Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit hati merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi
permasalahan di indonesia. Ditinjau dari pola penyakit hati yang dirawat, secara
umum mempunyai urutan sebagai berikut: hepatitis virus akut, sirosis hati, kanker
hati, abses hati. Dari data tersebut ternyata sirosis hati menempati urutan kedua.
Sirosis hati merupakan salah satu penyakit hati kronis yang paling banyak
ditemukan dimasyarakat dan merupakan stadium terakhir dari penyakit hati
menahun (Hadi S, 2000 dalam Stiphany, 2010).
Cedera pada struktur seluler dari hati menyebabkan fibrosis terkait dengan
radang kronis dan perubahan necrotic menghasilkan sirosis (Digiulio & Donna
Jackson, 2014). Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun (penyakit hati
kronis) dan merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis (Nurdjanah, 2009
dalam
Sitompul, dkk, 2012).
Menurut World Health Organization (WHO) (2015), Sekitar 700.000 umat
manusia meninggal karena sirosis hepatis. Sedangkan Data WHO (2011) dalam
Ika (2015) mencatat sebanyak 738.000 pasien dunia meninggal akibat sirosis hati
ini. Penyakit ini menjadi penyebab kematian terbesar pada penderitanya. Pada
tahun 2012 Indonesia memiliki penduduk yang terserang penyakit hati kronis
sebanyak 20 juta jiwa. Informasi kesehatan untuk pasien sangat penting untuk
kelangsungan pemulihan pasien. Pemulihan tidak berlangsung dengan cepat atau
mudah apabila pasien tidak mengetahui hal-hal yang baik untuk mempercepat
penyembuhannya (Fitriani, 2013).
Menurut Black & Hawks, (2009) dalam Riris, (2014) bahwa penyebab
sirosis hepatis belum diketahui dengan pasti, tetapi faktor genetik dalam keluarga
turut ambil bagian dalam penyakit ini. Kondisi yang menjadi faktor predisposisi
munculnya penyakit ini adalah konsumsi alkohol yang berlebihan dalam jangka
waktu yang lama, riwayat terinfeksi virus (B ataupun C), obstruksi bilier,

1
intoksikasi bahan kimia industri, dan penggunaan obat, seperti acetaminophen,
methotrexate, atau isoniazid.
BAB ll
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP TEORI
Sirosis hepatis adalah penyakit kronis pada hati dengan inflamasi dan
fibrosis yang mengakibatkan distorsi struktur dan hilangnya sebagian besar
hepar. Perubahan besar yang terjadi karena sirosis adalah kematian sel-sel
hepar, terbentuknya sel-sel fibrotik (sel mast), regenerasi sel dan jaringan parut
yang menggantikan sel-sel normal. (Baradero, 2008).
Sirosis Hepatis merupakan penyakit hati menahun ditandai adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan proses
peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul, sehingga menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
sel hepar tidak teratur (Nugroho, 2011).
Sirosis adalah penyakit kronis yang dicirikan dengan penggantian jaringan
hati normal dengan fibrosis yang menyebar, yang mengganggu struktur dan
fungsi hati. Sirosis, atau jaringan parut pada hati, dibagi menjadi tiga jenis:
alkoholik, paling sering disebabkan oleh alkoholisme kronis, dan jenis sirosis
yang paling umum,; paskanekrotik, akibat hepatitis virus akut sebelumnya; dan
bilierm akibat obstruksi bilier kronis dan infeksi (jenis sirosis yang paling
jarang terjadi) (Brunnerd & Suddart, 2013).
B. Etiologi dan Faktor Risiko Sirosis Hepatis
Penyebab sirosis hepatis belum teridentifikasi dengan jelas, meskipun
demikian, Menurut Black & Hawks, 2009 ada beberapa faktor yang
menyebabkan sirosis hepatis yaitu:
a. Sirosis Pascanekrosis (Makronodular)
Merupakan bentuk paling umum di seluruh dunia.Kehilangan masif sel hati,
dengan pola regenerasi sel tidak teratur. Faktor yang menyebabkan sirosis ini
pasca- akut hepatitis virus (tipe B dan C).
b. Sirosis Billier

2
Merupakan turunnya aliran empedu bersamaan dengan kerusakan sel hepatosit
disekitar duktus empedu seperti dengan kolestasis atau obstruksi duktus
empedu.
c. Sirosis Kardiak
Merupakan penyakit hati kronis terkait dengan gagal jantung sisi kanan jangka
panjang, seperti atrioventrikular perikarditis konstriktif lama.
d. Sirosis Alkoholik (mikronodular Laenec)
Merupakan bentuk nodul kecil akibat beberapa agen yang melukai terus-
menerus, terkait dengan penyalahgunaan alcohol.
C. Patofisiologi Sirosis Hepatis
Menurut Black & Hawks tahun 2009 sirosis adalah tahap akhir pada banyak
tipe cedera hati. Sirosis hati biasanya memiliki konsistensi noduler, dengan
berkas fibrosis (jaringan parut) dan daerah kecil jaringan regenerasi. Terdapat
kerusakan luas hepatosit. Perubahan bentuk hati merubah aliran sistem
vaskuler dan limfatik serta jalur duktus empedu. Periode eksaserbasi ditandai
dengan stasis empedu, endapan jauundis.
Menurut Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, (2012), gangguan
hematologik yang sering terjadi pada sirosis adalah kecendrungan perdarahan,
anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Penderita sering mengalami
perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Masa
protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya
pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia, leukopenia, dan
trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya
membesar (spelenomegali) tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah
dari sirkulasi. Mekanisme lain yang menimbulkan anemia adalah defisiensi
folat, vitamin B12, dan besi yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan
peningkatan hemolysis eritrosit. Penderita juga lebih mudah terserang infeksi.
Kerusakan hepatoseluler mengurangi kemampuan hati mensintesis normal
sejumlah albumin. Penurunan sintesis albumin mengarah pada
hipoalbuminemia, yang dieksaserbasi oleh kebocoran protein ke dalam ruang
peritonium. Volume darah sirkulasi menurun dari kehilangan tekanan osmotik

3
koloid. Sekresi aldosteron meningkat lalu merangsang ginjal untuk menahan
natrium dan air. Sebagai akibat kerusakan hepatoseluler, hati tidak mampu
menginaktifkan aldosteron. Sehingga retensi natrium dan air berlanjut. Lebih
banyak cairan tertahan, volume cairan asites meningkat. Hipertensi vena porta
berkembang pada sirosis berat. Vena porta menerima darah dari usus limpa.
Jadi peningkatan di dalam tekanan vena porta menyebabkan: (1) aliran balik
meningkat pada tekanan reistan dan pelebaran vena esofagus, umbilikus, dan
vena rektus superior, yang mengakibatkan perdarahan varises (2) asites (akibat
pergesaran hidrostastik atau osmotik mengarah pada akumulasi cairan di dalam
peritoneum) dan (3) bersihan sampah metabolik protein tidak tuntas dengan
akibat meningkat amonia, selanjutnya mengarah kepada esefalopati hepatikum.
Kelanjutan proses sebagai akibat penyebab tidak diketahui atau
penyalahgunaan alkohol biasanya mengakibatkan kematian dari ensefalopati
hepatikum, infeksi bakteri (gram negatif) peritonitis (bakteri), hepatoma (tumor
hati), atau komplikasi hipertensi porta. Gangguan endokrin sering terjadi pada
sirosis. Hormon korteks adrenal, testis dan ovarium, dimetabolisme dan
diinaktifkan oleh hati normal. Atrofi testis, ginekomastia, alopesia, pada dada
dan aksila, serta eritema palmaris (telapak tangan merah), semuanya diduga
disebabkan oleh kelebihan esterogen, dalam sirkulasi. Peningkatan pigmentasi
kulit diduga aktivitas hormon perangsang melanosit yang bekerja secara
berlebihan.
D. Manifestasi klinis
a) Sirosis terkompensasi: biasanya ditemukan secara sekunder dari pemeriksaan
fisik rutin, gejala samar.
b) Sirosis terdekompensasi: gejala penurunan protein, faktor pembekuan dan zat
lain serta manifestasi hipertensi porta.
c) Pembesaran hati di awal penyakit (hati berlemak) pada penyakit lanjut, ukuran
hati berkurang akibat jaringan parut.Obstruksi asites portal: organ menjadi
tempat bagi kongesti pasif kronis terjadi dyspepsia dan perubahan fungsi usus.
d) Infeksi dan peritonit: tanda klinis mungkin tidak ada, diperlukan tindakan
parasentesis untuk menegakkan diagnosis.

4
e) Varises Gastrointestinal: pembuluh darah abdomen terdistensi dan menonjol
pembuluh darah disepanjang saluran GI terdistensi varises hemoroid hemoragi
dari lambung.
f) Edema. Defisiensi vitamin (A, C dan K) dan anemia
g) Perburukan mental diikuti dengan ensefalopati hepatic dan koma hepatik
(Brunner & Suddart, 2013).
h) Eritema Palmaris
i) Spider Angioma
j) Jaundis (Black & Hawks 2009)
E. Komplikasi
Menurut Black & Hawks tahun 2009, komplikasi dari serosis hepatis adalah
sebagai berikut:
1) Hipertnsi Porta
Hipertensi porta terjadi ketika tekanan darah meningkat menetap pada sistem
vena porta hal tersebut sebagai akibat peningkatan resistansi dan obstruksi
aliran darah melalui sistem vena porta ke dalam hati.
a) Etiologi dan faktor risiko
Vena porta kemungkinan tersumbat oleh thrombus tumor adalah penyebab
paling sering berikutnya. Faktor yang mungkin menyebabkan hipertensi
porta peningkatan resistensi terhadap aliran, sirosis, hepatitis alkoholik, dll.
b) Patofisiologi
Aliran darah normal untuk dan dari hati bergantung pada fungsi vena porta
yang baik (70 % aliran masuk), arteri hepatik (30 % aliran masuk), dan vena
hepatik (aliran keluar) proses penyakit yang merusak hati atau pembuluh
darah utamanya atau perubahan aliran darah melalui struktur ini bertanggung
jawab bagi perkembangan hipertensi porta. Hipertensi porta akibat dari
peningkatan aliran darah pada vena porta maupun peningkatan resistansi
terhadap aliran di dalam sistem vena porta.
c) Manifestasi Klinis
Pada klien dengan hipertensi porta, ketika pengkajian di dapatkan jaringan
pembuluh darah epigastrik sedikit berliku-liku yang bercabang akhir pada

5
daerah umbilikus serta kearah kedepan sternum dan tulang rusuk, pelebaran,
dan asites yang tipikal tampak ketika penyakit ahati bersamaan.
2) Asites
a) Etiologi dan Faktor
Resiko Asites adalah akumulasi cairan di dalam ruang peritoneum akibat
interaksi beberapa perubahan patofisiologi. Hipertensi porta, penurunan
tekanan plasma osmotik koloid dan retensi natrium semua berkontribusi
terhadap kondisi ini.
b) Patofisiologi
Sebuah proses yang mengeblok aliran darah melalui sinusoid hati ke vena
hepatik dan vena cava menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di
dalam sistem vena porta. Sebagaimana tekanan porta meningkat, plasma
bocor langsung dari kapsul hati dan vena porta kongesti ke dalam ruang
peritoneum. Kongesti saluran limfa terjadi, mengarah pada kebocoran lebih
plasma ke dalam ruang peritoneum. Kehilangan protein plasma ke dalam
cairan asites dari sistem vena porta mengurangi tekanan onkotik di dalam
kompratemen pembuluh darah. Penurunan tekanan onkotik membatasi
kemampuan sistem pembuluh darah menahan atau mengumpulkan air.
c) Manifestasi Klinis
Cairan asites secara tipikal menyebabkan distensi perut, panggul menonjol,
serta umbilikus yang menonjol keluar dan ke bawah. Meskipun akumulasi
cairan asites banyak dan nyata, namun jika jumlah kecil atau sedang lebih
sulit untuk mendeteksi.
3. Ensefalopati Hepatikum
Ensefalopati Hepatikum merupakan gangguan SSP. Gangguan mungkin
tampak bersamaan dengan cedera hati berat atau gagal hati atau setelah
pembedahan puntasan portosistemik. Penyebab gangguan ini adalah
ketidakmampuan untuk memetabolisme ammonia untuk membentuk ureum
sehingga ini dapat diekresikan.
a) Patofisiologi

6
Penyebabab spesifik ensefalopati hepatikum tidak diketahui, tapi hal ini
dirincikan oleh peningkatan kadar amonia dalam darah dan cairan
serebrospinal. Amonia dihasilkan dalam usus ketika protein dipecah oleh
bakteri, oleh hai dan dalam jumlah yang lebih kecil, oleh getah lambung dan
metabolisme jaringan perifer.Ginjal adalah sumber amona lain di dalam
adanya hipokalemia. Implikasi lebih terkini penyebab ensefalopati adalah
neurotransmiter palsu, naiknya kadar mercaptan (kimia organic yang
mengandung radikal sulfhidril, terbentuk ketika molekul oksigen dan alkohol
diganti oleh sulfur ), fenol dan rantai pendek asam lemak. Secara normal, hati
amonia ke dalam glutamin, yang disimpan dalam hati dan kemudian diubah
menjadi ureum dan diekresikan melalui ginjal. Kadar amonia darah
meningkat ketika sel hati tidak mampu membentuk fungsi ini mungkin
dikarenakan sel hati rusak dan nekrosis. Ini juga mungkin akibat dari pintasan
darah dari sistem vena porta secara langsung kedalam sirkulasi vena sistemik
(pintasan hati). Pada kasus lain, sebagaimana kadar amonia darah naik,
banyak bahan tidak biasanya mulai terbentuk. Beberapa bahan ini (misal
oktopamn) tampak bertindak sebagai neurotransmiter palsu di dalam SSP.
Amonia juga adalah toksin SSP, memengaruhi sel glia dan saraf, ini
mengarah kepada perubahan metabolisme dan fungsi SSP. Sebuah proses
yang meningkatkan protein di dalam intestinal, seperti meningkatkan diet
protein atau perdarahan GI, menyebabkan peningkatan kadar amonia darah
dan kemungkinan gejala ensefalopati hepatikum pada klien dengan gagal
hepatoseluler atau yang telah menjalani pembedahan pintasa portosistemik.
b) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ensefalopati hepatikum adalah secara primer neurologis
dan rentang dari kebingungan mental ringan sampai koma dalam. Perubhan
neurologis terjadi dengan akumulasi amonia serebral atau perdarahan GI.
Ensefalopati hepatikum mengganggu memori, perhatian, konsentrasi, dan
kecepatan respons. Pola terbalik sering terjadi, klien terbangun malam hari
dan mengantuk pada siang hari. Menulis dan ucapan menunjukkan
perubahansignifikan seperti terjadi penyimpangan intelektual. Asteriksis

7
mungkin ada. Pada beberapa klien dengan ensefalopati hepatikum,
hiperventilasi dengan alkalosis respiratorik berkembang karena kadar amnia
tinggi merangsang pusat pernafasan. Adanya methylmercaptan menyebabkan
baukarakteristik pada pernafan yang disebut fetorhepaticus. Sebagaiman
perkembangan sindrom, tingkat kesadaran klien perlahan berkurang, dan
kebingungan menjadi lebih berat, namun, tingkat depresi SSP umunya
fluktasi. Koma akhirnya terjadi, yang mendalam sampai tidak ada respons
nyeri dan refleks kornea, benar-benar tidak ada. Berikut stadium ensefalopati
hepatikum:
a) Stadium 1
1. Letih
2. Gelisah
3. Iritabel
4. Penurunan tampilan intelektual
5. Penurunan rentang perhatian
6. Berkurangnya ingatan jangka pendek
7. Perubahan kepribadian
8. Pola tidur terbalik
b) Stadium 2
1. Penyimpangan dalam menulis
2. Asteriksis
3. Gngguan status mental
4. Bingung
5. Lemah
6. Fetor hepaticus
c) Stadium 3
1. Bingung berat
2. Ketidakmampuan mengikuti perintah
3. Samnolen dalam, tapi dapat bangun
d) Stadium 4
1. Koma
2. Tidak respons terhadap rangsangan nyeri
3. Kemungkinan sikap tubuh dekortikasi atau deserebasi Hasil laboratorium
mnunukkan naiknya amonia darah dan kadag glutamin cairan
serebrospinal. Meskipun temuan ini membantu mengomfirmasi diagnosis
ensefalopati, tapi tidak spesifik. Memantau kadar serum amonia, kadar
elektrolit, gas darah, hasil tes fungsi hati (bilirubin, albumin, protrombin,

8
dan enzim) keseluruhan perjalanan penyakit. Temuan ini membantu
menentukan tingkat ketidakseimbangan dan tingkat cedera hepatik.
F. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada sirosis hepatis yaitu:
1) Terapi mencakup antasid, Suplemen vitamin dan nutrisi, diet seimbang;
diuretik penghemat kalium (untuk asites) hindari alkohol Brunner & Suddart,
(2013).
2) Dokter biasanya meresepkan multivitamin untuk menjaga kesehtan. Sering
kali vitamin K diberikan untuk memperbaik faktor pembekuan (Black &
Hawks, 2009).
3) Dokter mungkin juga meresepkan pemberian albumin IV untuk menjaga
volume plasma (Black & Hawks, 2009).
Sedangkan menurut Lyndon Saputra (2014), penatalaksanaan medis pada
sirosis hepatis yaitu sebagai berikut:
a. Memberikan oksigen
b. Memberikan cairan infus
c. Memasang NGT (pada perdarahan) 4) Terapi transfusi: platelet, packed
red cells, fresh frozen plasma (FFP).
d. Diuretik: spironolakton (Aldactone), Furosemid (lasix)
e. Sedatif: fenobarbital (Luminal)
f. Pelunak feses : dekusat
g. Detoksikan Amonia: Laktulos
h. Vitamin: zink
i. Analgetik: Oksikodon
j. Antihistamin: difenhidramin (Benadryl)
k. Endoskopik skleroterapi: entonolamin
l. Temponade balloon varises: pipa Sengstaken-Blakemore (pada perdarah
aktif)
m. Profilaksis trombosis vena provunda : stocking kompresi sekuensial.
b. Penatalaksanaan Keperawatan

9
Menurut Black & Hawks (2009), penatalaksaan keperawatan sebagai berikut:
1. Mencegah dan memantau perdarahan
Pantau klien untuk perdarahan gusu, purpura, melena, hematuria, dan
hematemesis.Periksa tanda vital sebagai pemeriksa tanda syok.Selain itu
untuk menceah perdarahan, lindungi klien dari cedera fisik jatuh atau abrasi,
dan diberikan suntikan hanya ketika benarbenar diperlukan, menggunakan
jarum sintik yang kecil. Instruksikan klien untuk menghindari nafas hidung
dengan kuat dan mengejan saat BAB. Terkadang pelunak fases diresepkan
untuk mencegah mengejan dan pecahnya varises.
2. Meningkatkan status nutrisi
Modifikasi diet: diet tinggi proten untuk membangun kembali jaringan dan
juga cukup karbohidrat untuk menjaga BB dan menghemat protein. Berikan
suplemen vitamin biasanya pasien diberikan multivitamin untuk menjaga
kesehatan dan diberikan injeksi Vit K untuk memperbaiki faktor bekuan.
3. Meningkatkan pola pernapasan efektif
Edema dalam bentuk asites, disamping menekan hati dan memengaruhi
fungsinya, mungki juga menyebabkan nafas dangkal dan kegagalan
pertukaran gas, berakibat dalam bahaya pernafasan. Oksigen diperlukan dan
pemeriksaan AGD arteri. Posisi semi fowler, juga pengkuran lingkar perut
setiap hari perlu dilakukan oleh perawat.
4. Menjaga keseimbangan volume cairan
Dengan adanya asites dan edema pembatasan asupan cairan klien harus
dipantau ketat. Memantau asupan dan keluaran, juga mengukur lingkar perut.
5. Menjaga integritas kulit
Ketika tedapat edema, mempunyai resiko untuk berkembang kemungkinan
lesi kulit terinfeksi. Jika jaundis terlihat, mandi hangat-hangat kuku dengan
pemakai sabun non-alkalin dan penggunaan lotion.
6. Mencegah Infeksi
Pencegahan infeksi diikuti dengan istirahat adekuat, diet tepat, memonitor
gejala infeksi dan memberikan antibiotik sesuai resep.

10

Anda mungkin juga menyukai