Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PRESENTASI KASUS

Disusun oleh:
Rosyid Mawardi
1106010446

Pembimbing:
Dr. dr. Soedjatmiko, SpA(K), M.Si

MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
Maret 2016
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
makalah ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada saya.

Jakarta, 25 Maret 2016

Rosyid Mawardi

2
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas
Nama : By. MZJ
Usia : 10 bulan 18 hari
Tempat, tanggal lahir : Tangerang, 1 Mei 2015
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kp. Kalibaru Desa Rawaburung Kec. Kosambi,
Tangerang
Tanggal kunjungan poliklinik : 18 Maret 2016

Tabel 1. Identitas orangtua

Ayah Ibu

Nama Tn. WS Ny. S

Usia 34 tahun 30 tahun

Agama Islam Islam

Suku Bugis Sunda

Pendidikan terakhir SMA SMA

Pekerjaan Satpam Ibu rumah tangga

1.2 Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis kepada kedua orangtua pasien pada tanggal 18 Maret
2016 di poliklinik anak RSU Tangerang dan 19 Maret 2016 saat kunjungan rumah.

1.2.1 Keluhan Utama


Pasien datang dengan keluhan batuk sejak 10 hari yang lalu.

1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

3
Sejak 3 bulan yang lalu, ibu pasien mengeluhkan berat badan pasien tidak
semakin naik dan cenderung tetap atau bahkan turun. Berat badan berada dalam kisaran
6,5 kg sampai 7 kg. Nafsu makan pasien saat itu masih baik, makan 2 kali sehari dan
minum susu formula 6 kali sehari. Sejak 2 minggu yang lalu pasien mulai tidak mau
makan, hanya makan 3-4 sendok setiap kali makan, namun pasien masih mau minum.
Sejak 10 hari yang lalu, pasien mengalami batuk disertai dahak berwarna putih
yang susah dikeluarkan. Batuk muncul sepanjang hari, dikatakan semakin memberat,
dan tidak dipicu oleh debu ataupun udara dingin. Sesak napas dan keringat malam
disangkal. Pasien juga mengeluh demam sejak 10 hari yang lalu, namun tidak terlalu
tinggi. Pasien sudah imunisasi BCG di usia 2 bulan. Pada 3 hari yang lalu, pasien sudah
dilakukan pemeriksaan mantoux. Selama ini pasien hanya diberi obat batuk yang dibeli
di warung.
Riwayat batuk pada orang dalam rumah disangkal. Namun, salah seorang
tetangga pasien diketahui menderita flek paru dan terdapat kontak dengan pasien
beberapa kali. Hasil pemeriksaan dahak maupun pengobatan pada tetangga pasien
tersebut tidak diketahui.
Pasien BAB 1 kali sehari, normal, tidak cair atau keras, warna kekuningan.
BAK normal, banyak, ganti popok sekitar 5x/hari, pasien tidak menangis saat
berkemih. Nyeri perut, mual, muntah, riwayat diare lama, serta mulut dan lidah kotor
disangkal.

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat flek paru, konsumsi obat lama, dan perawatan di rumah sakit
sebelumnya disangkal.

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat flek paru atau batuk lama dan pengobatan selama 6 bulan di keluarga
disangkal.

1.2.5 Riwayat Kehamilan Ibu


Saat hamil, ibu pasien berusia 29 tahun dan rutin kontrol kehamilan di bidan
setiap bulan. Riwayat kencing manis, tekanan darah tinggi, merokok, minum obat-
obatan, ataupun jamu saat hamil disangkal.

4
1.2.6 Riwayat Kelahiran
Pasien lahir cukup bulan, spontan, di RS dibantu oleh dokter. Berat badan lahir 2700
gram, panjang badan lahir 47 cm, namun lingkar kepala tidak diingat. Saat lahir
pasien langsung menangis, tidak ada pucat, biru, kuning, kejang, ataupun kelainan
bawaan.

1.2.7 Riwayat Imunisasi


Tabel 2. Jadwal imunisasi pasien

Bulan
Jenis vaksin
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
HepB 1
Polio 1 2 3 4
BCG 1x
DTP-HB-Hib (Pentabio®) 1 2 3
Campak -
Pasien belum imunisasi campak karena BB masih kurang pada saat jadwal
imunisasi.

1.2.8 Riwayat Tumbuh Kembang


Berdasarkan Kartu Menuju Sehat (KMS) pasien, diketahui bahwa sejak usia 1
bulan hingga 4 bulan z-score untuk berat badan terhadap usia berada pada -1 SD. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan pasien baik hingga berusia 4 bulan.
Namun, pada pemeriksaan usia 9 bulan, didapatkan z-score untuk BB terhadap usia
berada di bawah -2 SD.
Saat ini pasien sudah dapat duduk tanpa dibantu, berdiri tanpa dibantu, dan
mengucapkan “ma-ma-ma”. Pasien dapat memiringkan tubuh ke satu sisi dan bereaksi
terhadap suara pada usia 3 bulan; mengangkat kepala dengan tegak, berguling,
menggenggam benda, dan tertawa pada usia 5 bulan.

1.2.9 Riwayat Nutrisi


Pasien minum susu formula sejak setelah lahir hingga saat ini karena ASI tidak keluar.
Mulai usia 6 bulan, pasien diberikan susu formula bersama dengan nasi tim. Saat ini
pasien minum susu 6x sehari, masing-masing 2 sendok susu dilarutkan dalam 150 cc
air. Nasi tim terdiri atas bubur nasi 3 sendok makan dicampur dengan wortel dan

5
brokoli. Selama ini ibu pasien takut untuk menambahkan ikan, daging, telur, tahu,
ataupun tempe. Pasien biasanya makan sambil bermain dan habis dalam 15 menit.
Sejak 2 minggu yang lalu pasien mulai kurang nafsu makan dan hanya habis 4-5
sendok.

1.2.10 Riwayat Sosial-Ekonomi Keluarga


Pasien tinggal bersama ibu dan ayahnya. Ibu pasien seorang ibu rumah tangga,
sehingga dapat selalu merawat dan memantau tumbuh kembang pasien. Ayah pasien
seorang satpam, namun lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan cukup
mengetahui perkembangan pasien. Tidak terdapat riwayat perkawinan antar keluarga
dekat (saudara kandung atau sepupu). Penghasilan ayah pasien sekitar 3 juta/bulan dan
tidak terdapat masalah ekonomi. Baik ayah maupun ibu pasien tidak merokok.
Rumah pasien terletak di daerah padat penduduk, berukuran 10m x 10m,
ventilasi dan jendela kurang, kebutuhan air untuk mandi dan mencuci berasal dari
sumur, sedangkan untuk minum menggunakan air galon isi ulang. Jarak antara sumur
dengan septic tank sekitar 50 m. Kebersihan rumah dan lingkungan cukup baik.
Terdapat riwayat kontak antara pasien dengan tetangga yang diketahui
menderita flek paru, namun hasil pemeriksaan dahak dan riwayat pengobatan tidak
diketahui.

1.3 Pemeriksaan Fisis


Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 120x/menit, regular, isi cukup, equal
Suhu : 36,9oC
Pernapasan : 50x/menit, regular, abdominotorakal
Berat badan : 7 kg
Panjang badan : 70 cm
Lingkar kepala : 45 cm
Lingkar dada : 44 cm
Lingkar lengan atas : 10 cm
Status gizi : Gizi kurang (z-score antara -2 dengan -3)
Kulit : Warna sawo matang; tidak terdapat ikterus, sianosis, ataupun
pucat; lesi kulit tidak ada; turgor kembali cepat
6
Kepala : Normosefal, tidak ada deformitas
Rambut : Warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik, palpebra tidak
cekung
Telinga : Normotia, tidak ada deformitas, tidak ada sekret ataupun serumen
Hidung : Simetris, tidak ada nafas cuping hidung, tidak ada deformitas,
tidak ada deviasi septum, vestibulum lapang, tidak ada secret
Mulut : Mukosa bibir, buccal, dan lidah basah, tidak ada oral thrush,
tonsil dan faring sulit diperiksa
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga 4 linea midklavikula kiri
 Auskultasi : S1 dan S2 normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Paru
 Inspeksi : Tidak tampak retraksi interkosta ataupun suprasternal,
pergerakan dinding dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi
 Palpasi : Ekspansi dada simetris, tidak teraba massa maupun krepitasi
 Auskultasi : Suara napas vesikular (+/+), terdapat ronki basah kasar pada
kedua lapang paru, tidak terdapat mengi.
Abdomen
 Inspeksi : Datar, simetris, tidak terdapat venektasi
 Auskultasi : Bising usus (+) 4x/menit
 Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan, hepar dan limpa tidak teraba
 Perkusi : Timpani, tidak terdapat shifting dullness
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, tidak terdapat edema, terdapat skar
BCG pada deltoid kanan berukuran 5 mm, kedua sisi
ekstremitas sama panjang, tidak terdapat deformitas ataupun
nyeri tekan, tonus otot baik
Tulang belakang : Simetris, tidak terdapat deformitas
KGB : Tidak teraba pembesaran KGB leher, aksila, dan inguinal
Genitalia dan anus : Tidak diperiksa

7
Gambar 1. Pengukuran status gizi dengan kurva BB-PB WHO 2006

1.4 Pemeriksaan Penunjang


1.4.1 Laboratorium
Tabel 3. Hasil pemeriksaan darah perifer lengkap (15 Maret 2016)
Hasil Satuan Nilai normal
Hemoglobin L 11,5 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit L 34 % 40-10,6
Leukosit H 15.800 sel/uL 3.800-10.600
Trombosit 302.000 sel/uL 150.000-440.000
LED H 94 mm/jam 0-10

1.4.2 Radiologi
Foto Toraks AP/Lateral (15 Maret 2016)
CTR 44,5%; jantung mengisi <1/3 ruang retrosternal; aorta dan mediastinum
superior tidak melebar; trakea di tengah, kedua hilus suram; tampak infiltrat di
suprahiler, perihiler, parakardial, dan retrokardia; kedua hemidiafragma licin;
kedua sinus kostofrenikus lancip; jaringan lunak dinding dada terlihat baik. Kesan:
Pneumonia, kemungkinan proses spesifik belum dapat disingkirkan.

8
Gambar 2. Pemeriksaan foto toraks

1.4.3 Uji tuberkulin (15 Maret 2016)


Pada pembacaan uji tuberkulin hari ketiga, didapatkan indurasi dengan
diameter 12 mm.

Gambar 3. Hasil uji tuberkulin

1.5 Ringkasan
Bayi laki-laki 10 bulan 18 hari mengeluh batuk berdahak warna putih sejak 10 hari
yang lalu disertai demam yang tidak terlalu tinggi. BB pasien tidak kunjung naik dan
cenderung turun sejak 3 bulan lalu. Pasien mulai tidak mau makan sejak 2 minggu lalu.
Pada 3 hari lalu sudah dilakukan uji tuberkulin. Terdapat riwayat kontak dengan tetangga
yang menderita TB. Saat ini pasien belum imunisasi campak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan gizi kurang, ronki basah kasar pada kedua lapang paru, dan skar BCG pada

9
deltoid kanan 5 mm. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia dan leukositosis.
Pada foto toraks didapatkan kedua hilus suram serta tampak infiltrat di suprahiler,
perihiler, parakardial, dan retrokardia. Pada uji tuberkulin didapatkan indurasi
berdiameter 12 mm.

1.6 Daftar Masalah


1. TB paru
2. Gizi kurang
3. Imunisasi dasar tidak lengkap (campak)

1.7 Rencana Tatalaksana


Non-medikamentosa
 Nutrisi
Diet 840 kkal/hari dengan kebutuhan protein 12,6 g/hari per oral, terdiri atas:
 Nasi tim 3x sehari @ 150 kkal (beras, hati ayam/daging sapi/ayam/ikan,
tempe/tahu, sayur)
 Snack 1x sehari 78 kkal ~ 80 kkal (2 keping biskuit/buah)
 Susu formula 6x sehari @90 cc (60 kkal)
 Imunisasi campak
 Edukasi untuk konsumsi OAT rutin tiap hari dan kontrol 1 minggu lagi

Medikamentosa
 OAT
 Isoniazid pulv 1x50 mg (+ piridoksin 10 mg)
 Rifampisin pulv 1x100 mg
 Pirazinamid pulv 1x225 mg

1.8 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Anak


Tuberkulosis (TB) anak adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Micobacterium tuberculosis pada anak usia 0-14 tahun. TB anak merupakan masalah
kesehatan yang sangat penting di negara berkembang, sebab sebanyak 40-50% dari
keseluruhan populasi terdiri atas anak berusia <15 tahun. Di dunia, beban kasus TB anak
belum diketahui secara pasti karena kurangnya alat diagnostik yang sesuai ditambah
tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan. Diperkirakan, sekurang-kurangnya
terdapat 500.000 kasus baru TB anak di seluruh dunia.1
Proporsi kasus TB anak dibandingkan keseluruhan kasus TB di Indonesia kian
menurun sejak 2010 hingga 2012, yakni 8,2%. Walaupun demikian, proporsi kasus antar
provinsi sangat bervariasi, yakni 1,8 hingga 15,9%. TB anak paling banyak ditemukan
pada kelompok usia 5-14 tahun dan sebanyak 6% dari total temuan pada 2012
merupakan kasus BTA positif. 1
Sumber penularan TB anak adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa
maupun anak. Umumnya, pasien anak sangat jarang menjadi sumber penularan, kecuali
dengan BTA positif atau menderita adult type TB. Pasien TB paru dewasa BTA positif
memiliki tingkat penularan sebesar 65%, pasien BTA negatif dengan kultur positif
sebesar 26%, sedangkan pasien dengan kultur negatif dan foto toraks positif sebesar
17%.1

2.1.1 Patogenesis
Lebih dari 98% kasus tuberkulosis memiliki port d’entree di paru setelah
menghirup droplet nuklei yang mengandung bakteri TB. Pada sebagian kasus, seluruh
bakteri yang masuk dapat dihancurkan oleh mekanisme imunologi nonspesifik. namun
Akan tetapi, pada beberapa kasus tidak seluruhnya dapat dihancurkan, sehingga bakteri
akan difagosit oleh makrofag alveolus. Sebagian besar bakteri yang difagosit akan mati,
namun sebagian kecil bakteri yang masih bertahan dapat bermultiplikasi di dalam
makrofag. Setelah makrofag lisis, bakteri TB akan keluar dan menyebabkan lesi di area
lisis yang disebut fokus primer Ghon. 1
Bakteri TB selanjutnya akan menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional dan menimbulkan limfangitis serta limfadenitis. Apabila fokus primer terdapat
11
di lobus tengah atau bawah, maka limfadenitis terjadi di perihiler. Sementara itu, jika
fokus primer terletak di apeks paru, maka limfadenitis terdapat pada paratrakeal.
Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks
primer. 1
Periode sejak masuknya bakteri TB hingga terbentuk kompleks primer dinamakan
masa inkubasi, yaitu selama 2-12 minggu (rata-rata 4-8 minggu). Dengan terbentuknya
kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi, dan terbentuk pula imunitas selular
terhadap bakteri TB. Pada kondisi ini, kita akan menemukan anak dengan hasil
pemeriksaan tuberkulin positif karena terdapat hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein TB. Adanya imunitas selular pada pasien imunokompeten
menyebabkan proliferasi bakteri terhenti (sejumlah kecil bakteri tetap hidup dalam
granuloma), terjadi resolusi sempurna fokus primer meninggalkan fibrosis dan
enkapsulasi, namun penyembuhan kelenjar limfe regional tidak sempurna. Oleh karena
itu, bakteri TB akan tetap hidup selama bertahun-tahun dalam kelenjar limfe regional
tanpa menimbulkan penyakit. 1
Selama masa inkubasi, dapat pula terjadi penyebaran bakteri secara limfogen
ataupun hematogen. Bakteri akan menyebar menuju kelenjar limfe regional kemudian
berlanjut melalui pembuluh darah (limfohematogen) atau secara langsung hematogen.
Penyebaran secara hematogen dapat terjadi dalam beberapa bentuk 1) occult
hematogenic spread yaitu penyebaran bakteri sedikit-demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan manifestasi klinis, bakteri menyebar ke organ yang kaya vaskularisasi,
bakteri tetap hidup namun inaktif; 2) acute generalized hematogenic spread yaitu
penyebaran bakteri dalam jumlah besar sehingga menimbulkan manifestasi klinis secara
akut; dan 3) protracted hematogenic spread yaitu penyebaran bakteri akibat pecahnya
fokus perkijuan di dinding vaskular. 1

12
Gambar 4. Patogenesis tuberkulosis1

2.1.2 Diagnosis TB Anak


Seorang anak perlu diperiksa adanya infeksi TB apabila 1) terdapat kontak erat
dengan pasien TB menular dan 2) terdapat tanda dan gejala klinis khas TB anak,
meliputi: 1
1. Gejala sistemik
 Penurunan berat badan tanpa sebab jelas atau berat badan tidak naik secara adekuat
atau berat badan tidak naik dalam 1 bulan pasca upaya perbaikan gizi
 Demam ≥2 minggu dan/atau berulang tanpa sebab jelas (diagnosis banding demam
lama yang lain sudah disingkirkan). Demam biasanya tidak tinggi.
 Batuk ≥3 minggu yang tidak pernah reda atau dengan intensitas yang semakin
parah (penyebab lain batuk sudah disingkirkan).
 Penurunan nafsu makan disertai gagal tumbuh
 Malaise yang ditandai dengan anak malas bermain

13
 Diare persisten (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan standar diare.
2. Gejala lokal, yaitu tergantung pada organ yang terkena TB.
Pada dasarnya, diagnosis pasti TB adalah dengan pemeriksaan mikrobiologi untuk
menemukan basil tahan asam dari apusan langsung atau biopsi jaringan serta kultur.
Walaupun demikian, pada kasus TB paru anak pemeriksaan sputum yang menjadi baku
emas sulit untuk dilakukan, karena sedikitnya jumlah kuman dan susahnya pengambilan
spesimen. Apabila fasilitas tersedia, spesimen untuk pemeriksaan TB paru anak dapat
diperoleh melalui induksi sputum dan bilasan lambung. Sementara itu, pemeriksaan
serologi tidak dianjurkan untuk menegakkan diagnosis. 1
Apabila terdapat keterbatasan metode diagnostik TB anak, dapat digunakan
pendekatan diagnostik melalui sistem skoring. Sistem ini menggabungkan antara temuan
klinis dengan hasil pemeriksaan penunjang yang mendukung. Pada skoring ini, parameter
uji tuberkulin dan kontak TB memiliki nilai tertinggi (3). Walaupun demikian, uji
tuberkulin bukan merupakan uji utama pada skoring ini. Apabila didapatkan skor ≥6,
maka pasien harus ditatalaksana menggunakan obat antituberkulosis (OAT). Jika dalam 2
bulan terapi terdapat respon positif, maka OAT diteruskan. Sementara itu, apabila
didapatkan respon negatif, maka pasien perlu dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. 1
Tabel 4. Skoring TB anak1

14
2.1.3 Pengobatan TB Anak
Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri atas OAT dan profilaksis. OAT
diberikan pada anak dengan sakit TB, sedangkan profilaksis ditujukan pada anak dengan
kontak TB (profilaksis primer) atau terinfeksi tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Dalam tatalaksana penyakit TB anak, beberapa hal perlu diperhatikan 1) OAT tidak
boleh diberikan sebagai monoterapi, 2) pemberian gizi harus adekuat, dan 3) penyakit
penyerta perlu dicari untuk ditatalaksana bersama. Terdapat pula beberapa prinsip
pengobatan, yaitu: 1
1. OAT diberikan dalam kombinasi minimal 3 obat
2. Waktu pengobatan antara 6-12 bulan
3. Pengobatan dibagi dalam tahap intensif (2 bulan pertama) dan lanjutan (4-10 bulan
berikutnya
4. TB dengan gejala berat perlu dirujuk ke fasilitas rujukan
5. Panduan OAT untuk anak adalah 2HRZ/4HR atau 2HRZE(S)/4-10HR

Tabel 5. Daftar OAT1

15
Tabel 6. Panduan pemberian OAT1

Agar pemberian OAT lebih mudah dan pasien teratur dalam minum obat, OAT
juga disediakan dalam kombinasi dosis tetap (KDT/FDC). KDT anak berisi obat fase
intensif, yaitu rifampisin 75mg, isoniazid 50mg, dan pirazinamid 150mg serta fase
lanjutan berupa rifampisin 75mg dan isoniazid 50mg. Dosis KDT disesuaikan dengan
berat badan anak, sebagaimana tercantum pada tabel di bawah. (anak dengan BB >30 kg
diberikan 6 tablet KDT dewasa). 1

Tabel 7. KDT pada TB anak

2.1.4 Pemantauan Pengobatan


Pada fase intensif, pasien diminta untuk kontrol setiap minggu untuk menilai
kepatuhan, toleransi, dan adanya efek samping pengobatan. Pada akhir fase intensif (2
bulan), dilakukan evaluasi respon pengobatan. Respon pengobatan dikatakan baik apabila
gejala klinis berkurang serta nafsu makan dan berat badan meningkat. Jika didapatkan

16
respon baik, maka pengobatan dilanjutkan hingga 6 bulan dengan meminta pasien untuk
kontrol setiap bulan. Sementara itu apabila respon pengobatan kurang, maka pasien tetap
melanjutkan pengobatan dan dirujuk ke sarana yang lebih memadai. Perlu diingat bahwa
sistem skoring tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi pengobatan. 1
Setelah 6 bulan, pengobatan dapat dihentikan dengan mengevaluasi klinis maupun
pemeriksaan penunjang, seperti foto toraks. Bagaimanapun, klinis pasien merupakan
indikator yang paling menentukan keberhasilan pengobatan. 1

2.2 Uji Tuberkulin


Uji tuberkulin dilakukan menggunakan antigen Purified Protein Derivative (PPD).
Dosis pemberian PPD adalah 0,1 ml yang disuntikkan secara intrakutan pada volar lengan
bawah 5-10 cm di bawah lipat siku atau 1/3 tengah dari lengan bawah. Injeksi dilakukan
menggunakan jarum berukuran 26/27G. Injeksi yang benar akan menghasilkan
intradermal wheal berdiameter 5-6 mm. 1,2
Pembacaan hasil uji tuberkulin dilakukan 72 jam setelah penyuntikan. Dalam
pembacaan, dinilai adanya indurasi yang bulat dengan permukaan rata dan berwarna
merah. Adanya permukaan yang tidak rata atau tonjolan di bagian tengah menunjukkan
adanya kemungkinan infeksi lokal, sehingga perlu di ulang 2 hari kemudian. Pengukuran
diameter indurasi dilakukan secara transversal. Berikut ini merupakan interpretasi dari uji
tuberkulin. 1
Tabel 8. Interpretasi uji tuberkulin1

17
2.3 Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk membuat seseorang kebal terhadap penyakit
infeksi tertentu. Berdasarkan jenisnya, imunisasi diklasifikasikan menjadi dua macam,
yaitu:
1. Imunisasi pasif
Imunisasi pasif terjadi dengan pemberian/transfer antibodi spesifik, sehingga
kemampuan proteksinya dapat muncul lebih cepat. Imunisasi jenis ini dapat diberikan
secara alami, berupa transfer IgG (imunoglobulin G) ibu ke janin melalui plasenta
ataupun transfer IgA melalui kolostrum. Imunisasi pasif dapat pula diberikan secara
buatan, misalnya pada pemberian imunoglobulin untuk kasus infeksi akut.3
2. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif terjadi setelah tubuh terpapar oleh patogen, baik secara alami
melalui infeksi langsung maupun secara buatan melalui pemberian vaksin. 3

Vaksin merupakan produk imunisasi aktif buatan, berupa seluruh atau sebagian
patogen yang akan memicu pembentukan imunitas spesifik. Ketika tubuh terpajan
antigen vaksin untuk pertama kali, maka akan terbentuk respon imun primer berupa
antibodi spesifik (terutama IgM). Apabila terjadi pajanan vaksin yang sama berikutnya,
akan terbentuk respon imun sekunder berupa antibodi spesifik (terutama IgG) dengan
afinitas lebih tinggi dan masa jeda yang lebih singkat. 3
Adanya antibodi spesifik ini ditambah dengan pembentukan sel T dan B memori
akan melindung tubuh dari infeksi patogen tertentu di kemudian hari. Bagaimanapun,
keberhasilan vaksin ditentukan oleh beberapa hal, yakni imunitas individu, faktor
genetik, kualitas, serta kuantitas vaksin. 3
Jenis vaksin dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu vaksin hidup dan
inaktif. Vaksin hidup terbuat dari virus atau bakteri yang telah dilemahkan (contoh:
BCG, polio oral, campak). Hal ini menyebabkannya masih dapat bereplikasi dan
menimbulkan respon imun tanpa menimbulkan penyakit. Umumnya, vaksin ini akan
menimbulkan imunitas dengan 1 dosis. 3
Vaksin inaktif dapat berasal dari mikroba utuh (contoh: vaksin pertusis,
inactivated polio vaccine/IPV), toksoid (contoh: vaksin difteri, vaksin tetanus), subunit
(contoh: vaksin influenza), ataupun polisakarida (contoh: vaksin tifoid, pneumokokus
polisakarida, dan Haemophilus influenzae tipe b/Hib). Vaksin jenis ini kurang
imunogenik, sehingga perlu diberikan sebanyak 2 hingga 5 dosis. 3
18
2.3.1 Jadwal Imunisasi Nasional
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI no 42 tahun 2013, imunisasi rutin
merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara terus menerus sesuai jadwal.
Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan lanjutan. Imunisasi dasar meliputi
Hepatitis B, BCG (Bacillus Calmette Guerin), DTP-HB-Hib (Diphteria Tetanus Pertusis
Hepatitis B-Haemophilus influenza type B), polio, dan campak. Sementara itu, imunisasi
lanjutan adalah imunisasi ulangan agar masa perlindungan lebih panjang dan
mempertahankan kekebalan. Imunisasi lanjutan diberikan baik pada batita, anak usia SD,
dan perempuan usia subur. 3,4
Tabel 9. Jadwal Imunisasi Dasar
Umur bayi Jenis Imunisasi
0 bulan HB 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DTP-HB-Hib1, Polio 2
3 bulan DTP-HB-Hib2, Polio 3
4 bulan DTP-HB-Hib3, Polio 4
9 bulan Campak

Tabel 10. Jadwal imunisasi lanjutan


Umur anak Jenis Imunisasi
18 bulan DTP-HB-Hib4
24 bulan Campak
Kelas 1 SD Campak, DT
Kelas 2 SD Td
Kelas 3 SD Td

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan imunisasi program


nasional ditambah dengan imunisasi pneumokokus, rotavirus, MMR, hepatitis A,
influenza, tifoid, varisela, dan HPV (human papilloma virus). Imunisasi tambahan ini
disebut sebagai imunisasi pilihan, karena diberikan sesuai kebutuhan individu dalam
melindungi diri dari penyakit menular tertentu. 4

19
Tabel 11. Jadwal imunisasi sesuai rekomendasi3

2.3.2 Jadwal Imunisasi Terlambat


Seringkali ditemukan anak dengan imunisasi dasar yang terlambat atau tidak sesuai
jadwal. Hal ini tidak menjadi hambatan untuk melanjutkan imunisasi yang tertunda.
Manfaat vaksin yang telah diberikan sebelumnya tidak akan hilang, melainkan tidak
menghasilkan kerja yang optimal. Pemberian imunisasi ini harus dilanjutkan tanpa perlu
diulang dari awal apabila riwayat imunisasi sebelumnya diketahui secara jelas. 4
Pada anak yang belum pernah menerima vaksin sama sekali, tidak terdapat
antibodi yang cukup untuk melawan penyakit infeksi tertentu. Meskipun usia anak sudah
di luar usia yang tertera pada jadwal imunisasi, imunisasi tetap perlu diberikan dari awal,
kapan saja, dan pada umur berapa saja sebelum terkena penyakit tersebut. 4
Keterlambatan pemberian vaksin dengan daya lindung panjang (hanya seperti
BCG, campak, MMR, dan varisela) akan berakibat pada peningkatan risiko tertular
penyakit. Risiko akan sangat rendah sekali setelah vaksin diberikan. Diketahui juga
bahwa vaksin ini akan menghasilkan kadar antibodi yang cukup tinggi jika diberikan di
usia yang lebih tua. Sementara itu, pada vaksin multidosis (diberikan beberapa kali),
keterlambatan atau pemanjangan interval imunisasi tidak akan mempengaruhi respon
imun dalam membentuk antibodi. Keterlambatan pemberian vaksin akan menunda
tercapainya kadar optimal antibodi, sehingga risiko munculnya penyakit masih tinggi. 4
Pada kasus terlambat imunisasi campak, selama usia <12 bulan dapat diberikan
vaksin campak kapan saja dan jika ≥ 1 tahun dapat diberikan vaksin MMR/campak.
Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer,

20
penderita TB yang tidak diobati, penderita kanker atau transplantasi organ, dan anak
yang mendapatkan pengobatan imunosupresi jangka panjang. Walaupun demikian,
adanya infeksi HIV tanpa imunosupresi yang berat masih memungkinkan anak untuk
mendapat imunisasi campak. Berkaitan dengan TB, belum ada studi yang melaporkan
tentang efek pemberian vaksin campak/MMR pada pasien TB yang tidak diobati.
Namun, berdasarkan teori yang ada, vaksin dapat mengeksaserbasi tuberkulosis. Oleh
karena itu, dianjurkan untuk memulai terapi antituberkulosis sebelum memberikan
vaksin campak pada penderita TB aktif.4,5

21
BAB III
DISKUSI

3.1 Aspek Tuberkulosis


Bayi laki-laki 10 bulan 18 hari memiliki keluhan berupa batuk berdahak dan
demam subfebris sejak 10 hari yang lalu serta terdapat riwayat peningkatan BB yang
tidak adekuat dan penurunan nafsu makan. Dalam kasus ini, BB yang tidak naik secara
adekuat merupakan kata kunci utama yang mengarahkan pada kemungkinan diagnosis
tuberkulosis. Hal ini didukung pula dengan adanya riwayat kontak dengan penderita TB,
walaupun status pemeriksaan BTA sputum tidak diketahui. Adanya hasil pemeriksaan
foto toraks yang sugestif TB paru (kedua hilus suram disertai infiltrat di suprahiler,
perihiler, parakardial, dan retrokardia) dan uji tuberkulin dengan indurasi 12 mm juga
turut memperkuat diagnosis TB apabila dimasukkan dalam skoring. Skor 7 menunjukkan
bahwa pasien terdiagnosis tuberkulosis dan harus mengonsumsi OAT.

Tabel 12. Skoring TB pada pasien

Parameter Skor
Kontak TB 2
Uji tuberkulin 3
Berat badan/keadaan gizi 1
Demam yang tidak diketahui penyebabnya 0
Batuk kronik 0
Pembesaran KGB colli, aksila, dan inguinal 0
Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, dan falang 0
Foto Toraks 1
Total 7

Tatalaksana OAT yang diberikan pada pasien adalah kombinasi isoniazid,


rifampisin, dan pirazinamid selama fase intensif (2 bulan) kemudian dilanjutkan dengan
isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan (fase lanjutan). Pasien juga diberikan piridoksin
(vit B6) untuk mengatasi keluhan neuritis perifer yang sering muncul akibat efek
samping isoniazid. Selama pengobatan, pasien juga diminta untuk kontrol rutin untuk
mengevaluasi kepatuhan berobat, efek samping, serta respon pengobatan.
3.2 Aspek Nutrisi
Berdasarkan kurva BB-TB WHO 2006, status gizi pasien termasuk dalam gizi
kurang (z-score <-2). Sementara itu, kurva pertumbuhan pasien pada awalnya baik

22
hingga usia 4 bulan (konstan berada pada z-score <-1) kemudian mengalami penurunan.
Dipikirkan bahwa keadaan malnutrisi pada pasien ini berkaitan dengan penyakit kronis,
yaitu tuberkulosis. Hal ini diperburuk dengan nafsu makan pasien yang turun sejak 2
minggu lalu.6
Bagaimanapun, kandungan nutrisi dari makanan yang diberikan pasien juga tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi. Pasien minum susu formula sejak lahir dan
mulai mendapat makanan tambahan pada usia 6 bulan. Makanan tambahan pasien hanya
berupa nasi tim yang dicampur dengan wortel dan brokoli, sehingga pasien tidak cukup
mendapat asupan zat besi, protein, dan lemak. Takaran susu formula yang diberikan
untuk pasien juga tidak sesuai, yakni 2 sendok dilarutkan dalam 150 cc (seharusnya tiap
1 sendok dalam 30 cc).
Oleh karena itu, bersamaan dengan pengobatan TB, pemenuhan nutrisi pasien juga
perlu diperbaiki. Pasien membutuhkan diet sebanyak 840 kkal/hari dengan kebutuhan
protein sebanyak 12,6 g/hari. Cara pemberian makan pada pasien cukup per oral.
Kebutuhan kalori tersebut dapat terpenuhi dengan 1) nasi tim 3x sehari yang terdiri atas
Diet 840 kkal/hari dengan kebutuhan protein 12,6 g/hari per oral, terdiri atas beras, hati
ayam/daging sapi/ayam/ikan, tempe/tahu, dan sayur; 2) snack 1x sehari berupa 2 keping
biskuit atau buah; dan 3) susu formula 6x sehari sebanyak 3 sendok takar yang dilarutkan
dalam 90 cc air.6

3.3 Aspek Imunisasi


Pasien belum mendapatkan imunisasi campak dengan alasan bahwa berat badannya
belum mencukupi saat imunisasi. Berdasarkan Pedoman Imunisasi di Indonesia, berat
badan yang kurang bukan merupakan hambatan untuk melakukan imunisasi campak.
Imunisasi campak pada pasien tidak dianjurkan karena pasien menderita TB yang belum
diobati. Saat ini pasien sudah mulai mendapat pengobatan antituberkulosis, sehingga
imunisasi campak dapat segera diberikan.

BAB IV
KESIMPULAN

23
Pasien, bayi laki-laki 10 bulan 18 hari, dengan daftar masalah TB paru, gizi kurang,
dan imunisasi dasar tidak lengkap (campak). Pada pasien direncanakan untuk pemberian
OAT fase intensif, diet 840 kkal/hari, imunisasi campak, dan edukasi. Prognosis pada pasien,
baik ad vitam, ad functionam, maupun ad sanationam dipikirkan bonam.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Petunjuk Teknis


Manajemen TB Anak. Jakarta: Kementerian Keehatan RI; 2013.
2. Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Pemeriksaan Klinis pada Bayi dan Anak. 3rd ed. Jakarta:
Sagung Seto; 2014. p195-6.
3. Gunardi H. Imunisasi. In: Soedjatmiko, Gunardi H, Sekartini R, Medise BE. Intisari
Imunisasi. 2nd ed. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2015. p. 1-13.
4. Musa DA. Jadwal Imunisasi tidak Teratur. In: Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS,
Kartasasmita CB, Ismoeddijanto, Soedjatmiko, eds. Pedoman Imunisasi di Indonesia. 4th
ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 67-72.
5. Atkinson WL, Pickering LK, Schwartz B, Weniger BG, Iskander JK, Watson JC.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the
American Academy of Family Physicians (AAFP) [internet]. 2001 [diakses pada tanggal
27 Maret 2015]. Diunduh dari
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5102a1.htm
6. Sjarif DR, Nasar SS, Devaera Y, Tanjung C. Rekomendasi Ikatan Anak Indonesia:
Asuhan Nutrisi Pediatrik. Jakarta: UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik; 2011. p7-12.

25

Anda mungkin juga menyukai