Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil bumi. Salah satu komoditas hasil
perkebunan yang besar di Indonesia adalah kakao. Kakao merupakan salah satu komuditi
andalan dalam sektor perkebunan, tercatat bahwa Indonesia merupakan salah satu produsen
biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Produksi kakao setiap tahunnya
dapat mencapai 572 ribu ton (Wahyudi .2008). Produksi kakao dihasilkan di berbagai
provinsi di Indonesia, salah satunya dari Sulawesi Selatan. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) nilai ekspor kakao pada tahun 2014 Sekitar 28,26% produksi kakao nasional
dihasilkan dari Sulawesi Selatan. Produksi kakao di Sulawesi Selatan memberikan
sumbangsih yang cukup besar pada produksi kakao nasional, sebab lahan Sulawesi Selatan
yang mendukung untuk pertumbuhan tanaman kakao.
Sulawesi Selatan sebagai provinsi tempat produksi kakao nasional beberapa tahun
terakhir mengalami kemerosotan, berdasarkan data BPS, nilai ekspor kakao Sulawesi Selatan
hingga Agustus 2017 hanya US$47,09 juta. Padahal, periode yang sama pada tahun 2016,
Sulsel mencatatkan nilai ekspor US$97,48 juta untuk kakao. Jadi terjadi kemerosotan tajam
nilai ekspor kakao. Turunnya bahkan sampai 51,7% (Kepala BPS Sulsel: Nursam Salam).
Desa Banyorang merupakan salah satu desa dari sepuluh desa/kelurahan di Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Berdasarkan Badan
Pusat Statistik.
Kabupaten Sinjai (2017), desa Sangiasseri memiliki luas wilayah 798,96 km2. Jumlah
penduduk desa Sangiasseri sebanyak 255.853 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.387
jiwa dan perempuan sebanyak 1.853 jiwa. Mata pencaharian masyarakat desa Banyorang
ialah di sektor tanaman pangan, perkebunan serta peternakan, terutama menghasilkan kakao.
Produksi kakao setiap tahun di Kabupaten Bantaeng mengalami peningkatan yang tersebar di
9 kecamatan. Salah satunya ialah kecamatan Tompobulu. Pada tahun 2014, produksi
kecamatan Sinjai Selatan mencapai 765,9 ton dengan luas lahan 1.298 ha. Produksi kakao
pada tahun 2016 sebanyak 745 ton dengan luas lahan 927 ha. Produksi kakao pada tahun
2017 di Desa Banyorang sebanyak 865,38 ton dengan luas panen 1.313 ha (Dinas
Perkebunan Sinjai, 2017). Banyaknya produksi kakao yang dihasilkan namun salah satu
masalah yang terjadi ialah mutu atau kualitas biji kakao yang dihasilkan tidak memiliki
kualitas yang baik.
Menurut (Camu, 2016) Salah satu faktor yang mempengaruhi mutu kakao adalah
penanganan pasca panen yang kurang tepat seperti proses fermentasi. Sedangkan proses
fermentasi adalah proses perombakan gula dan asam sitrat dalam pulp menjadi asam-asam
organik yang dilakukan oleh mikrobia pelaku fermentasi. Fermentasi merupakan titik berat
pengolahan biji kakao. Pada proses ini akan terjadi pembentukan cita rasa khas kakao,
pengurangan rasa pahit dan sepat, dan perbaikan kenampakan fisik kakao. Di samping proses
fermentasi menentukan mutu biji kakao, fermentasi juga mempermudah penghancuran
lapisan pulp yang melengket pada biji (Susanto, 2016). Peningkatan kualitas biji kakao
merupakan upaya untuk meningkatkan daya saing produksi yang terus dikembangkan melalui
berbagai penelitian dan pengembangan produk. Upaya meningkatkan daya saing produk
kakao, baik dalam bentuk biji maupun produk olahan diperlukan upaya peningkatan kualitas
biji kakao dan pengembangan industri hilir. Menurut (Hasibuan et al.2013), tahapan
pengolahan yang dianggap paling dominan mempengaruhi mutu hasil biji kakao kering ialah
fermentasi. Fermentasi merupakan tahapan pengolahan yang sangat vital untuk menjamin
dihasilkannya cita rasa cokelat yang baik (Doume et al., 2013).