Anda di halaman 1dari 1

Latar belakang

Lembaga leasing di Indonesia sudah banyak menjamur di Indonesia, dan tentu saja masyarakat
Indonesia juga merasakan adanya keuntungan dari banyaknya lembaga leasing yang
bermunculan ini. Pengertian leasing sendiri adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal, baik secara sewa – guna – usaha dengan hak opsi (finace lease)
maupun sewa – guna – usaha tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh lessee
selama jangka waktu tertentu berdasar pembayaran secara berkala. Ada 2 pihak yang ada dalam
kontrak leasing ini, yaitu Leasee yang merupakan pihak, bisa berupa perorangan atau pun badan
hukum yang menggunakan modal yang berasal dari pembiayaan pihak leasing. Dan Lessor yang
merupakan pihak pemegang hak milik barang yang ada pada kotrak leasing tersebut.
Pada 6 Januari tahun 2020, dalam putusan bernomor 18/PUU-XVII/2019 Mahkamah Konstitusi
(MK) telah memutuskan bahwa penarikan barang leasing kepada kreditur tak boleh dilakukan
sepihak melainkan harus mempunyai izin pengadilan terlebih dahulu. Ini dikarenakan banyak
kasus dalam penarikan barang yang menjadi jaminan fidusia ini dengan tidak berdasarkan
prosedur yang benar. Banyak debt collector yang melakukan langsung eksekusi penarikan
kepada kreditur di mana pun, kapan pun dengan sewenang-wenang. Putusan MK Nomor
18/PUU-XVII/2019 ini pun bermula dari pengajuan dua orang pemohon, yaitu Apriliani Dewi
dan Suri Agung Prabowo (suami dari Apriliani Dewi), yang mana mereka ada korban dari
tindakan sewenang-wenang debt collector dalam eksekusi penarikan jaminan fidusia tanpa
melalui prosedur hukum yang benar. Karena tindakan sewenang-wenangnya ini debt collector
tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor
345/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel memutuskan bahwa perbuatan debt collector tersebut dianggap
perbuatan melawan hukum dan menghukum debt collector untuk membayar kerugian materiil
dan immateriin kepada penggugat (debitur). Tetapi meskipun telah ada putusan pengadilan
terkait sengketa kreditur dan debitur tersebut, tetapi dalam hal ini kreditur tetap saja
mengabaikan putusan tersebut dan tetap melakukan penarikan terhadap barang jaminan fidusia
tersebut pada tanggal 11 Januari 2019, pihak kreditur tetap melakukan eksekusi dengan dasar
Pasal 15 ayat (2) dan Ayat (3), dimana perjanjian fidusia ini dianggap memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Maka dari itu akhirnya pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 15 Ayat
(2) dan Ayat (3) UU No. 42/1999.

Anda mungkin juga menyukai