Anda di halaman 1dari 4

Prof.

Tjondronegoro, Pejuang Lima Zaman

Ahmad Nashih Luthfi

Menjelang era pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama, pernah berkumpul para
pakar yang tergabung dalam Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Organisasi dan Komunitas
Warga Indonesia. Salah satu pakar tersebut adalah Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro yang
menulis surat kepada pemerintah terpilih agar memerhatikan tiga tantangan besar. Pertama,
segala kekayaan alam yang ada di Indonesia dalam praktiknya belum didayagunakan sebagaimana
amanat konstitusi, yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua, posisi lembaga MPR kini
direduksi menjadi lembaga tinggi negara, sehingga Indonesia tidak memiliki lembaga tertinggi
negara. Lembaga MPR adalah hasil dari pemikiran para pendiri bangsa Indonesia. Ketiga, kekuatan
seluruh bangsa belum dapat disatukan menjadi energi gotong royong nasional. Akibatnya,
persoalan bangsa tidak dapat diselesaikan sehingga Indonesia sulit berdaulat di bidang politik,
berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Keprihatinan tersebut sangat beralasan mengingat beliau adalah sosok ilmuwan yang tidak henti-
hentinya berdedikasi menyumbangkan tenaga dan pemikirannya pada negara Indonesia. Dalam
usianya yang panjang sekitar 92 tahun, lahir di Grobogan 4 April 1928 dan wafat 3 Juni 2020, Prof.
Tjondronegoro setidak-tidaknya berjuang dalam lima zaman.

Belajar, berperang, berdiplomasi

Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro lahir dari keluarga bangsawan, beribukan R.A. Soemilah S dari
keluarga Arumbinang dan ayah R.M. Soetiyoso Tjondronegoro, seorang asisten-wedana yang
kemudian menjadi bupati Semarang. Ia memanggil kakak-adik R.M. Sosrokartono dan R.A. Kartini
ini sebagai pakde dan bude, sebab masih keluarga dekat sama-sama berasal dari trah
Tjondronegoro. Meski lulus dari pendidikan ELS dan HBS, dari keturunan bangsawan serta
berkewarganegaraan yang disetarakan setingkat dengan warga Belanda (gelijkgesteld),
Tjondronegoro muda pada masa revolusi justru turun berlaga di medan perang melawan tantara
Sekutu.

Dari otobiografinya (Tjondronegoro 2008) yang berjudul “Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga
Benua, Otobiografi Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro”, disajikan gambaran pergulatan beliau
sebagai sosok ilmuwan yang dimatangkan melalui berbagai arena perjuangan, mulai dari
pertempuran fisik bersenjata, bergerak di “bawah tanah”, studi di luar negeri, bertahan hidup di
negeri orang, berdiplomasi, berdemonstrasi, sampai dengan perjuangan keilmuan seperti
mengajar, meneliti, merumuskan kebijakan dan mendampingi masyarakat. Meminjam istilah
Gramsci, agaknya tepat menyebut sosok ini sebagai intelektual organik, yakni mereka yang
menggulatkan diri pada problem-problem kerakyatan.

Pada masa revolusi “Momy” Tjondronegoro menjadi salah satu kepala regu Badan Keamanan
Rakyat dari kelompok pelajar dalam pertempuran di Surabaya. Saat bermarkas di Legundi, sekitar
30 km dari Mojokerto ke arah Surabaya, tentara Belanda mulai menyerang dengan cara
mengebom lebih dulu daerah perbukitan menggunakan mortir, dilengkapi dengan pesawat
terbang “capung’” serta keahlian mekanika tertentu dalam menembakkan mortir agar tepat
sasaran. Sementara itu regu Tjondronegoro hanya memiliki senapan mesin satu-satunya yang ia
pegang. Agar peluru tidak cepat habis, mereka memutuskan mundur dahulu. Nahas, sebelum
mencapai titik aman, sebuah mortir meledak di bekas lobang bom dan mengenai tanganya hingga
akibatkan cacat permanen. Dalam perannya ini, kelak Tjondronegoro menjadi Ketua Umum
Paguyuban Tentara Republik Indonesia Pelajar.

Setelah lulus SMA pada tahun 1948, dua tahun berikutnya Tjondronegoro melanjutkan studi ke
Universitas Amsterdam pada Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dengan beasiswa dari pemerintah Indonesia
(melalui Korps Demobilisasi Pelajar). Studinya di Amsterdam sempat terganggu, karena putusnya
hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Belanda (1958-1962).

Semasa menjadi mahasiswa di Belanda, Tjondronegoro dkk. diberi tugas mengumpulkan informasi
tentang Irian Barat serta memengaruhi mahasiswa Irian Barat yang belajar di Belanda. Mereka
mencari informasi di perpustakaan, kedutaan, dan kelompok progresif Belanda. Mendekati
serdadu-serdadu Belanda yang baru pulang dari Irian Barat dan mengajak makan-makan di
restoran, atau bahkan sambil minum-minum bir. Dengan cara semacam itulah mereka mengorek
informasi rahasia.

Pada 1962 upaya pemerintah Republik Indonesia merebut kembali Irian Barat membuahkan hasil.
Pertemuan Frits Kirihio dengan Bung Karno di Jakarta, disertai beberapa mahasiswa Irian Barat
yang menyatakan berdiri di belakang RI merupakan peristiwa bersejarah. Cerita tentang upaya
mahasiswa Indonesia di Belanda itu memang tidak banyak diketahui. Di sinilah pentingnya
otobiografi, bukan pada penonjolan ketokohannya, namun pada fakta-fakta sejarah yang terselip
yang seringkali abai ditulis dalam narasi besar.

Imajinasi kaum tani

Kecintaannya terhadap petani dan dunia agraris tidak bisa dilepaskan dari kenangan ia pada masa
revolusi. Tatkala terluka ia sempat dirawat oleh keluarga petani miskin yang bahkan merelakan
pintu rumahnya dicopot alat tandu untuk membawanya ke RS Tentara di dekat Mojokerto.
Ditambah dengan pengalamannya selama sekitar dua tahun (1961-1963) saat ia bekerja di
Universitas Amsterdam sebagai asisten Prof. Wim Wertheim. Pada tahun 1963 ia kembali ke
Indonesia dan bergabung di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Sosial Ekonomi bagian Sosiologi
Pedesaan, bersama Prof. Sajogyo.

Pada tahun 1966-1968 Tjondronegoro menempuh studi master di University of Kentucky dan
University of Wisconsin si Amerika Serikat. Gelar doktornya di bidang Sosiologi diperoleh dari
Universitas Indonesia pada tahun 1977 dengan predikat Cum Laude. Disertasi yang banyak
mendapat pujian itu memperkenalkan konsep “sodality” (dari Latin sodalis), yakni kesatuan-
kesatuan masyarakat yang terkecil dan berdaya hidup. Kesatuan itu bukan dicirikan dari hubungan
kekeluargaan, tetapi hubungan kepentingan tanpa menghapus hubungan primer. Daya hidup
sodality terdapat pada tingkat di bawah desa, biasanya dukuh, yang mengandung ciri khas
demokrasi sebagai potensi yang lebih dapat diandalkan dalam pembangunan. Disertasi itu tidak
terbit dalam Bahasa Indonesia dan hanya tersedia dalam Bahasa Inggris oleh Oxford University
Press (1984).
Reforma agraria

Prof. Tjondronegoro memiliki peran penting dalam wacana dan kebijakan reforma agraria. Ia
menjadi sekretaris eksekutif dari tim yang diketuai Menristek Semitro Djojohadikoesoemo dalam
menyusun Laporan Interim Pertanahan (1978). Penyusunan laporan tersebut dilatarbelakangi oleh
keresahan pemerintah Orde Baru setelah mendapat banyak kritik dan demonstrasi besar-besaran
pada tahun 1977. Ternyata bukan untuk penataan ulang agar lebih berkeadilan yang menjadi
perhatian rezim, melainkan bagaimana pembangunan nasional (industri) mensyaratkan
ketersediaan tanah. “Maksud dan sifat Laporan Interim dalam tingkat pertama ialah agar tersedia
sebuah gambaran menyeluruh tetapi ringkas-padat yang mencakup permasalahan sekitar arti dan
peranan tanah dalam rangka umum pembangunan nasional”.

Meski demikian tim yang beranggotakan orang-orang yang cukup ahli di bidangnya seperti Prof. Dr.
Ir. Sajogyo, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Prof. Dr. Ir. A.M. Satari, Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo
(Rektor UGM), Prof. Drs. Iman Soetiknjo, Dr. Mubyarto, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, Dr. A.T. Birowo,
Dr. Atje Partadiredja, Dr. Thee Kian Wie, itu menghasilkan kesimpulan dan saran yang serius
namun cukup riskan saat itu. Laporan menyimpulkan bahwa UUPA 1960 harus tetap diberlakukan;
perlunya penegasan tentang struktur panitia landreform, peradilan landreform dan anggaran
pembiayaannya; dan perlunya pengaturan untuk menegaskan “tanah untuk penggarap”.

Meski saran-saran dalam laporan tersebut tidak dijalankan pemerintah, namun setidaknya ia
mempunyai dua arti: Pertama, landreform atau reforma agraria tidak lagi identik dengan agenda
komunis, dan ini secara implisit dinyatakan dalam TAP-MPR No. IV/1978. Kedua, ilmuwan-ilmuwan
sosial yang sebelumnya “tiarap” mulai berani muncul berbicara tentang reforma agraria.

Laporan tersebut dimanfaatkan oleh Menteri Pertanian Prof. Dr. Soedarsono Hadisapoetro sebagai
salah satu sumber informasi sewaktu ia memimpin delegasi Indonesia menghadiri World
Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARRD) yang diselenggarakan oleh FAO
di Roma, Italia, 1979. Konferensi Internasional FAO ini membahas pembangunan pedesaan dan
pembaruan agraria. Dari 145 negara, terdapat 6 negara yang mengirim delegasi besar, termasuk
dari Indonesia dengan jumlah utusan lebih dari 40 orang. Konferensi menghasilkan rumusan
“Peasant Charter”. Di dalamnya berisi tentang Deklarasi Prinsip dan Program Aksi, yakni prinsip
mengenai orang miskin di desa harus diberi ruang gerak untuk menjangkau tanah dan sumber-
sumber air, input dan jasa di bidang pertanian, fasilitas-fasilitas yang tersedia di bidang penyuluhan
dan penelitian. Konferensi ini merupakan angin segar mengemukanya wacana reforma agraria di
Indonesia. Bahkan Menteri Pertanian saat itu menegaskan bahwa Indonesia harus meneruskan
program reforma agraria dan UUPA 1960 yang masih berlaku di Indonesia.

Pada gilirannya wacana reforma agraria terus bergulir di publik. Majalah Prisma edisi September
1979 membahasnya di bawah tajuk “Mencari Hak Rakyat atas Tanah”. Hasil-hasil dari Konferensi
Roma dilanjutkan di Indonesia dengan mengadakan pertemuan “International Policy Workshop on
Agrarian Reform in Comparative Perspectives”, di Selabintana Sukabumi (1981). Sebagai ketua
panitia saat itu adalah Ir. Gunawan Wiradi, yang bersamanya pula Tjondronegoro menerbitkan
“Dua Abad Penguasaan Tanah” (1983), sebuah buku klasik yang menjadi buku rujukan utama bagi
para pengkaji agraria di tengah kelangkannya saat itu.
TAP MPR No. IX/2001

Meski reforma agraria tidak dilarang, namun ia juga tidak dijalankan oleh pemerintah. Setelah
reformasi, melalui Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA) Prof. Tjondronegoro mendiskusikan
secara intens pentingnya pembaruan agraria dan pelestarian lingkungan. Forum ini
menyelenggarakan diskusi-diskusi termasuk dengan anggota MPR, sehingga lahirlah TAP MPR No.
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Arah kebijakan yang ditetapkan di dalamnya meliputi (Pasal 5): pengkajian dan sinkronisasi
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria; melaksanakan penataan
kembali penggunaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform) yang
berkeadilan; menyelenggarakan pendataan pertanahan IP4T secara komprehensif dan sistematis
menuju land reform; menyelesaikan konflik-konflik sumber daya agrarian; memperkuat
kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan hal-hal tersebut.

Petani sebagai mitra

Alangkah baiknya kita menyimak keprihatinan Prof. Tjondronegoro dalam salah satu bagian
otobiografinya. “Saya mempunyai kesan bahwa generasi sekarang tidak mengenal pertanian,
bahkan pedesaan. Mereka mengenal dusun, dukuh, desa, dan kecamatan dari buku saja, tidak dari
pengalaman langsung dengan mengunjunginya. Padahal dengan menetap di desa, mahasiswa
dapat menghayati kehidupan tani: apa saja yang mereka keluhkan; jalan pikirannya; adat
istiadatnya; masalah apa saja di sana dan kebahagiaan macam apa yang mereka rasakan. Ini tidak
bisa didapatkan dari laporan lurah atau camat” (hlm 123).

Kesan abai pada pertanian dan pedesaan itu tidak berkurang, bahkan semakin tegas beliau rasakan
melalui bukunya yang bernada peringatan bahwa Indonesia adalah “Negara Agraris Ingkari
Agraria”. Agaknya pemerintah sekarang harus mendengar peringatan tegas tersebut, supaya
masuk dan menyelami kehidupan rakyat petani di pedesaan dan membuat kebijakan-kebijakan
penyelamatan bagi mereka yang selama ini disingkirkan dalam kemiskinan dan situasi konflik.

Pada era milenial ini petani, nelayan, petambak, dan mereka yang berkiprah di sektor sumberdaya
alam yang lestari harus dinaikkan derajatnya. Bukan lagi agenda penyelamatan seharusnya,
meskipun dalam kenyataannya harus tetap dilakukan, namun semestinya mereka sudah ada pada
marwah sebagai mitra kerja pemerintah dalam membangun negeri.

Memandang orang lain sebagai mitra sejajar itulah kesan kuat yang ada pada diri Prof.
Tjondronegoro. Kita kehilangan seorang yang santun, terpelajar, peduli pada Pendidikan dan ilmu
pengetahuan, serta sosok cendekiawan berdedikasi yang memiliki keberpihakan kuat pada nasib
golongan lemah rakyat Indonesia.

Yogyakarta, 4 Juni 2020

Anda mungkin juga menyukai