Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PRINSIP – PRINSIP VAKSIN DAN HYPERSENSITIVE

DI

OLEH :

DHEA WAHDANILLAH (2015301065)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN PRODI D4 KEBIDANAN


UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
BANGKINANG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya saya bisa

menyelesaikan makalah tentang Sterilisasi dan Desinfeksi.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga

makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan informasi,bermanfaat untuk pengembangan wawasan

dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

                                                                        Bangkinang, Oktober 2020

                                                                                      Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………………………….ii

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………iii

BAB I Pendahuluan ……………………………………………………………………………………1

A. Latar Belakang ………………………………………………………………………………...1

B. Tujuan Masalah ………………………………………………………………………………..1

BAB II Pembahasan ……………………………………………………………………………………2

BAB III Penutup ……………………………………………………………………………………….9

Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………...10

ii
1

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor.
Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi
tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti
biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi
organisme.
Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang menetralisir
patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh sistem enzim yang
melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada eukariota kuno dan
tetap pada keturunan modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut
termasuk peptida antimikrobial yang disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen.[1]
Mekanisme yang lebih berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya
evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak jenis protein, sel, organ tubuh
dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari respon
imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus secara
lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori imunologis dan membuat perlindungan yang lebih
efektif selama pertemuan di masa depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang diterima
adalah basis dari vaksinasi.
Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang,
membuat patogen, termasuk virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit defisiensi imun muncul
ketika sistem imun kurang aktif daripada biasanya, menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun
merupakan penyebab dari penyakit genetik, seperti severe combined immunodeficiency, atau
diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi, seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang
disebabkan oleh retrovirus HIV. Penyakit autoimun menyebabkan sistem imun yang hiperaktif
menyerang jaringan normal seperti jaringan tersebut merupakan benda asing. Penyakit autoimun yang
umum termasuk rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe 1 dan lupus erythematosus. Peran penting
imunologi tersebut pada kesehatan dan penyakit adalah bagian dari penelitian.
Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk diagnosis,
pengobatan, maupun pencegahan telah menimbulkan berbagai reaksi obat yang tidak diinginkan yang
disebut reaksi adversi. Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit
dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat membawa maut. Hiperkalemia, intoksikasi digitalis, keracunan
aminofilin, dan reaksi anafilaktik merupakan contoh reaksi adversi yang potensial sangat berbahaya.
Gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk antihistamin merupakan contoh lain reaksi adversi obat
2

yang ringan. Karena pada umumnya adversi obat dan pada khususnya alergi obat sering terjadi dalam
klinik, pengetahuan mengenai diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan masalah tersebut amat
penting untuk diketahui.
B. Tujuan masalah
a. Agar mahasiswa lebih mengetahui apa itu vaksin
b. Agar mahasiswa lebih tahu hypersensitive
c. Menambah pengattahuan mahasiswa
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Insidensi
Insidensi reaksi adversi obat belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar negeri
menunjukkan bahwa reaksi adversi obat yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit berkisar
antara 6-15%. Angka insidensi di luar rumah sakit biasanya kecil, karena kasus-kasus tersebut bila
ringan tidak dilaporkan. Reaksi alergi obat merupakan 6-10% dari reaksi adversi obat. Di masyarakat
nilai ini berkisar 1-3% tetapi mungkin angka ini lebih kecil lagi, mengingat idiosinkrasi dan
intoleransi obat sering dilaporkan sebagai reaksi alergi obat.

Klasifikasi Reaksi Adversi


a) Reaksi adversi yang terjadi pada orang normal.
1) Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung berhubungan dengan pemberian
dosis yang berlebihan. Contoh : depresi pemapasan karena obat sedatif.
2) Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak diinginkan tetapi juga tak
dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis terapeutik. Misalnya efek mengantuk pada
pemakaian antihistamin.
3) Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung berhubungan dengan efek
farmakologis primer suatu obat.
4) Contoh: penglepasan antigen atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik (reaksi
Jarisch-Herxheimer)
5) Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau lebih obat-obat
lain misalnya induksi enzim suatu obat yang mempengaruhi metabolisme obat lain.
b) Reaksi adversi pada orang-orang yang sensitif.
1) Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang meninggi.
Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil.
2) Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek farmakologis dan
tidak juga disebabkan reaksi imunologis, misalnya primakuin yang menyebabkan anemia
hemolitik.
3) Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat tejadi pada pasien tertentu. Gejala yang
ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat merupakan
sebagian dari reaksi adversi.
4) Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu tejadinya keadaan yang menyerupai reaksi tipe I
tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (lgE independenf). Beberapa obat seperti opiat,
vankomisin, polimiksin B. D tubokurarin dan zat kontras (pemeriksaan radiologis) dapat
4

menyebabkan sel mast melepaskan mediator (seperti tipe I). Proses di atas tanpa melalui
sensitisasi terlebih dahulu (non-imunologis).
B. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut
mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (Tipe I s/d IV). Untuk
memudahkan pengertian patogenesis dan pengobatannya, dalam makalah im digunakan klasifikasi
Gell dan Coombs.

Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat)


Manifestasi klinis yang tejadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang
telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos. meningkatnya permeabilitas kapiler serta
hipersekresi kelenjar mukus.

1. Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang bronkus. disertai kejang
laring. Bila disertai edema laring keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat
atau sangat sulit bernapas.
2. Urtikaria.
3. Angioedema.
4. Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan
seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian
obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan, reaksi ini
sering disebut sebagai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :

1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE.


2. Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi
ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat
menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks akibat penglepasan
mediator.

Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena terbentuknya IgM /
IgG oleh paparan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya
(FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptro komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik,
5

trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi
alergi tipe ini.

Tipe III
Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap
pada jaringan. Antibodi yang berperan disini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan
pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :

1. Urtikaria. angioedema, eritema. makulopapula, eritema multiforme, dan lain-Iaih. Gejala


tersebut sering disertai pruritus.
2. Demam.
3. Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi.
4. Limfadenopati.
5. Lain-Iain :

a) Kejang Perut, Mual


b) Neuritis Optik
c) Glomerulonefritis
d) Sindrom Lupus Eritematosus Sistemik
e) Gejala Vaskulitis Lain
Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat
obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.

Tipe lV
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell
Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi
karena respons sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity) :
1. Cutaneous Basophil Hypersensitivity
2. Hipersensitivitas kontak (contact Dermatitis)
3. Reaksi tuberculin
4. Reaksi granuloma
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak,
batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofurantoin, Nefritis interstisial, ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi
reaksi alergi obat.
6

Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang-kadang


gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa,
penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18-24 jam setelah obat
dioleskan.

C. Diagnosis
1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting
untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan
hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai
timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasarnya. Masalah tersebut lebih sulit
lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah :
 Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat yang
sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat.
 Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi.
 Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada
reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi obat baru
timbul 7-10 hari setelah pemakaian pertama.
 Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat sering
timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi
secara parenteral.
 Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu.
 Diagnosis alergi obat sangat mungkin. bila gejala menghilang setelah obat dihentikan
dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama.
 Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan
terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.
2. Uji kulit
Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin,
insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini
karena beberapa hal, antara lain :

1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat
aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya kurang dapat
dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya
serta obat-obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin
yang mengandung protein telur).
7

2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin),
sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false positive).
3. Konsentrasi obat terlalu tinggi,  juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian besar
obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu
sukar untuk menentukan antigennya.
Uji kulit yang disebutkan di atas adalah uji kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi
tipe I (anafilaksis). Uji kulit untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum diketahui
sebagai prosedur yang berguna, demikian pula peran uji tempel (patch test) untuk menilai reaksi
alergi tipe I. Uji tempel bermanfaat hanya untuk obat-obat yang diberikan secara topikal (tipe IV).
3. Pemeriksaan laboratorium
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan
pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat. Dikenal
pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test) yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya
IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas.
Pemeriksaan ini berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin
timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit (karena seluruh kulit rusak,
minum antihistamin dan kulit tidak sensitif lagi).
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia hemolitik dapat
ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan
fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.
Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan
laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak
memuaskan. Untuk jelasnya tipe reaksi, manifestasi klinik, uji laboratorium dan pemakaian obat
masa depan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Identifikasi dan penatalaksanaan reaksi alergi obat
Tipe reaksi Karakteristik klinik Uji laboratoirum Penggunaan obat
selanjutnya
Gell and Coombs Urtikaria, angioedema, Uji kulit, uji radio- Desensitisasi
Tipe 1 mengi, hipotensi, nausea, alergosorben
muntah, nyeri abdomen,
diare
Gell and Commbs Anemia hemolitik, Darah perifer lengkap Indikasi kontra
Tipe 2 granulositopenia, (DPL)
trombositopenia
Gell and Coombs Demam, urtikaria, Kadar komplemen Indikasi kontra
Tipe 3 arthralgia, limfadenopati
8

2-21 hari sesudah  mulai


terapi
Gell and Coombs Eritema, blister (kulit Uji tempel Agaknya Indikasi
Tipe 4 melepuh) kontra
Morbilliform Ruam makulo popular Mungkin uji tempel, uji Pemakaian hati-hati
(dapat bergabung) kulit intradermal (reaksi
lambat) Indikasi kontra
Eritema multiforme Lesi sasaran tertentu Tidak ada Indikasi kontra
Steven-Johnson/TEN Lesi sasaran, keterlibatan Tidak ada
membran mukosa,
deskuamasi kulit
Utikaria, mengi, Pencegahan dengan
Anafilaktoid angioedema, hipotensi Tidak ada prednison dan
antihistamin untuk
sensitivitas terhadap
radiokontras
Indikasi kontra
Dermatitis, eksfoliativa,
HSS/DRESS demam, limfadenopati DPL, enzim hati,
kreatinin, urinalisis
HS : Hypersensitivity Syndrome, DRESS : Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptom

4. Pengobatan
Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu
pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak
mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya
menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang rumus imunokimianya berlainan.
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan
biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung
pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain. Apapun penyebabnya
pengobatannya lebih kurang sama.
Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Steven Johnson, pasiennya harus
dirawat, karena selain harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah pemasukan
kalori dan cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu berhari-hari sampai
berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder sehingga pasien perlu diberikan
antibiotik.
Kelainan sistemik yang berat seperti anafilaksis, dibicarakan tersendiri pada bab anafilaksis. Pada
9

urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai, tetapi untuk
kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hati, nefritis
interstisial, dan lain-Iain diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg prednison atau
ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya prednison tersebut diturunkan dosisnya
secara bertahap selama satu sampai dua minggu.

5. Pencegahan
Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu
memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan pasien atau
kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30 kematian karena penisilin,
ternyata hanya 12 pasien yang mempunyai indikasi yang jelas. Jika sudah tepat indikasinya.
barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa lalu, terutama yang ada hubungannya
dengan yang akan kita berikan. Sering pasien menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam
obat yang sebenarnya kurang masuk akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja.
Selanjutnya kepada pasien diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan.
Masalah reaksi silang di antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dengan
sefalosporin, gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan
sulfonilurea.
Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan obat atau
tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada fasilitas
dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun tetap harus
berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan, dipertimbangkan cara
pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat yang uji kulit tidak bermakna
dilakukan pemberian obat secara provokasi dan bila reaksinya positif kembali kita melakukan
prosedur desensitisasi (Gambar 1 ).
Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko yang kadang-
kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat untuk
melakukannya.
1. Indikasi kuat dan tak ada obat atau alternatif lain.
2. Pasien dan keluarganya diberitahu perihal tujuan tindakan ini, serta untung ruginya.
3. Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk menanggulangi keadaan
darurat.
4. Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman.
5. Umumnya rute pemberian obat pada desensitisasi atau provokasi sesuai dengan rute
pemberian yang akan diberikan.
6. Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan bila terjadi
keadaan darurat.
10

7. Uji kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat. Jangan menunggu berhari-hari kemudian
obat baru diberikan, karena uji kulit sendiri menimbulkan sensitisasi.
Prinsip uji provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat
kecil, kemudian dinaikkan perlahan-Iahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun uji
provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya pada uji provokasi tidak selalu tejadi
desensitisasi karena sensitisasinya sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur desensitisasi hanya
memberi pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena bila suatu hari diperlukan pemakaian
obat yang sama, prosedur tersebut harus diulangi kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua
prosedur tadi hanya untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaktik. Di bawah ini diberikan contoh
uji provokasi dengan anestesi lokal (TabeI 2).

Tabel 2. Uji provokasi dengan anesujii local


(dikulip dari J Allergy Cllin Immunol1978; 61:339)
Uruta Rute Dosis
n
No.
1. Uji Tusuk 1 : 100 (Pengenceran)
2. Uji Tusuk Tidak Diencerkan
3. Intrakutan 0,02 Ml Larutan 1 : 100
4. Intrakutan 0,02 Ml Tidak Diencerkan
5. Subkutan 0, 1 Ml Tidak Diencerkan
6. Subkutan 1 Ml Tidak Diencerkan

Catatan :
-Larutan Obat Tidak Mengandung Epinefrin
-Urutan No: 1 Dan 3 Boleh Dilewatkan Bila Riwayat Penyakit Tak Jelas.

BAB III
PENUTUP
11

Kesimpulan
Alergi obat teIjadi melalui mekanisme respon imun patologik berupa reaksi
hipersensitivitas, terutama reaksi hipersensitivitas tipe I dengan IgE-mediated. Alergen obat terdiri
dari golongan antibiotik (terutama golongan B-Iactam), obat anestesi lokal, preparat alergi, aspirin
(asam asetil salisilat)- DAINS Guga termasuk alergen reaksi pseudoalergi), vaksin (terutama alergi
terhadap protein telur), dan zat kontras radioaktif (biasanya berupa reaksi pseudoalergi). Diagnosis
yang terbaik dilakukan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik (manifestasi klinis yang timbul), tes
kulit intradermal (paling sering dilakukan). Prinsip penatalaksaan adalah terapi simptomatis dan
substitusi obat.

DAFTAR PUSTAKA

http://indrysetiaone.blogspot.com/p/prinsip-prinsip-vaksin-dan.html
12

repository.maranatha.edu › 9910071_Conclusion

Anda mungkin juga menyukai