Anda di halaman 1dari 12

KAWISTARA

VOLUME 2 No. 3, 22 Desember 2012 Halaman 225-328

TREN PEMIKIRAN INTELEKTUAL MUSLIM


KONTEMPORER DI TIMUR TENGAH
PASCA-DIFITISME 1967
Yoyo
Minat Studi Kajian Timur Tengah
Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Email: yoyo_ktt@ugm.ac.id dan yoyo_trainer@yahoo.com

Heddy Shri Ahimsa Putra dan Fadlil Munawar Manshur


Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Siti Muti’ah Setiawati


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT
This article is an effort to make a clear map on contemporary Muslim intellectuals in the Middle East
after the Arab defeat in 1967. The Six-Day War took place in June 1967 was a disaster for the Arab world.
It ended the ideology of Pan-Arab nationalism and encouraged the rise of four compating self-criticism
ideologies: Marxism, Liberalism, Fundamentalism and Nationalism. The four ideologies have their own
particular responses and solutions to the Arab crisis. The result of this research shows that Islamic
fundamentalism is still the strongest ideology compared to the secular ideologies. The Arab Spring
in 2011 proved the fact and paved a way for the Islmists to become dominant in the political arena, as
recently shown in Egypt. The other Islamist militant groups, such as Jama’ah Islamiyyah are now more
free to promote the implementation of Islamic syari’ah.

Keywords: Muslim intellectuals, the Arab defeat, and self-criticism ideologies.

ABSTRAK
Artikel ini merupakan sebuah upaya membuat peta yang cukup jelas mengenai tren intelektual Muslim
di Timur Tengah pasca ditisme Arab 1967. Perang Enam-Hari yang terjadi pada Juni 1967 merupakan
derita bagi dunia Arab. Ia mengindikasikan berakhirnya ideologi Pan-Arabisme dan telah memicu
lahirnya empat ideologi kritik-diri yang saling berkompetisi: Marxisme, Liberalisme, Fundamentalisme
dan Nasionalisme dalam bentuk ekstrimnya. Keempat ideologi tersebut mempunyai respon dan tawaran
solusi tersendiri terhadap krisis Arab. Di akhir penelitian ini memperlihatkan bahwa fundamentalisme
Islam masih menjadi ideologi yang sangat kuat dibanding dengan ideologi-ideologi sekuler lainnya.
Pasca the Arab Spring, fundamentalisme Islam di Mesir berhasil menjadi penguasa di samping semakin
menguatnya gerakan-gerakan Islam lain di panggung politik. Kelompok-kelompok Islam militan pun
semisal Jama’ah Islamiyyah menjadi semakin bebas dalam menyuarakan tuntutan penerapan syari’at
Islam.

Kata Kunci: Intelektual Muslim, Ditisme Arab, dan Ideologi-ideologi Kritik-Diri.

296
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967

terlalu banyak diminati.


PENGANTAR Buku Albert Hourani, Arabic Thought
Studi mengenai intelektual di dunia in the Liberal Age, 1798-1939 terbit pertama
Islam dan Timur Tengah pada khususnya, kali pada 1962 merupakan buku yang
berdasarkan pengamatan Singer dan sangat terkenal dan buku pertama yang
Gershoni (2008: 383) bahwa kajian ini “… berbicara mengenai sejarah dan pergumulan
[it] has not been a fashionable eld in Middle pemikiran intelektual Arab dihadapkan
Eastern studies…since the mid-1970s it has pada isu modernitas yang dibawa oleh
been pushed to the sidelines.” Lebih tegas lagi, Barat. Dalam bukunya tersebut, Hourani
menurut Ibrahim M Abu-Rabi’(2004: 7) “the menyebutkan empat generasi intelektual
eld of contemporary Arab [Muslim] thought is sekaligus sebagai representasi dari tren
still virgin.” Bidang kajian Islam yang masih pemikiran Arab modern ke dalam empat
jarang disentuh. Di Indonesia pun, kajian periode, yaitu pertama, generasi antara tahun
terhadap dinamika sosial intelektual Muslim 1830-1870 Masehi dicirikan dengan tren
merupakan kajian masih minim dilakukan “mengadopsi” lembaga hukum dan politik
dan bahkan sedikit “ditelantarkan” (Rumadi, Barat demi kemajuan negara; Kedua, generasi
2008:7). Alasan yang paling mudah diterima antara tahun 1870-1900 Masehi ditandai
karena “the importance of the intellectual in dengan gerakan re-interpretasi Islam; Ketiga,
society and in the processes of modernization generasi antara tahun 1900-1939 Masehi
is generally marginal” (Hatina, 2007:8). ditandai dengan menguatnya gerakan
Marginalisasi ini terjadi karena pemikiran fundamentalisme sekaligus liberalisme
intelektual seringkali dianggap terlalu Islam; dan Keempat, generasi pasca-Perang
idealis di tengah-tengah masyarakat yang Dunia II sebagai tren nasionalisme Arab.
cenderung bergerak ke arah pragmatis. Abdallah Laroui, intelektual Arab
Melengkapi diskusi di atas, artikel ini asal Maghrib dalam bukunnya The Crisis
berusaha menjabarkan peta sederhana tren of Arab Intellectuals bahwa empat periode
pemikiran intelektual Muslim kontemporer sejarah pemikiran intelektual Arab dengan
di Timur Tengah khususnya pasca- menambahkan periode 1967 ke atas sebagai
kekalahan perang Arab-Israel pada 1967 atau era baru kebangkitan intelektual Arab, yaitu
kemudian dikenal dengan sebutan ditisme pertama, Nahdah—periode renaissance kultural
1967 sampai tahun 2000-an. Ditisme 1967 Arab terbesar—, diawali pada abad ke-19
telah banyak melahirkan gerakan ideologis, (1850 Masehi sampai tahun 1914 Masehi);
baik ke arah sekuler maupun Islamis sebagai Kedua, periode di antara dua Perang Dunia
respon dan jawaban atas persoalan-persoalan (PD I dan PD II) sampai pada pertengahan
kemunduran yang terjadi di dunia Arab. tahun 1950-an, ditandai oleh perkembangan
Baru-baru ini, pasca-the Arab Spring semakin pemikiran yang memainkan peranan utama
mengokohkan fakta bahwa pertarungan dalam setiap gerakan sosial utamanya gerakan
ideologis itu memang terbukti adanya. nasionalis; Ketiga, periode masa percobaan
Upaya untuk memetakan tren nasionalisme Arab di bawah payung ideologi
pemikiran intelektual Arab, tulisan ini pun persatuan Nasser dan Partai Ba’ath setelah
diharapkan mampu memberikan jawaban PD II sampai pada Perang Arab-Israel 1967;
terhadap persoalan-persoalan kontemporer dan Keempat, periode krisis moral juga politik
seperti mengapa fundamentalisme agama di pasca kekalahan Perang 1967 (hazmah) yang
Timur Tengah masih menjadi satu-satunya kemudian disebut sebagai the Second Nahdah
tren ideologi yang mampu bertahan (dengan merupakan Kebangkitan Intelektual Arab
segala konsekuensinya), sedangkan ideologi- Kedua (Laroui, 1967: vii-viii).
ideologi sekuler seperti liberalisme dan Sementara Sharabi (1992: 94) memetakan
Marxisme semakin terpinggirkan dan tidak empat fase tren pemikiran di dunia Arab

297
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307

mulai dari tahun 1880-1980 Masehi sebagai pada jenis orang tertentu atau seseorang
berikut, yaitu pertama, fase Turki Ustmani yang melakukan pekerjaan tertentu. Kata
(1880-1918 Masehi), didominasi oleh ini efektif digunakan pada akhir abad ke-
ideologi reformisme dan sekularisme; Kedua, 19. Meskipun penggunaan kata itu sendiri
fase penjajahan Eropa (1918-1945 Masehi), kurang disukai, kata “intellectual” menjadi
didominasi oleh ideologi nasionalisme sangat popular dalam literature Inggris pada
Arab, revivalisme Islam, dan Sosialisme- pertengahan abad ke-20. Kata “intelektual”
liberal; Ketiga, fase kemerdekaan (1945- sekarang digunakan secara netral untuk
1980 Masehi), didominasi oleh ideologi menggambarkan orang yang melakukan
sosialisme revolusioner, liberalism, dan jenis pekerjaan tertentu dan utamanya jenis-
fundamentalisme; dan keempat, fase pasca- jenis pekerjaan yang bersifat umum.
kemerdekaan (1980 Masehi) sampai sekarang Dalam tradisi Islam terdapat istilah
dengan ditandai oleh tren fundamentalisme klasik yang lazim digunakan untuk
Islam dan Kritisisme-Sekuler. merujuk kepada sekelompok orang yang
Sedikit berbeda dari periodesasi di atas, berkecimpung dalam tradisi keilmuan,
Halim Barakat (2012) memetakan pemikiran istilah tersebut yaitu ‘ulama (bentuk jamak
Arab ke dalam tiga periode, Pertama, fase dari ‘lim) berarti sarjana atau scholar, orang-
formatif mulai dari tahun 1850-an hingga orang yang memiliki pengetahuan (ilm).
Perang Dunia I. Periode ini ditandai Akan tetapi, istilah ini digunakan hanya
kecenderungan religius, yaitu benturan bagi “mereka yang memiliki pengetahuan
antara kelompok tradisional versus reformis; agama” (Milson, 1972: 17). ‘Ulama sebagai
kecenderungan liberal dan radikal progresif; special groupe dalam masyarakat Muslim,
Kedua, fase meraih Perjuangan Nasional cenderung lebih berperan sebagai moral care-
(1918-1945); dan Ketiga fase kemerdekaan takers dibanding sebagai pengkritik (Esposito,
dan pasca-kemerdekaan (1945-1992) yang 2001: 14). Puncak kemapanan ‘ulama
ditandai dengan menguatnya gerakan dalam sejarah Islam klasik tercatat pada
liberalisme, fundamentalisme agama, dan masa Dinasti Ustmani terdapat kerjasama
Islam progresif. Berbeda dari penelitian di harmonis antara ‘ulama dan penguasa di
atas, artikel ini secara khusus akan melihat mana ulama berperan sebagai pemegang
peta perkembangan intelektual Muslim legitimasi bagi kekuasaan raja (1972: 21;
kontemporer khususnya pasca-ditisme 2001: 14-16) atau disebut oleh Abdo (2000: 43)
1967 sampai sekarang. sebagai religious stamp of approval. Kekuasaan
Diakui oleh para sarjana Barat bahwa seorang raja tidak akan legitimate kalau belum
sulit untuk merumuskan denisi yang tepat mendapat persetujuan dari ‘ulama. Merujuk
tentang intelektual atau intellectuals. Salah pada deskripsi ini, istilah intelektual kurang
satu alasannya karena seringkali denisi tepat apabila dipadankan dengan kata ‘ulama
tersebut merupakan self-denitions (Bauman, dalam tradisi Islam klasik.
1987: 8), kurang objektif dan cenderung bias, Untuk konteks modern, tepatnnya pada
denisi disusun atas dasar binary opposition akhir abad ke-19 terdapat dua kata Arab
antara siapa yang disebut “intellectuals” yang lazim digunakan sebagai padanan
dan “non-intellectuals” dengan batas-batas kata “intelektual”: yaitu mutsaqqaf dan
yang sudah sangat jelas dikonstruksi oleh mufakkir, yang pertama berasal dari kata
kelompok sosial tertentu. tsaqafa, kebudayaan (a man of culture) atau
academically trained, ditempuh melalui jenjang
Apabila merujuk pada makna dasar pendidikan formal. Sedangkan yang terakhir
penggunaannya, Raymond (1985: 169-171), berasal dari kata kr atau thought (a man of
dalam Keywords: A vocabulary of culture thought). Dari dua istilah tersebut, penulis
and society menyebutkan bahwa kata seperti halnya Hofmann (2007: 67) merasa
“intellectual” digunakan untuk merujuk lebih tepat untuk menggunakan kata mufakkir

298
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967

sebagai padanan untuk kata “intelektual” kekalahan perang Arab tersebut dan juga
yang diartikan sebagai “analytical mind who mengindikasikan adanya kematangan
communicate,” menandakan bahwa proses dalam ranah pemikiran intelektual Arab
menjadi intelektual tidak mesti melalui pada era 1970 dan 1980-an (Abu-Rabi’,
sebuah tahapan pendidikan formal yang 2004: 10). Kalau pada era Kebangkitan Arab
tinggi, melainkan melalui sebuah proses Pertama pertanyaan yang muncul adalah
pemikiran yang aktif dan produktif. Lebih “mengapa kita (bangsa Arab-Muslim)
dari itu, seorang intelektual (al-mufakkir) mengalami kemunduran sementara yang
adalah “someone whose place it is publicly lain (Barat-Kristen) mengalami kemajuan?”
to raise embarrassing questions, to confront maka pertanyaan yang muncul di kalangan
orthodoxy and dogmas” (Said, 1994). Tugasnya intelektual Arab era Kebangkitan Kedua
adalah menyampaikan pemikiran dengan adalah “mengapa kita (Arab-Muslim, Dunia
tujuan untuk melakukan perubahan Ketiga) gagal merealisasikan kebangkitan
meskipun gagasan tersebut boleh jadi sangat kita? (Al-Jabiri, 1990: 131).
bertentangan dengan gagasan yang lazim Dengan mewaspadai akan bangkitnya
berlaku. gerakan tradisionalisme (dalam bentuk
fundamentalisme Islam utamanya) dalam
PEMBAHASAN pemikiran Arab kontemporer, Laroui pada
Difitisme 1967 saat yang sama optimis bahwa telah lahir
Tanggal 5 Juni 1967 Masehi, Israel gerakan intelektual baru dalam menghadapi
menyerang dan menghancurkan angkatan krisis ditisme 1967 yang disebutnya sebagai
udara Mesir. Beberapa hari kemudian, Israel the second Nahdah (Laroui, 1976: 67). Hal
menduduki Sinai juga Suez, Yerusalem serta ini berarti bahwa pemikiran Arab sedang
Palestina bagian Yordania, dan Syria bagian menghadapi era Kebangkitan Kedua seperti
selatan (Dataran Tinggi Golan) (Hourani, halnya Kebangkitan Pertama pada abad
1992: 413). Kekalahan 1967 Masehi ini ke-19 Masehi. Menurutnya Laroui bahwa
dipandang oleh para pemikir Arab-Muslim Kebangkitan Arab Kedua (the second Nahdah)
bukan hanya sekedar kekalahan teknologi, ini sebenarnya telah diawali pada tahun 1963-
melainkan juga kekalahan moral. Apabila 1965 Masehi yang disebut dengan era Nasser
bangsa Arab dapat dikalahkan dengan dan berkembang menjadi sangat matang
begitu cepat, pasti ada yang salah dengan sejak tahun 1970-an sampai sekarang setelah
sistem moralnya. Permasalahan yang lebih masa percobaan Nasserisme menemui
penting adalah tentang identitas bangsa kegagalan ( Laroui, 1976: 92-93).
Arab dihubungkan dengan warisan masa
lampau (turst) dan tantangan zaman. Intelektual Maghrib
Haruskah mereka mengambil nilai-nilai Meskipun kekalahan perang Arab-
dari luar, ataukah dapat digali dari kultur Israel 1967 ini lebih dirasakan oleh
dan nilai-nilai yang telah diwariskan [Arab- intelektual Masyriq (Arab-Timur) seperti
Islam] untuk sampai pada dunia modern? Mesir utamanya, Syria, dan juga Libanon,
Pertanyaan ini memperlihatkan relasi tetapi reeksi atas kekalahan tersebut
antara identitas Arab-Muslim dan pada ikut diramaikan oleh intelektual Arab
ketergantungan pada dunia Barat (1992: 442- dari wilayah Maghrib seperti Maroko
443). dan Aljazair (Browers, 2009: 21). Reeksi
tersebut juga menandai lahirnya tren baru
Pertama kalinya pasca 1967, utamanya intelektual Arab kontemporer dari Maghrib.
tahun 1970 dan 1980-an, terdengar istilah Sharabi (1988) mencatat bahwa gerakan yang
Islamis atau fundamentalis (al-ushuliyyah), muncul di Maghrib ini menerima gagasan
dan istilah self-criticism atau Marxist self- lsafat dan epistemologi baru dari Barat,
criticism. Hal ini merupakan akibat dari utamanya Perancis. Intelektual Maghrib

299
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307

kontemporer seperti Muhammad Arkoun Muhammad Arkoun dan Abdallah Laroui.


dari Aljazair dan Muhammad Abid al- Hal demikian tentunya menjadi kendala
Jabiri dari Maroko merupakan representasi linguistik tersendiri bagi sebagian besar
dari intelektual tersebut. Mereka berupaya audiens Muslim yang secara umum hanya
menggunakan metode strukturalis baru, mahir bahasa Arab atau Inggris (Abu-Rabi,
yaitu post-strukturalis dan dekonstruksi 2004: 44-45).
untuk menafsirkan kembali teks-teks klasik
warisan Arab-Islam. Tema-Tema Pemikiran
Maghrib menjadi posisi yang sangat Meskipun beberapa tulisan telah
penting dalam hal menerima gerakan atau dihasilkan selama abad ke-20 ini dan bahkan
tren intelektual dan kultural dari Timur dan telah dimulai pada abad ke-19 Masehi
Mesir utamanya sejak era pertama Nahdah. (era Kebangkitan Arab Pertama) yang
Akan tetapi, posisi sebagai penerima ini jumlahnya lebih terbatas, tetapi tulisan-
(receiver) mulai bergeser dan berubah menjadi tulisan yang dihasilkan pada tahun 1960,
producer bahkan sender pemikiran-pemikiran 1970, dan 1980-an jauh lebih penting dan
yang tak kalah hebatnya dari Masyriq, maka sangat tajam. Tulisan-tulisan itu memiliki
otomatis Masyriq mulai menerima dan nada menyedihkan tentang mereka dan
mengakui produk baru pemikiran progressif menunjukkan adanya keinginan besar
ini. Perubahan posisi demikian dimulai pada untuk bergulat dengan problem modernitas.
pertengahan tahun 1980-an dan ada satu Tulisan-tulisan tersebut dimaksudkan untuk
alasan penting sebagai latar belakangnya proses perubahan, sekalipun terlalu abstrak
yaitu adanya expansion of change pemikiran atau idealistik (Boullata, 2002: 3).
antara Masyriq dan Maghrib (Nagawasa, Karya-karya tersebut sebagian sangat
1992). Contoh ini bisa dilihat dalam sebuah terinspirasi oleh tiga tren utama aliran
buku dengan judulnya yang mencerminkan pemikiran Barat, yaitu kritisisme Anglo-
adanya kekuatan intelektual baru dari Amerika, Marxisme Barat, dan pemikiran
Maghrib yaitu Hiwr al-Masyriq wal Maghrib strukturalis dan post-strukturalis Perancis
(Dialog Timur dan Barat), sebuah dialog (Sharabi, 1992: 104). Tahun 1967 Masehi
antara pemikir terkenal asal Timur (Mesir), sekaligus memberi sinyal curahan sejumlah
yaitu Hasan Hana dengan Muhammad tulisan-tulisan Arab kritis tentang situasi
Abid al-Jabiri sebagai representasi intelektual Arab, mulai dari nuansa lsafat, agama,
Arab kontemporer dari Barat (Maroko). dan sastra. Banyak pemikir Arab pasca 1967
Wacana keseimbangan antara intelektual dipaksa untuk memikirkan ulang sejumlah
Masyriq dan Maghrib di atas didukung oleh isu besar yang selama ini sudah taken for
tiga faktor utama, yaitu pertama, majalah granted bahkan sampai pada tahap sakralisasi
intelektual yang dipublikasikan di Masyriq teks (Abu-Rabi’, 2004: 59).
mulai terhubung dengan produk-produk Persoalan yang diangkat oleh
pemikiran intelektual Maghrib; Kedua, intelektual Arab kontemporer sangat
adanya aktivitas institusi dan organisasi banyak dan beberapa tema masih terkait
inter-Arab dalam mengorganisir simposium dengan pemikiran yang dihasilkan pada era
dan konferensi ilmiah; Ketiga, adanya Kebangkitan Arab Pertama. Masing-masing
peranan ‘gates of Paris.’ Hasan Hana, intelektual mempunyai kecenderungan
Muhammad Abid al-Jabiri, dan juga Arkoun dan fokus masing-masing dalam melihat
merupakan representasi produk ketiga ini satu permasalahan. Oleh karena itu, tema
(Nagawasa, 1992: 98). Produk dari ‘gates of yang satu boleh jadi dibahas lebih detail
Paris’ sebagian besar intelektual Maghrib dan dibandingkan dengan tema yang lain.
sedikit dari Masyriq semisal Hasan Hana Tema-tema tersebut di atas misalnya,
lebih senang menulis karya-karyanya dalam posisi perempuan dalam masyarakat
bahasa Perancis, seperti yang dilakukan oleh Arab, pada umumnya memperoleh ruang

300
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967

pembahasan yang lebih besar dibanding ilmu pengetahuan, dan ekonomi sosialis.
sistem pendidikan di dunia Arab. Kedudukan Kelompok ini diwakili oleh kalangan Marxis
Islam dalam masyarakat Arab mendapat (Marxist criticism) atau disebut pula sebagai
perhatian yang lebih besar dibanding gerakan kritisisme radikal.
persoalan-persoalan kemanusiaan dan hak- Kedua, sekelompok lebih besar
hak asasi individual. Persoalan politik, intelektual Arab yang menilai kebudayaan
khususnya yang terkait dengan kebijakan Arab tradisional (turst) masih sesuai di
asing lebih sering menjadi acuan terhadap era modern hanya jika diinterpretasikan
persoalan-persoalan ekonomi. Gagasan dan dipahami secara lebih baik, dan
tentang sosialisme dan nasionalisme di dunia hanya jika bagian elemen-elemen tertentu
Arab lebih menarik banyak kajian dibanding dikembangkan dengan melihat kebutuhan-
dengan gagasan tentang kebebasan dan kebutuhan modern dan atas dasar
demokrasi. Imperialisme Barat dan zionisme pengalaman dari negara-negara modern
sebagai penghambat kemajuan Arab, (Barat). Kelompok ini diwakili oleh kalangan
dianalisis secara lebih mendalam daripada liberal atau liberal criticism.
persoalan sistem kelas dalam masyarakat Ketiga, kelompok intelektual yang lebih
Arab (Boullata, 2002: 7). memperhatikan pada aspek-aspek agama.
Dari tema-tema tersebut di atas, Mereka melihat elemen-elemen Islam dalam
persoalan mengenai bagaimana Islam kebudayaan Arab sebagai elemen prinsipil.
diposisikan dalam ranah kehidupan Kelompok ini diwakili oleh kalangan
sosial-politik tetap merupakan isu utama fundamentalis atau fundamentalist criticism.
intelektual kedua generasi (Kebangkitan Terakhir, kelompok intelektual pragmatis
Arab Pertama dan Kedua). Hal ini menjadi dalam melihat peranan agama dan lebih
indikator penting bahwa posisi dan peranan menonjolkan rasa persatuan nasional. Tren
Islam dalam konteks sosial politik akan tetap ini disebut sebagai nationalist criticism.
menjadi isu utama baik bagi mereka yang Empat, kecenderungan umum tersebut
memiliki kecenderungan ke arah Liberal, di atas terkadang tidak memiliki batas-
Marxis, maupun Islamis atau fundamentalis batas yang pasti, karena ada intelektual
tentunya dengan porsi yang berbeda-beda. yang masuk salah satu tren sejauh berkaitan
dengan persoalan tertentu, sementara dalam
Gerakan Self Criticism masalah-masalah lainnya dia lebih tepat
Secara sederhana, Kebangkitan Arab dimasukkan dalam tren yang lain. Beberapa
Kedua dengan berbagai bentuk ideologisnya intelektual secara jelas dan sadar beralih dari
dapat disebut sebagai gerakan “Kritik Diri” satu tren ke tren lainnya dalam waktu-waktu
atau Self Criticism. Yaitu satu kesadaran kritis tertentu karena kehidupan personalnya atau
terhadap kondisi yang sedang dihadapi seiring dengan perkembangan sosial politik
bangsa Arab sebagai konsekuensi dari (Boullata, 2002: 6), fenomena ini disebut
perasaan dan reeksi atas ditisme 1967. oleh Abu-Rabi’ (2004) sebagai intellectual
Menurut Fouad Ajami (1981: 32-87), Issa J. conversions.
Boullata (2002: 4-5; 1988: 150-153 ), Sharabi Pada level linguistik, gerakan kritisisme
(1988: 92-94), Abu-Rabi’ (2004: 63-92), bertujuan untuk melakukan transformasi
dan Dessouki (1973: 187-195), gerakan self kosakata dengan menciptakan terminologi-
criticism tersebut dapat dikelompokkan ke terminologi baru. Pada level interpretatif,
dalam empat klasikasi utama. berupaya membongkar kategori-kategori
Pertama, sekelompok intelektual yang tafsir dominan dan membangun tafsir yang
menginginkan perubahan masyarakat Arab lebih fresh. Sedangkan pada level ideologis
secara fundamental. Pandangan agama harus berupaya mendekonstruksi pemikiran
dihilangkan dan diganti oleh pemikiran ideologi dalam berbagai bentuknya dan
sekuler yang berpijak pada rasionalisme, membuka “ruang” dialog. Terakhir, pada

301
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307

level praktis, mencoba melakukan de- Arab intellectual renaissance on which the Arab
legitimasi tonggak teoritis otoritas teologis liberation movement based its hopes. Most of these
dan kekuasaan politis (Sharabi, 1992: 105). hopes revolved around the concept of the inspired
Kecenderungan seperti ini hanya akan terlihat leader and when the leader fell everything crashed
with him, leaving nothing behind but emptiness,
pada kelompok Marxis/Kiri, dan kelompok
loss, and confusion. I would not be exaggerating
liberal. Sedangkan yang kedua terakhir yaitu when I say that the defeat hit us like a lightening
nasionalis dan fundamentalis cenderung bolt.”
eksklusif dan lebih senang untuk melakukan
mobilisasi massa daripada menghasilkan Lebih lanjut ia mengatakan:
pemikiran kreatif dan reektif. “The 1967 defeat was an exceptional event in
every sense of the word, a terrifying explosion
which destroyed the foundations of the Arab
Kritisisme Marxis/Kiri
liberation movement.”
Bagi kelompok Marxis/Kiri Arab, tragedi
1967 bukan hanya akibat dari praktek korupsi
Gerakan pembebasan tersebut
dan otoritarianisme regim Arab, tetapi lebih
khususnya dalam tren sosialisnya di bawah
dari itu merupakan “keterbelakangan”
kepemimpinan Nasser. Menurut al-Azm,
(takhalluf) dan “kebodohan” (jahl) dari
revolusi 1952 yang dipimpin Nasser tersebut
masyarakat Arab itu sendiri. Secara lebih
memang telah menjalankan transformasi
spesik disimpulkan bahwa masyarakat
ekonomi dan politik dengan menggulingkan
Arab gagal memutuskan tendensi tradisional
pemimpin monarki dan memperluas
dan konservatif sehingga mencegah mereka
kekuasaan dengan cara redistribusi tanah
melakukan internalisasi spirit modernitas
dan menghapus sistem feodal. Akan tetapi,
dalam bentuk positif, humanistik, dan
upaya tersebut tidak menyentuh “super
bahkan revolusioner (Sheehi, 2004: 3).
struktur” masyarakat Arab yaitu system of
Intelektual Arab Marxis/Kiri
thought, value, dan belief. Menurutnya lagi,
mengadvokasikan modernisasi total sejalan
kekalahan 1967 sebagai akibat dari masih
dengan garis revolusi dan putus dari tradisi
menguatnya pemikiran konservatisme
masa lalu. Mereka mengkritisi revolusi Arab
(Kassab, 2010: 74).
kontemporer sebagai tidak sepenuhnya dan
Kekurangan yang lain dalam pandangan
hanya parsial saja (Dessouki, 1973: 190).
al-‘Azm adalah karena masyarakat Arab gagal
Intelektual representatif dari kelompok
memproklamirkan sifat ilmiah dan sekuler
Marxis/Kiri ini adalah Hussain Muruwwa,
dari ideologi sosialisme. Pada kenyataannya,
Mahdi ‘Amil, Fawwaz Tarabulsi, dan Karim
revolusi Arab belum menangani problem
Muruwwa dari Libanon; Yassin al-Haz,
fundamental masyarakat semisal masa depan
Elias Murqus, Sadek Jalal al-‘Azm, Tayyib
pertanian, kepemilikan tanah, sekularisasi,
Tizini, dan Adonis dari Syria; Hisham Sharabi
dan relasi kelas. Konsekuensi dari ketidak
dari Palestina; Samir Amin, Luth al-Khuli,
jelasan ideologi ini adalah lahirnya sikap
Ibrahim Sabri ‘Abdallah, Fu’ad Mursi, Rif’at
wasathiyyah (tengah-tengah, middle-of-the-
al-Sa’id, Ahmad Sadiq Sa’d, Ghali Syukri,
roadism), sebagai karakter utama revolusi
dari Mesir; Abdallah Laroui dari Maroko;
Arab selama ini (Dessouki, 1973: 190).
Talal Asad dari Saudi Arabia; dan Hadi al-
Sekularisme dalam pandangan al-Azm
Ulwi dari Iraq (Abu-Rabi’, 2004: 87).
menjadi sebuah keharusan agar masyarakat
Dalam sebuah interview pada tahun
Arab mampu maju dan bersaing dengan
1997, Sadek Jalal al-‘Azm, seorang lsuf dari
negara-negara maju lainnya.
Damaskus dan mendapat pendidikan dari
Bagi al-Azm (1998: 67-76) sekularisme
Yale University mengatakan bahwa akibat
atau yang ia sebut dengan civil government
dari kekalahan 1967 sebagai berikut:
(hukumah madaniyyah) merupakan pre-
“Naturally, the defeat of June 1967 interrupted
all plans and revealed the fragility of the modern kondisi bagi demokrasi. Sekularisme adalah

302
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967

sikap netral yang wajib ditampilkan oleh Kritisisme Liberal


negara terkait agama, sekte, denominasi, Schumman (2008: 404) mewanti-wanti
dan kategori-kategori etnis yang seringkali bahwa meskipun intelektual Arab liberal
menjadi persoalan di masyarakat. Lebih jauh tidak banyak dibicarakan, ini bukan berarti
al-Azm menegaskan bahwa sekularisme “the absence of “voices” does not prove the
adalah pilihan sejarah. Islam dapat sufciently the nonexistence of liberal ideas in the
menerima sekularisme sepanjang kita Arab world,” karena gaung mereka memang
mampu membedakan antara “doctrinaire no” tidak selantang kelompok nasionalis atau
(all assuratiyyah) dan “historic yes” (an-na’am fundamentalis. Sejak akhir abad ke-19 Masehi,
at-trikhiyyah). Doctrinaire no, memandang pemikiran liberal seringkali dianggap sebagai
bahwa sistem poilitik yang pernah dijalankan adopsi dari gagasan-gagasan Barat dan
(kekaisaran) dipandangan tidak sejalan karenanya dianggap “inauthentic.” Bahkan,
dengan Islam, meskipun dalam sejarahnya intelektual liberal seringkali dituduh sebagai
telah terbukti memajukan Islam. Sedangkan agen Barat. Faktor lain yang membuat
historic yes, memandang bahwa Islam pemikiran liberal ini tenggelam di dunia
dalam perjalanan sejarahnya selalu mampu Arab karena kecenderungan mereka yang
beradaptasi dengan berbagai ideologi yang berani mengkritisi pemerintahan sehingga
pernah ada. sering tersisihkan (2008: 404-405).
Dengan demikian, sekularisme sebagai Intelektual Arab-Muslim liberal dapat
sebuah “historic yes” pada zaman modern dilacak pada era Kebangkitan Arab Pertama
dapat diterima Islam sebagaimana Islam seperti Taha Hussein, Ali Abd al-Raziq,
pernah berhasil melalui serangkaian Salim al-Bustani, dan Khalid Muhammad
sejarah panjang dalam menafsirkan dan Khalid (Abu-Rabi, 2004: 74). Pada konteks
mendenisikan diri. Islam dipandang dari kontemporer terdapat sederetan tokoh
sudut doktiner, maka hanya akan kompatibel seperti Hisham Sharabi, Anwar Abd al-
dengan dirinya sendiri apabila Islam Malik, Jalal Amin, Samir Amin, dan Abd al-
dipandang sebagai fakta sejarah dengan Kabir al-Khatibi, dan Hasan Hana (Boullata,
telah terbukti mampu berkompetisi dalam 2001: 122).
panggung politik, sosial, dan organisasi Menurut kelompok liberal, kekalahan
ekonomi. Arab 1967 dan kemenangan bangsa Zionis Israel
Meskipun demikian, al-Azm tidak terletak pada superioritas sistem sosial mereka
setuju apabila pemikiran agama menjadi yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan
fondasi bagi perubahan. Menurutnya, Barat modern, sementara bangsa Arab masih
pemikiran agama hanyalah kesadaran palsu jauh dari hal demikian. Para penulis liberal
dan tidak dapat sejalan dengan pemikiran lainnya seperti Zureiq, Adonis, Abdullah Abd
ilmiah autentik. Pemikiran agama ini sangat al-Dayim, dan Munir al-Ba’labaki menekankan
berbahaya karena terkadang digunakan pentingnya perencanaan dan sekularisasi
untuk mendukung tatanan sosial yang ada pendidikan, sains, dan teknologi sebagai solusi
dan mereka yang berada dibelakangnya, serta keterpurukan bangsa Arab (Dessouki, 1973:
mencegah terjadinya gerakan pembebasan 189).
sosial dan politik (Hourani, 1992). Termasuk Intelektual Arab lainnya Farag Fauda
dalam sikap ini, ia mengkritik Adonis atau Ali (1945-1992 Masehi), penulis liberal Mesir
Ahmad Said (lahir 1930), sebagai intelektual terkemuka dan mengabdikan seluruh
Marxis lainnya yang cenderung bersimpati aktivitasnya dalam menentang Islam
dan mengagumi Revolusi Islam Iran 1979. fundamentalis. Pemikiran Fauda didasarkan
Hal ini menurut penulis dapat dipahami pada interpretasi rasional terhadap Islam
karena Adonis lahir dan besar dalam tradisi yang kemudian menghantarkannya pada
Syi’ah. dua tujuan: menolak tuntutan penerapan
syari’ah yang dalam pandangannya akan

303
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307

merusak kesatuan nasional antara penganut Arab-Muslim. Nasionalisme umpamanya


Kristen Koptik Mesir dengan umat Muslim; telah menghancurkan Turki Ustmani dan
dan melegitimasi eksistensi civil government melemahnya Islam. Begitu pula hal yang
yang didasarkan pada pemisahan agama dan sama terjadi pada ideologi sosialisme, yang
negara serta menjamin hak-hak universal telah menghantarkan pada kerusakan,
manusia (Hatina, 2007: 9). kemiskinan, hilangnya kebebasan, dan
Farag Fauda seperti dikutip Hatina akhirnya kekalahan (Dessouki, 1973: 189).
termasuk intelektual Arab liberal yang Penganut fundamentalis juga
sangat meratapi ditisme 1967: memandang an-Nakbah atau ditisme 1967 M
“Time stood still for me… I felt worthless, sebagai simbol kekalahan sosialisme Arab.
foolish and helpless. A strong desire to die Singkatnya, an-Nakbah bukanlah kekalahan
or to hide took hold of me. Everything before negara atau tentara Arab melainkan gejala
me became small and pitiful. It seemed to me dari gagalnya trend ideology-ideologi Barat
that Egypt had died and was nished, and seperti sekularisme, liberalisme, sosialisme,
I saw no alternative but to bury myself in dan nasionalisme karena semuanya bertolak
history books.” Hatina (2007: 48), belakang dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Intelektual sekaligus tokoh
Dalam merespon peristiwa di atas, Fauda fundamentalis post-1967 Masehi di
menyayangkan akan menguatnya respon antaranya Abd al-Qadir ‘Awdah, Yusuf al-
dari kalangan Islamis atau fundamentalis. Qardawi, Muhammad al-Ghazali, Hassan
Dalam pandangan Fauda, solusi kalangan al-Turabi, Rashid al-Ghannusyi, Sayyid
Islamis tidak dapat menyelesaikan persoalan Qutb, dan Muhammad Qutb, juga ada
yang dihadapi dunia Arab dan Muslim pada Omar bin ‘Abd al-Rahman (Abu-Rabi’,
umumnya karena mereka hanya berfokus 2004: 70),. Mereka merepresentasikan tren
pada pemikiran agama saja bukan pada kelompok fundamentalis kontemporer
persoalan nasional. Kelompok fundamentalis yang berpengaruh kuat terhadap lahirnya
juga seringkali terjebak pada retorika agama gerakan-gerakan fundamentalis modern di
semata. berbagai negara baik yang didominasi oleh
kaum Muslim maupun tidak.
Kritisisme Fundamentalis
Penyebab utama dari an-Nakbah Kritisisme Nasionalis
(kekalahan 1967) ini menurut kelompok Sejak kekalahan negara-negara Arab
fundamentalis karena memudarnya nilai- pada tahun 1967 dan meningkatnya kekayaan
nilai Islam. Faktor keimanan sebagai minyak yang sangat pesat secara tiba-tiba
penyebab utama kekalahan dan ideologi pada tahun 1970-an, situasi politik beralih
sekuler merupakan sebab kekalahan lain total, yaitu penentangan yang kuat terhadap
(Nagawasa, 1992: 66). Sikap frustasi kelompok pan-Arabisme dan lebih memihak pada
fundamentalis ini seringkali diungkapkan rezim negara nasional. Arus yang sangat kuat
dalam bentuk blame the others dengan ini mengidentikasi kepentingan “Arab”
menyalahkan kelompok atau ideologi lain secara lebih partikular (Lapidus, 2007: 179).
sebagai biang kerok kekalahan bangsa Arab Maka ditisme 1967 telah melahirkan rasa
dari Zionisme Israel (Lewis, 2002). nasionalisme yang lebih bersifat lokal, dan
Bagi kalangan fundamentalis, sejak nasionalis model Nasseris juga Aaq dengan
bangsa Arab berpaling dari Islam dan mulai sendirinya runtuh beserta pan-Arabismenya
menerapkan nasionalisme dan sosialisme (Hatina, 2007: 8; Abu-Rabi’, 2004: 79).
yang nota bene merupakan impor dari Barat Pasca ditisme 1967 M, nasionalis Arab
dan sekaligus asing bagi Islam juga asing memang gagal untuk mewujudkan agenda
bagi mentalitas Muslim itu sendiri, maka besar mereka yaitu Arab unity. Begitu juga
keduanya telah membinasakan bangsa kelompok Islam fundamentalis Arab tidak

304
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967

mampu menggulingkan seorang regim pasca ditisme 1967 di samping semakin


dan tidak mampu mendirikan sebuah menguatnya gerakan fundamentalisme
negara syari’ah-based. Meskipun demikian, Islam. Akan tetapi, peristiwa the Arab Spring
nasionalisme Arab dan Islamisme masih yang terjadi akhir-akhir ini lebih memihak
merupakan ideologi dominan di Timur pada tesis Laroui (1976), yaitu ideologi Islam
Tengah. fundamentalis akan semakin menguat dan
Nasionalisme dan Islamisme belum ini terbukti di Tunisia dan khususnya Mesir
gagal, yang gagal adalah versi radikal. dengan menangnya gerakan Ikhwanul
Kedua ideologi tersebut melewati periode Muslimin (IM) sebagai pemegang kekuasaan.
radikalisasi dan berakhir sekitar dua atau tiga IM sejak berdirinya pada 1928 Masehi baru
dekade yang lalu. Nasionalisme Arab radikal pertama kali dalam sejarah panjangnya
mengalami masa subur secara intelektual mampu mendirikan sebuah partai yaitu
selama tahun 1940 dan 1950-an (dengan Hizbul Hurriyyah wal ‘Adlah (Partai
karya-karya monumental dari al-Hursi, Pembebasan dan Keadilan) pada tahun 2011
‘Aaq, al-Arsuzi, dan Zurayk). Hal yang dan menghantarkan Muhammad Mursi
sama dialami oleh ideologi Islam selama sebagai presiden Mesir sipil pertama dari
1960 dan 1970-an (karya-karya Abu al-‘Ala kalangan IM sendiri. Tidak hanya itu saja,
al-Mawdudi, Sayyid Qutb, Baqir Sadr, dan gerakan-gerakan Islam lain seperti Salayah
Ruhulloh Kehomeini) (Schumann, 2008: 409). pun telah berhasil mendirikan partai Hizbun-
Nr (2011). Sedangkan gerakan militan
SIMPULAN seperti Jama’ah Islamiyyah semakin gencar
Dari analisis terhadap respon-respon melakukan berbagai protes dan tuntutan
yang berbeda atas an-nakbah atau ditisme penerapan syari’at Islam. Sementara itu,
1967, maka menurut Dessouki (1973: suara-suara kritis intelektual sekuler, liberal
191) terdapat hipotesis bahwa dengan atau Marxis hanya mampu menghiasi
mendalamnya situasi krisis di dunia Arab, berbagai media independen Mesir semisal
sebuah polarisasi mungkin saja terjadi antara al-masry al-youm tanpa dibarengi dukungan
pemikiran Islam dan pemikiran revolusioner massa yang kuat.
sementara tren liberal-sekular dan middle-of- Singkatnya, gerakan fundamentalisme
the-roadism (seperti sikap mayoritas ulama Al- Islam yang diwakili oleh IM sedang
Azhar yang cenderung cari selamat) menjadi dipertaruhkan reputasi politiknya di hadapan
semakin terpinggirkan. Faktor utama masyarakat Mesir khususnya dan dunia
yang menyebabkan terjadinya polarisasi Muslim pada umumnya. Pasca dikeluarkannya
karena gagalnya pemikiran Arab modern draft konstitusi baru oleh presiden Mursi yang
untuk menghasilkan sintesis bermakna telah menuai badai protes utamanya dari
antara Islam sebagai agama massa dengan kalangan sekuler meskipun pada akhirnya
sumber utamanya sistem nilai (tradisi Islam draft tersebut mendapat dukungan cukup
klasik atau turst) dengan modernitas yang signikan yaitu 63.8%, masyarakat dunia
termanifestasi dalam kebudayaan dan kultur sedang menantikan apakah IM dengan partai
modern Barat. Upaya Muhammad Abduh Hizbul Hurriyyah wal ‘Adlah-nya dan Mursi
berakhir dengan ortodoksi dan pemikiran sebagai presidennya akan segera melahirkan
sosial-politik konservatif, yakni Salasme kebijakan-kebijakan revolusioner seperti yang
dan kemudian Ikhwanul Muslimin. Di satu pernah dilakukan Nasser pasca-revolusi Juli
sisi tren sekularis ‘westernis’ terlalu abstrak 1952 telah berhasil membawa perubahan
dan general. besar pada waktu itu. Dunia Muslim sedang
Pendapat sebaliknya disampaikan oleh menantikan gebarakkan tersebut dan ini
Browers (2009: 19), menurutnya ideologi akhirnya dapat menjadi renungan bagi
sekuler dengan corak kritisisme dan cenderung intelektual Muslim bahwa ideologi Islam
kiri justeru muncul dan cukup menguat barangkali masih dapat menjadi ideologi

305
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307

penyelamat atas kemunduran yang sedang Cambridge University Press.


terjadi sehingga ideologi-ideologi sekuler Dessouki, A. E. H., 1973, “Arab Intellectuals
semakin terbukti tidak dapat diterapkan. and Al-Nakba: The Search for
Ataukah sebaliknya, andaikan IM sebagai Fundamentalism,” Middle Eastern
representasi ideologi Islam menemui Studies, 9, 187-195.
kegagalan haruskan ideologi-ideologi sekuler
semisal Marxisme dan Liberalisme dapat Esposito, J. L. & Sou’yb, H. M. J., 1990, Islam
dipertimbangkan kembali sebagai ideologi dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang.
alternatif setelah dimodikasi dan melalui Hatina, M., 2007, Identity Politics in the Middle
proses kreativitas intelektual terlebih dahulu East: Liberal Thought and Islamic
seperti yang pernah dilakukan Nasser dengan Challenge in Egypt, London: IB Tauris
Pan-Arabisme-nya. & Company.
Hourani, A.,1992, A History of the Arab Peoples,
DAFTAR PUSTAKA New York: Harvard University
Abu-Rabi, I. M., 2006, Contemporary Islamic Press.
Intellectual History: A Theoretical
______ , 1983, Arabic Thought in the Liberal Age,
Perspective, Singapore: Majelis
1798-1939, New York: Cambridge
Agama Islam Singapura.
University Press.
______ , 2004, Contemporary Arab Thought:
Kassab, E. S., 2010, Contemporary Arab Thought:
Studies in Post-1967 Arab Intellectual
Cultural Critique in Comparative
History, London: Pluto Press.
Perspective, New York: Columbia
Ajami, F, 1992, The Arab Predicament: Arab University Press.
Political Thought and Practice since
Kurzman, C, (ed.) 2003, Wacana Islam Liberal:
1967, New York: Cambridge
Pemikiran Islam Kontemporer Tentang
University Press.
Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina.
Al-Azm, S. J. & Fakhr, A., 1998, “Trends in
Lapidus, I. M., 2007, A History of Islamic
Arab Thought: An Interview with
Societies, New York: Cambridge
Sadek Jalal al-Azm.” Journal of
University Press.
Palestine Studies, 27, 68-80.
Laroui, Abdallah., 1976, The Crisis of the
Al-Jabiri, M. A., 1990, Isyakliyt al-Fikr al-
Arab Intellectual: Traditionalism or
‘Arab al-Mu’shir, Beirut: Markaz
Historicism? California: University of
Dirst al-Wihdah al-‘Arabiyyah.
California Press.
Barakat, H., 2012, Dunia Arab: Masyarakat,
Lewis, B., 2002, What Went Wrong?: The
Budaya dan Negara, Bandung: Nusa
Clash between Islam and Modernity in
Media.
The Middle East, New York: Harper
Boullata, I. J., 2001, Dekonstruksi Tradisi: Perennial.
Gelegar Pemikiran Arab Islam,
Nagawasa, E., 1992, “An Introductory Note
Yogyakarta: LKiS.
on Contemporary Arabic Thought.”
______ , 1988, Challenges to Arab Cultural Mediterranean World, 13, 65-71.
Authenticity, The Next Arab Decade:
Schumann, C, 2008, “The “failure” of Radical
Alternative Futures, Boulder:
Nationalism and The “silence”
Westview Press.
of Liberal Thought in The Arab
World.” Comparative Studies of South
Browers, M, 2009, Political Ideology in Asia, Africa and the Middle East, 28,
the Arab World: Accommodation 404-415.
and Transformation, Cambridge: Sharabi, H. B., 1992, Neopatriarchy: A Theory

306
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah
Pasca-Difitisme 1967

of Distorted Change in Arab Society, Talhami, G, 1997, “An Interview with Sadik
New York: Oxford University Press. Al-Azm,” Arab Studies Quarterly
______ , 1966, “The Burden of the Intellectuals (asq), 19.
of the “Liberal Age”,” Middle East
Journal, 20, 227-232.
Sheehi, S., 2004, Foundations of Modern Arab
Identity, Gainesville: University
Press of Florida.

307

Anda mungkin juga menyukai