Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GAGAL NAPAS

DENGAN ANCAMAN INTUBASI

Oleh :
Yuniar Wiranti
NIM 172303101014

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
KAMPUS LUMAJANG
2019

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal nafas merupakan salah satu kondisi kritis yang diartikan sebagai
ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan homeostasis
oksigen dan karbondioksida. Fungsi jalan nafas terutama sebagai fungsi
ventilasi dan fungsi respirasi. Kasus gagal nafas akan terjadi kelainan fungsi
obstruksi maupun fungsi refriktif, akan tetapi dalam keilmuan keperawatan
kritis yang menjadi penilaian utama adalah efek pertukaran gas di dalam unit
paru, antara lain kelainan difusi dan kelainan ventilasi perfusi. Kedua kelainan
ini umumnya menimbulkan penurunan PaO2, peninggian PaCO2 dan
penurunan pH yang dapat menimbulkan komplikasi pada organ lainnya
(Tabrani, 2008).

Secara teoritis tekanan oksigen di alveolus (PaO2) sama dengan tekanan


oksigen pada saat inspirasi (PiO2) dikurangi dengan tekanan CO2 dalam arteri
(PaCO2) dan dibagi dengan R (rasio pertukaran respirasi). Rentang nilai
standar PaO2 yaitu antara 80–100 mmHg sedangkan rentang nilai standar
PCO2 yaitu antara 35–45 mmHg. Kasus gagal nafas akan dijumpai tekanan
oksigen arteri kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan
karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (Hiperkapnia). Umumnya penyakit
ini di tentukan oleh adanya kriteria PaO2< 60% mmHg, PaCO2> 50
mmHg, serta adanya perubahan pada PH < 7,35 atau > 7,45. HCO3< 20, BE <
-2,5 dan saturasi osksigen < 90 % (Tabrani, 2008).
Tanda-tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami
kegagalan pernafasan antara lain: Frekuensi pernafasan > 30 x/menit atau <
10 x/menit, nafas pendek/cepat dan dangkal/cuping hidung, menggunakan
otot bantu pernafasan, adanya wheezing, ronchi pada auskultasi. Batuk
terdengar produktif tetapi sekret sulit dikeluarkan, pengembangan dada tidak
simetris, ekspirasi memanjang, mudah capek, sesak nafas saat beraktifitas,
takhikardi atau bradikardi, tekanan darah dapat meningkat/menurun,
pucat/dingin, sianosis pada kedua ekstermitas (Yilldirim, 2010).
Kasus dengan gagal nafas harus dilakukan pemasangan endotracheal
tube (ETT). Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk
penanganan jalan nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus
pasien yang mengalami penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi,
menjaga paru-paru dari sekret agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala
jenis gagal nafas (Nicholson and O'Brien, 2007).
Intubasi endotracheal tube (ETT) dapat dilakukan melalui hidung
ataupun mulut. Masing-masing cara memberikan keuntungan tersendiri
sebagai contoh bahwa melalui hidung lebih baik dilakukan pada pasien yang
masih sadar dan kooperatif, sedangkan melalui mulut dilakukan pada pasien
yang mengalami koma, tidak kooperatif dan ketika kegawatan intubasi
dibutuhkan pada pasien yang mengalami cardic arrest (Nicholson and
O'Brien, 2007).

Kebanyakan ETT untuk dewasa memiliki sistem inflasi cuff yang


terdiri dari valve, pilot balloon, inflating tube dan cuff. Valve mencegah
udara keluar setelah pengisian cuff. Pilot balloon menyediakan udara untuk
pengisian cuff dan berfungsi sebagai panduan. Inflating tube berfungsi
untuk menghubungkan valve dengan cuff dan menyatukan dengan dinding
pipa. Dengan menutupi trakea, cuff ETT memberikan tekanan positif dan
dapat mengurangi aspirasi. ETT tanpa cuff biasanya digunakan pada anak‐
anak untuk meminimalisasi resiko trauma akibat tekanan dan batuk setelah
intubasi (Seegobin dan Hasselt, 2007).
Ada dua tipe utama dari cuff ETT yaitu high pressure low volume
dan low pressure high volume. Cuff yang high pressure memiliki hubungan
dengan iskemik dan kerusakan mukosa trakea sehingga kurang cocok untuk
intubasi yang lama. Cuff low pressure kemungkinan dapat meningkatkan
nyeri tenggorokan, aspirasi, ekstubasi spontan, dan kesulitan insersi. Karena
cuff low pressure kurang menyebabkan kerusakan mukosa, maka cuff tipe
ini lebih dianjurkan dalam pemakaiannya. Tekanan cuff tergantung dari
beberapa faktor antara laininflasi volum, diameter cuff dan hubungannya
dengan trakea, regangan cuff dan trakea dan tekanan intra torakal. Pasien
yang terpasang intubasi perlu perhatian khusus dengan memantau tekanan
cuff ETT yang terpasang. Penelitian yang dilakukan oleh Seegobin dan
Hasselt (2007) menganjurkan bahwa tekanan cuff harus diukur dengan
manometer dan bila perlu dikoreksi. Tekann cuff ETT diukur untuk
meminimalisasi trauma pada trakea.

Besarnya tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan ke dalam


cuff endotracheal tube (ETT) dapat menggunakan alat khusus pengukur
tekanan cuff. Tekanan udara yang direkomendasikan yaitu sesuai dengan
rentang normal antara 25-40 mmHg (Buyung, 2011). Tekanan ideal yang
direkomedasikan pada pengisian cuff endotracheal tube (ETT) adalah pada
tekanan 30 mmHg (Yildirim, 2011).

Perawat memiliki peranan penting dalam melakukan perawatan dan


melakukan pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) terhadap
pasien dengan gagal nafas yang terpasang ventilator. Pemantauan
pengukuran tekanan cuff penting dilakukan agar tidak terjadi perubahan
tekanan cuff endotracheal tube (ETT) dan apabila terjadi perubahan dapat
segera ditangani dengan baik oleh perawat ICU (Intensive Care Unit) yang
bertugas, berdasarkan latar belakang diatas penelitian dengan judul
“Pengaruh waktu pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) terhadap
efektifitas waktu pengukuran pada pasien dengan airway definitif sangat
perlu dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep teori pada pasien gagal napas ?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pasien gagal napas ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep teori pada pasien gagal napas.
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien gagal napas.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Konsep Dasar Teori
A. Definisi
Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat
sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon
dioksida arteri), dan asidosis (Corwin, 2009).
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru
yang mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon
dioksida dan oksigen yang tidak adekuat (Morton, 2011).
Urden, Stacy dan Lough  mendifinisikan gagal napas akut sebagai
suatu keadaan klinis yaitu sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan
pertukaran gas yang adekuat (Chang, 2009).
Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbondioksida
arteri) dan asidosis.
Gagal napas merupakan keadaan ketidakmampuan tubuh untuk
menjaga pertukaran gas seimbang dengan kebutuhan tubuh sehingga
mengakibatkan hipoksemia dan atau hiperkapnia. Dikatakan gagal napas
apabila PaCO2 > 45 mmHg atau PaO2< 55mmHg. (Boedi Swidarmoko,
2010: 259)

B.    Etiologi
1.      Faktor penyebab gagal napas
a.       Penyakit paru/ jalan napas instrinsik

1)      Obstruksi jalan napas besar:


a)      Deformitas kongenital
b)      Laringitis akut, epiglotis
c)      Benda asing
d)     Tekanan ekstrinsik
e)      Cedera traumatik
f)       Pembesaran tonsil dan adenoid
g)      Apnea tidur obstruktif
2)      Penyakit bronkial:
a)      Bronkitis kronis
b)      Asma
c)      Bronkiolitis akut
3)      Penyakit parenkim:
a)      Emfisems pulmonal
b)      Fibrosis pulmonal dan penyakit infiltratif difusi kronis
lainnya.
c)      Pneumonia berat.
d)      Cedera paru akut akibat berbagai penyebab (sindrom gawat
napas akut).
4)      Penyakit kardiovaskulaer:
a)      Edema jantung paru
b)      Embolisme paru masif atau berulang
c)      Vaskulitis pulmonal

b.      Gangguan ekstra pulmonal:


1)      Penyakit pleura dan dinding dada:
a)      Pneumototaks
b)      Efusi pleura
c)      Fibrotoraks
d)     Deformitas dinding dada
e)      Cedera traumatik pada dinding dada: flail chest
f)       Obesitas
2)      Gangguan otot pernapasan dan taut neuromuskuler:
a)      Miastenia gravis dan gangguan mirip miastenia
b)      Distrofi muskuler
c)      Polimiositis
d)     Botulisme
e)      Obat paralisis otot
f)       Hipokalemia berat dan hipofosfatemia

3)      Gangguan saraf perifer dan medula spinalis:


a)      Poliomielitis
b)      Sindrom Guillain-Barre
c)      Trauma medula spinalis (kuadriplegia)
d)     Sklerosis lateral amiotropik
e)      Tetanus
f)       Sklerosis multiple

4)      Gangguan sistem saraf pusat:


a)      Overdosis obat sedatif dan narkotik
b)      Trauma kepala
c)      Hipoksia serebral
d)     Cedera serebrovaskuler
e)      Infeksi sistem saraf pusat
f)       Kejang epilepsi: status epileptikus
g)      Gangguan metabolik dan endokrin
h)      Poliomielitis bulbar
i)        Hipoventilasi alveolar primer
j)        Sindrom apnea tidur
  
2.      Faktor pemicu gagal napas akut:
a.       Perubahan sekret trakeobronkus
b.      Infeksi virus atau bakteri
c.       Gangguan pembersih trakeobronkus
d.      Obat-obat: sedatif, narkotik, anestesi, oksigen
e.       Inhalasi atau aspirasi iritan, muntah, benda asing
f.       Gangguan kardiovaskuler: gagal jantung, embolisme paru,
syok
g.      Faktor mekanis: pneumothoraks, efusi pleura, distensi
abdomen
h.      Trauma termasuk pembedahan
i.        Abnormalitas neuromuskuler
j.        Gangguan allergi: bronkospasme
k.      Peningkatan kebutuhan oksigen: demam, infeksi
l.        Keletihan otot inspirasi (Morton, 2012)

C. Tanda Gejala

1. Gagal nafas total


Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela
iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi
buatan

2. Gagal nafas parsial


Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan
whizing.
Ada retraksi dada

3. Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)

4. Hipoksemia yaitu t./,akikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2


menurun).

D. Klasifikasi 
a. Berdasarkan penyebab organ yang terganggu dapat dibagi menjadi 2,
yaitu:

1.      Kardiak
Gangguan gagal nafas bisa terjadi akibat adanya penurunan PaO2
dan peningkatan PaCO2 akibat jauhnya jarak difusi akibat edema paru.
Edema paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk melakukan
fungsinya sehinmgga terjadi peningkatan perpindahan cairan dari vaskuler
ke interstitial dan alveoli paru. Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler
yang mendorong terjadinya disfungsi miokard dan peningkatan LVEDV
dan LVEDP yang menyebabkan mekanisme backward-forward sehingga
terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru, cairan berpindah ke
-Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard : infark miokard,
kardiomiopati, dan miokarditis

Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :

a.       Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan


Coartasio Aorta
b.      Meningkatkan volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi.
ASD dan VSD
c.       Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis, dan trikuspidal
insufisiensi interstitial – alveolar paru dan terjadilah edema paru.
2.      Nonkardiak
Terutama terjadi gangguan di bagian saluran pernafasan atas dan bawah
serta proses difusi. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti
adanya obstruksi, emfisema, atelektasis, pneumothorax, ARDS dll

b. Berdasarkan hasil analisa gas darah :


1. Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu
menunjukkkan kadar PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu
PaCO2>50mmHg. Hal ini disebabkan karena kadar CO2
meningkat dalam ruang alveolus, O2 yang tersisih di alveolar dan
PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu biasanya diperoleh
hiperkapneu dan hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara
inspirasi diberi tambahan oksigen. Sedangkan nilai pH tergantung
pada level dari bikarbonat dan juga lamanya kondisi hiperkapneu.

2. Gagal napas hipoksemia


Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah
tetapi nilai PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang
membedakannya dengan gagal napas hiperkapneu, yang masalah
utamanya pada hipoventilasi alveolar. Gagal napas hipoksemia
lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapneu.

c. berdasarkan lama terjadinya :


a.    Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang
ditandai dengan perubahan hasil analisa gas darah yang
mengancam jiwa. Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas
akut timbul pada pasien yang keadaan parunya normal secara
struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.

b.   Gagal napas kronik


Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi
pada pasien dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik
dan emfisema. Pasien akan mengalami toleransi terhadap hipoksia
dan hiperkapneu yang memburuk secara bertahap.
E. Patofisiologi
Gagal nafas akut dapat disebabkan oleh berbagai keadaan,
diantaranya mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat. Salah satu
penyebab terpenting pada ventilasi yang tidak adekuat adalah obstruksi
saluran pernapasan atas.
Akibat edema mukosa, lendir yang tebal dan spasme otot polos
maka lumen saluran nafas berkurang dengan hebat. Hal ini mengakibatkan
terperangkapnya udara dibagian distal sumbatan yang akan menyebabkan
gangguan oksigenasi dan ventilasi. Gangguan difusi dan retensi CO2
menimbulkan hipoksemia dan hipercapnea, kedua hal ini disertai kerja
pernafasan yang bertambah sehingga menimbulkan kelelahan dan
timbulnya asidosis.

Hipoksia dan hipercapnea akan menyebabkan ventilasi alveolus


terganggu sehingga terjadi depresi pernafasan, bila berlanjut akan
menyebabkan kegagalan pernafasan dan akirnya kematian.
Hipoksemia akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pulmonal
yang menyebabkan tahanan alveolus bertambah, akibatnya jantung akan
bekerja lebih berat, beban jantung bertambah dan akirnya menyebabkan
gagal jantung..

Akibat bertambahnya aliran darah paru, hipoksemia yang


mengakibatkan permiabilitas kapiler bertambah, retensi CO2 yang
mengakibatkan bronkokontriksi dan ‘metabolic rate’ yang bertambah,
terjadinya edema paru. Dengan terjadinya edema paru juga terjadinya
gangguan ventilasi dan oksigenisasi yang akhirnya dapat menimbulkan
gagal nafas.
Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
a.   Pemerikasan gas-gas darah arteri
Penting untuk menentukan adanya asidosis respiratorik dan
alkalosis respiratorik, serta untuk mmengetahui apakah klien
mengalami asidosis metabolic, alkalosis metabolic atau keduanya.
Hipoksemia:
Ringan : PaO2 < 80 mmHg • Sedang : PaO2 < 60 mmHg • Berat :
PaO2 < 40 mmHg

b.   Pemeriksaan rontgen dada


Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit
yang tidak diketahui

d. Hemodinamik: Tipe I
peningkatan PCWP

e. EKG
adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang ditandai
dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III, aVF, serta
jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan.

f. Pemeriksaan sputum
yang di perhatikan ialah bau, warna dan kekentalan. Jika perlu
lakukan kultur dan uji kepekatan terhadap kuman penyebab.

g. Pengukuran fungsi paru


penggunaan respirometer untuk menggetahui ada tidaknya
gangguan obstruksi dan retraksi paru. FEV1 normal > 83%.
G. Penatalaksanaan
Terapi oksigen:
a. Pemberian oksigen kecepatan rendah, masker Venturi atau nasal
prong.
b. Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu
(CPAP) atau PEEP.
c. Inhalasi nebulizer.
d. Fisioterapi dada.
e. Pemantauan hemodinamik/jantung
f. Pengobatan: bronkodilator, steroid
g. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan.
h. Steroid
i. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan.
j. Obat-obatan
Antibiotic: diberikan setelah dilakukan uji kultur sputum dan uji
kepekaan terhadap kuman penyebab.
Bronkodilatator, kartikosteroid, diuretic, digitalis
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Airway
1) Terdapat secret di jalan nafas (sumbatan jalan nafas)
2) Bunyi nafas krekels, ronchi, dan wheezing

b. Breathing
1) Distress pernafasan: pernafasan cuping hidung, takhipnea /
bradipne.
2) Menggunakan otot asesoris pernafasan
3) Kesulitan bernafas: lapar udara, diaforesis, dan sianoasis
4) Pernafasan memakai alat Bantu nafas

c. Circulation
1) Penurunan curah jantung, gelisah, letargi, takikardi
2) Sakit kepala
3) Gangguan tingkat kesadaran: gelisah, mengantuk,
gangguan mental (ansietas, cemas)

B. Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan


nafas dan kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lendir

Tujuan: jalan nafas paten


Kriteria hasil: Bunyi nafas bersih
Secret berkurang
Intervensi:
1)    Catat karakteristik bunyi nafas
2)    Catat karakteristik batuk, produksi dan sputum
3)    Monitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental
4)    Berikan humidifikasi pada jalan nafas
5)    Pertahankan posisi tubuh / kepala dan gunakan ventilator sesuai
kebutuhan
6)    Observasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas
7)    Berikan lavase cairan garam faaal sesuai indiaksi untuk
membuang skresi yang lengket
8)    Berikan O2 sesuai kebutuhan tubuh
9)    Berikan fisioterapi dada
10) Berikan bronkodilator

b.   Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan


cairan dalam interstitial / area alveolar, hipoventilasi alveolar, kehilangan
surfaktan

Tujuan: pertukaran gas adekuat


Kriteria hasil:
1)      Perbaikan oksigenasi adekuat: akral hangat, peningkatan
kesadaran
2)      BGA dalam batas normal
3)      Bebas distres pernafasan

Intervensi:
1)      Kaji status pernafasan
2)      Kaji penyebab adanya penurunan PaO2 atau yang menimbulkan
ketidaknyaman dalam pernafasan
3)      Catat adanya sianosis
4)      Observasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia
5)      Berikan oksigen sesuai kebutuhan
6)      Berikan bantuan nafas dengan ventilator mekanik
7)      Kaji seri foto dada
8)      Awasi BGA / saturasi oksigen (SaO2)
c.       Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik

Tujuan: klien bebas dari cidera selama ventilasi mekanik


Intervensi:
1)      Monitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran
tekanan
2)      Observasi tanda dan gejala barotrauma
3)      Posisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang
endotrakeal
4)      Kaji panjang selang ET dan catat panjang tiap shift
5)      Berikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi
6)      Berikan sedasi bila perlu
7)      Monitor terhadap distensi abdomen

d.     Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan selang


ET dengan kondisi lemah
Tujuan: klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Intervensi:
1)      Evaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan
2)      Tampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
3)      Pertahanakan teknik steril bila melakukan penghisapan
4)      Ganti sirkuit ventilator tiap 72 jam
5)      Lakukan pembersihan oral tiap shift
6)      Monitor tanda vital terhadap infeksi
7)      Alirkan air hangat dalam selang ventilator dengan cara eksternal
keluar dari jalan nafas dan reservoir humidifier
8)      Pakai sarung tangan steril tiap melakukan tindakan / cuci tangan
prinsip steril
9)      Pantau keadaan umum
10)  Pantau hasil pemeriksaan laborat untuk kultur dan sensitivitas
11)  Pantau pemberian antibiotik

e.       Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi tubuh tidak mampu


makan peroral

Tujuan: klien dapat mempertahankan pemenuhan nutrisi tubuh


Intervensi:
1)      Kaji status gizi klien
2)      Kaji bising usus
3)      Hitung kebutuhan gizi tubuh atau kolaborasi tim gizi
4)      Pertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi
perenteral sesuai indikasi
5)      Periksa laborat darah rutin dan protein
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
      Gagal nafas merupakan suatu kegawatan yang memerlukan penanganan secara
cepat, tepat dan komprehensif dengan prioroitas ABC sebagai pedoman
penanganan. Penyebab dari gagal nafas juga harus dikelola secara tepat sehingga
gagal nafas dapat dicegah.
     
3.2 Saran
Dalam melakukan penanganan gagal nafas, terutama dalam penanganan 
A (mempertahankan jalan nafas)  harus diperhatikan posisi tidur pasien, yaitu
dalam posisi sniffing position, dengan cara posisi terlentang dengan meletakkan
ganjalan dibawah bahu. Posisi yang tepat dapat dapat mencegah jatuhnya lidah
kebelakang sehingga dapat menekan dinding farink bagian belakang yang akan
menutupi jalan nafas..
Dalam penanganan B (pemberian bantuan pernafasan)  harus diperhatikan
cara memberikan VTP secara tepat, yaitu tekanan positif diberikan sesuai dengan
irama pernafasan penderita, yaitu saat terjadinya inspirasi.
ALGOROTMA GAGAL NAPAS DENGAN ANCAMA
INTUBASI

Anda mungkin juga menyukai