ABSTRACT
This article is an effort to make a clear map on contemporary Muslim intellectuals in the Middle East
after the Arab defeat in 1967. The Six-Day War took place in June 1967 was a disaster for the Arab world.
It ended the ideology of Pan-Arab nationalism and encouraged the rise of four compating self-criticism
ideologies: Marxism, Liberalism, Fundamentalism and Nationalism. The four ideologies have their own
particular responses and solutions to the Arab crisis. The result of this research shows that Islamic
fundamentalism is still the strongest ideology compared to the secular ideologies. The Arab Spring
in 2011 proved the fact and paved a way for the Islmists to become dominant in the political arena, as
recently shown in Egypt. The other Islamist militant groups, such as Jama’ah Islamiyyah are now more
free to promote the implementation of Islamic syari’ah.
ABSTRAK
Artikel ini merupakan sebuah upaya membuat peta yang cukup jelas mengenai tren intelektual Muslim
di Timur Tengah pasca ditisme Arab 1967. Perang Enam-Hari yang terjadi pada Juni 1967 merupakan
derita bagi dunia Arab. Ia mengindikasikan berakhirnya ideologi Pan-Arabisme dan telah memicu
lahirnya empat ideologi kritik-diri yang saling berkompetisi: Marxisme, Liberalisme, Fundamentalisme
dan Nasionalisme dalam bentuk ekstrimnya. Keempat ideologi tersebut mempunyai respon dan tawaran
solusi tersendiri terhadap krisis Arab. Di akhir penelitian ini memperlihatkan bahwa fundamentalisme
Islam masih menjadi ideologi yang sangat kuat dibanding dengan ideologi-ideologi sekuler lainnya.
Pasca the Arab Spring, fundamentalisme Islam di Mesir berhasil menjadi penguasa di samping semakin
menguatnya gerakan-gerakan Islam lain di panggung politik. Kelompok-kelompok Islam militan pun
semisal Jama’ah Islamiyyah menjadi semakin bebas dalam menyuarakan tuntutan penerapan syari’at
Islam.
296
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967
297
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
mulai dari tahun 1880-1980 Masehi sebagai pada jenis orang tertentu atau seseorang
berikut, yaitu pertama, fase Turki Ustmani yang melakukan pekerjaan tertentu. Kata
(1880-1918 Masehi), didominasi oleh ini efektif digunakan pada akhir abad ke-
ideologi reformisme dan sekularisme; Kedua, 19. Meskipun penggunaan kata itu sendiri
fase penjajahan Eropa (1918-1945 Masehi), kurang disukai, kata “intellectual” menjadi
didominasi oleh ideologi nasionalisme sangat popular dalam literature Inggris pada
Arab, revivalisme Islam, dan Sosialisme- pertengahan abad ke-20. Kata “intelektual”
liberal; Ketiga, fase kemerdekaan (1945- sekarang digunakan secara netral untuk
1980 Masehi), didominasi oleh ideologi menggambarkan orang yang melakukan
sosialisme revolusioner, liberalism, dan jenis pekerjaan tertentu dan utamanya jenis-
fundamentalisme; dan keempat, fase pasca- jenis pekerjaan yang bersifat umum.
kemerdekaan (1980 Masehi) sampai sekarang Dalam tradisi Islam terdapat istilah
dengan ditandai oleh tren fundamentalisme klasik yang lazim digunakan untuk
Islam dan Kritisisme-Sekuler. merujuk kepada sekelompok orang yang
Sedikit berbeda dari periodesasi di atas, berkecimpung dalam tradisi keilmuan,
Halim Barakat (2012) memetakan pemikiran istilah tersebut yaitu ‘ulama (bentuk jamak
Arab ke dalam tiga periode, Pertama, fase dari ‘lim) berarti sarjana atau scholar, orang-
formatif mulai dari tahun 1850-an hingga orang yang memiliki pengetahuan (ilm).
Perang Dunia I. Periode ini ditandai Akan tetapi, istilah ini digunakan hanya
kecenderungan religius, yaitu benturan bagi “mereka yang memiliki pengetahuan
antara kelompok tradisional versus reformis; agama” (Milson, 1972: 17). ‘Ulama sebagai
kecenderungan liberal dan radikal progresif; special groupe dalam masyarakat Muslim,
Kedua, fase meraih Perjuangan Nasional cenderung lebih berperan sebagai moral care-
(1918-1945); dan Ketiga fase kemerdekaan takers dibanding sebagai pengkritik (Esposito,
dan pasca-kemerdekaan (1945-1992) yang 2001: 14). Puncak kemapanan ‘ulama
ditandai dengan menguatnya gerakan dalam sejarah Islam klasik tercatat pada
liberalisme, fundamentalisme agama, dan masa Dinasti Ustmani terdapat kerjasama
Islam progresif. Berbeda dari penelitian di harmonis antara ‘ulama dan penguasa di
atas, artikel ini secara khusus akan melihat mana ulama berperan sebagai pemegang
peta perkembangan intelektual Muslim legitimasi bagi kekuasaan raja (1972: 21;
kontemporer khususnya pasca-ditisme 2001: 14-16) atau disebut oleh Abdo (2000: 43)
1967 sampai sekarang. sebagai religious stamp of approval. Kekuasaan
Diakui oleh para sarjana Barat bahwa seorang raja tidak akan legitimate kalau belum
sulit untuk merumuskan denisi yang tepat mendapat persetujuan dari ‘ulama. Merujuk
tentang intelektual atau intellectuals. Salah pada deskripsi ini, istilah intelektual kurang
satu alasannya karena seringkali denisi tepat apabila dipadankan dengan kata ‘ulama
tersebut merupakan self-denitions (Bauman, dalam tradisi Islam klasik.
1987: 8), kurang objektif dan cenderung bias, Untuk konteks modern, tepatnnya pada
denisi disusun atas dasar binary opposition akhir abad ke-19 terdapat dua kata Arab
antara siapa yang disebut “intellectuals” yang lazim digunakan sebagai padanan
dan “non-intellectuals” dengan batas-batas kata “intelektual”: yaitu mutsaqqaf dan
yang sudah sangat jelas dikonstruksi oleh mufakkir, yang pertama berasal dari kata
kelompok sosial tertentu. tsaqafa, kebudayaan (a man of culture) atau
academically trained, ditempuh melalui jenjang
Apabila merujuk pada makna dasar pendidikan formal. Sedangkan yang terakhir
penggunaannya, Raymond (1985: 169-171), berasal dari kata kr atau thought (a man of
dalam Keywords: A vocabulary of culture thought). Dari dua istilah tersebut, penulis
and society menyebutkan bahwa kata seperti halnya Hofmann (2007: 67) merasa
“intellectual” digunakan untuk merujuk lebih tepat untuk menggunakan kata mufakkir
298
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967
sebagai padanan untuk kata “intelektual” kekalahan perang Arab tersebut dan juga
yang diartikan sebagai “analytical mind who mengindikasikan adanya kematangan
communicate,” menandakan bahwa proses dalam ranah pemikiran intelektual Arab
menjadi intelektual tidak mesti melalui pada era 1970 dan 1980-an (Abu-Rabi’,
sebuah tahapan pendidikan formal yang 2004: 10). Kalau pada era Kebangkitan Arab
tinggi, melainkan melalui sebuah proses Pertama pertanyaan yang muncul adalah
pemikiran yang aktif dan produktif. Lebih “mengapa kita (bangsa Arab-Muslim)
dari itu, seorang intelektual (al-mufakkir) mengalami kemunduran sementara yang
adalah “someone whose place it is publicly lain (Barat-Kristen) mengalami kemajuan?”
to raise embarrassing questions, to confront maka pertanyaan yang muncul di kalangan
orthodoxy and dogmas” (Said, 1994). Tugasnya intelektual Arab era Kebangkitan Kedua
adalah menyampaikan pemikiran dengan adalah “mengapa kita (Arab-Muslim, Dunia
tujuan untuk melakukan perubahan Ketiga) gagal merealisasikan kebangkitan
meskipun gagasan tersebut boleh jadi sangat kita? (Al-Jabiri, 1990: 131).
bertentangan dengan gagasan yang lazim Dengan mewaspadai akan bangkitnya
berlaku. gerakan tradisionalisme (dalam bentuk
fundamentalisme Islam utamanya) dalam
PEMBAHASAN pemikiran Arab kontemporer, Laroui pada
Difitisme 1967 saat yang sama optimis bahwa telah lahir
Tanggal 5 Juni 1967 Masehi, Israel gerakan intelektual baru dalam menghadapi
menyerang dan menghancurkan angkatan krisis ditisme 1967 yang disebutnya sebagai
udara Mesir. Beberapa hari kemudian, Israel the second Nahdah (Laroui, 1976: 67). Hal
menduduki Sinai juga Suez, Yerusalem serta ini berarti bahwa pemikiran Arab sedang
Palestina bagian Yordania, dan Syria bagian menghadapi era Kebangkitan Kedua seperti
selatan (Dataran Tinggi Golan) (Hourani, halnya Kebangkitan Pertama pada abad
1992: 413). Kekalahan 1967 Masehi ini ke-19 Masehi. Menurutnya Laroui bahwa
dipandang oleh para pemikir Arab-Muslim Kebangkitan Arab Kedua (the second Nahdah)
bukan hanya sekedar kekalahan teknologi, ini sebenarnya telah diawali pada tahun 1963-
melainkan juga kekalahan moral. Apabila 1965 Masehi yang disebut dengan era Nasser
bangsa Arab dapat dikalahkan dengan dan berkembang menjadi sangat matang
begitu cepat, pasti ada yang salah dengan sejak tahun 1970-an sampai sekarang setelah
sistem moralnya. Permasalahan yang lebih masa percobaan Nasserisme menemui
penting adalah tentang identitas bangsa kegagalan ( Laroui, 1976: 92-93).
Arab dihubungkan dengan warisan masa
lampau (turst) dan tantangan zaman. Intelektual Maghrib
Haruskah mereka mengambil nilai-nilai Meskipun kekalahan perang Arab-
dari luar, ataukah dapat digali dari kultur Israel 1967 ini lebih dirasakan oleh
dan nilai-nilai yang telah diwariskan [Arab- intelektual Masyriq (Arab-Timur) seperti
Islam] untuk sampai pada dunia modern? Mesir utamanya, Syria, dan juga Libanon,
Pertanyaan ini memperlihatkan relasi tetapi reeksi atas kekalahan tersebut
antara identitas Arab-Muslim dan pada ikut diramaikan oleh intelektual Arab
ketergantungan pada dunia Barat (1992: 442- dari wilayah Maghrib seperti Maroko
443). dan Aljazair (Browers, 2009: 21). Reeksi
tersebut juga menandai lahirnya tren baru
Pertama kalinya pasca 1967, utamanya intelektual Arab kontemporer dari Maghrib.
tahun 1970 dan 1980-an, terdengar istilah Sharabi (1988) mencatat bahwa gerakan yang
Islamis atau fundamentalis (al-ushuliyyah), muncul di Maghrib ini menerima gagasan
dan istilah self-criticism atau Marxist self- lsafat dan epistemologi baru dari Barat,
criticism. Hal ini merupakan akibat dari utamanya Perancis. Intelektual Maghrib
299
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
300
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967
pembahasan yang lebih besar dibanding ilmu pengetahuan, dan ekonomi sosialis.
sistem pendidikan di dunia Arab. Kedudukan Kelompok ini diwakili oleh kalangan Marxis
Islam dalam masyarakat Arab mendapat (Marxist criticism) atau disebut pula sebagai
perhatian yang lebih besar dibanding gerakan kritisisme radikal.
persoalan-persoalan kemanusiaan dan hak- Kedua, sekelompok lebih besar
hak asasi individual. Persoalan politik, intelektual Arab yang menilai kebudayaan
khususnya yang terkait dengan kebijakan Arab tradisional (turst) masih sesuai di
asing lebih sering menjadi acuan terhadap era modern hanya jika diinterpretasikan
persoalan-persoalan ekonomi. Gagasan dan dipahami secara lebih baik, dan
tentang sosialisme dan nasionalisme di dunia hanya jika bagian elemen-elemen tertentu
Arab lebih menarik banyak kajian dibanding dikembangkan dengan melihat kebutuhan-
dengan gagasan tentang kebebasan dan kebutuhan modern dan atas dasar
demokrasi. Imperialisme Barat dan zionisme pengalaman dari negara-negara modern
sebagai penghambat kemajuan Arab, (Barat). Kelompok ini diwakili oleh kalangan
dianalisis secara lebih mendalam daripada liberal atau liberal criticism.
persoalan sistem kelas dalam masyarakat Ketiga, kelompok intelektual yang lebih
Arab (Boullata, 2002: 7). memperhatikan pada aspek-aspek agama.
Dari tema-tema tersebut di atas, Mereka melihat elemen-elemen Islam dalam
persoalan mengenai bagaimana Islam kebudayaan Arab sebagai elemen prinsipil.
diposisikan dalam ranah kehidupan Kelompok ini diwakili oleh kalangan
sosial-politik tetap merupakan isu utama fundamentalis atau fundamentalist criticism.
intelektual kedua generasi (Kebangkitan Terakhir, kelompok intelektual pragmatis
Arab Pertama dan Kedua). Hal ini menjadi dalam melihat peranan agama dan lebih
indikator penting bahwa posisi dan peranan menonjolkan rasa persatuan nasional. Tren
Islam dalam konteks sosial politik akan tetap ini disebut sebagai nationalist criticism.
menjadi isu utama baik bagi mereka yang Empat, kecenderungan umum tersebut
memiliki kecenderungan ke arah Liberal, di atas terkadang tidak memiliki batas-
Marxis, maupun Islamis atau fundamentalis batas yang pasti, karena ada intelektual
tentunya dengan porsi yang berbeda-beda. yang masuk salah satu tren sejauh berkaitan
dengan persoalan tertentu, sementara dalam
Gerakan Self Criticism masalah-masalah lainnya dia lebih tepat
Secara sederhana, Kebangkitan Arab dimasukkan dalam tren yang lain. Beberapa
Kedua dengan berbagai bentuk ideologisnya intelektual secara jelas dan sadar beralih dari
dapat disebut sebagai gerakan “Kritik Diri” satu tren ke tren lainnya dalam waktu-waktu
atau Self Criticism. Yaitu satu kesadaran kritis tertentu karena kehidupan personalnya atau
terhadap kondisi yang sedang dihadapi seiring dengan perkembangan sosial politik
bangsa Arab sebagai konsekuensi dari (Boullata, 2002: 6), fenomena ini disebut
perasaan dan reeksi atas ditisme 1967. oleh Abu-Rabi’ (2004) sebagai intellectual
Menurut Fouad Ajami (1981: 32-87), Issa J. conversions.
Boullata (2002: 4-5; 1988: 150-153 ), Sharabi Pada level linguistik, gerakan kritisisme
(1988: 92-94), Abu-Rabi’ (2004: 63-92), bertujuan untuk melakukan transformasi
dan Dessouki (1973: 187-195), gerakan self kosakata dengan menciptakan terminologi-
criticism tersebut dapat dikelompokkan ke terminologi baru. Pada level interpretatif,
dalam empat klasikasi utama. berupaya membongkar kategori-kategori
Pertama, sekelompok intelektual yang tafsir dominan dan membangun tafsir yang
menginginkan perubahan masyarakat Arab lebih fresh. Sedangkan pada level ideologis
secara fundamental. Pandangan agama harus berupaya mendekonstruksi pemikiran
dihilangkan dan diganti oleh pemikiran ideologi dalam berbagai bentuknya dan
sekuler yang berpijak pada rasionalisme, membuka “ruang” dialog. Terakhir, pada
301
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
level praktis, mencoba melakukan de- Arab intellectual renaissance on which the Arab
legitimasi tonggak teoritis otoritas teologis liberation movement based its hopes. Most of these
dan kekuasaan politis (Sharabi, 1992: 105). hopes revolved around the concept of the inspired
Kecenderungan seperti ini hanya akan terlihat leader and when the leader fell everything crashed
with him, leaving nothing behind but emptiness,
pada kelompok Marxis/Kiri, dan kelompok
loss, and confusion. I would not be exaggerating
liberal. Sedangkan yang kedua terakhir yaitu when I say that the defeat hit us like a lightening
nasionalis dan fundamentalis cenderung bolt.”
eksklusif dan lebih senang untuk melakukan
mobilisasi massa daripada menghasilkan Lebih lanjut ia mengatakan:
pemikiran kreatif dan reektif. “The 1967 defeat was an exceptional event in
every sense of the word, a terrifying explosion
which destroyed the foundations of the Arab
Kritisisme Marxis/Kiri
liberation movement.”
Bagi kelompok Marxis/Kiri Arab, tragedi
1967 bukan hanya akibat dari praktek korupsi
Gerakan pembebasan tersebut
dan otoritarianisme regim Arab, tetapi lebih
khususnya dalam tren sosialisnya di bawah
dari itu merupakan “keterbelakangan”
kepemimpinan Nasser. Menurut al-Azm,
(takhalluf) dan “kebodohan” (jahl) dari
revolusi 1952 yang dipimpin Nasser tersebut
masyarakat Arab itu sendiri. Secara lebih
memang telah menjalankan transformasi
spesik disimpulkan bahwa masyarakat
ekonomi dan politik dengan menggulingkan
Arab gagal memutuskan tendensi tradisional
pemimpin monarki dan memperluas
dan konservatif sehingga mencegah mereka
kekuasaan dengan cara redistribusi tanah
melakukan internalisasi spirit modernitas
dan menghapus sistem feodal. Akan tetapi,
dalam bentuk positif, humanistik, dan
upaya tersebut tidak menyentuh “super
bahkan revolusioner (Sheehi, 2004: 3).
struktur” masyarakat Arab yaitu system of
Intelektual Arab Marxis/Kiri
thought, value, dan belief. Menurutnya lagi,
mengadvokasikan modernisasi total sejalan
kekalahan 1967 sebagai akibat dari masih
dengan garis revolusi dan putus dari tradisi
menguatnya pemikiran konservatisme
masa lalu. Mereka mengkritisi revolusi Arab
(Kassab, 2010: 74).
kontemporer sebagai tidak sepenuhnya dan
Kekurangan yang lain dalam pandangan
hanya parsial saja (Dessouki, 1973: 190).
al-‘Azm adalah karena masyarakat Arab gagal
Intelektual representatif dari kelompok
memproklamirkan sifat ilmiah dan sekuler
Marxis/Kiri ini adalah Hussain Muruwwa,
dari ideologi sosialisme. Pada kenyataannya,
Mahdi ‘Amil, Fawwaz Tarabulsi, dan Karim
revolusi Arab belum menangani problem
Muruwwa dari Libanon; Yassin al-Haz,
fundamental masyarakat semisal masa depan
Elias Murqus, Sadek Jalal al-‘Azm, Tayyib
pertanian, kepemilikan tanah, sekularisasi,
Tizini, dan Adonis dari Syria; Hisham Sharabi
dan relasi kelas. Konsekuensi dari ketidak
dari Palestina; Samir Amin, Luth al-Khuli,
jelasan ideologi ini adalah lahirnya sikap
Ibrahim Sabri ‘Abdallah, Fu’ad Mursi, Rif’at
wasathiyyah (tengah-tengah, middle-of-the-
al-Sa’id, Ahmad Sadiq Sa’d, Ghali Syukri,
roadism), sebagai karakter utama revolusi
dari Mesir; Abdallah Laroui dari Maroko;
Arab selama ini (Dessouki, 1973: 190).
Talal Asad dari Saudi Arabia; dan Hadi al-
Sekularisme dalam pandangan al-Azm
Ulwi dari Iraq (Abu-Rabi’, 2004: 87).
menjadi sebuah keharusan agar masyarakat
Dalam sebuah interview pada tahun
Arab mampu maju dan bersaing dengan
1997, Sadek Jalal al-‘Azm, seorang lsuf dari
negara-negara maju lainnya.
Damaskus dan mendapat pendidikan dari
Bagi al-Azm (1998: 67-76) sekularisme
Yale University mengatakan bahwa akibat
atau yang ia sebut dengan civil government
dari kekalahan 1967 sebagai berikut:
(hukumah madaniyyah) merupakan pre-
“Naturally, the defeat of June 1967 interrupted
all plans and revealed the fragility of the modern kondisi bagi demokrasi. Sekularisme adalah
302
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967
303
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
304
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967
305
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
306
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967
of Distorted Change in Arab Society, Talhami, G, 1997, “An Interview with Sadik
New York: Oxford University Press. Al-Azm,” Arab Studies Quarterly
______ , 1966, “The Burden of the Intellectuals (asq), 19.
of the “Liberal Age”,” Middle East
Journal, 20, 227-232.
Sheehi, S., 2004, Foundations of Modern Arab
Identity, Gainesville: University
Press of Florida.
307