Anda di halaman 1dari 4

MANUSIA DAN PIKIRANNYA

Oleh :

Mencari apa itu kebenaran adalah hal yang dilakukan manusia selama ini, sepanjang
sejarah keberadaan manusia. Tanda tanya besar selalu muncul apabila seseorang mulai berpikir
apa itu kebenaran. Benak manusia akan selalu dipenuhi pertanyaan akan hal ini, ketika manusia
ingin mendapat jawaban, kebenaran akan menjadi tujuan utama hakikat. Disinilah manusia
masih labil menyusun tentang definisi dari sebuah hal yang masih abstrak ini, secara reflektif
dan pasti adalah cara untuk memahami kebenaran. Secara sederhana, manusia selalu
menghubungkan kebenaran dengan hal mengambil keputusan, bicara dan berpikir di arah yang
sesuai, yang berarti kebenaran dianggap identik dengan kesesuaian antara data dan fakta.
Kesesuaian ini disebut dengan kebenaran logis yang dikaitkan dengan adanya pernyataan
dengan realitas, tetapi sebenarnya kebenaran condong ke arah bagaimana manusia memahami
adanya fakta dan data terseut.

Dari yang penulis pikirkan tentang hal di kehidupan sehari-hari, manusia adalah satu-
satunya makhluk yang berpikir di dunia ini, namun bagaimanakah manusia dapat menentukan
kebenaran apabila mereka sendiri terkadang masih dipertanyakan kerasionalannya. Kebenaran
yang dianggap ada pada diri manusia merupakan sebuah pembentukan obyek-obyek yang
menjadi cara mencari kebenaran, sehingga manusia harus memberikan pengertian dari obyek-
obyek tersebut untuk membuat sebuah kesimpulan bernama definisi kebenaran. Definisi ini harus
tampak apa adanya dan mencakup apa yang sudah dipikirkan dari fakta dan data tadi. Inilah
yang dimaksud dengan kebenaran ontologis dalam pendekatan fenomenologis Husserl. Maka
dari itu, kebenaran disini akan lebih bersifat obyektif, dimana definisi kebenaran yang dibentuk
dari obyek yang dilihat manusia sebagaimana adanya obyek tersebut, sehingga obyeklah yang
menjadi dasar dan asas kebenaran, dan tidak dibentuk oleh subyek itu sendiri.

Contohnya dalam apa yang pernah dialami oleh teman dekat ketika ia tiba-tiba
mendapatkan banyak laba dari penjualan pertamanya. Ia sudah merasa kaya dan langsung
impulsif membeli segala sesuatu untuk menunjukkan kesuksesannya. Dan setelah itu terjadilah
penurunan profit dan ia kesusahan untuk menata kembali model bisnisnya. Bagi kita yang hanya
menyaksikan, pasti sudah menilai kalau apa yang dilakukannya irasional, tanpa berpikir panjang
dan tanpa rencana pasti sudah memutuskan untuk menghamburkan uang. Namun di sisi lain,
harus ditanyakan kepada diri sendiri, apakah kita dapat menghindari sifat naluriah kita apabila
hal yang sama juga terjadi? Karena kita tidak pernah tahu dan tidak pernah bisa menebak kapan
dapat berpikir secara rasional, dan kapan tiba-tiba berpikir secara irasional. Padahal teman tadi
adalah seseorang yang termasuk cerdas, dan juga visioner, namun masih terjebak dalam
irasionalitas juga.

Belajar ilmu filsafat membuat pemikiran saya berubah tentang manusia. Saya pikir
selama ini manusia adalah makhluk yang paling rasional. Tapi ternyata hal itu hanya fantasi,
karena tidak selamanya rasionalitas itu ada, dan bahkan bisa datang dan pergi. Ilmu filsafat
murni sendiri juga isinya selalu merasa paling benar, paling mutlak, dan pikiran manusia adalah
suatu hal paling absolut. Edward Stein mengatakan, rasionalitas adalah abilitas manusia untuk
berpikir secara normatif dan sesuai prinsip yang berlaku dalam nilai logika. Sedangkan definisi
rasionalisme ditujukan tentang suatu haluan bahwa memperoleh ilmu dan keyakinan yang
kodrati adalah menggunakan rasio yang masuk akal dan bersifat mendasar yang berasas pada
faktor-faktor normatif logika. “Jika ‘rasionalitas’ diimbuhi privative ‘i’, maka ia akan menjadi
negasi dari ‘rasionalitas’. Tesis rasionalitas manusia, karenanya, secara sederhana dapat
dipahami sebagai sebuah klaim bahwa kemampuan berpikir manusia merepresentasikan prinsip-
prinsip normatif penalaran; sedangkan tesis irasionalitas manusia adalah klaim bahwa
kemampuan berpikir manusia merepresentasikan prinsip-prinsip penalaran yang berbeda dari
aturan normatif yang seharusnya” ujar Stein.

Namun ternyata setelah ilmu psikologi telah keluar dari ilmu filsafat dan menjadi cabang
keilmuan yang benar-benar baru, ternyata ia menemukan banyak bukti-bukti dan mengumpulkan
data-data akan irasionalitas manusia. Salah satu contohnya adalah tes yang bernama Wason
Selection Task dengan istilah four-card problem. Caranya adalah dimisalkan ada empat kartu
yang diletakkan di atas meja, lalu kartu tersebut ditunjukkan kepada para pembaca. Setiap kartu
ini memiliki dua sisi yang berisi huruf serta angka secara berlawanan. Dua kartu sebalah kiri
yang ditunjukkan menampilkan huruf A dan B, lalu dua kartu di sebelah kanan menunjukkan
angka 5 dan 8. Apabila saya mengatakan bahwa kalau ada huruf A di sebuah kartu, yang ada
dibaliknya pasti adalah angka 5. Nah tugas pembaca sekalian sangat mudah, yaitu untuk
memriksa apa yang penulis katakan benar atau tidak.
Ketika eksperimen psikologis ini dilakukan oleh Peter Cathcart Wason, hanya 10% yang
berhasil membuat pilihan tepat, sedangkan sisanya tidak berhasil. Para manusia yang tidak
berhasil ini membalik kartu pertama dan kartu ketiga, bahkan ada yang membalik kartu pertama
saja. Padahal pilihan yang benar adalah membalik kartu pertama (huruf A) dan kartu keempat
(angka 8). Dari sini sudah ada bukti sederhana dan sudah cukup menjelaskan proses rasionalitas
manusia masih melewati jalan yang terjal. Dari sinilah muncul pertanyaan di benak penulis, jika
manusia yang merasa rasional ternyata masih ditemukan tidak irasional, lalu bagaimanakah para
manusia ini menentukan apa yang disebut rasional dan irasional?

Seperti yang pada paragraf awal dari tulisan ini, kebenaran masih menjadi problematika.
Kebenaran tidak ada yang dianggap absolut oleh para ahli pikir dan sifatnya relatif. Jika
kebenaran saja relatif, maka rasionalitas dan irasionalitas juga termasuk relatif. Contoh
sederhananya adalah tentang sosok Gus Dur, sebagian orang mrnganggap apa yang diucapkan
oleh beliau tidak masuk akal, irasional, tidak bisa dinalar, bahkan ada yang bilang bahwa itu asal.
Namun sebagian yang lain setuju, bahkan membandingkannya dengan fakta-fakta, dan kemudian
menjelaskannya dengan lebih mudah dipahami. Penilaian lain yang tidak jarang kita temui dalam
kehidupan sehari-hari. Contohnya ketika melihat seseorang dengan sifat ulet, pintar, dan selalu
membuat keputusan tepat dan masuk akal, namun karena ia kasmaran atau putus cinta, kemudian
menjadi meracau dan salah langkah, seketika akan banyak yang beranggapan: “Ternyata dia
tidak sempurna!” Kritik tersebut seketika menunjukkan ketika seseorang bertindak rasional, ia
dianggap luar biasa, atau malah melampaui manusia, namun ketika sudah menjelma kembali
pada individu yang emosional maka sudah dianggap biasa saja. Dengan kata lain, naluriah
manusia itu selalu disandingkan dengan rasionalitas yang bersebrangan dengan emosionalitas.

Sampai disini saja penulis sudah mulai bertanya-tanya kembali apakah yang dituang
dalam tulisan ini juga dapat disebut kebenaran? Dan bagaimanakah manusia selama ini
menganggap keilmuan yang selalu berkembang dan berubah-ubah sesuai ‘perkembangan’
rasionalitas manusia itu sendiri? Apabila saya membuat kesimpulan bahwa tentang setiap
pemikiran dan hasil akhir keputusan yang diciptakan oleh manusia itu bisa saja tidak sesuai
dengan norma-norma penalaran. Artinya, jika ternyata ketidak sesuaian itu adalah benar, maka
asumsi apa pun yang diciptakan oleh individu (termasuk psikolog) seharusnya juga tidak
reliabel, meskipun itu sudah diimbangi dengan fakta-fakta praktis. Berdasarkan bukti empiris,
kita menyetujui bahwa manusia adalah makhluk yang tidak selalu rasional. Pertanyaannya:
bagaimana para manusia yang menjadi psikolog itu dapat membuat asumsi yang rasional ketika
dirinya sendiri tidak terbukti rasional? Lalu pertanyaan ini akan memunculkan pertanyaan-
pertanyaan lainnya ketika ilmu psikologi memiliki banyak aliran seperti aliran psikologi kognitif,
psikologi behavioral, dan psikoanalisa yang masing-masing menganggap teorinya adalah
kebenaran. 

Anda mungkin juga menyukai