Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter

sel darah merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel

darah merah. Menurut kriteria WHO anemia adalah kadar hemoglobin di

bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Berdasarkan

kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia

adalah kadar hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g%

pada wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita

dengan keganasan. Anemia merupakan tanda adanya penyakit. Anemia

selalu merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya.

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana

berguna dalam evaluasi penderita anemia (Oehadian, 2012).

Pada penderita anemia umumnya dilakukan pemeriksaan

laboratorium, salah satunya yaitu pemeriksaan darah rutin (hitung jumlah

eritrosit, hitung jumlah leukosit, trombosit,) serta pemeriksaan

laboratorium penanda anemia seperti retikulosit, kadar Fe, feritin, evaluasi

darah tepi.

Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat

berupa persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung

retikulosit absolut terkoreksi, atau reticulocyte production index. Produksi

1
2

sel darah merah efektif merupakan proses dinamik. Hitung retikulosit

harus dibandingkan dengan jumlah yang diproduksi pada penderita tanpa

anemia. Faktor lain yang mempengaruhi hitung retikulosit terkoreksi

adalah adanya pelepasan retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita

anemia. Retikulosit biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum

mengeluarkan sisa RNA dan menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit

dilepaskan secara dini dari sumsum tulang, retikulosit imatur dapat berada

di sirkulasi selama 2-3 hari. Hal ini terutama terjadi pada anemia berat

yang menyebabkan peningkatan eritropoiesis.

Penghitungan jumlah retikulosit seharusnya menggambarkan

jumlah total eritrosit tanpa memperhatikan konsentrasi eritrosit, tapi

kenyataannya tidak demikian. Gambaran produksi retikulosit yang

sebenarnya didapatkan dengan mengoreksi hitung retikulosit. Cara yang

dipakai untuk melakukan koreksi terhadap hitung retikulosit adalah

membagi hematokrit pasien dengan hematokrit individu normal dikalikan

dengan jumlah retikulosit dalam persen. Nilai ini dikenal sebagai koreksi

pertama atau persentasi retikulosit terkoreksi (Brown, 1993; Fraser, 1995

dalam Setyawati, 2008).

Selain retikulosit, pemeriksaan kadar Fe juga diperiksakan. Besi

(Fe) merupakan zat gizi mikro yang sangat diperlukan tubuh. Umumnya

zat besi yang berasal dari sumber pangan nabati (non heme), seperti:

kacang-kacangan dan sayur-sayuran mempunyai proporsi absorbsi yang

rendah dibandingkan dengan zat besi yang berasal dari sumber pangan
3

hewani (heme), seperti: daging, telur, dan ikan. Menurut World Health

Organization (WHO), kekurangan zat besi sebagai salah satu dari sepuluh

masalah kesehatan yang paling serius. Asupan serapan zat besi yang

tidak adekuat juga dapat menyebabkan anemia seperti mengonsumsi

makanan yang memiliki kualitas besi yang tidak baik (makanan tinggi

serat, rendah vitamin C, rendah daging), mengonsumsi makanan yang

dapat mengangganggu penyerapan zat besi seperti meminum teh dan

kopi dan mengonsumsi makanan sampah (junk food) yang hanya sedikit

bahkan ada yang tidak ada sama sekali mengandung kalsium, besi,

riboflavin, asam folat, vitamin A, dan Vitamin C, sementara kandungan

lemak jenuh, kolestrol, dan natrium tinggi. Proporsi lemak sebagai

penyedia kalori lebih dari 50% total kalori yang terkandung dalam

makanan itu (Lestari, 2017).

Penyerapan besi diatur oleh usus, yang mengizinkan penyerapan

besi secukupnya untuk mengganti kehilangan tanpa menyebabkan

penyerapan berlebihan. Asupan besi dari makanan setiap hari adalah 10

sampai 20 mg/hari. Jumlah besi yang diserap dari makanan sangat

bervariasi, bergantung pada beberapa faktor termasuk jumlah dan jenis

besi yang dimakan, keasaman lambung, aktivitas sum-sum tulang dan

keadaan simpanan besi tubuh. Walaupun seluruh usus halus memiliki

kemampuan menyerap besi, penyerapan maksimum terjadi di duodenum

dan jejunum bagian atas, karena adanya pH optimum. Pada keadaan

defisiensi besi yang parah, tubuh dapat meningkatkan penyerapan sampai


4

30% dari asupan makanan untuk mengompensasi kekurangan (Sacher, A,

2011).

Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui korelasi

antara jumlah retikulosit dan kadar zat besi (Fe) pada penderita anemia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka rumusan

masalah penelitian ini adalah bagaimana korelasi jumlah retikulosit dan

kadar zat besi (Fe) pada penderita anemia.

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui korelasi jumlah retikulosit dan kadar zat besi

(Fe) pada penderita anemia.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jumlah retikulosit pada penderita anemia

2. Untuk mengetahui kadar zat besi (Fe) pada penderita anemia

3. Untuk mengetahui korelasi antara jumlah retikulosit dan kadar

zat besi (Fe) pada penderita anemia.

D. Manfaat

1. Institusi

Sebagai sumbangan ilmiah dan bahan referensi untuk

mahasiswa terutama dalam bidang kesehatan.


5

2. Tenaga Laboratorium

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

mengenai korelasi antara jumlah retikulosit dan kadar zat besi (Fe)

pada penderita anemia

3. Peneliti

Sebagai tambahan wawasan pengetahuan dan wawasan

dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diterima selama

proses pembelajaran.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Darah

1. Pengertian Darah

Darah merupakan salah satu jaringan dalam tubuh yang

berbentuk cair berwarna merah. Karena sifat darah yang berbeda

dengan jaringan lain, mengakibatkan darah dapat bergerak dari satu

tempat ke tempat lain sehingga dapat menyebar ke berbagai

kompartemen tubuh. Penyebaran tersebut harus tetap terkontrol dan

harus tetap berada pada satu ruangan agar darah benar-benar dapat

menjangkau seluruh jaringan di di dalam tubuh melalui suatu sistem

yang disebut sistem kardiovaskuler, yang meliputi jantung dan

pembuluh darah. Dengan sistem tersebut darah dapat

diakomodasikan secara teratur dan dieedarkan menuju organ

jaringan yang tersebar di seluruh tubuh) (Nugraha G, 2015)

Darah didistribusikan melalui pembuluh darah dari jantung ke

seluruh tubuh dan akan kembali lagi menuju jantung. Sistem ini

berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sel atau jaringan akan nutrien

dan oksigen, serta mentransport sisa metabolisme sel atau jaringan

keluar dari tubuh (Nugraha G, 2015).

6
7

2. Komponen Darah

Darah dibentuk dari dua komponen selular dan komponen

nonselular. Komponen selular sering disebut juga korpuskuli, yang

membentuk sekitar 45% yang terdiri dari tiga macam atau jenis sel

yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit. Pada dasarnya trombosit bukan

berupa sel melainkan bentuk keping-keping dari pecahan sitoplasma

sel megakariosit. Komponen non-selular berupa cairan yang disebut

plasma dan membentuk sekitar 55% bagian dari darah. Dalam

plasma terkandung berbagai macam molekul makro dan mikro, baik

yang bersifat larut air (hidrofilik) maupun tidak larut dalam air

(hidrofobik), berupa organik maupun anorganik, serta atom-atom

maupun ionik. plasma yang tidak mengandung faktor-faktor

pembekuan darah disebut serum. Plasma darah terdiri dari air,

protein, karbohidrat, lipid, asam amino, vitamin, mineral dan lain

sebagainya. Komponen tersebut ikut mengalir dalam sirkulasi

bersama darah, baik bebas atau diperantarai molekul lain agar dapat

larut di dalam plasma. (Nugraha G, 2015).

3. Fungsi Darah

a. Fungsi respirasi

b. Fungsi nutrisi

c. Fungsi ekskresi

d. Fungsi penyeimbangan asam basa tubuh

e. Fungsi penyeimbangan air tubuh


8

f. Fungsi pertahan terhadap infeksi

g. Fungsi transpor hormon dan pengaturan metabolisme

h. Fungsi pembekuan darah (koagulasi)

(Nurjannah dkk, 2010).

B. Tinjauan Umum Tentang Eritropoeisis

Eritrosit baru diproduksi oleh tubuh setiap hari melalui proses

eritropoiesis yang kompleks. Eritropoiesis berjalan dari sel induk

melalui sel progenitor CFUGEMM (colony-forming unit granulocyte,

erythroid, monocyte and megakariocyte/unit pembentuk koloni

granulosit, eritroid, monosit dan megakariosit), BFUE(burst-forming

unit erythroid/unit pembentuk letusan eritroid) dan CFU eritroid

(CFUU) menjadi prekusor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di

sumsum tulang, yaitu pronormoblas. Pronormoblas adalah sel besar

dengan sitoplasma biru tua, dengan inti di tengah dan nukleoli, serta

kromatin yang sedikit menggumpal (Nurjannah dkk, 2010).

Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian

normoblas yang makin kecil melalui sejumlah pembelahan sel

(basofilik eritroblas – polikromatik eritroblas – ortokromatik

eritroblas). Normoblas ini juga mengandung hemoglobin yang

semakin banyak (berwarna merah muda) dalam sitoplasma; warna

sitoplasma makin biru pucat sejalan dengan hilangnya RNA dan

aparatus yang mensintesis protein, sedangkan kromatin inti menjadi

semakin padat. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblas lanjut


9

(ortokromatik eritroblas) di sumsum tulang dan menghasilkan

stadium Retikulosit yang masih mengandung sedikit RNA ribosom

dan masih mampu mensintesis hemoglobin (Nurjannah dkk, 2010).

Sel retikulosit sedikit lebih besar daripada eritrosit matur,

berada selama 1 – 2 hari sebelum menjadi matur, terutama berada di

limpa, saat RNA hilang seluruhnya. Eritrosit matur berwarna merah

muda seluruhnya, bentuknya adalah cakram bikonkaf tak berinti.

Satu pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel

darah merah berinti (normoblas) tampak dalam darah apabila

eritropoiesis terjadi di luar sumsum tulang (eritropoiesis

ekstramedular) dan juga terdapat pada penyakit sumsum tulang.

Normoblas tidak ditemukan dalam darah tepi manusia yang normal.

(Nurjannah dkk, 2010).

Terjadi mekanisme stimulasi yang kuat pada kasus-kasus

anemia berat oleh eritropoetin terhadap sumsum tulang untuk

meningkatkan produksi dan pelepasan retikulosit lebih dini. Hal ini

akan menyebabkan waktu pematangan retikulosit menjadi eritrosit di

dalam darah tepi bertambah lama, dari 1 – 2 hari menjadi 2 – 3 hari.

Maka untuk mendapatkan gambaran kemampuan yang sebenarnya

dari sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit, maka hitung

retikulosit pada kasus-kasus seperti ini perlu dilakukan koreksi lebih

lanjut (koreksi kedua), yaitu koreksi dengan lama waktu pematangan

yang dibutuhkan dibagi dua. Nilai normal retikulosit dalam hitung


10

jumlah (%) yaitu 0,5 – 2,0 % dari jumlah eritrosit, sehingga

didapatkan nilai normal yang mutlak adalah 25 – 85 x 103 /mm3 atau

109 sel/L (Kosasih, E.N. dan A.S. Kosasih, 2008).

1. Eritropoitein

Eritropoiesis diatur oleh hormon eritropoietin, yaitu suatu

polipeptida yang sangat terglikosikasi yang terdiri dari 165 asam

amino dengan berat molekul 30400. Normalnya 90% hormon ini

dihasilkan di sel interstisial peritubular ginjal dan 10% nya di hati

dan tempat lain. Tidak ada cadangan yang sudah dibentuk

sebelumnya, dan stimulus pembentukan eritropoietin adalah

tekanan oksigen (O2) dalam jaringan ginjal. Karena itu produksi

eritropoietin meningkat pada kasus anemia, jika karena sebab

metabolik atau struktural, hemoglobin tidak dapat melepaskan O 2

secara normal, jika O2 atmosfer rendah atau jika gangguan fungsi

jantung, paru atau kerusakan sirkulasi ginjal mempengaruhi

pengiriman O2 ke ginjal (Nurjannah dkk, 2010).

Eritropoietin merangsang eritropoiesis dengan meningkatkan

jumlah sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. BFUE dan

CFUE lanjut yang mempunyai reseptor eritropoietin terangsang

untuk berproliferasi, berdiferensiasi, dan menghasilkan hemoglobin.

Proporsi sel eritroid dalam sumsum tulang meningkat dan dalam

keadaan kronik, terdapat ekspansi eritropoiesis secara anatomik ke

dalam sumsum berlemak dan kadang–kadang ke lokasi


11

ekstramedular. Rongga sumsum tulang pada bayi dapat meluas ke

kortikal sehinga menyebabkan deformitas tulang dengan

penonjolan tulang frontal dan protrusi maksila. Sebaliknya

peningkatan pasokan O2 ke jaringan (akibat peningkatan massa sel

darah merah atau karena hemoglobin dapat lebih mudah

melepaskan O2 dibanding normalnya) menurunkan dorongan

eritopoietin. Kadar eritropoietin plasma dapat bermanfaat dalam

penegakan 7 diagnosa klinis. Kadar eritropoietin tinggi bila tumor

yang mensekresi eritropoietin menyebabkaan polisitemia, tetapi

kadarnya rendah pada penyakit ginjal berat atau polisitemia rubra

vera (Nurjannah dkk, 2010).

2. Perkembangan dan Pematangan Retikulosit

Selama proses eritropoiesis sel induk eritrosit yang paling

tua atau latestage erytroblasts akan mengalami pematangan

dengan menghilangnya inti sehingga menjadi retikulosit. Dalam

periode beberapa hari proses pematangan ini ditandai dengan:

a. Penyempurnaan pembentukan hemoglobin dan protein lainya

seperti halnya SDM yang matang

b. Adanya perubahan bentuk dari besar ke lebih kecil, uniform dan

berbentuk biconcave discoid

c. Terjadinya degradasi protein plasma dan organel internal serta

residual protein lainnya (Suega, 2010).


12

Bersamaan dengan adanya perubahan intrinsik ini retikulosit

akan bermigrasi ke sirkulasi darah tepi. Namun demikian populasi

retikulosit ini bukanlah sesuatu yang homogen oleh karena adanya

tingkatan maturasi yang berbeda dari retikulosit tersebut. Dengan

meningkatnya rangsangan eritropoiesis seperti adanya proses

perdarahan atau hemolisis, jumlah dan proporsi dari sel retikulosit

muda akan meningkat baik di dalam sumsum tulang maupun

didarah tepi. Ada perbedaan masa hidup antara retikulosit normal

dan retikulosit muda (imatur) yaitu membran retikulosit imatur akan

lebih kaku dan tidak stabil, disamping itu retikulosit imatur ini masih

mempunyai reseptor untuk protein adesif sedangkan retikulosit

normal telah kehilangan reseptor ini begitu sel ini bermigrasi ke

perifer (Suega, 2010).

Suatu studi memperkirakan lama waktu tinggal retikulosit di

sumsum tulang sebelum memasuki sirkulasi darah tepi bervariasi

antara 17 jam pada tikus normal sampai 6,5 jam pada tikus yang

menderita anemia. Walaupun retikulosit baik di sumsum tulang

maupun di darah tepi bisa dipisahkan dari kontaminasi sel yang

sama dari kompartemen yang berbeda akan tetapi pemisahan ini

tidak sempurna sekali sehingga metode untuk membedakan masih

perlu disempurnakan untuk mengetahui dengan tepat fungsi

sitologis dan maturasi dari retikulosit. Diperkirakan waktu

pematangan retikulosit adalah berkisar antara 2 - 5 jam, tergantung


13

metode yang dipakai, spesies yang dipelajari dan juga tingkat

stimulasi proses yang menentukan kapan retikulosit keluar dari

sumsum tulang ke sirkulasi masih belum jelas diketahui. Ada studi

yang mendapatkan bahwa perbedaan spesies dapat menentukan

perbedaan jumlah retikulosit yang beredar didarah tepi, dimana

pada tikus dan babi didapatkan jumlah retikulosit yang banyak

sedang pada manusia, anjing dan kucing jumlahnya sedikit bahkan

pada kuda hampir tidak didapatkan atau sedikit sekali. Perbedaan

yang unik ini bisa dikenali dengan metode manual dengan

pengecatan supravital seperti metode biru metilen (Suega, 2010).

Retikulosit yang sangat muda (imatur) adalah retikulosit yang

dilepaskan ke darah tepi akibat adanya rangsangan akibat anemia

dan hal ini disebut stressed reticulocyte. Retikulosit jenis ini

mempunyai masa hidup yang lebih pendek apabila di tranfusikan ke

dalam resipien normal dan secara umum 9 dianggap sel ini tidak

normal karena tidak melalui perkembangan sel yang normal sampai

ke divisi terminal dari perkembangan retikulosit. Sebuah studi ingin

meneliti masa hidup dari retikulosit normal dan retikulosit stress ini

baik pada pasien normal maupun pasien anemia. Eksperimen ini

mendapatkan data:

a. Masa hidup retikulosit akan normal jika retikulosit normal

diinjeksikan ke binatang yang non anemik;


14

b. Oleh karena gangguan intrinsik dari retikulosit stress, akan

menyebabkan sel ini lebih cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh

resepien normal dengan kecepatan yang lebih besar

dibandingkan dengan resepien yang anemia

c. Baik retikulosit normal maupun retikulosit yang stress akan

disingkirkan dengan kecepatan yang bertambah dengan

berlalunya waktu pada penderita yang anemia. Secara

keseluruhan data ini menunjukkan, pada saat proses anemia

berjalan akan terjadi proses adaptasi yang memungkinkan sel

yang diproduksi selama anemia tersebut akan beredar lebih

lama pada binatang yang dibuat anemi dibandingkan dengan

binatang yang normal. Studi yang lain juga mendukung hal ini

dimana didapatkan bahwa peningkatan masa hidup retikulosit

pada binatang yang anemia bukan disebabkan oleh adanya

overload sistem retikoluendotelial akan tetapi hal ini diduga

oleh adanya proses adaptasi lien yang menurunkan aktivitas

penghancurannya terhadap retikulosit yang stress (Suega,

2010).

Besi digunakan untuk mensintesis hemoglobin oleh sel induk

eritroid di sumsum tulang pada proses eritropoiesis yang pada

akhirnya bermuara dengan pelepasan retikulosit ke sirkulasi, dan

akan memberi sinyal untuk aktivitas 10 eritropoiesis 3 - 4 hari

setelah besi terpakai untuk membuat hemoglobin. Oleh karena itu


15

CHr/Reticulocyte Hemoglobin Content (rerata kadar hemoglobin

dalam retikulosit) dianggap dapat merefleksikan ketersediaan

besi selama pembentukan SDM, dan parameter retikulosit ini

menggambarkan keseimbangan antara besi dan eritropoiesis

dalam 28 jam terakhir. Peneliti akhir-akhir ini banyak

mengindikasikan bahwa CHr merupakan indikator untuk

ketersediaan besi selama pemberian terapi rekombinan

eritropoietin manusia. Perubahan kadar hitung retikulosit awal

hanyalah menggambarkan keluarnya retikulosit muda dari

sumsum tulang dan bukan merupakan tanda adanya ekspansi

dari proses eritropoeisis dan dengan alasan ini tentu lebih penting

untuk mengetahui respon eritropoiesis terhadap pemberian besi

dibandingkan hanya melihat retikulosit indeks saja (Suega, 2010).

3. Faktor–faktor yang Mengganggu Respons Retikulosit Normal

terhadap Anemia

a. Penyakit sumsum tulang; misalnya hipoplasia, infiltrasi oleh

karsinoma, limfoma, mieloma, leukimia akut, tuberculosis

b. Defisiensi besi, vitamin B12 atau folat

c. Tidak adanya eritropoietin; misalnya penyakit ginjal

d. Berkurangnya pasokan O2 ke jaringan; misalnya miksedema,

defisiensi protein
16

e. Eritropoiesis inefektif, misalnya thallasemia mayor, anemia

megaloblastik, mielodisplasia, mielofibrosis, anemia

diseritropoieis kongenital.

f. Penyakit keganasan atau radang kronik (Nurjannah dkk, 2010)

2. Pemeriksaan Retikulosit

Ada 2 metode pemeriksaan, yaitu cara sediaan basah dan

sediaan kering.

a. Metode Sediaan Basah

1. Ditaruh satu tetes larutan BCB dalam metilalkohol

(metanol) di tengah-tengah kaca obyek dan biarkan

sampai kering atau taruhlah satu tetes larutan zat warna

BCB di atas kaca obyek.

2. Ditaruh setetes kecil darah di atas bercak kering atau ke

atas tetes zat warna dan segeralah campur darah dan

zat warna itu dengan memakai sudut kaca obyek lain.

3. Ditutup tetes darah itu dengan kaca penutup, lapisan

darah dalam sediaan basah ini harus tipis benar.

4. Dibiarkan beberapa menit atau masukkanlah ke dalam

cawan petri yang berisi kertas saring basah jika

sekiranya pemeriksaan selanjutnya terpaksa ditunda.

5. Diperiksa memakai lensa minyak imersi dan tentukan

berapa banyak retikulosit didapat antara 1000 eritrosit .

b. Metode Sediaan Kering


17

1. Masukkanlah 0,5 sampai 1 mL larutan pewarna (dalam

garam) ke dalam tabung kecil.

2. Campurlah 5 tetes darah dengan larutan tadi dan

biarkan selama 30 menit.

3. Mengambil 1 tetes dari campuran itu untuk membuat

sediaan apus seperti biasa yang kemudian dipulas

Wright atau Giemsa. Campuran di atas boleh juga

dipakai untuk membuat sediaan basah: setetes

diletakkan ke atas kaca obyek dengan ditutup kemudian

oleh kaca penutup.

4. Periksalah dengan lensa imersi dan hitunglah jumlah

retikulosit yang terlihat per 1000 eritrosit

(Gandasoebrata, 2011)

C. Tinjauan Umum Tentang Anemia

1. Pengertian Anemia

Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan jumlah

sel darah merah (eritrosit) dalam kapasitasnya sebagai pembawa

oksigen tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis

tubuh (WHO, 2011).

Anemia juga didefinisikan sebagai berkurangnya satu atau

lebih parameter sel darah merah: konsentrasi hemoglobin,

hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria WHO,

anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan


18

di bawah 12 g% pada wanita. Berdasarkan kriteria WHO yang

direvisi/kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar

hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada

wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada

penderita dengan keganasan. Anemia merupakan tanda adanya

penyakit. Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal dan

harus dicari penyebabnya. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi

penderita anemia (Oehadian, 2012).

Pembagian anemia berdasarkan patogenesisnya

menggambarkan setiap tahap dari eritropoiesis dan masa hidup

eritrosit yang beredar di pembuluh darah (Anemia hemolitik).

Akhirnya, kehilangan darah yang sifatnya akut atau kronis juga

dapat menyebabkan anemia.


19

Gambar 1. Bentuk anemia (Silbernagl dkk, 2006)

Gangguan eritropoiesis dapat terjadi karena (1) kurang atau

hilangnya diferensiasi sel induk pluripoten, hemopoietik (anemia

aplastik pada panmielopati atau leukimia myeloid akut) (2)

pengurangan sementara (infeksi virus) atau kronis hanya pada sel

prekursor eritosit(anemia aplastik terisolasi)akibat autoantibodi

terhadap erotropoietin atau terhadap protein membran sel

prekursor (3) kekurangan eritropoietin padan gagal ginjal (anamia

renalis) (4) peradangan kronis atau tumor yang diantaranya dapat

merangsang interleukin penghambat eritropoiesis (anemia

sekunder) (5) gangguan diferensiasi sel (eritropoiesis yang tidak

efektif) yang selain disebabkan oleh kelainan gen, terutama dapat

juga karena defisiensi asam folat atau vitamin B12 (anemia


20

megaloblastik) (6) gangguan sintesis Hb (anemia mikrositik

hipokrom) (Silbernagl, 2006).

2. Klasifikasi Anemia

Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut

ukuran sel dan hemoglobin yang dikandungnya.

a. Makrositik

Anemia makrositik merupakan anemia dengan

karakteristik MCV di atas 100 fL. Anemia makrositik dapat

disebabkan oleh:

1) Peningkatan retikulosit

Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit.

Semua keadaan yang menyebabkan peningkatan

retikulosit akan memberikan gambaran peningkat-an MCV

2) Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel

darah merah (defi siensi folat atau cobalamin, obat-obat

yang mengganggu sintesa asam nukleat: zidovudine,

hidroksiurea)

3) Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom

mielodisplasia, leukemia akut)

4) Penggunaan alkohol

5) Penyakit hati

6) Hipotiroidisme.
21

Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah

bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga

bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu :

1) Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam

folat dan gangguan sintesis DNA.

2) Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang

dipercepat dan peningkatan luas permukaan membran.

Gambar 1. Anemia Makrositik (Oehadian, 2012)

b. Mikrositik

Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik

sel darah merah yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia

mikrositik biasanya disertai penurunan hemoglobin dalam

eritrosit. Dengan penurunan MCH (Mean Concentration

Hemoglobin) dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik

hipokrom pada apusan darah tepi.

Penyebab anemia mikrositik hipokrom :

1) Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit

kronis/anemia infl amasi, defisiensi tembaga.


22

2) Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia

sideroblastik kongenital dan didapat.

3) Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan

hemoglobinopati.

Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan

oleh defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin dan

heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.

Gambar 2. Anemia Mikrositik (Oehadian, 2012)

c. Normositik

Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal

(antara 80-100 fL). Keadaan ini dapat disebabkan oleh :

1) Anemia pada penyakit ginjal kronik.

2) Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan

penyakit ginjal kronik.

3) Anemia hemolitik:
23

a) Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah

merah: Kelainan membran (sferositosis herediter),

kelainan enzim (defi siensi G6PD), kelainan hemoglobin

(penyakit sickle cell).

b) Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah

merah: imun, autoimun (obat, virus, berhubungan

dengan kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi

transfusi akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal),

mikroan- giopati (purpura trombositopenia trombotik,

sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat

kimia (bisa ular).

Gambar 3. Anemia Normositik (Oehadian, 2012)

3. Etiologi dan Klasifikasi

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan

oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh

karena: Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang.

Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan). Proses penghancuran

eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) (Bakta, 2009).


24

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan

gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan

darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi 3 golongan:

Anemia hipokromik mikrositer ( MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg) ,

anemia defisiensi besi, thalassemia major, anemia akibat penyakit

kronik, anemia sideroblastik. Anemia normokromik normositer

(MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 fl) , anemia defisiensi besi,

Tahalassemia major, anemia akibat penyakit kronik, anemia

sideroblastik, anemia pasca perdarahan akut, anemia aplastik,

anemia hemolitik didapat , anemia akibat penyakit kronik, anemia

pada gagal ginjal kronik, anemia pada sindrom mielodisplastik,

anemia pada keganasan hematologik. Anemia makrositer (MCV >

95 fl). Bentuk megaloplastik (defisiensi asam folat, defisiensi

vitamin B12) dan Bentuk non-megaloblastik (pada penyakit hati

kronik, hipotiroidime, sindrom mielodisplastik) (Bakta, 2009).

4. Patofisiologi

Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa mengandung

rata-rata 3 –5 gr besi, hampir dua pertiga besi terdapat dalam

hemoglobin dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan

diangkat melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk

eritropoiesis. Pada peredaran zat besi berkurang, maka besi dari

diet tersebut diserap oleh lebih banyak. Besi yang dimakan diubah

menjadi besi keto dalam lambung dan duodenum, penyerapan


25

besi terjadi pada duodenum dan jejenum proksimal, kemudian

besi diangkat oleh tranferin plasma ke sumsum tulang, untuk

sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan

(Hoffbrand A.V et. al, 2005).

Pembentukan Hb terjadi pada sumsum tulang melalui

semua stadium pematangan besi merupakan susunan atau

sebuah molekul dan hemoglobin, jika zat besi rendah dalam tubuh

maka pembentukan eritrosit atau eritropoetin akan mengganggu

sehingga produksi sel darah merah berkurang, sel darah merah

yang berkurang atau menurun mengakibatkan hemoglobin

menurun sehingga transportasi oksigen dan nutrisi ke jaringan

menjadi berkurang, hal ini mengakibatkan metabolisme tubuh

menurun (Hoffbrand A.V et. al, 2005).

5. Gambaran Klinis Anemia

Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem

kardiovaskular (dengan peningkatan volume sekuncup dan

takikardia) dan pada kurva disosiasi O 2 hemoglobin. Pada

beberapa penderita anemia yang cukup berat, mungkin tidak

terdapat gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita

anemia ringan mungkin mengalami kelemahan berat. Ada atau

tidaknya gambaran klinis dapat dipertimbangkan menurut empat

kriteria utama :

a. Kecepatan awitan
26

Anemia yang memburuk dengan cepat menimbulkan

lebih banyak gejala dibandingkan anemia awitan lambat,

karena lebih sedikit waktu untuk adaptasi dalam sistem

kardiovaskular dan kurva disosiasi O2 hemoglobin.

b. Keparahan

Anemia ringan sering kali tidak menimbulkan gejala

atau tanda, tetapi gejala biasanya muncul jika hemoglobin

kurang dari 9-10 g/dL. Bahkan anemia berat (hemoglobin

serendah 6,0 g/dL) dapat menimbulkan gejala yang sangat

sedikit jika awitan sangat lambat pada subyek muda yang

sehat.

c. Usia

Orang tua menoleransi anemia dengan kurang baik

dibandingkan orang muda karena adanya efek kekurangan

oksigen pada organ jika terjadi gangguan kompensasi

kardiovaskular normal (peningkatan curah jantung akibat

peningkatan volume sekuncup dan takikardia).

d. Kurva disosiasi hemoglobin O2

Anemia umumnya disertai peningkatan 2,3-DPG

dalam eritrosit dan pergeseran kurva disosiasi O 2 ke kanan

sehingga O2 lebih mudah dilepaskan ke jaringan. Adaptasi

ini sangat jelas pada beberapa macam anemia yang

mengenai metabolisme eritrosit secara langsung, misalnya


27

pada anemia akibat defisiensi piruvat kinase (yang

menyebabkan peningkatan konsentrasi 2,3-DPG dalam

eritrosit), atau yang disertai dengan hemoglobin berafinitas

rendah, misal HbS. (Hoffbrand A.V et. al, 2005).

6. Riwayat Penyakit

Beberapa komponen penting dalam riwayat penyakit yang

berhubungan dengan anemia :

a. Riwayat atau kondisi medis yang menyebabkan anemia

(misalnya, melena pada penderita ulkus peptikum, artritis

reumatoid, gagal ginjal).

b. Waktu terjadinya anemia: baru, subakut, atau lifelong. Anemia

yang baru terjadi pada umumnya disebabkan penyakit yang

didapat, sedangkan anemia yang berlangsung lifelong,

terutama dengan adanya riwayat keluarga, pada umumnya

merupakan kelainan herediter (hemoglobinopati, sferositosis

herediter).

c. Etnis dan daerah asal penderita: talasemia dan

hemoglobinopati terutama didapatkan pada penderita dari

Mediterania, Timur Tengah, Afrika sub-Sahara, dan Asia

Tenggara.

d. Obat-obatan. Obat-obatan harus dievaluasi dengan rinci. Obat-

obat tertentu, seperti alkohol, asam asetilsalisilat, dan anti

inflamasi non steroid harus dievaluasi dengan cermat.


28

e. Riwayat transfusi.

f. Penyakit hati.

g. Pengobatan dengan preparat Fe.

h. Paparan zat kimia dari pekerjaan atau lingkungan.

i. Penilaian status nutrisi (Hoffbrand A.V et. al, 2005).

7. Pemeriksaan Fisik

Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ

atau multisistem dan untuk menilai beratnya kondisi penderita.

Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan :

a. Adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.

b. Pucat: sensitivitas dan spesifi sitas untuk pucat pada telapak

tangan, kuku, wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia

bervariasi antara 19-70% dan 70-100%.

c. ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik.

Ikterus sering sulit dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu

artifi sial. Pada penelitian 62 tenaga medis, ikterus ditemukan

pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68%

penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL.

d. Penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies

rodent/chipmunk) pada talasemia.

e. Lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.

f. Limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di

sternum); nyeri tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi


29

karena penyakit infi ltratif (seperti pada leukemia mielositik

kronik), lesi litik ( pada mieloma multipel atau metastasis

kanker).

g. Petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.

h. Kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defisiensi Fe.

i. Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter,

anemia sideroblastik familial).

j. Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun

(Hoffbrand A.V et. al, 2005).

8. Pemeriksaan Laboratorium

a. Complete blood count (CBC)

CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah

eritrosit, ukuran eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada

beberapa laboratorium, pemeriksaan trombosit, hitung jenis,

dan retikulosit harus ditambahkan dalam permintaan

pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated

blood counter, didapatkan parameter RDW yang

menggambarkan variasi ukuran sel

b. Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi

Apusan darah tepi harus dievaluasi de-ngan baik. Beberapa

kelainan darah tidak dapat dideteksi dengan automated blood

counter. Sel darah merah berinti (normoblas). Pada keadaan

normal, normoblas tidak ditemukan dalam sirkulasi. Normoblas


30

dapat ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis

(penyakit sickle cell, talasemia, anemia hemolitik lain) atau

merupakan bagian dari gambaran lekoeritroblastik pada

penderita dengan bone marrow replacement. Pada penderita

tanpa kelainan hematologis sebelumnya, adanya normoblas

dapat menunjukkan adanya penyakit yang mengancam jiwa,

seperti sepsis atau gagal jantung berat.

c. Hipersegmentasi neutrofil

Hipersegmentasi neutrofi l merupakan abnormalitas yang

ditandai dengan lebih dari 5% neutrofi l berlobus >5 dan/atau 1

atau lebih neutrofi l berlobus >6. Adanya hipersegmentasi

neutrofil dengan gambaran makrositik berhubungan dengan

gangguan sintesis DNA (defisiensi vitamin B12 dan asam folat)

d. Hitung retikulosit

Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit

dapat berupa persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit

absolut, hitung retikulosit absolut terkoreksi, atau reticulocyte

production index. Produksi sel darah merah efektif merupakan

proses dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan

jumlah yang diproduksi pada penderita tanpa anemia.

Faktor lain yang memengaruhi hitung retikulosit terkoreksi

adalah adanya pelepasan retikulosit prematur di sirkulasi pada

penderita anemia. Retikulosit biasanya berada di darah selama


31

24 jam sebelum mengeluarkan sisa RNA dan menjadi sel darah

merah. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari sumsum

tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3

hari. Hal ini terutama terjadi pada anemia berat yang

menyebabkan peningkatan eritropoiesis. penderita (%) Faktor kor

e. Jumlah leukosit dan hitung jenis

Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat

disebabkan supresi atau infiltrasi sum-sum tulang, hipersplenisme

atau defi siensi B12 atau asam folat. Adanya leukositosis dapat

menunjukkan adanya infeksi, infl amasi atau keganasan

hematologi.

Adanya kelainan tertentu pada hitung jenis dapat

memberikan petunjuk ke arah penyakit tertentu :

1) Peningkatan hitung neutrofi l absolut pada infeksi

2) Peningkatan hitung monosit absolut pada mielodisplasia

3) Peningkatan eosinofi l absolut pada infeksi tertentu

4) Penurunan nilai neutrofi l absolut setelah kemoterapi

5) Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau

pemberian kortikosteroid

6) Jumlah trombosit

Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi

penting untuk diagnostik. Trombositopenia didapatkan pada

beberapa keadaan yang berhubungan dengan anemia, misalnya


32

hipersplenisme, keterlibatan keganasan pada sumsum tulang,

destruksi trombosit autoimun (idiopatik atau karena obat), sepsis,

defi siensi folat atau B12. Peningkatan jumlah trombosit dapat

ditemukan pada penyakit mieloproliferatif, defisiensi Fe, infl amasi,

infeksi atau keganasan. Perubahan morfologi trombosit (trombosit

raksasa, trombosit degranulasi) dapat ditemukan pada penyakit

mieloproliferatif atau mielodisplasia

f. Pansitopenia

Pansitopenia merupakan kombinasi anemia,

trombositopenia dan netropenia. Pansitopenia berat dapat

ditemukan pada anemia aplastik, defi siensi folat, vitamin B12, atau

keganasan hematologis (leukemia akut). Pansitopenia ringan dapat

ditemukan pada penderita dengan splenomegali dan splenic

trapping sel-sel hematologis (Hoffbrand A.V et. al, 2005).

D. Tinjauan Umum Tentang Retikulosit

1) Pengertian Retikulosit

Retikulosit adalah Sel Darah Merah (SDM) yang masih

muda yang tidak berinti dan berasal dari proses pematangan

normoblas di sumsum tulang. Sel ini mempunyai jaringan organela

basofilik yang terdiri dari RNA dan protoforpirin yang dapat berupa

endapan dan berwarna biru apabila dicat dengan pengecatan biru

metilin (Bima,2012)
33

Retikulosit akan masuk ke sirkulasi darah tepi dan bertahan

kurang lebih selama 24 jam sebelum akhirnya mengalami

pematangan menjadi eritrosit. Pasien tanpa anemia hitung

retikulositnya berkisar antara 0,5-2,5%. Jumlah ini penting karena

dapat digunakan sebagai indikator produktivitas dan aktivitas

eritropoiesis di sumsum tulang dan membantu untuk menentukan

klasifikasi anemia sebagai hiperproliferatif, normoproliferatif, atau

hipoproliferatif. (Bima, 2012)

Hitung normal pada bayi yang baru lahir retikulosit berkisar

2-6% saat kelahiran dan menurun dalam 1-2 minggu, pada orang

dewasa sekitar 2 juta sel darah merah baru diproduksi setiap detik.

Seiring dengan pematangan diperlukan waktu beberapa hari untuk

sel berisi hemoglobin ini menyingkirkan sisa RNA sitoplasma

setelah nukleus dikeluarkan. Selama fase terakhir pematangan

retikulosit yang berisi RNA berukuran sedikit lebih besar dari sel

matang (Sacher dkk, 2012).

Kadar retikulosit darah mencerminkan ukuran kuantitatif dari

eritropoiesis, sedangkan parameter retikulosit lebih memberikan

informasi kondisi tentang kualitas retikulosit. Kandungan

hemoglobin dianggap konstan sepanjang masa hidup dari eritrosit

dan retikulosit kecuali kalau ada perubahan struktural yang

menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan fragmentasi


34

intraseluler. Selama proses perkembangannya retikulosit di dalam

sumsum tulang akan membuat hemoglobin (Bima, 2012).

2) Perkembangan dan Pematangan Retikulosit

Selama proses eritropoiesis sel induk eritrosit yang paling

tua atau latestage erytroblasts akan mengalami pematangan

dengan menghilangnya inti sehingga menjadi retikulosit. Dalam

periode beberapa hari proses pematangan ini ditandai dengan: (1)

penyempurnaan pembentukan hemoglobin dan protein lainya

seperti halnya SDM yang matang; (2) adanya perubahan bentuk

dari besar kelebih kecil, unifom dan berbentuk biconcave discoid;

dan (3) terjadinya degradasi protein plasma dan organel internal

serta residual protein lainnya. Bersamaan dengan adanya

perubahan intrinsik ini retikulosit akan bermigrasi kesirkulasi darah

tepi. Namun demikian populasi retikulosit ini bukanlah sesuatu

yang homogen oleh karena adanya tingkatan maturasi yang

berbeda dari retikulosit tersebut (Bima,2012).

Meningkatnya rangsangan eritropoisis seperti misalnya

adanya proses perdarahan atau hemolisis, jumlah dan proporsi

dari sel retikulosit muda akan meningkat baik didalam sumsum

tulang maupun didarah tepi. Ada perbedaan masa hidup antara

retikulosit normal dan retikulosit muda (imatur) yaitu membran

retikulosit imatur akan lebih kaku dan tidak stabil, disamping itu

retikulosit imatur ini masih mempunyai reseptor untuk protein


35

adesif sedangkan retikulosit normal telah kehilangan reseptor ini

begitu sel ini bermigrasi ke perifer, walaupun retikulosit baik di

sumsum tulang maupun di darah tepi bisa dipisahkan dari

kontaminasi sel yang sama dari kompartemen yang berbeda akan

tetapi pemisahan ini tidak sempurna sekali sehingga metode untuk

membedakan masih perlu disempurnakan untuk mengetahui

dengan tepat fungsi fisiologis dan maturasi dari retikulosit

(Bima,2012).

Faktor yang menentukan kapan retikulosit keluar dari

sumsum tulang ke sirkulasi masih belum jelas diketahui.

Retikulosit yang sangat muda (imatur) adalah retikulosit yang

dilepaskan ke darah tepi akibat adanya rangsangan akibat anemia

dan hal ini disebut stressed reticulocyte (Bima, 2012).

3) Faktor – faktor yang Mempengaruhi Jumlah Retikulosit

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah retikulosit

diantaranya adalah waktu inkubasi, kadar zat peawarna, umur,

stres, olahraga berat, kebersihan peralatan, keracunan, radiasi,

dan kondisi lingkungan (Bima, 2012).

4) Hitung Retikulosit

Sel normal beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari dan

sebagai eritrosit matang selama 120 hari. Bila kadar hemoglobin

normal, terdapat 0,5-2,5% retikulosit menunjukan aktifitas sumsum

tulang yang normal, apabila sumsum tulang sehat dan memiliki


36

simpanan besi dan prekusor lain yang memadai, derajat

retikulositosis sejajar dengan derajat kehilangan darah atau

destruksi sel darah merah (Bima,2012).

Pasien dengan gangguan pematangan sel atau produksi

hemoglobin kadang-kadang memperlihatkan eritropoesis yang

tidak efektif, pada keadaan ini produksi eritroid sangat meningkat,

tetapi hitung retikulosit menjadi rendah disebabkan oleh banyak

sel yang belum cukup matang untuk masuk ke sirkulasi perifer.

Anemia pernisiosa dan talasemi adalah contoh utama eritropoesis

yang tidak efektif. Setelah terapi efektif anemia tertentu misalnya

anemia defisiensi besi, peningkatan jumlah retikulosit menunjukan

bahwa sumsum tulang merespon dengan membuat lebih banyak

eritrosit, pengeluaran darah berkepanjangan. Pemberian terapi

besi menghasilkan respon retikulosit dalam 4-7 hari. Hitung

retikulosit tetap meningkat sampai mencapai kadar hemoglobin

normal (Bima,2012).

5) Tinjauan Tentang Hematologi Analyzer

Hematology Analyzer adalah alat untuk mengukur sampel

berupa darah. Alat ini biasa digunakan dalam bidang Kesehatan.

Alat ini dapat membantu mendiagnosis penyakit yang diderita

seorang pasien seperti kanker, diabetes, dan lain-lain. (Septias,

2014).
37

Alat ini digunakan untuk memeriksa darah lengkap dengan

cara menghitung dan mengukur sel darah secara otomatis

berdasarkan impedansi aliran listrik atau berkas cahaya terhadap

sel-sel yang dilewatkan. Pemeriksaan hematologi rutin yang

biasa dilakukan dengan alat ini meliputi pemeriksaan

hemoglobin, hitung sel leukosit, dan hitung jumlah sel trombosit

(Septias, 2014).

Alat ini bekerja berdasarkan prinsip flow cytometer. Flow

cytometri adalah metode pengukuran (metri) jumlah dan sifat-

sifat sel (cyto) yang dibungkus oleh aliran cairan (flow) melalui

celah sempit Ribuan sel dialirkan melalui celah tersebut

sedemikian rupa sehingga sel dapat lewat satu per satu,

kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel dan ukurannya.

Alat ini juga dapat memberikan informasi intraseluler, termasuk

inti sel (Septias, 2014).

Prosedur penggunaan alat :

a) Switch utama dinyalakan, terletak di samping kanan

instrument.

b) Setelah lampu indikator menyala maka secara otomatis alat

akan melakukan start up sampai layar menampilkan tulisan

ready.

c) Siapkan bahan pemeriksaan (darah EDTA).


38

d) Tempelkan alat penghisap sampai dasar tabung kemudian

tekan sampel bar sampai jarum masuk kembali dan

melakukan pemeriksaan.

e) Alat akan memproses sample dan hasil pemeriksaan akan

tampak pada layar dan dapat diprint.

f) Untuk mematikan alat, tekan shutdown maka alat, setelah

layar padam matikan alat dengan menekan switch utama

yang terletak di bagian samping kanan alat.

Gambar 4 : Hematology Analyzer

Sumber : http://google.com

D. Tinjauan Umum Tentang Zat Besi (Fe)

1. Pengertian Zat Besi

Besi merupakan unsur vital yang sangat dibutuhkan oleh

tubuh untuk pembentukan hemoglobin, dan merupakan komponen

penting pada sistem enzim pernafasan. Pada metabolisme besi

perlu diketahui komposisi dan distribusi besi dalam tubuh,


39

cadangan besi tubuh, siklus besi, absorbsi besi dan transportasi

besi (Bakta, 2009).

Proses metabolisme zat besi digunakan untuk biosintesa

hemoglobin, dimana zat besi digunakan secara terus - menerus.

Sebagian besar zat besi yang bebas dalam tubuh akan

dimanfaatkan kembali (reutilization), dan hanya sebagian kecil

sekali yang diekskresikan melalui air kemih, feses dan keringat

(Bakta, 2009).

2. Bentuk Zat Besi Dalam Tubuh

Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh yaitu:

a. Zat besi dalam hemoglobin. 12-15

b. Zat besi dalam depot (cadangan) sebagai feritin dan

hemosiderin

c. Zat besi yang ditranspor dalam transferin.

d. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan seperti

mioglobin dan beberapa enzim antara lain sitokrom, katalase,

dan peroksidase (Bakta, 2009).

3. Kebutuhan Zat Besi

Kebutuhan zat besi dalam makanan setiap harinya sangat berbeda,

hal ini tergantung pada umur, sex, berat badan dan keadaan

individu masingmasing. Kebutuhan zat besi yang terbesar ialah

dalam 2 tahun kehidupan pertama. selanjutnya selama periode


40

pertumbuhan, kenaikan berat badan pada usia remaja dan

sepanjang masa produksi wanita (Bakta, 2009).

Pada masa pertumbuhan diperlukan tambahan sekitar 0,5 -1

mg / hari, sedangkan wanita pada masa mensturasi memerlukan

tambahan zat besi antara 0,5 -1 mg / hari. Pada wanita hamil

kebutuhan zat besi sekitar 3 -5 mg / hari dan tergantung pada

tuanya kehamilan. Pada seorang laki laki normal dewasa

kebutuhan besi telah cukup bila dalam makanannya terdapat 10-20

mg zat besi setiap harinya (Bakta, 2009).

Asupan zat besi yang masuk ke dalam tubuh kita kira-kira 10

– 20 mg setiap harinya, tapi ternyata hanya 1 – 2 mg atau 10% saja

yang di absorbsi oleh tubuh. 70% dari zat besi yang di absorbsi tadi

di metabolisme oleh tubuh dengan proses eritropoesis menjadi

hemoglobin, 10 - 20% di simpan dalam bentuk feritin dan sisanya 5

– 15% digunakan oleh tubuh untuk proses lain. Besi Fe3+ yang

disimpan di dalam ferritin bisa saja dilepaskan kembali bila ternyata

tubuh membutuhkannya (Bakta, 2009).

Feritin merupakan salah satu protein kunci yang mengatur

hemostasis besi dan juga merupakan biomarker klinis yang

tersedia secara luas untuk mengevaluasi status besi dan secara

khusus penting untuk mendeteksi defisiensi besi. Kadar feritin pada

laki-laki dan wanita berbeda, pada laki-laki dan wanita


41

postmenopause kadar feritin kurang dari 300ng/ml , pada wanita

premonoupase kurang dari 200 ng/ml (Bakta, 2009).

4. Absorbsi Besi

Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga

fase, yaitu:

a) Fase Luminal

Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk,

yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat

dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan

bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari

sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya

rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung, karena

pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari

ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi

dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat

diserap di duodenum.

b) Fase Mukosal

Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa

duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi

secara aktif melalui proses yang sangat kompleks. Dikenal

adanya mucosal block (mekanisme yang dapat mengatur

penyerapan besi melalui mukosa usus)

c) Fase Korporeal
42

Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi,

utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, serta

penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Besi setelah diserap

oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel

usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat

oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin akan

melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis

(Bakta, 2009).

5. Mekanisme Regulasi Absorbsi Besi

a) Regulator dietetik : absorbsi besi dipengaruhi oleh jumlah

kandungan besi dalam makanan, jenis besi dalam makanan

(besi heme atau non heme), adanya penghambat atau

pemacu absorbsi dalam makanan.

b) Regulator simpanan : Penyerapan besi diatur melalui

besarnya cadangan besi dalam tubuh.

c) Regulator eritropoetik : Besar absorbsi besi berhubungan

dengan kecepatan eritropoesis. Mekanisme ini belum

diketahui dengan pasti (Bakta, 2009).

6. Tinjauan Tentang ABX PENTRA 400

a. Prosedur menjalankan ABX Pentra 400

Periksa kondisi dari

1. Air aquabiest pada Reservoir Bottle, tambahkan air jika

kurang
43

2. Waste container, kosongkan container jika sudah penuh

3. Kuvet baru, tambahkan jika kurang

4. Kuvet bekas, kosongkan tempat kuvet bekas

5. Ketersediaan kertas printer

A. Manual

Tekan tombol hitam yang berada di bagian sebelah kanan

dari alat.

B. Otomatis

1) Alat akan langsung hidup secara otomatis pada jam yang

telah ditentukan apabila alat telah diprogram.

2) Ditunggu beberapa saat sampai alat menunjukkan ready.

Masukkan Nama Operator dan masukkan password. Pilih

New Worklist untuk memulai dengan Worklist baru

kemudian tekan OK.

3) Ditunggu alat melakukan proses StartUp sampai alat

berada pada Menu Utama dan menunjukkan Ready.

4) Dilakukan Kontrol dan Kalibrator (jika perlu) terhadap

paramer yang akan diperiksa.

5) Alat siap digunakan untuk pemeriksaan sampel.

b. Cara melakukan Kalibrasi dan Kontrol

1) Di Menu Utama, pilih Worklist.

2) Pilih Calibration dari menu Worklist, kemudian tekan Add New

untuk menambahkan jenis parameter yang akan dikalibrasi.


44

3) Kemudian pilih All Calibration lalu tekan OK untuk Validasi

atau pilih jenis parameter yang akan dikalibrasi.

4) Pilih Control untuk menjalankan kontrol, kemudian pilih Add

New untuk menambahkan jenis control yang dilakukan.

5) Pilih Default Control untuk melakukan control terhadap semua

parameter atau pilih jenis kontrol secara manual. Tekan OK

untuk validasi terhadap permintaan kontrol.

6) Tekan tombol Run untuk memulai pemeriksaan.

c. Menjalankan Sampel

1) Di Menu Utama, pilih Worklist.

2) Pilih Patient pada menu Worklist kemudian tekan Add New

untuk menambahkan pemeriksaan.

3) Isi data dari pasien pada bagian Patient Demographic,

kemudian isi pula Sample Characteristic. Tentukan jenis

parameter yang akan diperiksa lalu tekan OK untuk validasi

pemeriksaan yang diminta. Letakkan sampel pada sampel rack

sesuai dengan no pada sampel characteristics.

4) Untuk meletakkan sampel pada saat alat sedang bekerja dapat

dilakukan apabila lampu pada sample tray sudah berwarna

hijau.

5) Jika ingin meletakkan sampel pada saat lampu masih berwarna

merah, dapat dilakukan dengan menekan tombol pause

6) Tekan tombol Run untuk memulai pemeriksaan.


45

d. Melihat Status Sampel

1) Dipergunakan untuk melihat status dari sampel yang sedang

dijalankan. Dari Menu Utama periksa status dari sampel yang

ada pada sample tray dengan melihat warna yang ada.

2) Jika ada sample yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut,

tekan Test Review.

3) Kemudian tekan Sampling Exception untuk melihat sampling

alarm yang terjadi.

e. Cara mematikan alat

1) Tekan tombol Exit dari Menu Utama sehingga pada layar keluar

Menu Shutdown.

2) Pilih Standby, kemudian beri System Cleaning, kemudian tekan

OK. (Manual Book ABX PENTRA 400)

E. Hipotesis
Ho: Tidak terdapat korelasi jumlah retikulosit dan kadar zat besi (Fe)

pada penderita anemia

Ha: Terdapat korelasi jumlah retikulosit dan kadar zat besi (Fe) pada

penderita anemia

E. Kerangka Konseptual

Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan

jumlah sel darah merah (eritrosit) dalam kapasitasnya sebagai

pembawa oksigen tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan

fisiologis tubuh.
46

Anemia dapat meyebabkan gangguan transpor oksigen dan

gangguan metabolisme protein, sehingga dapat menyebabkan

kelelahan ataupun anoreksia.

Gambaran anemia dapat dilihat pada pemeriksaan hitung

jumlah retikulosit dan kadar zat besi (Fe).

Retikulosit adalah Sel Darah Merah (SDM) yang masih

muda yang tidak berinti dan berasal dari proses pematangan

normoblas di sumsum tulang. Retikulosit akan masuk ke sirkulasi

darah tepi dan bertahan kurang lebih selama 24 jam sebelum

akhirnya mengalami pematangan menjadi eritrosit

Zat besi (Fe) adalah unsur vital yang sangat dibutuhkan oleh

tubuh untuk pembentukan hemoglobin, dan merupakan komponen

penting pada sistem enzim pernafasan.


47

Kehilangan Darah

Kadar hb Menurun,
Eritrosit Menurun

Anemia

Gangguan Transpor Gangguan Metabolisme


Oksigen Protein

Energi Menurun Anoreksia

Kelelahan/ Lemah Kadar Fe

Hitung Retikulosit

Gambar 5. Kerangka Konseptual


48

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelatif dengan

pendekatan bedah lintang atau cross sectional analitik. Penelitian ini

bertujuan mengetahui dan menentukan korelasi antara jumlah

retikulosit dan kadar zat besi (Fe) pada penderita anemia.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Semua penderita anemia di Rumah Sakit Wahidin

Soedirohusodo Makassar.

2. Sampel

Penderita anemia yang memeriksakan kadar retikulosit dan Fe

di Rumah Sakit Wahidin Soedirohusodo Makassar

3. Besar Sampel

Menurut Gay and Diehl (1992), jumlah sampel pada

penelitian yang bersifat korelasi adalah sebanyak 20 sampel.

4. Kriteria Sampel

a. Kriteria Inklusi

1. Pasien terdiagnosa anemia defisiensi Fe.

2. Pasien melakukan pemeriksaan Retikulosit dan Fe.


49

b. Kriteria Ekslusi

Pasien terdiagnosa anemia defisiensi Fe tetapi tidak

melakukan pemeriksaan retikulosit dan Fe.

5. Teknik Penarikan Sampel

Teknik penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling.

C. Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah penderita anemia.

b. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kadar Fe serum dan

retikulosit pada penderita anemia.

D. Definisi Operasional

1) Retikulosit adalah Pemeriksaan yang mengukur sel darah

merah imatur (muda) menggunakan alat Hematologi Analyzer.

2) Fe serum adalah pemeriksaan yang mengukur kadar Besi

dalam darah menggunakan alat ABX Pentra C400.

3) Penderita anemia adalah seseorang yang mengalami

penurunan jumlah sel darah merah (eritrosit) dan Hemoglobin

dalam tubuh.

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Patologi

RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar.


50

2. Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 2019 -

9 Mei 2019.

F. Prosedur Kerja

1. Alat dan Bahan

a. Alat

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

adalah vacutainer, kapas alkohol 70%, tourniquet, tissue, tabung

vakum EDTA, tabung vakum non anticoagulan, tip, mikropipet, rak

tabung, centrifuge, Hematology analyzer, ABX Pentra C400, serta alat

pelindung diri yang terdiri dari jas laboratorium, masker

dan handscoon.

b. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah Darah EDTA dan

serum.

2. Prosedur Kerja

1. Pra Analitik

Pra analitik dalam penelitian ini yaitu persiapan alat dan bahan

untuk pengambilan sampel darah dan serum, pengumpulan sampel

darah (1 pasien untuk 2 tabung), tabung bertutup ungu (EDTA)

untuk pemeriksaan jumlah retikulosit, tabung bertutup merah (tanpa

antikoagulan) untuk pemeriksaan kadar Fe Serum. Perolehan

serum pada tabung bertutup merah dengan cara didiamkan sampai


51

beku kemudian disentrifuge dengan kecepatan 3.000 rpm selama

10 menit.

2. Analitik

a. Pemeriksaan Retikulosit

Spesimen yang digunakan pada mode Whole Blood

adalah darah EDTA dengan volume minimum 1 ml.

Memastikan alat dan status Ready. Menekan tombol (Sample

No.) pada layar untuk memasukkan nomor identitas sampel

dengan cara yaitu diinput identitas sampel secara manual,

kemudian tekan tombol (Enter), menggunakan barcode reader

untuk input identitas sampel yang menggunakan barcode.

Untuk mendaftarkan identitas operator, pilih operator ID dengan

menekan tanda di sebelah tombol (Operator) pada layar,

homogenisasikan darah yang akan diperiksa dengan baik.

Buka tutupnya dan letakkan di bawah Aspiration Probe.

Pastikan ujung probe menyentuh dasar botol sampel darah

agar tidak menghisap udara. Lalu tekan Start Switch untuk

memulai proses. Setelah terdengar bunyi Beep dua kali,

(Running) muncul di layar, dan Rinse Cup turun, tabung sampel

dapat dengan cara menurunkan tabung sampel darah dari

bawah Probe. Hasil analisis akan tampil pada layar dan secara

otomatik tercetak pada kertas.


52

b. Pemeriksaan Kadar Zat Besi (Fe)

Menyiapkan peralatan dan bahan di atas meja kerja,

Setelah itu, memasukkan tabung yang berisi serum ke dalam

alat, memasukkan data pasien dan jenis pemeriksaan. Alat

akan melakukan penghitungan secara otomatis. Apabila

pemeriksaan sudah selesai, hasil akan keluar secara otomatis

lewat printer.

3. Pasca Analitik

Setelah sampel selesai proses di alat hasil keluar dalam

bentuk print out dengan interpretasi Retikulosit diukur dalam satuan

% dan Fe Serum diukur dalam satuan mg/L.

G. Analisis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data

primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati,

dicatat oleh peneliti. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui

pemeriksaan langsung terhadap sampel dengan menggunakan

prosedur kerja (protap) terstruktur. Kemudian diuji hasilnya dengan

menggunakan uji pearson.


53

I. Kerangka Operasional

Pasien Anemia

Pengambilan spesimen
darah

Pengolahan spesimen
darah

Darah EDTA Serum

Pemeriksaan Retikulosit Pemeriksaan Fe


Serum

Hasil

Analisis Data

Kesimpulan

Gambar 3.1 Kerangka Operasional


54

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Subyek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP. Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar dimulai pada 24 Maret 2019 s/d 9 Mei

2019, dari 20 jumlah sampel didapatkan hasil Retikulosit berkisar

antara 0,58 – 13,57 % dengan rata –rata 2,4 %. Dan kadar zat

besi berkisar antara 4,0 – 316 µg/dl dengan rata-rata 60,8 µg/dl.

Tabel 4.1 Tabel Gambaran Umum Subyek Penelitian

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


Retikulosit 20 .58 13.57 2.4055 2.91011
Data Besi 20 4.00 316.00 60.8500 80.20452
Valid N (listwise) 20

Tabel 4.2. Distribusi jumlah Retikulosit dan Kadar Zat Besi Pada Penderita

Anemia

Nilai normal (%) Nilai normal (µg/dl)


Retikulosit n % Zat Besi n %
< 0,5 % - - < 65 14 70
0,5% - 2,5% 16 80 65-175 4 20
>2,5 % 4 20 >175 2 10
Dari tabel 4.2 menunjukkan hasil retikulosit yang normal sebanyak

16 sampel (80%), hasil retikulosit yang tinggi sebanyak 4 sampel

(20%). Sedangkan kadar zat besi yang normal sebanyak 4 sampel


55

(20%), kadar zat besi yang tinggi sebanyak 2 sampel (10%), dan

kadar zat besi yang rendah sebanyak 14 sampel (70%).

Tabel 4. 3 . Uji Korelasi Jumlah Retikulosit dan Kadar Zat Besi

Pearson Correlation Retikulosit 1.000 0.177


Data Besi 0.177 1.000
Sig. (1-tailed) Retikulosit . .228
Data Besi 0.228 .
N Retikulosit 20 20
Data Besi 20 20
Berdasarkan tabel 4.3 di atas menggunakan uji pearson, dimana

hubungan antara jumlah retikulosit dengan kadar zat besinya

berkorelasi positif yang tidak signifikan (p= 0,228 p<0,05) dengan

kekuatan korelasi sangat rendah (r=0,177).

Tabel 4.4 Tabel Koefisien Korelasi Pearson

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


0,80 – 1,000 Sangat Kuat
0,60 – 0,799 Kuat
0,40 – 0,599 Cukup Kuat
0,20 – 0,399 Rendah
0,00 – 0,199 Sangat Rendah

B. PEMBAHASAN

Pada hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara

jumlah retikulosit dengan kadar zat besinya berkorelasi positif yang


56

tidak signifikan (p= 0,228 p<0,05) dengan kekuatan korelasi sangat

rendah (r=0,177).

Faktor yang mempengaruhi hitung retikulosit terkoreksi adalah

adanya pelepasan retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita

anemia. Retikulosit biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum

mengeluarkan sisa RNA dan menjadi sel darah merah. Apabila

retikulosit dilepaskan secara dini dari sumsum tulang, retikulosit imatur

dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari. Hal ini terutama terjadi pada

anemia berat yang menyebabkan peningkatan eritropoiesis.

Sedangkan pada kadar zat besi dipengaruhi dari asupan serapan

zat besi yang tidak adekuat seperti mengonsumsi makanan yang

memiliki kualitas besi yang tidak baik (makanan tinggi serat, rendah

vitamin C, rendah daging), mengonsumsi makanan yang dapat

mengangganggu penyerapan zat besi seperti meminum teh dan kopi

dan mengonsumsi makanan sampah (junk food) yang hanya sedikit

bahkan ada yang tidak ada sama sekali mengandung kalsium, besi,

riboflavin, asam folat, vitamin A, dan Vitamin C, sementara kandungan

lemak jenuh, kolestrol, dan natrium tinggi. Proporsi lemak sebagai

penyedia kalori lebih dari 50% total kalori yang terkandung dalam

makanan itu.

Jumlah besi yang diserap dari makanan sangat bervariasi,

bergantung pada beberapa faktor termasuk jumlah dan jenis besi

yang dimakan, keasaman lambung, aktivitas sum-sum tulang dan


57

keadaan simpanan besi tubuh. Walaupun seluruh usus halus memiliki

kemampuan menyerap besi, penyerapan maksimum terjadi di

duodenum dan jejunum bagian atas, karena adanya pH optimum.

Pada keadaan defisiensi besi yang parah, tubuh dapat meningkatkan

penyerapan sampai 30% dari asupan makanan untuk

mengompensasi kekurangan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
58

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan

sebagai berikut :

1. Diperoleh hasil kadar rata-rata Retikulosit pada penderita

anemia yaitu : 2,4 %

2. Diperoleh hasil kadar rata-rata pemeriksaan zat besi pada

penderita anemia yaitu : 60,8 µg/dl

3. Hubungan antara jumlah retikulosit dengan kadar zat besinya

berkorelasi positif yang tidak signifikan (p= 0,228 p<0,05) dengan

kekuatan korelasi sangat rendah (r=0,177).

B. SARAN

Disarankan untuk peneliti selanjutnya :

1. Menggunakan subyek dengan kadar Hb yang lebih spesifik.

2. Menggunakan klasifikasi penelitian berdasarkan berapa lama

subyek penelitian menderita anemia

3. Menggunakan data yang lebih banyak jumlah nya.

Anda mungkin juga menyukai