i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................3
1.3 Tujuan............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
2.1 Teori Umum..................................................................................................5
2.2 Pengertian Kepemimpinan............................................................................7
2.3 Pengertian Kecerdasan..................................................................................7
2.4 Tipe Kecerdasan Manusia.............................................................................8
2.5 Pengembangan Kecerdasan.........................................................................12
2.6 Kompetensi Kecerdasan Emosional............................................................15
2.7 Karakteristik Kepemimpinan yang Efektif..................................................19
2.8 Pemimpin Efektif dan Tranformasional......................................................21
2.9 Pentingnya Kecerdasan Emosi Bagi Pemimpin yang Efektif.....................23
BAB III PENUTUP...............................................................................................28
3.1 Kesimpulan.................................................................................................28
3.2 Saran............................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
salah satu isu dalam manajemen yang masih cukup menarik untuk
diperbincangkan hingga dewasa ini. Media massa, baik elektronik maupun
cetak, seringkali menampilkan opini dan pembicaraan yang membahas
seputar kepemimpinan. Peran kepemimpinan yang sangat strategis dan
penting bagi pencapaian misi, visi dan tujuan, merupakan salah satu motif
yang mendorong manusia untuk selalu menyelidiki seluk-beluk yang terkait
dengan kepemimpinan.
Kualitas dari pemimpin seringkali dianggap sebagai faktor terpenting
dalam kemajuan atau kemunduran suatu Daerah demikian juga kemajuan atau
kemunduran suatu Daerah, biasanya dipersepsikan sebagai keberhasilan atau
kegagalan pemimpin. Begitu pentingnya peran pemimpin sehingga isu
mengenai pemimpin menjadi fokus yang menarik perhatian para peneliti.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap pimpinan berkewajiban
memberikan perhatian yang sungguh-sungguh untuk membina,
menggerakkan, mengarahkan semua potensi bawahannya agar terwujud
volume dan beban kerja yang terarah pada tujuan. Pimpinan perlu
melakukan pembinaan yang sungguh-sungguh terhadap bawahan agar dapat
menimbulkan kepuasan dan komitmen sehinga pada akhirnya dapat meningkatkan
kinerja yang tinggi.
Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan oleh
seorangpemimpin dalam mempengaruhi perilaku orang lain. Gaya
kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang
pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Masing-
masing gaya tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Seorang
pemimpin akan menggunakan gaya kepemimpinan sesuai kemampuan dan
kepribadiannya.
Setiap pimpinan dalam memberikan perhatian untuk
membinamenggerakkan dan mengarahkan semua potensi bawahan di
lingkungannya memiliki pola yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya . Perbedaan itu disebabkan oleh gaya kepemimpinan yang berbeda-
beda pula dari setiap pemimpin. Kesesuaian antara gaya kepemimpinan,
2
norma-norma dan kultur organisasi dipandang sebagai suatu prasyarat kunci
untuk kesuksesan prestasi seorang pemimpin.
Kecerdasan sering dipahami oleh masyarakat sebagai kemampuan
seseorang dalam proses berfikir. Proses berfikir disini dilakukan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih dalam. Pengetahuan yang diperoleh akan
menjadi landasan mencapai kesuksesan. Banyak yang menganggap bahwa orang
cerdas dalam intelektual akan sukses. Namun, kesuksesan seseorang tidak hanya
ditentukan dari kecerdasan intelektual saja, melainkan adanya dukungan dari
kecerdasan lain. Kecerdasan tersebut adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual. Ketiga kecerdasan ini terdapat didalam diri setiap individu, dan akan
berkembang jika dapat mengasahnya dengan baik. Dalam prakteknya, ketiga
kecerdasan ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Salah satu faktor yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk dapat
mencapai keberhasilan organisasi adalah memiliki kecerdasan emosional
(Emotional Quotient) yang baik. Dengan kecerdasan emosional yang baik,
seorang pemimpin akan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan
bawahannya sehingga segala program yang ditetapkan dapat tercapai dengan baik.
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui teori umum dari kecerdasan dalam kepemimpinan
2) Untuk mengathui pengertian dari kepemimpinan
3
3) Untuk mengetahui pengertian dari kecerdasan
4) Untuk mengetahui macam-macam tipe kecerdasan manusia
5) Untuk mengetahui suatu proses dari pengembangan kecerdasan
6) Untuk mengetahui suatu kompetensi yang terdapat dalam kecerdasan
emosional
7) Untuk mengetahui karakteristik dari suatu kepemimpinan yag efektif
8) Untuk mengetahui ap aitu pemimpin yang efektif dan tranformasional
9) Untuk mengathui seberapa pentingnya kecerdasan emosi bagi pemimpin
yang efektif.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Kecerdasan emosional pada hakekatnya bertolak pada hubungan antara
perasaan, watak, dan naluri, di mana sikap perilaku dalam kehidupan berasal
dari kemampuan emosional yang mendasarinya (Goleman, 2015), dan para
pemimpin secara khusus memerlukan kecerdasan emosional sebab pemimpin
tersebut merepresentasikan organisasi kepada masyarakat publik, melakukan
interaksi dengan orang-orang di dalam organisasi dan di luar organisasi.
Sebagaimana dikemukakan Goleman (2015) bahwa kecerdasan intelektual
hanya memberikan kontribusi sebesar 20 persen sebagai faktor yang
mempengaruhi kesuksesan dalam hidup dan 80 persen ditentukan oleh kekuatan
lainnya. Selain itu, kemampuan intelektual saja tidak akan mampu bekerja
dengan baik tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional. Para pemimpin
membangkitkan semangat dan menginspirasi pengikut melalui cara kerja yang
melibatkan emosi (Goleman, 2015), dan seorang pemimpin tidak hanya
ditentukan karena kekuatan fisik tetapi lebih ditentukan oleh sikap dan perilaku
sebagai gaya memimpin dalam mempengaruhi bawahan, di mana gaya
kepemimpinan mengandung pola perilaku yang mencoba untuk mempengaruhi
orang lain (Northouse, 2013).
Gaya pemimpin dalam berinteraksi dipengaruhi oleh berbagai kecerdasan
yang dimiliki. Pemimpin dengan kecerdasan emosional yang tinggi dan gaya
kepemimpinan yang sesuai dan tepat dalam melaksanakan tugas yang
diembannya akan menghasilkan kinerja yang tinggi dan membuat karyawan
puas. Kecerdasan emosional mempengaruhi gaya seorang pemimpin, sebab
kepemimpinan yang efektif mempunyai elemen kecerdasan emosional yakni:
kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial dan pengelolaan relasi
(Indriyatni, 2009).
Kepemilikan kecerdasan emosional yang tinggi sebagai atribut sangat
penting untuk mencapai keberhasilan pemimpin dan Supriyanto (2012)
menyatakan bahwa pada organisasi modern peran pemimpin yang mampu
mengembangkan kecerdasan emosional akan menjadikannya seorang pemimpin
yang efektif.
6
Kepemimpinan yang efektif didukung dengan kecerdasan emosional yang
tinggi akan semakin cerdas dalam mengambil keputusan.Seorang pemimpin
dengan gaya kepemimpinan yang cerdas, diharapkan mampu merencanakan,
membimbing, mengarahkan, memberikan perintah dan mengendalikan para
bawahan sehingga menimbulkan kepuasan kerja. Pemimpin yang memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi dilandasi dengan empatinya mampu
memahami kebutuhan bawahan dan memberikan umpan balik kepada mereka.
Sebagaimana dijelaskan Downey, et al. (2006) kepemimpinan tanpa kecerdasan
emosional tidak sempurna dan mungkin kurang professional, dan ditegaskan
lagi oleh Supriyanto (2012) bahwa kecerdasan emosional yang dimiliki seorang
pemimpin, kualitas kepemimpinan akan semakin baik.
Pemimpin yang mampu mengelola emosi sendiri, dapat menjalankan
kontrol diri, mampu menjalankan peran sebagai model panutan serta mampu
memenuhi harapan bawahan, akan menambah kepercayaan sehingga bawahan
menikmati kepuasan dalam bekerja.
7
Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh
individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang
biasa disebut dengan test IQ (Rositayanti, 2012).
Claparde menyatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk
menyesuaikan secara mental terhadap situasi atau kondisi yang baru. Buhler
menyatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan
pemahaman atau pengertian.
Weschler (1958) mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau
totalitas kemampuan seseorang untuk belajar (ability to learn), bertindak dengan
tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya
dengan efektif. (Kolb, 1984 ).
Stenberg & Slater (1982) mendefinisikan kecerdasan sebagai tindakan atau
pemikiran yang bertujuan dan adaptif. Menurut Thurstone (1924/1973)
spesifikasi kecerdasan terdiri dari pemahaman dan kemampuan verbal, angka
dan hitungan, kemampuan visual, daya ingat, penalaran, kecepatan perseptual.
Makin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, makin memungkinkannya
melakukan suatu tugas yang banyak menuntut rasio dan akal dan melaksanakan
tugas-tugas yang sifatnya kompleks ( Kolb, 1984).
8
1) Kecerdasan Intelektual (Inteligence quotient atau IQ)
Kecerdasan Intelektual adalah kemampuan nalar, atau pada umumnya di
sebut kemampuan otak Kiri. Yaitu kemampuan kita untuk memahami,
mengetahui, menentukan sebab akibat, menganalisis, berbahasa dan
bahkan memvisualisasikan sesuatu.
9
pada kemampuan Intelektualnya dan akan mengandalakan posisi
formalnya.
Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan
sosial yang dikemukakan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan
membagi dalam tiga bidang kecerdasan yaitu:
(1) kecerdasan abstrak, seperti: kemampuan memahami dan memanipulasi
simbol verbal dan matematika,
(2) kecerdasan kongkrit, yaitu kemampuan memahami dan memanipulasi
objek, dan
(3) kecerdasan sosial, yaitu kemampuan berhubungan dengan orang lain
(Goleman, 1995). Kecerdasan sosial menurut Thorndike yang dikutip
Goleman (1995) adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang
untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan, meliputi: kecerdasan
interpersonal dan kecerdasan intrapersonal.
Fungsi Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan
Sebagai sebuah sistem yang komplek, emosi memainkan peranan yang
cukup besar dalam kehidupan manusia. karena demikian besarnya peranan
yang dimainkannya, maka tidak mengherankan jika emosi menjadi begitu
penting bagi manusia.
Ada beberapa alasan yang menjadikan emosi menjadi suatu hal yang
penting bagi kehidupan manusia.
1) Survival (kelangsungan hidup)
Alam telah mengembangkan emosi-emosi manusia dalam evolusi
jutaan tahun. Sebagai hasilnya, emosi-emosi tersebut mempunyai
potensi untuk membantu manusia menjadi sebuah sistem yang
memberikan petunjuk bagi masalah yang bersifat internal yang sulit
dan kompleks.
2) Decision making (pengambilan keputusan)
Emosi-emosi manusia merupakan sumber informasi yang sangat
berharga. Hal ini dikarenakan emosi-emosi tersebut membantu
manusia dalam mengambil keputusan.
10
3) Boundary setting (penentuan batasan)
Ketika seseorang merasa tidak nyaman dengan perilaku orang lain,
maka emosi-emosinya memberikan peringatan kepadanya. Jika
manusia mau belajar untuk mempercayai emosi-emosinya dan merasa
percaya diri untuk mengekpresikan dirinya, maka orang lain akan tahu
bahwa dia merasakan tidak nyaman seketika dia menyadari
perasaannya itu. Hal ini akan membantunya untuk menentukan
batasannya dimana hal ini sangat penting untuk melindungi kesehatan
psikis dan mentalnya.
4) Communication (komunikasi)
Emosi-emosi yang ada pada diri manusia akan menganutnya untuk
dalam berkomunikasi dengan orang lain. Sebagai contoh yaitu ekpresi
wajah manusia. jika seseorang kelihatan sedih atau sakit hati, maka dia
akan memberi tanda kepada orang lain bahwa dia membutuhkan
bantuan.
5) Utility (kesatuan)
Emosi manusia barangkali merupakan sumber potensi yang sangat
besar untuk menyatukan seluruh umat manusia.[9]
11
3) Motivasi (motivasi), menggunakan hasrat untuk menuju sasaran,
menuntun dan membantu inisiatif dan bertindak sangat efektif untuk
bertahan menghadapi kegagalan frustasi.
4) Empati, merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu
memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling
percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
5) Social skill (keterampilan sosial), menjaga emosi ketika berhubungan
dengan orang lain dan cermat membaca situasi, berinteraksi dengan
lancar, dan menggunakan keterampilan ini untuk mempengaruhi dan
memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan
untuk bekerja sama dalam tim
12
2.5 Pengembangan Kecerdasan
1) Pengaruh Kecerdasan emosional dengan Kepuasan Kerja
Kecerdasan emosional menuntut seseorang untuk belajar mengakui,
menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta menanggapinya
dengan tepat dan menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan
sehari-hari.
Dengan kecerdasan emosional seseorang mampu mengelola emosi pada
porsi yang tepat, mapu memilah-milah kepuasan kerja, dan menata suasana
hati. Kecerdasan emosional sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang
dalam memotivasi diri, ketahanan menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi dan menunda kepuasan kerja, sebagai suatu indikasi bahwa
kecerdasan emosional mempengaruhi kepuasan kerja, dan sesuai dengan
penelitian Virk (2011) bahwa emosi memainkan peran penting dalam
kepuasan kerja, di mana manajer yang memiliki kecerdasan emosional
tinggi lebih puas dengan pekerjaan daripada manajer yang memiliki
kecerdasan emosional rendah. Kecerdasan emosional berperan penting
terhadap kepuasan kerja internal (Gunduz et al. (2012), di mana pegawai
dengan kecerdasan emosional tinggi akan lebih puas dan kesempatan
mereka untuk meninggalkan perusahaan lebih rendah dibandingkan dengan
pegawai yang memiliki kepuasan kerja rendah (Nair et al.,2010).
Hal ini berarti kecerdasan emosional mempengaruhi kepuasan kerja, dan
sesuai dengan penelitian Karambut dkk. (2012) dan Shaffar (2005) bahwa
kecerdasan emosional berpengaruh positif secara langsungpada kepuasan
kerja. Demikian juga, hasil penelitian Ealias (2012); Supriyanto (2012),
(Ngozi, dkk (2014) dan Muna (2014), menemukan kecerdasan emosional
secara positif dan signifikan mempengaruhi kepuasan kerja.
2) Pengaruh Kecerdasan Emosional dengan Gaya Kepemimpinan
Kecerdasan emosional seorang pemimpin apabila mampu dikelola dengan
optimal akan melahirkan domain kompetensi yang efektif untuk membuat
gaya kepemimpinan yang tegas dan efektif. Gaya kepemimpinan yang tegas
akan lahir ketika dinilai dengan kecerdasan emosional yang baik. Pemimpin
13
yang gagal kurang mempunyai keterampilan mengendalikan emosi untuk
memahami diri sendiri dan orang lain (Patton, 1999), dan kecerdasan
emosional berfokus pada bagaimana emosi mempengaruhi cara para
pemimpin berpikir dan bertindak (Hughes, 2012) sesuai dengan atribut
kecerdasan emosional.
Atribut kecerdasan emosional adalah kualitas yang harus dimiliki sebagian
besar pemimpin dan Hughes (2012) menyatakan bahwa pemimpin
membutuhkan semua atribut untuk menjadi cerdas secara emosional. Hasil
penelitian Farideh (2012) dan Downey, dkk (2006) menyatakan kecerdasan
emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap gaya kepemimpinan,
artinya semakin tinggi kecerdasan emosional seorang pemimpin akan lebih
mampu memperbaiki gaya kepemimpinannya dan mampu membentuk
elemen untuk meraih kesuksesan yakni bekerja berlandaskan emosi yang
cerdas.
3) Pengaruh Gaya Kepemimpinan dengan Kepuasan Kerja
Gaya kepemimpinan terkandung model perilaku seseorang pemimpin
untuk mempengaruhi orang lain (Northouse, 2013), dan para pemimpin
yang mampu mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya agar taat atas
segala sesuatu yang diperintahkan bergantung pada gaya kepemimpinannya.
Jika model kepemimpinan diaplikasikan mampu mengarahkan dengan tepat
ke arah tujuan organisasi dengan aspek yang diharapkan oleh setiap individu
atas pekerjaannya, semakin tinggi kepuasan kerjanya. Hal ini sesuai dengan
temuan Supriyanto (2012) dan Sumbal, dkk. (2013) menyatakan bahwa
gaya kepemimpinan berhubungan positif yang kuat dengan kepuasan kerja.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zahari (2012) yang meneliti
karyawan National Oil Corporation Libya menunjukkan bahwa terjadi
hubungan positif signifikan antara gaya kepemimpinan dengan kepuasan
kerja karyawan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang diikuti
bawahan, tugas yang diberikan diselesaikan dengan baik sesuai dengan yang
telah ditentukan (Fattah, 2014) dan Hughes (2012) menyebutkan suasana
hati pemimpin sering mempengaruhi pengikutnya baik dengan cara positif
14
maupun negative, sehingga diduga bahwa perilaku pemimpin berpengaruh
terhadap kepuasan kerja pegawai.
4) Gaya Kepemimpinan Memediasi Pengaruh Kecerdasan Emosional pada
Kepuasan Kerja
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap
orang yang diperlukan untuk mengelola emosi diri sendiri dan memahami
emosi orang lain. Peran pemimpin sebagai mediator dalam meningkatkan
kepuasan kerja sebagaimana dikemukakan Patton (1999) bahwa seringkali
pemimpin mengabaikan karyawan demi tujuan pribadi. Seseorang mampu
mengenal emosi sendiri dan baik dalam membaca emosi orang lain,
mungkin lebih efektif dalam pekerjaannya.
Ngirande et al. (2014) menyatakan seorang pemimpin dengan kecerdasan
emosional tinggi mampu merespon dengan tepat perilaku emosional dan
stres kerja bawahannya sehingga meningkatkan kepuasan kerja. Pemimpin
dengan kecerdasan emosional yang tinggi lebih mampu meningkatkan
kepuasan kerja dibandingkan dengan kecerdasan emosional yang rendah.
15
memiliki kemampuan untuk menangani situasi yang menekan tanpa kehilangan
kontrol dan dapat mempertahankan ketenangannya ketika berhubungan dengan
orang lain bahkan ketika intens mengalami emosi. Sosik dan Megerian (Stein,
SJ. Et al, 2009) menyatakan bahwa orang yang cerdas secara emosional merasa
lebih aman dalam kemampuan mereka untuk mengontrol dan pengaruh
peristiwa kehidupan dan, sebagai hasilnya, individu memberikan fokus pada
orang lain serta merangsang intelektual dan memotivasi pengikutnya.
16
(Social Responsibility) 2. Kemampuan mengidentifikasi
3. Hubungan interpersonal yang saling dengan salah satu kelompok sosial dan
memuaskan (Interpersonal bekerjasama dengan orang lain
Relationship) 3. Kemampuan membangun hubungan
dan berhubungan baik dengan yang lain
17
mengarah kepada mengukur kemampuan kecerdasan emosi (ability
measure).
2) Baron EQ-I (Baron Emotional Quotient-Intelligence).Tes ini diciptakan
oleh Baron.Aspek-aspek yang diukur antara lain: a) ketrampilan
intrapersonal seperti: kesadaran diri, asertif, aktualisasi diri dan
kemandirian, b) ketrampilan interpersonal seperti: empati, hubungan
interpersonal, dan tanggungjawab sosial, c)mengelola stress seperti:
pemecahan masalah, tes realitas dan fleksibilitas, dan d) kemampuan
beradaptasi (adaptability) seperti: toleransi terhadap stress, mengontrol
impuls.Tes ini mengarah pada bentuk self report.
3) EQ Map (Emotional Quotient Map). Tes ini dikembangkan oleh Robert K.
Cooperdan Ayman Sawaf (2001) yang melakukan penelitian pada manajer
eksekutif dan profesional dari ratusan organisasi perusahaan. Aspek-aspek
yang diukur antara lain: a) ketrampilan kecerdasan emosi seperti: kesadaran
diri emosi, kesadaran emosi terhadap orang lain dan ekspresi emosi, b)
kecakapan emosi seperti: intensionalitas, kreativitas, ketangguhan,
hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif, c) nilai-nilai dan
keyakinan seperti: belas kasihan, sudut pandang, intuisi, radius
kepercayaan, daya pribadi dan integritas.
4) ECI (Emotional Competence Inventory).Tes ini mengukur aspek-aspek
antara lain:a) kesadaran diri (self awareness) seperti: kesadaran emosi diri,
ketepatan mengases diri (accurate self assesment) dan kepercayaan diri (self
confidence) b) kesadaran sosial (social awareness) seperti empati,
kesadaran organisasi dan berorentasi pada pelayanan, c) manajemen diri
(self management), seperti: penguasaan diri (self control), sifat dapat
dipercaya (trustworthiness), kehati-hatian (consentiousness), kemampuan
beradaptasi (adaptability), orientasi berprestasi (achievement orientation),
inisiatif (initiative), d) ketrampilan sosial seperti: mengembangkan prang
lain (developingothers), kepemimpinan, mempengaruhi, komunikasi,
manajemen konflik (conflict management), katalis perubahan (change
18
catalist), kerjasama tim (teamwork) danmenjalin hubungan dengan orang
lain.
19
diri (self acepting), keseimbangan (balanced), tahan terhadap stress,
toleran terhadap ketidakpastian, dapat bekerja dibawah tekanan,
fleksibel dan efektif dalam menangani konflik dan umpan balik
negatif, (3) (surgency), yaitu pemimpin selalu bersifat terbuka, asertif,
dan memiliki energi yang tinggi, berani mengambil keputusan, (4)
(conscientiousness), yaitu pemimpin memiliki sifat hati-hati dan sabar,
motivasi yang tinggiuntuk berprestasi, tanggungjawab, integritas yang
tinggi, memiliki etos kerja, memiliki kemampuan mengorganisasi, dan
(5) (agreeableness) yaitu pemimpin dapat kooperatif, dapat
berdiplomasi, bersahabat, pembicara yang efektif, dan dapat dipercaya.
4) Bliss (1999) semua pemimpin memiliki karakteristik sifat-sifat yang
umum yaitu: (1) mengarah pada visi dan tujuan, (2) memiliki
kemampuan untuk mengkomunikasikan kemauannya kepada orang
lain, (3) memiliki integritas meliputi: pengetahuan diri (selfknowledge)
yaitu tahu akan kelemahan dan kelebihan dirinya sendiri, terus terang
(candor), dan kematangan (maturity) yang merupakan hasil belajar
yang telah dijalani.
5) Steers (1985) menyoroti rintangan-rintangan dalam keefektifan
kepemimpinan, yaitu: (1) ketrampilan dan sifat dari pemimpin dapat
menjadi kendala dalam menjadi pemimpin yang efektif. Misal,
penelitian tentang kepemimpinan menunjukkan bahwa pemimpin yang
efektif memiliki karakteristik pribadi tertentu. Kekurangan dari
ketrampilan tersebut dapat menghalangi perilaku pemimpin yang
efektif, (2) ketidakmampuan pemimpin dalam membuat berbagai gaya
kepemimpinan dalam situasi yang tepat, (3) pada tingkat tertentu,
pemimpin harus mengontrol sistim pemberian hadiah seperti
menaikkan gaji, promosi dan lain-lain, (4) karakteristik dari situasi
kerja juga dapat menyebabkan ketidakefektifan kepemimpinan.
6) Klemm (1999) menyoroti ciri-ciri pemimpin kreatif yang berkorelasi
positif dengan kepemimpinan yang efektif. Menurut Klemm ada 5 ciri-
ciri pemimpin yang kreatif meliputi: (1) memiliki tingkat kecerdasan
20
yang cukup tinggi, (2) dapat menerima informasi dengan baik (well
informed), (3) memiliki pemikiran yang asli (original thinkers), 4)
menjawab pertanyaan dengan benar (ask the right questions), dan 5)
disiapkan untuk menjadi kreatif (prepared to be creative).
7) Dunning (2000) mengemukakan 4 kompetensi yang menentukan
keberhasilan pemimpin yang baru di era milenium, yaitu: (1) harus
memahami dan mempraktekkan pentingnya suatu penghargaan
terhadap kemampuan, sehingga pemimpin dituntut memiliki
kemampuan, (2) senantiasa mengingatkan bahwa pentingnya
mengembangkan bawahannya, (3) senantiasa memberikan
kepercayaan kepada bawahannya, dan(4)menjalin keakraban dengan
rekan sekerja.
8) Kane (1998) menyoroti aspek-aspek yang paling relevan untuk
dimiliki pemimpin pada era melinium yaitu: (1) kompetensi dasar
(core competencies) seperti: inteligensi, integritas (integrity) dan
perhatian (caring), (2) ketrampilan/pengetahuan
(skills/knowledge),membangun tim (team building), mengorganisir
bawahan (people management), keterlibatan pada aktivitas di
masyarakat (community involvement), dapat mengelola konflik secara
produktif (productive use of conflict) dan kecerdasan emosi (emotional
intelligence), (3) sikap terhadap keberhasian kepemimpinan (attitudes
for successful leadership), yaitu: memiliki komitmen (comitment),
perbaikan yang terus menerus (continuous improvement) (Yoenanto,
Herry (2002).
21
target penjualan, pengembalian atas investasi, produktivitas, biaya per unit
keluaran, biaya yang berkaitan dengan anggaran pengeluaran dan seterusnya.
Sedangkan ukuran subyektifnya adalah tingkat efektivitas yang dihasilkan oleh
pemimpin tertinggi, para pekerja atau bawahan sikap para pengikut terhadap
pemimpin merupakan indikator umum lainnya dari pemimpin yang efektif
(Yukl, 2006). Seberapa baik pemimpin tersebut memenuhi kebutuhan dan
harapan pengikutnya? Apakah para pengikut menyukai, menghormati dan
mengagumi pemimpinnya? Apakah pengikut benar-benar mau mengerjakan
keinginan pemimpinnya? Indikator berikutnya adalah berdasar kontribusi
pemimpin pada kualitas proses kelompok yang dirasakan oleh para pengikut.
Apakah pemimpin mampu meningkatkan kohesivitas anggota kelompok,
kerjasama anggota,motivasi anggota, penyelesaian masalah, pengambilan
keputusan dan mendamaikan konflik antaranggota? Apakah pemimpin
berkontribusi terhadap efisiensi pembagian peran, pengorganisasian aktivitas,
pengakumulasian sumber-sumber dan kesiapan kelompok untuk menghadapi
perubahan atau krisis? Apakah pemimpin dapat memperbaiki kualitas
kehidupan kerja, membangun rasa percaya diri pengikutnya, meningkatkan
ketrampilan mereka dan berkontribusi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan psikologis para pengikutnya.
22
Seorang pemimpin yang memberikan perhatian pribadi kepada bawahan,
memperlakukan setiap karyawan sebagai seorang individu, dan mengambil
minat dalam jangka panjang pengembangan kepribadian setiap karyawan
merupakan komponen kepemimpinan transformasional Kepemimpinan
Transformasional (Sivanathan, Niroshaan dan G.Chinthia F, 2002) adalah
kemampuan pemimpin untuk memotivasi pengikutnya untuk mencapai
melebihi apa yang mulanya dianggap mungkin. Bass (1985) mengusulkan
empat faktor karakteristik kepemimpinan transformasional yang sering disebut
sebagai ”Four I’s :
23
Sejarah membuktikan seorang penguasa biasanya akan mendapat respek
dan dukungan rakyat jika ia memberi kadar kedamaian yang masuk akal dan
kondisi hidup yang terjamin. Jika rakyat hilang percaya, orang lain mungkin
akan segera mengantikan.
Kondisi hidup yang buruk, kediktatoran dan keinginan akan perubahan
biasanya menjadi pemicu pergantian. Penulis mencoba mengurai ciri-ciri
pemimpin yang ideal untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih
pemimpin efektif.
Karismatik, bila kita menengok sejarah para pemimpin yang kuat seperti
Napoleon, Mao Tze Tung, Churchil, Margaret Thatcher, Ronald Reagen, Bung
Karno, Gandhi, semuanya merupakan orang-orang yang sering kali disebut
sebagai pemimpin karismatik. Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan
karismatik, ilmuwan dan sosiolog Max Weber punya definisi sendiri. Lebih
dari seabad lalu ia mengatakan karismatik sebagai sifat dari seseorang yang
membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai
kemampuan atau kualitas supernatural. Artinya tidak dimiliki oleh orang biasa,
karena merupakan kekuatan yang bersumber dari Ilahi. Telaah literatur
menunjukan adanya empatkarakteristik sehubungan dengan pemimpin
karismatik. Yaitu memiliki visi, bersedia mengambil risiko pribadi untuk
mencapai visi tersebut, sensitif terhadap kebutuhan bawahan dan memiliki
prilaku yang luar biasa. Indonesia pernah memiliki Bung karno yang masuk
dalam kategori pemimpin karismatik. Memiliki visi memerdekakan Indonesia
walau dengan risiko harus keluar masuk bui. Dia juga berani mengambil sikap
demi mencapai visi.
24
Dari berbagai penelitian juga dibuktikan bahwa kecerdasan emosi sangat
dibutuhkan bagi pemimpin yang efektif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Patricia Pitcher’s yang dikutip oleh Bliss (1999) menyimpulkan bahwa
pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi tinggi lebih berhasil dibandingkan
dengan pemimpin yang tanpa kecerdasan emosi. Bennis yang dikutip Simmons
(2001) juga mendukung peneliti sebelumnya dengan mengatakan bahwa
kecerdasan emosi lebih berpengaruh dibandingkan dengan inteligensi (IQ)
dalam menentukan pemimpin yang efektif. Penelitian yang dilakukan Cooper
(1997) menyebutkan bahwa orang dengan tingkat kecerdasan emosi yang
tinggi lebih berhasil dalam karir pekerjaan, dapat membangun hubungan
personal yang lebih baik, memimpin lebih efektif, dapat menikmati kesehatan
lebih baik dan dapat memotivasi dirinya sendiri dan orang lain. Lebih lanjut
Cooper menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi
dapat meningkatkan kekuatan intuisi, senantiasa mempercayai dan dipercayai
oleh orang lain, memiliki integritas, dapat memecahkan solusi dalam keadaan
yang darurat dan dapat melakukan kepemimpinan yang efektif.
Seorang pemimpin yang efektif menggunakan pengaruh hubungan
personil dalam mempengaruhi orang lain. Hubungan personil dibangun
menggunakan ketrampilan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi tidak hanya
membedakan pemimpin yang menonjol dengan yang tidak, tetapi juga
berkaitan dengan kinerja yang baik (Goleman, 1998). Penelitian lain yang
sejenis dilakukan Fieldman yang dikutip Simmon (2001), menyimpulkan
bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang baik secara langsung
dapat mempengaruhi kinerja bawahannya dan produktivitas dalam segala hal.
Cooper dan Sawaf (1998 dan 2001) yang menyoroti perbedaan kecerdasan
emosi dari pemimpin dapat membuat faktor keberhasilan karir dan organisasi
dalam hal: 1) pengambilan keputusan, (2) kepemimpinan, (3) komunikasi
secara jujur dan terbuka, (4) hubungan yang saling mempercayai dan
kerjasama tim, dan (5) kepuasan pelanggan.
Penelitian lain yang berkaitan dengan kecerdasan emosi juga dilakukan
oleh beberapa ahli. Seperti yang dilakukan oleh Simmon (2001) dengan
25
mengaitkan antara jenis kelamin (gender) dengan kecerdasan emosi didapatkan
kesimpulkan bahwa orang wanita rata-rata lebih baik kecerdasan emosi dalam
hal kesadaran dirinya, empati dan ketrampilan sosialnya,sementara orang pria
rata rata lebih baik kecerdasan emosi dalam bidang kepercayaan diri,
optimistik, dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan daya tahan terhadap
stres.
Sementara itu Baron menyelidiki pengaruh kecerdasan emosi dengan
tingkat usia, diperoleh hasil ada pengaruh yang konsisten antara usia dengan
kecerdasan emosi, yaitu nilai total kecerdasan emosi meningkat dengan
pertambahan usia dan puncaknya pada akhir tahun ke-40 dan awal tahun ke-50.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kematangan emosi berasal dari usia dan
pengalaman, dimana orang yang lebih tua dapat mengatasi tuntutan lingkungan
dari orang yang lebih muda. Atau secara umum orang yang lebih tua memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan orang yang lebih muda yaitu: (1) mandiri
dalam cara berfikir dan bertindak, (2) sadar akan perasaan orang lain, (3)
memiliki tanggung jawab sosial, (4) dapat beradaptasi, (5) dapat mengatasi
masalah, dan (6) dapat mengatur tingkat stres.
Tetapi mengapa Emotional Intelligence begitu penting bagi kemimpinan
yang efektif? Ini jawabnya, salah satu komponen inti Emotional Intelligence
adalah empati. Sejarawan Fred Greenstein mengadakan penelitian dan
menunjukan Emotional Intelligence merupakan salah satu unsur terpenting
untuk meramalkan kebesaran seorang pemimpin. Jelas argumen dari sejarawan
ini bisa dikatakan benar, karena jika seorang pemimpin tidak memilki sifat
empati dan mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan ataupun masyarakat
yang dipimpinnya, maka akan menjadikan dia pemimpin yang cendrung
diktator.
26
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era globalisasi. Karakteristik
pemimpin yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan, memilik perspektif
jangka panjang, dapat mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif, memiliki
kecerdasan emosi dan karakteristik lainnya merupakan sesuatu yang menentukan
suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di era globalisasi.
3.2 Saran
Dalam memimpin di sebuah organisasi sebaiknya kita memilih pemimpin
yang memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dengan itu kita bisa mencapai
suatu tujuan yang sama.
28
DAFTAR PUSTAKA
Dillan Azaly Al-Farozi. 2014. EQ Dalam Kepemimpinan Pendidikan Islam Makalah.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri
Walisongo. Semarang.
29