadi kasus trauma akibat
kecelakaan sebanyak 109.776 kasus, dengan korban meninggal sebanyak 31.185
orang (Anonim, 2016).
1.2 Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari kegawatdaruratan?
2. Bagaimana keadaan-keadaan kegawatdaruratan?
3. Bagaimana proses penanganan awal kegawatdaruratan?
4. Bagaimana tahapan-tahapan dalam primary survey dan secondary survey?
5. Apa saja dan bagaimana peran perawat dalam penanganan kegawatdaruratan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari kegawatdaruratan
2. untuk mengetahui dan mengenal keadaan-keadaan kegawatdaruratan
3. untuk mengetahui proses-prose dari penanganan awal
4. untuk mengetahui berbagai tahapan dalam proses primary survey dan secondary survey
5. untuk mengetahui dan menjelaskan peran dari perawat dalam proses penanganan
kegawatdaruratan
Bab 2
Pembahasan

2.1 Definisi Kegawatdaruratan


Kegawatdaruratan merupakan keadaan yang bermanifestasikan gejalagejala akut akan adanya suatu
keparahan pada tingkatan tertentu, dimana apabila pada keadaan tersebut tidak diberikan
perhatian medis yang memadai, dapat membahayakan keselamatan individu bersangkutan,
menyebabkan timbulnya gangguan serius fungsi tubuh ataupun terjadinya disfungsi organ atau
kecacatan.(ACEP, 2013).

Menurut The American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto (2007) pengertian gawat darurat
adalah: An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes
the responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate medical attention. This
condition continues until a determination has been made by a health care professional that the patient’s
life or well-being is not threatened. Akan tetapi, ternyata dalam praktek nyatanya, banyak keadaan yang
dianggap gawat darurat, pada akhirnya setelah melalui proses observasi dan evaluasi yang memadai,
dianggap bukan suatu keadaan gawat darurat. Maka perlu dibedakan keadaan false emergency dengan
true emergency. A true emergency is any condition clinically determined to require immediate medical
care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and admission to the
hospital to those that are diagnostic problems and may or may not require admission after work-up and
observation.

2.2 Keadaan-keadaan Kegawatdaruratan

Kegawatdaruratan dalam bidang medis dapat bermanifestasikan berbagai gejala dan tampilan yang
beragam. Keadaan-keadaan gawat darurat yang dapat kita temukan sehari-hari adalah seperti
(American College of Emergency Physicians, 2004) :

a. Nyeri dada b. Sindroma Koroner Akut c. Diseksi Aorta d. Nyeri Abdomen e. Aneurisma Aorta Akut f.
Apendisitis Akut g. Perdarahan subarahnoid h. Demam pediatrik i. Meningitis j. Masalah airway k.
Trauma l. Cedera Kepala m. Cedera Spinal n. Luka o. Fraktur p. Torsi Testikular q. Kehamilan Ektopik r.
Sepsis

2.3 Penanganan awal kegawatdaruratan

2.3.1 penegertian penanganan awal kegawatdaruratan

Penanganan awal ataupun sering disebut pertolongan pertama merupakan pertolongan


secara cepat dan bersifat sementara waktu yang diberikan pada seseorang yang menderita luka atau
terserang penyakit mendadak. Pertolongan ini menggunakan fasilitas dan peralatan yang tersedia pada
saat itu di tempat kejadian. (Nasution, 2009)

2.3.2 tujuan penanganan awal kegawatdaruratan

Tujuan yang penting dari penanganan awal kegawatdaruratan adalah memberikan


perawatan yang akan menguntungkan pada orang-orang tersebut sebagai persiapan terhadap
penanganan lebih lanjut. Dalam penanganan pasienpasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat
penting, maka diperlukan suatu cara penilaian yang cepat untuk menentukan tindakan perawatan yang
harus diberikan sesegera mungkin dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang. Terdapat suatu
pendekatan yang dikenal dengan Initial Assesment (Penilaian Awal) yang meliputi (ATLS, 2009) :

1. Persiapan

2. Triase

3. Primary survey (ABCDE)

4. Resusitasi

5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi

6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis

7. Tambahan terhadap secondary survey

8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan

9. Penanganan definitive

Tahapan-tahapan penilaian awal ini merupakan suatu urutan kejadian progresif yang berjalan
secara linier ataupun longitudinal. Dalam situasi klinis sesungguhnya, pelaksanaannya dapat berjalan
secara paralel ataupun bersamaan. Prinsip dasar dalam ATLS adalah membantu dalam penilaian dan
pemberian resusitasi pasien-pasien gawat darurat. Penilaian dibutuhkan untuk mengetahui prosedur
mana saja yang perlu dilakukan, karena tidak semua pasien membutuhkan seluruh prosedur ini.
Primary Survey yang meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan
Exposure/Environmental) adalah bagian awal dari penanganan suatu kegawatdaruratan. Dalam proses
ini, fungsi vital pasien gawat harus dinilai secara cepat dan segera diberikan perawatan untuk
pertolongannya.

2.4 Primary Survey

Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi keadaan-keadaan yang


mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut : A : Airway, pemeliharaan
airway dengan proteksi servikal B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi C : Circulation, kontrol
perdarahan D : Disability, status neurologis E : Exposure/Environmental control, membuka seluruh baju
penderita, tetapi cegah hipotermia

A. Airway

AirwayManajemen merupakan suatu hal yang terpenting dalam

melakukan resusitasi dan membutuhkan ketrampilan khusus dengan

penanganan keadaan gawat darurat. Oleh sebab itu, hal yang pertama harus

segera dinilai adalah kelancaran jalan nafas, meliputi pemeriksaan jalan nafas

yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur manibula atau maksila,
fraktur laring (Dewi, 2013 dalamSetyawan, 2015).

Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital lainnya merupakan pembunuh
pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi airway akan menyebabkan kematian dalam hitungan
beberapa menit. Gangguan pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit lebih lama untuk
menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya lebih memakan waktu yang lebih lama lagi.
Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan dengan cepat begitu memulai penilaian awal. (Greaves,
2006)

Menurut ATLS 2009, kematian-kematian dini yang disebabkan masalah airway, dan yang masih dapat
dicegah, sering disebabkan oleh :

1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway

2. Ketidakmampuan untuk membuka airway

3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru

4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang

5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi

6. Aspirasi isi lambung

Tecapainya patensi airway merupakan hal yang sangat esensial dalam penanganan awal pasien-pasien
gawat darurat. Penilaian tentang mampu atau tidaknya seseorang bernapas secara spontan harus
dilakukan secara cepat. Menurut Bersten dan Soni (2009) dalam Higginson dan Parry (2013), untuk
menilai patensi airway secara cepat dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien.
Respon verbal yang normal menandakan dengan cepat kepada penolong bahwa pasien memiliki airway
yang paten, sudah bernapas, dan otaknya sudah dalam keadaan diperfusi. Namun begitu, penilaian
airway tetap penting untuk dilakukan. Apabila pasien hanya dapat berbicara sepatah dua patah kata
ataupun tidak respon, pasien kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan membutuhkan
pertolongan bantuan napas secara cepat.

Dalam mengatasi obstruksi airway, terlebih dahulu dilakukan suctioning untuk mengeluarkan cairan
saliva berlebih yang mungkin timbul akibat pangkal lidah yang terjatuh. (American College of Surgeons,
2009) Tindakan suctioning yang tepat dalam pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan
kejadian aspirasi dan lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. (Walter, 2002) Pada keadaan tidak
sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway adalah pangkal lidah yang jatuh. Selain itu,
penolong juga harus melakukan

inspeksi tentang ada tidaknya benda-benda asing yang menghambat airway ataupun kemungkinan
terjadinya fraktur fasial, mandibular ataupun trakeal/laringeal yang juga dapat menghambat bebasnya
airway. Pasien-pasien dalam keadaan penurunan kesadaran ataupun GCS (Glasgow Coma Score) yang
nilainya 8 ke bawah perlu diberikan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan-gerakan motorik tidak
bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya pemasangan airway definitif. (American College of
Surgeons, 2009)

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :


• Suara berkumur • Suara nafas abnormal (stridor, dsb) • Pasien gelisah karena hipoksia • Bernafas
menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks • Sianosis Penilaian bebasnya airway dan
baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada
airway dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan
memiringkan kepala (head tilt) maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw
thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan orofaringeal (oropharyngeal airway)
atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway
dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada spinal
mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal (in-line immobilization) (Haskell, 2006).

a). Teknik-teknik mempertahankan airway :

1. Head-tilt

Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan


horizontal, kecuali pada pembersihan airway dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan
drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan
dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan
sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi
depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini
dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan
positif secara intermitten.

2. Chin-lift

Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang


kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke
arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir
bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang
gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati
diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi
leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak
membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher
atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang
dengan cedera spinal.

3. Jaw-thrust

Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan


pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada
angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada
ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada
mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012).

4. Oropharingeal Airway (OPA)


Salah satu pada indikasi yaituAirway orofaringeal digunakan untuk

membebaskan jalan nafas pada pasien yang kehilangan refleks jalan nafas

bagian bawah (Krisanty, 2009). Diantaranya teknik ini yaitu posisikan

kepala pasien lurus dengan tubuh, pilih ukuran pipa orofaring sesuai

dengan pasien. Dalam hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran

pipa orofaring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan

pada pipa orofaring dengan tangan kanan.

Pada lengkungan menghadap ke atas (arah terbalik), kemudian

masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah itu, ujung pipa mengenai

palatum durum putar pipa ke arah 180 derajat dan dorong pipa dengan

cara melakukan jaw thrust maupun kedua ibu jari tangan tersebut menekan

sambil mendorong pada pangkal pipa orofaring secara hati-hati sampai

bagian yang keras dari pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas

bebas, (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa orofaring dengan cara diplester di

bagian pinggir atas maupun bawah pangkal pipa dan rekatkan plester

sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).

5. Salah satu pada indikasi airway nasopharingeal ini disukai

dibandingkan dengan airway orofaring pada pasien dalam memberikan

respon, oleh karena itu, dapat diterima dan lebih kecil kemungkinan dapat

merangsang muntah (ATLS, 2004).Diantaranya teknik ini yaitu posisikan

kepala pasien lurus dengan tubuh, Pilihlah ukuran pipa nasofaring sesuai

dengan cara menyesuaikan ukuran pada pipa nasofaring dari lubang

hidung sampai tragus (anak telinga).

Pada pipa nasofaring akan diberikan pelicin dengan jelly (gunakan

kasa yang sudah di beri jelly). setelah itu, masukkan pipa naso-faring

dengan cara tangan kanan memegang pangkal pipa nasofaring, lengkungan

menghadap ke arah mulut bagian bawah. Masukkan ke dalam rongga

hidung secara perlahan sampai batas pangkal pipa dandipastikan jalan

nafasnya bebas (lihat, dengar, rasa) (Arifin, 2012).


Jika pernafasannya membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan

periksa dengan cara harus dinilai Menurut Pusbankes 118, (2015) :

(1) Lihat (Look) yaitumelihat pergerakan naik turunnya dada yang

simetris, jika tidak simetris maka perlu dicari kelainan intra-thorakal

atau fail chest. Amati frekuensi nafas terlalu cepat maupun lambat.

(2) Dengar (Listen) yaitu mendengar adanya suara pernafasan pada

auskultasi kedua paru, vesikuler normal atau suara menghilang, adanya

rhonkhi yang menjadi petunjuk kelainan intra-thorakal.

(3) Rasakan (Feel) yaitu merasakan adanya hembusan nafas.

B. Breathing

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang baik terjadi pada saat bernafas
mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. (American College of
Surgeons, 2009) Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup kedalam dengan yang dihembuskan
ke luar dari paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-teknik sederhana seperti
head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang spontan, maka
penggunaan bagvalve mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi (Higginson dan Parry,
2013).

Teknik ini efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu penolong dapat
digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (American College of Surgeons, 2009). Berikut adalah
cara melakukan pemasangan bag-valve mask (Arifin, 2012) :

1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh

2.Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi
hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)

3.Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)

4.Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan tengah
memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka. 5.Gerakan
tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien 6.Pastikan tidak ada kebocoran dari
sungkup muka yang sudah dipasangkan 7.Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama
(tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama) 8.Pastikan jalan nafas
bebas (lihat, dengar, rasa) 9.Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup
muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus pompa
nafas bantu (squeeze-bag). Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan
melakukan metode berikut (American College of Surgeons, 2009) : - Look : Lihat naik turunnya dada
yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan
(splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing)
sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita. - Listen : Dengar adanya
pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau
kedua hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju
pernafasan yang cepat – takipnea mungkin menunjukkan kekurangan oksigen. - Gunakan pulse
oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita,
tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat. Pada saat penilaian sebelumnya dilakukan,
penolong harus mengetahui dan mengenal ciri-ciri gejala dari keadaan-keadaan yang sering muncul
dalam masalah ventilasi pasien gawat darurat seperti tension pneumothorax, massive hemothorax, dan
open pneumothorax (Arifin, 2012).

Penanganan yang dapat dilakukan adalah :

a. Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12 liter/menit


b. b. Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath No.14) di ICR II-Linea midclavicularis
c. Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube
d. d. Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter-
type voice effect)

C. Circulation

Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh banyak jenis perlukaan. Volume
darah, cardiac outptut, dan perdarahan adalah masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan.
(American College of Surgeons, 2009)

Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat
memberikan informasi tentang ini :

a. Tingkat Kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan
kesadaran (jangan dibalik, penderita yang sadar belum tentu normovolemik).

b. Warna Kulit Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang kulitnya
kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya,
wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hypovolemia

c. Nadi Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a. Karotis (kirikanan) untuk kekuatan
nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda
normovolemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan
tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan
jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung.
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan tanda diperlukannya resusitasi segera.
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan cara menekan
pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila
terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian
lakukan pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (American College of Surgeons,
2009).
D. Disability

Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan neurologis yang cepat. Pemeriksaan
neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-tanda
lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis. (American College of Surgeons, 2009)

Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum keadaan yang luas mulai
dari letargi sampai status koma. Perubahan apapun yang mengganggu jaras asending sistem aktivasi
retikular dan sambungannya yang sangat banyak dapat menyebabkan gangguan tingkat kesadaran.
(Smith, 2010)

Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC
(Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan
dapat dilakukan pada saat survey sekunder.

AVPU, yaitu: A : Alert V : Respon to verbal P : Respon to pain U : Unrespon

GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat kesadaran
pasien.

1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah penderita : a. Membuka mata spontan

b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan

c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari tangan)

d. Tidak memberikan respon

2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah penderita : a. Orientasi baik
dan mampu berkomunikasi

b. Disorientasi atau bingung

c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat

d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)

e. Tidak memberikan respon

3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah penderita : a. Melakukan
gerakan sesuai perintah

b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri

c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri

d. Fleksi abnormal (decorticated) e. Ektensi abnormal (decerebrate)

f. Tidak memberikan respon


Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran)

E. Exposure

Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian
nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log
roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
(Nasution, 2009).

Pada exposure merupakan bagian terakhir dari primary survey,pasien

harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk melakukan pemeriksaan

thoraks kemudian diberikan selimut hangat, cairan intravena yeng telah

dihangatkan dan ditempatkan pada ruangan cukup hangat ini dilakukan

pada saat dirumah sakit (Musliha, 2010). Periksa punggung dengan

memiringkan pasien dengan cara long roll(Dewi 2013). Pemeriksaan

seluruh bagian tubuh harus segera dilakukan tindakan agar mencegah

terjadinya hiportermia.

Dalam pemeriksaan penunjang ini dilakukan pada survey primer,

yaitu pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri, foto thoraks,

dan foto polos abdomen. Tindakan lainnyaseperti pemasangan monitor

EKG, kateter dan NGT Pusbankes 118, (2015).

2.5 Secondary Survey

Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dengan keadaan stabil dan

dipastikan airway, breathing dan sirkulasidapat membaik. Prinsip survey

sekunder adalah memeriksa ke seluruh tubuh yang lebih teliti dimulai dari

ujung rambut sampai ujung kaki ( head to toe) baik pada tubuh dari bagian

depan maupun belakang serta evaluasi ulang terhadap pemeriksaan tanda vital

penderita. Dimulai dengan anamnesa yang singkat meliputi AMPLE (allergi,


medication, past illness, last meal dan event of injury). Pemeriksaan penunjang ini dapat dilakukan pada
fase meliputi foto thoraks (Pusbankes 118,

(2015).

Penanganan klinis mempunyai tahap yang menggunakan prosedur

5B,menurut Wahjoepramono (2005), yaitu :

a) Breathing

Perhatikan adanya frekuensi dan jenis pernafasan, pembebasan

obstruksi jalan nafas, oksigenasi yang cukup, atau adanya hiperventilasi

jika diperlukan.

b) Blood

Pada pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium

seperti Hb dan leukosit.

c) Brain

Langkah awal penilaian ditentukan pada respon mata, motorik, dan

verbal (GCS). Ketika memburuk perlu pemeriksaan keadaan pupil serta

gerakan bola mata.

d) Bladder

Kandung kemih segera dikosongkan dengan pemasangan kateter.

e) Bowel

Usus yang penuh cenderung akan meningkatkan tekanan intrakranial

dan pemeriksaan.

4) Re-evaluasi penderita

Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan

setiap adanya perubahan pada kondisi serta respon terhadap resusitasi,

kemudian monitoring tanda-tanda vital maupun jumlah urin, dan pemakaian

analgesik yang tepat.

5) Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik.

a) Penderita dapat dirujuk jika rumah sakit tidak mampu menangani pasien

karena adanya keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien


yang masih dimungkinkan untuk dirujuk.

b) Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita

selama dalam komunikasi dengan dokter pada pusat rujukan yang dituju.

2.6 Peran Perawat Dalam Penanganan Awal Kegawatdaruratan

Berdasarkan data dalam daftar dan unit kodifikasi mengenai standar kompetensi seorang perawat di
dalam Standar Kompetensi Perawat Indonesia, dikatakan bahwa seorang perawat baik perawat
vokasional, ners, ners spesialis, maupun ners konsultan, semuanya harus mampu mengidentifikasi dan
melaporkan situasi perubahan ayng tidak diharapkan, meminta bantuan cepat dan tepat dalam situasi
gawat darurat/bencana dan menerapkan keterampilan bantuan hidup dasar sampai bantuan tiba.
Tambahan lain bagi seorang ners spesialis adalah berkemampuan mengambil peran kepemimpinan
dalam triage dan koordinasi asuhan klien sesuai kebutuhan asuhan khusus. Sedangkan untuk sseorang
ners konsultan harus juga mampu memobilisasi dan mengkoordinasikan sumber daya dan mengambil
peran kepemimpinan dalam situasi gawat darurat dan/atau bencana.

Menurut Aziz (2004), menjelaskan bahwa perawat merupakan salah satu

profesi kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan

komprehensif menyangkup semua aspek bio, psiko, sosial dan spiritual.Peran

perawat dalam melakukan perawatan menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun

1989 terdiri dari peran sebagaipemberi asuhan keperawatan, advokat klien,

pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan dan peneliti.

Dalam hal ini, peneliti juga merupakan bagian integral dari pemberi

pelayanan kesehatan yang berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan serta

ditujukan kepada klien sebagai individu, keluarga dan masyarakat sebagai berikut

1) Care giver atau Pemberi asuhan keperawatan

Perawat memberikan asuhan keperawatan profesional kepada pasien

diantaranya pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga evakuasi.

Perawat juga dapat melakukan observasi yang kontinyu terhadap kondisi

pasien, melakukan pendidikan kesehatan, memberikan informasi terkait

dengan kebutuhan pasien sehingga masalah pasien dapat teratasi (Susanto,

2012).

2) PeranClient advocate atau Advokator


Peran advokator ini dilakukan oleh perawat dalam membantu klien dan

keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi

pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas

tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien, dapat berperan untuk

mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien meliputi pelayanan sebaik

baiknya, hak atas informasi tentang penyakit, hak atas privasi, hak untuk

menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat dari

kelalaian.(Hidayat, 2008)

3) Client educator atau Pendidik

Perawat sebagai pendidik menjalankan perannya dalam memberikan

pengetahuan, informasi dan pelatihan ketrampilan kepada pasien, keluarga

maupun anggota masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit dan

peningkatan kesehatan (Susanto, 2012).

4) Peran Koodinator

Peran koordinator ini dilakukan dengan cara mengarahkan,

merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan

sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan

kebutuhan klien (Hidayat, 2008).

5) Peran Kolaborator

Peran perawatsebagai kolaborator disini dilakukan karena perawat

bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi

dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan

termasuk diskusi atau bertukar pendapat dalam bentuk pelayanan selanjutnya

(Hidayat, 2008). Perawat dapat berkolaborasi dengan anggota tim kesehatan

lain dalam memberikan pelayanan kepada klien dengan benar.

6) Peran Consultant atau Konsultan

Peran perawat sebagai konsultan adalah tempat untuk konsultasi


bagi pasien, keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan atau

tindakan keperawatan yang tepat untuk di berikan (Kusnanto, 2012).

7) Peran Pembaharu

Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan

perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuatu

dengan metode pemberian pelayanan keperawatan (Hidayat, 2008)

Penanganan yang dilakukan saat terjadi cedera kepala yaitu menjaga

jalan nafas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi,

mencegah terjadinya komplikasi dan cedera sekunder. Setiap keadaan yang

tidak normal dan membahayakan harus segera diberikan tindakan resusitasi

pada saat itu juga (Wahjoepramono, 2005).

Peran perawat merupakan tingkah laku yang dilakukan oleh perawat

sesuai dengan profesinya. Peran perawat ini juga dapat dipengaruhi oleh

keadaan sosial dan bersifat tetap (Kusnanto, 2004). Salah satu seseorang

spesialis sebagai perawat gawat darurat harus menghubungkan dengan

pengetahuan dan ketrampilan untuk menangani respon pasien pada resusitasi,

syok, trauma, serta kegawatan yang mengancam jiwa dan tempat untuk pasien

gawat darurat yaitu Instalasi Gawat Darurat (IGD) (Krisanty et al 2009).

Berdasarkan peran dan fungsi tersebut di atas, maka perawat yang

bekerja di rumah sakit harus memiliki kompetensi khusus, yang diperoleh

melalui pelatihan Basic Trauma LifeSupport(BTLS)dan Basic Cardiologi

Support (BCLS) atau Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD).


Bab 3

Penutup

3.1 Kesimpulan

Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan
terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan melakukan upaya kongkrit untuk
mengantisipasinya. Harus di pikirkan suatu bentuk mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat
kejadian, selama perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan fasilitas kesehatan sampai paska
kejadian cedera.

3.2 Saran
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai