Anda di halaman 1dari 74

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Electronic Government (e-government)

Menurut Bank Dunia (Samodra Wibawa 2009:113), e-government

adalah penggunaan teknologi informasi oleh instansi pemerintah seperti

wide area Networks (WAN) internet, moble competing, yang dapat

digunakan untuk membangun hubungan dengan masyarakat, dunia usaha

dan instansi pemerintah lainnya.

Menurut The World Bank Group (Falih Suaedi, Bintoro Wardianto

2010:54), e-government ialah sebagai upaya pemanfaatan informasi dan

teknologi komunikasi untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas,

transfaransi dan akuntabilitas pemerintah dalam memberikan pelayanan

publik secara lebih baik. Kemudian menurut Depkomenfo (Samodra

Wibawa 2009:114), mendefinisikan e-Goverment adalah pelayanan publik

yang diselenggarakan melalui situs pemerintah dimana domain yang

digunakan juga menunjukkan domain pemerintah Indonesia yakni (go.id).

Menurut Clay G. Weslatt (15 Agustus 2007) dalam website, e-

goverment adalah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi

untuk mempromosikan pemerintah yang lebih effisien dan penekanan

biaya yang efektif, kemudian pasilitas layanan terhadap masyarakat

umum dan membuat pemerintah lebih bertanggung jawab kepada

masyarakat.

22
Pengertian lain disampaikan oleh Hartono (2010) e-government

merupakan suatu proses sistem pemerintahan dengan memanfaatkan ICT

(Information, Communication and Technology) sebagai alat untuk

memberikan kemudahan proses komunikasi dan transaksi kepada warga

masyarakat, organisasi bisnis dan lembaga pemerintah serta stafnya.

Sehingga dapat dicapai efisiensi, efektivitas, transparansi dan

pertanggungjawaban pemerintah kepada warganya. Dengan konsep

pengembangan menyangkut hubungan Government to Government

(G2G), Government to Business (G2B) dan Government to Citizens

(G2C).

Sedangkan dalam buku E-Goverment In Action (2005:5)

menguraikan e- goverment adalah suatu usaha menciptakan suasana

penyelanggaraan pemerintah yang sesuai dengan objektif bersama

(Shared goals) dari sejumlah komunitas yang berkepentingan, oleh karena

itu visi yang dicanangkan juga harus mencerminkan visi bersama dari

pada stakholeder yang ada misalnya:

1. Memperbaiki produktifitas dan kinerja operasional pemerintah dalam

melayani masyarakatnya;

2. Mempromosikan pemerintah yang bersih dan transparans;

3. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat meluli kinerja pelayanan

publik;

4. Menjamin terciptanya penyelengaaan negara yang demokratis;

23
Karena visi tersebut berasal “Dari, Oleh dan Untuk” masyarakat

atau komunitas dimana e-goverment tersebut diimplementasikan, maka

masanya akan sangat bergantung pada stuasi dan kondisi masyarakat

setempat. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa e-goverment adalah

upaya untuk penyelanggaraan pamerintah yang berbasis elektronik dalam

rangka mengingkatkan kualitas pelayanan publik secara efektif dan

efesien.

E-government merujuk pada badan pemerintahan yang

menggunakan teknologi informasi dengan tujuan untuk peningkatan

pelayanan kepada masyarakat (kemudahan hak akses terhadap informasi

yang dimiliki oleh masyarakat), memperbaiki interaksi antara bisnis dan

industri, serta efisiensi kerja pemerintah (Torres et al., 2005; Grönlund and

Horan, 2005; Saheer Al-Jaghoub et al., 2010; Zaidi and Mazen K.

Qteishat, 2012; The World Bank, 2015). E- Government juga sering

digambarkan sebagai penggunaan IT yang bertujuan untuk: (1)

memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi dan layanan yang

disediakan pemerintah (2) meningkatkan kualitas layanan dengan cara

peningkatan kecepatan, kelengkapan informasi dan proses yang lebih

efisien, serta (3) menyediakan wadah dan kesempatan bagi masyarakat

untuk berpartisipasi sebagai salah satu wujud proses demokrasi.

Penerapan e-government tidak hanya mencakup tentang transformasi

mendalam mengenai cara pemerintah berinteraksi dengan masyarakat,

namun juga pengelolaan terkait proses yang ada pada 1) internal

24
mengenai penerapan IT untuk otomasi, kerjasama, integrasi antar badan

pemerintahan, sebagai alat untuk membantu dalam proses pengambilan

keputusan dan 2) eksternal sebagai pelayanan yang menyediakan

informasi melalui media internet (Grönlund, Å., 2002).

Secara umum, terdapat tiga pihak yang terkait dalam penerapan

e- government yaitu pemerintah (formal politics), layanan yang berkaitan

dengan administrasi (administration) dan masyarakat (civil society).

Terdapat dua perspektif yang menjelaskan mengeneai penerapan e-

government, yaitu:

1. Pesatnya perkembangan teknologi informasi – salah satu konsep

penerapan yang harus diperhatikan dalam penerapan e-government

adalah keberadaan teknologi informasi. Dibutuhkan sebuah strategi

yang tepat mengenai bagaimana mengintegrasikan antara teknologi

informasi dengan penciptaan sebuah proses (berkaitan dengan kinerja

serta pelayanan pemerintah) yang efektif serta mempertimbangkan

dampak yang ditimbulkan dari penerapan teknologi informasi pada

sektor publik.

2. Perubahan pada organisasi – dengan penerapan e- government,

secara otomatis relasi dan kedekatan pemerintah dengan berbagai

pihak akan semakin mudah. Hal tersebut menuntut sebuah organisasi

pemerintahan untuk berkompetensi menjadi yang terbaik. Karena kini

teknologi informasi yang digunakan pada e-government tidak hanya

menghubungkan antara pemerintah daerah dan masyarakat namun

25
juga dengan dunia internasional. Tidak hanya pemerintah yang harus

melakukan perubahan, elemen layanan administrasi dan masyarakat-

pun harus menerima perubahan itu (Grönlund, Å., 2002). Gambaran

umum mengenai penjelasan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1
Gambaran Umum Keterkaitan Pihak-Pihak Pada Penerapan e-government
Sumber : (Grönlund, Å., 2002)

Electronic services didefinisikan sebagai apa saja yang disediakan

melalui internet. Dalam proses tersebut terjadi pertukaran informasi antara

dua pihak, yaitu dari sisi penyedia layanan dan pengguna layanan (Zaidi

and Qteishat, 2012). Alanezi et al., (2012) meyakini bahwa konsep

kualitas layanan yang ada pada internet diturunkan dari konsep traditional

service quality yang berarti kualitas dari setiap interaksi yang dilakukan

dan dirasakan oleh seorang pengguna selain melalui internet. Sehingga,

baik traditional service quality maupun electronic service quality, keduanya

tetap memerlukan evaluasi (Parasuraman et al., 2005). Perbedaan yang

jelas dari kedua jenis layanan tersebut adalah bagaimana masyarakat

26
bergantung pada informasi tersebut berasal. Sehingga penting untuk

menciptakan hubungan yang baik antara penyedia dan pengguna layanan

elektronik untuk menciptakan hubungan timbal balik yang positif (Li and

Suomi, 2007).

Untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, yang perlu

diperhatikan oleh pemerintah tidak hanya sistem yang terotomatisasi

namun juga bagaimana melakukan konfigurasi, menyesuaikan /

memperbaiki proses administrasi sehingga mampu mampu

memaksimalkan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat (Sá

et al., 2016). Penerapan e-government dapat menjadi salah satu

kontribusi yang bisa dilakukan terhadap pembangunan di sebuah negara.

e- government telah banyak membantu dalam hal pelayanan dasar

terhadap masyarakat seperti dalam hal pendidikan, kesehatan, pekerjaan,

keuangan serta kesejahteraan sosial. Namun dalam mewujudkannya,

pemerintah perlu melakukan kajian khusus terkait potensi yang

diakibatkan dari penerapan e-government hingga jaminan akses dan

ketersediaan ICT bagi masyarakat. e-government menjadi salah satu

upaya kecil yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menutup

kesenjangan yang terjadi di dalam lingkungan bermasyarakat (UNDESA,

2016). Penting bagi para peneliti untuk membedakan antara layanan e-

government yang bersifat lokal dan nasional karena masing-masing dari

mereka memiliki tujuan dan batasan yang berbeda (Shackleton et al.,

2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Löfstedt, 2005),

27
menyebutkan bahwa kebijakan ataupun layanan yang dibuat oleh local

government akan lebih berdampak pada keseharian masyarakat karena

local government tersebut paling sering melakukan interaksi dengan

masyarakat dibandingkan dengan layanan yang dibuat oleh national

government.

2.1.2 Manfaat e-Government

Seperti definisi mengenai e-government yang sudah dijelaskan pada

poin 2.1.1, terdapat peran berbagai aktor yang terkait dalam

pengembangan hingga penerapan sistem e-government. Pada penerapan

e-government, setiap actor tersebut akan merasakan manfaat yang berbeda.

Berikut adalah penjelasan detail dari manfaat yang didapatkan dari

penerapan e-government oleh pemerintah (Ndou, 2004):

1. Cost reduction and efficiency gains

ICT merupakan salah satu alat yang dapat membantu meningatkan

efisiensi kerja dari layanan administrasi publik. Jika layanan tersebut

dikembangkan dan dioperasikan secara tepat, maka tentu saja dapat

menghemat pengeluaran pemerintah. Salah satu hal yang mudah

untuk diperhatikan adalah meminimalisir penggunaan kertas dalam

proses administrasi yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan

penerapan ICT, proses yang ada di internal organisasi pemerintahan

akan berlangsung lebih efisien, dan juga terdapat kemudahan akses

dalam berbagi dan mengintegrasikan data antar departemen.

Kemudahan dalam mengakses informasi tersebut ternyata

28
mempengaruhi pemerintah dalam proses pengambilan keputusan

karena dapat lebih cepat dan tepat.

2. Quality of service delivery to business and customers

Pada model pelayanan publik tradisional, masyarakat harus

melakukan beberapa prosedur panjang, memakan banyak waktu dan

kurang transparan. Misalnya saja untuk mendapatkan ijin mendirikan

sebuah bisnis, warga harus mengisi sebuah formulir aplikasi dan

harus mengunjungi beberpa kantor yang berbeda. Hal tersebut tentu

dirasa tidak efisien dari sisi waktu. Belum lagi jika ternyata kantor yang

dikunjungi jauh dari jangkauan rumah warga tersebut. Sehingga akan

muncul permasalahan kedua, tidak efisien dari sisi biaya. Hal tersebut

tentu menimbulkan perasaan tidak puas dari masyarakat. Dari latar

belakang permasalahan tersebut itulah sistem e-government perlu

untuk diterapkan. E-government menyediakan layanan publik secara

online, sehingga diharapkan kerumitan dalam urusan birokrasi dapat

diminimalisir, tingkat aksesabilitas yang tinggi serta dapat

menciptakan transaksi yang cepat dan mudah.

3. Transparency, anti corruption, accountability

Sistem e-government membantu dalam pengambilan keputusan

secara transparan. Dalam banyak kasus, e-government menawarkan

kesempatan kepada masyarakat untuk secara langsung berpartisipasi

dalam pengambilan keputusan. Ide dan masukan mereka biasanya

ditampung di forum atau komunitas online. Seluruh layanan publik

29
yang akan digunakan harus dikembangkan secara hati-hati dan

terbuka. Masyarakat harus mampu mengakses informasi tentang

kinerja pemerintah melalui website pemerintah sebagai wujud

transparansi kerja terhadap masyarakat. Transparansi kerja dari

pemerintah tentu dapat meminimalisir terjadi korupsi di tubuh

pemerintah itu sendiri. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah

perlunya informasi kontak dari instansi pemerintah yang bisa

dihubungi oleh warganya. Atau mungkin bisa disebut sebagai call

center.

4. Increase the capacity of government

Pemanfaatan teknologi ICT menawarkan peluang yang besar untuk

dapat meningkatkan kapasitas dari kinerja dan prestasi pemerintahan

dalam hal memperbaiki transaksi administrasi, komunikasi, dan

kemudahan dalam alur informasi. Jaringan intranet yang diterapkan

untuk komunikasi antar departemen di pemerintahan dinilai mampu

melakukan transfer data lebih cepat dan murah, pengambilan

keputusan yang lebih cepat serta terhindar dari kemacetan saat

pengiriman berkas fisik. Dari maksimalnya kinerja pemerintah

menggunakan sistem e-government tersebut maka akan memberikan

manfaat khususnya bagi para pelaku bisnis untuk menjadi konsumen

dari layanan pemerintah maupun menjadi rekanan pemerintah dalam

hal pembangunan daerah.

30
5. Network and community creation

Teknologi ICT yang dimanfaatkan pada penerapan e-government

memberikan tekanan dan juga peluang dalam penciptaan jaringan dan

membangun sebuah komunitas masyarakat. Keterkaitan dan integrasi

teknologi antar departemen menuntut pemerintah untuk tidak salah

pilih dalam menentukan sumber daya manusia, kemampuan dan

pengalaman pengembang sistem e-government tersebut. Sehingga

perlu sebuah kerjasama / bermitra dengan pusat penelitian atau

universitas dari berbagai lintas ilmu untuk mempersiapkan dan

menganalisis kebutuhan dari pengembangan e-government itu sendiri.

Peningkatan layanan dari sebuah sistem e-government juga tidak bisa

lepas dari peran masyarakat yang juga turut serta memberikan

masukan demi terciptanya layanan publik yang terbaik. Biasanya dari

situ akan muncul komunitas-komunitas yang dibuat untuk peduli

dengan kinerja pemerintah.

6. Improve the quality of decision making

Penciptaan komunitas / forum dan interaksi serta komunikasi yang

terus menerus antara pemerintah dan masyarakat akan memberikan

kontribusi lebih lanjut terhadap proses pengambilan keputusan. Yang

dimaksud dengan partisipasi aktif adalah ketika masyarakat mampu

memberikan ide / aspirasinya, pengethuan serta informasi kepada

pemerintah. Dengan cara seperti ini, maka secara tidak langsung

31
masyarakat akan membangun kepercayaan kepada pemerintah.

Semakin kuatnya hubungan antara masyarakat dan pemerintah, maka

akan meningkatkan kualitas pelayanan dengan memandang dari

sumber informasi dan perspektif yang lebih luas. Mengingat

masyarakat merupakan salah satu konsumen utama dari layanan

pemerintahan, maka penting bagi pemerintah untuk mendengarkan

dan memahami kebutuhan masyarakat supaya pemerintah mampu

memberikan sebuah keputusan terbaik. Namun, perbaikan dari tingkat

kecepatan dan kualitas pengambilan keputusan sangat bergantung

pada kemauan pemerintah untuk menerima dan memanfaatkan

informasi baru.

7. Promote use of ICT in other sectors of the society

Salah satu manfaat utama dari penerapan e-government oleh

pemerintah adalah kontribusi dari berbagai pihak dan stakeholder

untuk terciptanya layanan e- government yang lebih baik. Misalnya

pemerintah bekerjasama dengan salah satu universitas dan pusat

penelitian untuk mendapatkan sumber daya manusia yang terbaik

untuk membantu mengembangkan sistem e-government tersebut. Di

sisi lain, pemerintah juga harus mengadakan kerja sama dengan

pemilik bisnis dari atau penyedia layanan telekomunikasi untuk

meningkatkan pelayanan publik demi kemajuan daerah dan negara.

2.1.3 Faktor-faktor Sukses dalam Implementasi e-government

32
Dalam melakukan implementasi e-government terdapat faktor-

faktor pendukung yang sering disebut dengan faktor sukses dan faktor

yang menghambat implementasi e-government. Faktor-faktor sukses

penerapan e-government menurut Nag Yeon Lie (2012) berdasarkan e-

government di Korea adalah :

1. Visi, objektif, dan strategi

Dalam melaksanakan e-government diperlukan perencanaan jangka

panjang disertai dengan visi dan strategi yang akan dilakukan. Dapat

dikatakan bahwa visi yang jelas dari seorang pemimpin sangat

dibutuhkan demi kesuksesan implementasi e-government, selain

dukungan dari seluruh masyarakat disertai dengan perencanaan

jangka panjang.

2. Hukum dan Peraturan

Hukum dan peraturan diperlukan sebagai payung dan landasan untuk

melaksanakan e-government. Hukum yang harus ada adalah hukum

terkait privasi dan isu terkait, hukum perubahan proses bisnis dan

sistem informasi, dan hukum arsitektur teknologi informasi pemerintah

dan pendirian sebuah pusat komputer terintegrasi.

3. Struktur Organisasi

Struktur organisasi mempengaruhi 30 – 50% dari usaha yang

dilakukan untuk mendukung kesuksesan e-government. Dalam

melakukan perubahan struktur organisasi harus memperhatikan segi

kepemimpinan yang memiliki komitmen kuat, perencanaan untuk

33
manajemen TI dan manajemen perubahan, persiapan dan

pelaksanaan anggaran, koordinasi dan kolaborasi, pemantauan dan

pengukuran kinerja serta kemitraan antara pemerintah, swasta, dan

masyarakat.

4. Proses bisnis

Evaluasi terhadap proses bisnis yang telah dilakukan diperlukan untuk

melihat apakah proses bisnis yang dijalankan sudah optimal. Jika

belum, perlu dilakukan penyesuaian atau perubahan agar

implementasi e-government bisa maksimal. Business Process

Reengineering (BPR) merupakan alat untuk melakukan inovasi proses

bisnis yang meliputi perancangan ulang alur kerja dalam atau antar

departemen untuk meningkatkan efisiensi proses.

5. Teknologi Informasi

Teknologi informasi memiliki karakter berubah dengan cepat. Hal ini

berdampak pada penggunaan teknologi dan perencanaannya,

sehingga dalam menentukan teknologi yang akan digunakan harus

mempertimbangkan, antara lain : tingkatan dari teknologi aplikasi yang

dibutuhkan sehingga sesuai dengan kebutuhan, infrastruktur jaringan,

interoperabilitas, standarisasi, serta kemampuan teknis dan SDM.

Berikut ini gambar faktor-faktor kesuksesan implementasi e-

government :

34
(Sumber : Soh Bong Yu, e-government of Korea : How we have been working it (KADI
presentation), 25 )
Gambar 2.2
Faktor-faktor kesuksesan implementasi e-government

2.1.4 Pengukuran E-government

Untuk membangun e-Government sesuai dengan tujuannya, yaitu

memberikan kualitas layanan yang lebih baik kepada masyarakat, Booz

Allen dan Hamilton dalam Indrajit (2005:47-48), menyarankan 8 (delapan)

strategi e-Government:

1. Perencanaan strategi secara keseluruhan. Kombinasikan antara

perencanaan dari sisi strategis dan detail operasionalnya di

lapangan. Perencanaan akan membantu proses implementasi baik

dari sisi pengembangan teknologi maupun kesiapan sumber daya;

2. Harus ada struktur tanggung jawab yang jelas untuk menjamin

pelaksanaan dan implementasi sesuai rencana;

35
3. Bangun rencana aksi jangka panjang. Rencana aksi jangka panjang

termasuk perencanaan strategis, aksi operasional di lapangan hinga

parameter kesuksesan. Implementasi dari sisi teknologi hampir pasti

memerlukan tahapan-tahapan pelaksanaan, dan faktor lain yang

dipikirkan adalah pembiayaan dalam jangka panjang;

4. Perbandingan pelaksanaan e-government secara internasional.

Dengan melakukan proses perbandingan, akan lebih memudahkan

bagi proses adaptasi dan penyesuaian perencanaan yang

disesuaikan dengan kondisi secara lokal;

5. Standarisasi dalam berbagai hal. Standarisasi ini menyangkut

prosedur dan juga pembangunan sistem aplikasi. Karena e-

government akan melibatkan berbagai sektor dan departemen dalam

pemerintahan, standarisasi menjadi faktor dan memungkinkan

adanya pertukaran data;

6. Oreantasi pada pengguna. Tidak bisa dipungkiri, bahwa e-

government membutuhkan partisipasi penuh dari masyarakat

sebagai pengguna. Oleh karena itu pengembangan sistem informasi

yang akan dilaksanakan haruslah beroreantasi pada kemudahan dan

kenyamanan masyarakat dalam menggunakannya;

7. Integrasi dan keterlibatan penuh dari staf dan seluruh pegawai.

Mereka perlu mendapatkan pelatihan yang memadai, dan ada

insentif yang diukur berdasarkan kesuksesan pelaksanaan e-

government di lapangan. Keterlibatan pegawai menjadi mutlak

36
karena sebaik apapun sistem aplikasi yang dijalankan tidak akan

mempunyai manfaat penuh tanpa keterlibatan mereka;

8. Kerjasama dengan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta.

e-government adalah proses yang sangat besar yang membutuhkan

partisipasi dari berbagai kalangan. Pemerintah akan sulit

menjalankan program e-Government tanpa partisipasi penuh dari

masayarakat. Karena itu kerjasama dengan berbagai pihak terutama

yang terkait secara teknis perlu dilakukan.

Menurut Booz Allen dan Hamilton dalam Indrajit (2005:43-44),

terdapat lima dimensi dalam Balanced e-government scorecard sebagai

alat ukur kinerja pemerintahan yang menerapkan e-government yang

masing-masing dijabarkan dalam berbagai kriteria secara lebih detail.

Kelima dimensi itu adalah:

1. Dimensi Manfaat, berhubungan dengan kualitas dan kuantitas layanan

yang diberikan dan bagaimana masyarakat mendapatkan manfaat

dari layanan tersebut. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah:

a. Cakupan layanan yang sudah diimplementasikan;

b. Bagagaimana layanan tersebut bisa diakses dalam one stop shop

dari satu portal menuju berbagai layanan;

c. Kemudahan pengguna dalam mendapatkan layanan tersebut.

2. Dimensi Efisiensi, berhubungan dengan bagaimana teknologi bisa

mempercepat proses dan meningkatkan kulitas layanan. Kriteria

dalam efisiensi, diantaranya:

37
a. Ketersediaan arsitektur proses, aplikasi, dan database yang bisa

berjalan dengan baik ketika dibutuhkan;

b. Perencanaan sumber daya dan keuangan secara baik;

c. Pemanfaatan platform teknologi informasi dan teknologi secara

maksimal pada keseluruhan aspek.

d. Kualitas dan ruang lingkup bagi para staf dan pegawai.

3. Dimensi Partisipasi, ini berhubungan dengan pertanyaan apakah

layanan yang diberikan memberikan kesempatan yang luas kepada

masyarakat untuk memberikan partisipasi dalam penyampaian

pendapat dan proses pengambilan keputusan. Beberapa kriteria

dalam hal ini, di antaranya:

a. Akses langsung masyarakat terhadap orang yang berkepentingan

melalui web;

b. Pertimbangan terhadap umpan balik dan keinginan masyarakat;

c. Pengaruh dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan;

d. Kemungkinan untuk memperdebatkan topik yang menyangkut

masyarakat umum (tersedianya fasilitas chatting, forum, dan,

milis).

4. Dimensi Transparansi, apakah pemerintah dalam hal ini, mendorong

keterbukaan informasi menuju proses transparansi dalam

pemerintahan. Kriteria transparansi, di antaranya:

a. Banyaknya informasi yang dikeluarkan pemerintah dalam proses

pengambilan keputusan (misalnya konferensi pers, release hasil

38
rapat kabinet, dan lain-lain);

b. Informasi status permohonan aplikasi yang diajukan masyarakat.

Apakah masyarakat misalnya bisa menanyakan dan mengetahui

secara langsung apakah permohonan aplikasinya disetujui atau

tidak;

c. Topicality of information.

5. Dimensi Manajemen Perubahan, ini terkait dengan proses

implementasi apakah ada proses review yang jelas dan dikelola

dengan baik. Kriteria dalam hal ini, di antaranya:

a. Strategi pengembangan, misalnya seberapa besar implementasi

melibatkan perbandingan dan studi kasus dengan implementasi di

tempat lain;

b. Kualitas kontrol dan review;

c. Keterlibatan dan motivasi dari pegawai.

Menurut Indrajit (2005:8-9), terdapat sejumlah faktor penentu yang

patut menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tingkat kesiapan

sebuah daerah untuk menerapkan e-government, yaitu:

1. Infrastruktur Telekomunikasi, dalam level pelaksanaannya, perangkat

keras seperti komputer, jaringan, dan infrastruktur akan menjadi faktor

teramat sangat penting dalam penerapan e-government;

2. Tingkat Konektivitas dan Penggunaan TI oleh Pemerintah, dengan

mengamati sejauh mana pemerintah saat ini telah memanfaatkan

beraneka ragam teknologi informasi dalam membantu kegiatan

39
sehari-hari akan tampak sejauh mana kesiapan mereka untuk

menerapkan konsep e- government;

3. Kesiapan Sumber Daya Manusia di Pemerintah, yang akan menjadi

“pemain utama” atau subek di dalam inisiatif e-government pada

dasarnya adalah manusia yang bekerja di lembaga pemerintahan,

sehingga tingkat kompetensi dan keahlian mereka akan sangat

mempengaruhi performa penerapan e-government;

4. Ketersediaan Dana dan Anggaran, sangat jelas terlihat bahwa sekecil

apapun inisiatif e-government yang akan diterapkan, hal itu

membutuhkan sejumlah sumber daya finansial untuk membiayainya;

5. Perangkat Hukum, karena konsep e-government sangat terkait

dengan usaha penciptaan dan pendistribusian data/informasi dari

satu pihak ke pihak lain, masalah keamanan data/informasi dan hak

cipta intelektual, misalnya, akan merupakan hal yang perlu dilindungi

oleh undang-undang atau peraturan hukum yang berlaku;

6. Perubahan Paradigma, pada hakekatnya penerapan e-government

merupakan suatu proyek change management yang membutuhkan

adanya keinginan untuk mengubah paradigma dengan cara berfikir.

Sementara itu, berdasarkan hasil studi sejumlah praktisi e-

government di berbagai negara dalam Indrajit (2002:19), secara pokok

ada 3 (tiga) tantangan terbesar yang dihadapi oleh pemerintah maupun

masyarakat dalam mengembangkan konsep e-government di negaranya

masing-masing, yaitu:

40
1. Tantangan yang berkaitan dengan cara menciptakan dan menentukan

kanal-kanal akses digital (maupun elektronik) yang dapat secara

efektif dipergunakan oleh masyarakat maupun pemerintah;

2. Tantangan yang berkaitan dengan keterlibatan lembaga-lembaga lain

di luar pemerintah (pihak komersial swasta maupun pihak-pihak non

komersial lainnya) dalam mengembangkan infrastruktur maupun

superstrukur e-government yang dibutuhkan; dan

3. Tantangan yang berkaitan dengan penyusunan strategi institusi

terutama yang berkaitan dengan masalah biaya investasi dan

operasional sehingga program manajemen perubahan e-government

ini dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan yang diinginkan.

Dalam konsep e-government, Indrajit (2002) dikenal empat jenis

klasifikasi di antaranya yaitu:

1. Government to citizen (G-To-C).

Tipe G-To-C merupakan aplikasi e-government yang paling umum,

dimana pemerintah membangun dan menetapkan berbagai

portofolio teknologi informasi dengan tujuan utama memperbaiki

interaksi dengan masyarakat.

2. Government to business (G-To-B).

Tipe G-To-B merupakan aplikasi e-government yang digunakan

untuk memperlancar perusahaan swasta dalam menjalankan roda

perusahaanya serta menciptakan relasi dengan pemerintah secara

baik dan efektif.

41
3. Government to government (G-To-G).

Tipe G-To-G merupakan aplikasi e-government yang digunakan

antar pemerintah untuk memperlancar kerjasama dalam melakukan

halhal yang berkaitan dengan adminstrasi perdagangan, proses

politik maupun mekanisme hubungan social dan budaya.

4. Government to employees (G-to-E).

Tipe G-To-E merupakan aplikasi e-government yang digunakan

untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan pegawai negeri

yang bekerja di sejumlah institusi pemerintahan sebagai pelayan

masyarakat.

Sumber: Blueprint e-Gov, 2004

Gambar 2.3
Peta Solusi Aplikasi E-government

Setiap kelompok sistem tersebut, masing-masing dibagi lagi ke

dalam tiga sub kelompok berdasarkan orientasi pengguna yang

dilayaninya, (Blueprint e-Gov, 2004) sebagai berikut:

42
1. Kelompok sistem aplikasi e-government yang orientasi fungsinya

melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat (G2C:

Government To Citizen).

2. Kelompok sistem aplikasi e-government yang orientasi fungsinya

melayani kebutuhan dan kepentingan kalangan bisnis (G2B:

Government To Business).

3. Kelompok sistem aplikasi e-government yang orientasi fungsinya

melayani kebutuhan internal lembaga kepemerintahan, atau

kebutuhan dari pemerintah daerah lainnya (G2G: Government To

Government).

Selain itu, untuk melaksanakan maksud tersebut pengembangan

E-government diarahkan untuk mencapai empat tujuan menurut Inpres RI

No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional

Pengembangan e-government, yaitu :

1. Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik

yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan

masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah

Indonesia pada setiap saat tidak dibatasi oleh sekat waktu dan

dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.

2. Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk

meningkatkan perkembangan perekonomian nasional dan

memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan

perdagangan internasional.

43
3. Pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan

lembagalembaga negara serta penyediaan fasilitas dialog publik

bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan

kebijakan negara.

4. Pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan

dan efisien serta memperlancar transaksi dan layanan antar

lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom.

Dalam Jurnal Administrasi Negara (2006:19) dijelaskan bahwa e-

government merupakan pemanfaatan dan pendayagunaan teknologi

komunikasi dan informasi dalam rangka mencapai beberapa tujuan dan

kebutuhan akan:

1. Meningkatkan efisiensi dan cost-efectiveness dari pemerintah;

2. Memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik;

3. Menyediakan akses informasi kepada publik secara lebih luas;

4. Menjadikan penyelenggaraan pemerintah lebih bertanggung jawab

dan transparan kepada masyarakat.

Menurut Indrajit (2002:5) manfaat yang diperoleh dengan

diterapkannya konsep e-government bagi suatu negara, antara lain:

1. Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para

stakeholder-nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri)

terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi di berbagai

bidang kehidupan bernegara;

44
2. Meningkatkan trasnparansi, kontrol, dan akuntabilitas

penyelenggaraan pemerintah dalam rangka penerapan konsep

Good Governance;

3. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi,relasi, dan

interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholdernya

untuk keperluan aktivitas sehari-hari;

4. Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber-

sumber pendapatan baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak

berkepentingan;

5. Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara

tepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan

dengan berbagai perubahan global dan trend yang ada;

6. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra

pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan publik

secara merata dan demokratis.

2.1.5 Pengertian Tata Kelola Pemerintah (Good Governance)

Menurut Sedarmayanti (2004:2) Pemerintah atau “Government”

dalam bahasa inggris diartikan sebagai “the authoritative direction and

administration of the affairs of men/women in a nation, state, city, etc”,

berarti pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan

orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota dan sebagainya.

Sedangkan istilah “kepemerintahan” atau dalam bahasa inggris

45
“governance” yaitu the act, fact, manner of govenning” berarti tindakan,

fakta, pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan”.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pemerintah

didefinisikan sebuah sistem yang menjalankan wewenang dan kekuasaan

dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau

bagian- bagiannya.

Menurut Joko Widodo (2001:18) konsep “government” menunjuk

pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi

(negara dan pemerintah). Perwujudan good government menurut LAN

dalam Joko Widodo (2001:24) adalah :

“Penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan


bertanggungjawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga
“kesinergiaan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain
negara, sektor swasta dan masyarakat (society).”

Tabel 2.1.
Perbedaan Goverment dan Governance
Unsur
No Goverment Governance
Perbandingan
1 Pengertian Dapat berarti Dapat berarti cara
badan/lembaga atau penggunaan atau
fungsi yang dijalankan pelaksanaan
oleh suatu organ
tertinggi dalam
suatu negara
2 Sifat hubungan Hirearkhi Keterakhis dalam arti
ada
kesetaraan kedudukan
dan hanya fungsi
3 Komponen Sebagai subjek yang Ada tiga komponen
yang terlibat hanya ada satu yaitu yang terlibat, yaitu :
institusi pemerintahan sektor publik, sektor

46
swasta dan
Masyarakat
4 Pemegang Sektor pemerintahan Semua memegang
peranan dominan peran sesuai dengan
fungsi
masing-masing
5 Efek yang Kepatuhan warga Pertisipasi warga
diharapkan negara negara
6 Hasil akhir Pencapaian tujuan Pencapaian tujuan
yang Negara melalui negara dan tujuan
diharapkan kepatuhan warga masyarakat sebaga
negara warga negara maupun
sebagai warga
Masyarakat

Menurut Hamdi (2002), good governance bermakna tingkat

efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi

kebijakan dan kebijakan yang senyatanya dilaksanakan, khususnya dalam

pelaksanaan kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan,

stabilitas dan kesejahteraan rakyat.

Sedangkan wujud kepemerintahan yang baik (Good Governance)

adalah penyelenggaraan negara yang solid dan bertanggung jawab dan

efektif dan efisien dengan mensinergikan interaksi yang konstruktif

diantara domain-domain negara (Badan Pendidikan&Latihan.2010).

Good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang

baik. Good dalam governance mengandung dua pengertian (BPKP,

2002:6) yaitu: (1) nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak

rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam

mencapai tujuan nasional untuk kemandirian, pembangunan berkelanjutan

47
dan keadilan sosial; (2) aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang

effisien dan efektif dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-

tujuan tersebut.

Soepomo (2000:143) menjelaskan istilah good governance adalah

pemerintahan yang baik dalam melaksanakan tugas-tugas yang

diembannya dan berakuntabel dengan terhadap publik secara profesional,

transparan, bertanggung jawab dan adil. Selanjutnya dijelaskan untuk

mewujudkannya jalan yang ditempuh adalah memberantas KKN dan

memperbaiki kinerja pemerintah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka tata kelola pemerintahan

merupakan sebuah proses pengarahan, pengelolaan dan

penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki interaksi yang konstruktif di

antara lembaga negara, sektor swasta dan masyarakat. Maka

terselenggaranya tata kelola pemerintah merupakan prasyarat bagi setiap

pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai

tujuan serta cita-cita bangsa dan bernegara.

2.1.6 Pengertian Good Governance dalam Prespektif Tata Negara

Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah

penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola

urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup

seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan

kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,

48
menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani

perbedaan-perbedaan diantara mereka.

Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme

pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh

sektor negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif.

Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada

yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama

dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang

bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui bahwa

didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang

bekerja pada tingkat yang berbeda.

Meskipun mengakui ada banyak actor yang terlibat dalam proses

sosial, governance bukanlah sesuatu yang terjadi secara chaotik, random

atau tidak terduga. Ada aturan-aturan main yang diikuti oleh berbagai

aktor yang berbeda. Salah satu aturan main yang penting adalah adanya

wewenang yang dijalankan oleh negara. Tetapi harus diingat, dalam

konsep governance wewenang diasumsikan tidak diterapkan secara

sepihak, melainkan melalui semacam konsensus dari pelaku-pelaku yang

berbeda. Oleh sebab itu, karena melibatkan banyak pihak dan tidak

bekerja berdasarkan dominasi pemerintah, maka pelaku-pelaku diluar

pemerintah harus memiliki kompetensi untuk ikut membentuk, mengontrol,

dan mematuhi wewenang yang dibentuk secara kolektif.

49
Dokumen United Nations Development Program (UNDP)

menjelaskan, Tata Pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi

politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada

semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses

dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok

masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak

hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan

diantara mereka.

Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara

negara, pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah

karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan

dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi

untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan

kesehatan dan infrastruktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu

masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya

sistem demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya

pluralisme. Good governance sangat terkait dengan dua hal yaitu

pertama, good governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan

ekonomi dan kedua, tujuan ekonomi pun tidak dapat dicapai tanpa

prasyarat politik tertentu.

2.1.7 Karakteristik Tata Kelola Pemerintah Yang Baik (Good

Governance)

50
Menurut Tamim (2003), terdapat enam hal yang menunjukkan

bahwa suatu pemerintahan memenuhi kriteria good governance, yaitu :

1. Competence, bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus

dilakukan dengan mengedepankan profesionalitas dan kompetensi

birokrasi.

2. Transparancy, artinya setiap proses pengambilan kebijakan publik

dan pelaksanaan seluruh fungsi pemerintahan harus

diimplementasikan dengan mengacu pada prinsip keterbukaan.

3. Accountability, artiya bahwa setiap tugas dan tanggung jawab

pemerintahan daerah harus diselenggarakan dengan cara yang

terbaik dengan pemanfaatan sumber daya efisien demi keberhasilan

penyelenggaraan pemerintahan di daerah, Karena setiap dan

tindakan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan ke

hadapan publik maupun dari kacamata hukum.

4. Participation, artinya dengan adanya Otonomi Daerah, maka

intensitas kegiatan pada masing-masing daerah menjadi semakin

besar.

5. Rule of law, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus

didasarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang

jelas.

6. Social Justice, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam

implementasinya harus menjamin penerapan prinsip kesetaraan dan

keadilan bagi setiap anggota masyarakat.

51
Sehubungan dengan hal itu, Bappenas dan Biro Pusat Statistik

(BPS) yang disponsori oleh UNDP (1997) merumuskan 10 prinsip good

governance yang penting diperhatikan dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan di Indonesia, yaitu :

1. Partisipasi, artinya mendorong setiap warga untuk mempergunakan

hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan

keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara

langsung maupun tidak langsung;

2. Penegakan hukum, artinya mewujudkan adanya penegakan hukum

yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi

HAM, dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

3. Transparansi, artinya menciptakan kepercayaan timbal balik antara

pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan

menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan

memadai.

4. Kesetaraan, artinya memberikan peluang yang sama bagi setiap

anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.

5. Daya tanggap, artinya meningkatkan kepekaan para penyelenggara

pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.

6. Wawasan ke depan, artinya membangun daerah berdasarkan visi

dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh

52
proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut

bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya.

7. Akuntabilitas, artinya meningkatkan akuntabilitas publik para

pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut

kepentingan masyarakat luas.

8. Pengawasan, artinya meningkatkan upaya pengawasan terhadap

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan

mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.

9. Efisiensi dan efektif, artinya menjamin terselenggaranya pelayanan

kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang

tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.

10. Profesionalisme, artinya meningkatkan kemampuan dan moral

penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang

mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.

Prinsip yang mendasari tata kepemerintahan yang baik (good

governance) sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi yang lain.

Menurut Robbins (2001), terdapat tiga istilah yang menjadi sentral topik

dalam terminologi good governance, yaitu 1) Akuntabilitas, yang

menyatakan sebagian besar efektivitas pengaruh dari mereka yang

diperintah terhadap orang yang memerintah; 2) legitimasi, yang berkaitan

dengan hak Negara untuk menjalankan kekuasaan terhadap warga-

warganya dan seberapa jauh kekuasaan ini dianggap sah untuk

53
diterapkan; 3) transparansi, yang didasarkan pada adanya mekanisme

untuk menjamin akses umum kepada pengambilan keputusan.

Krina (2003) menegaskan bahwa good governance dilandasi oleh

empat pilar, yaitu (1) accountability, (2) transparency, (3) predictability,

dan (4) participation. Sejalan dengan itu, Bappenas (dalam Krina, 2003)

menegaskan bahwa paling tidak ada tiga prinsip utama yang melandasi

good governance, yaitu (1) akuntabilitas, (2) transparansi, dan (3)

pratisipasi masyarakat.

Menurut OECD kriteria good governance terdiri dari: fairness,

transparency, accountability, responsibility (Sukrisno Agoes, 2004). OECD

merupakan organisasi internasional yang memiliki kepentingan untuk

memajukan praktik manajemen publik di negara- negara berkembang.

OECD memiliki konsep yang tidak jauh berbeda dengan konsep New

Public Management (NPM) maupun reinventing government menurut

David Osborne (1992). Konsep NPM adalah bahwa agar organisasi sektor

publik bisa meningkatkan kinerjanya, maka sektor publik harus

mengadopsi praktek manajemen yang lebih maju di sektor swasta

tersebut ke dalam organisasi sektor publik (Mahmudi, 2004).

Menurut Bank Dunia (Tjokroamidjojo, 2000) terdapat empat prinsip

penting good governance yaitu transparensy, accountability, predictability

yang sama dengan rule of law dan participation. Dalam penelitian ini

diambil tiga pilar utama good governance menurut I Wayan Gede

Suacana dalam Disertasi Program Doktor Kajian Budaya Universitas

54
Udayana (2008) yaitu (1) Transparansi (transparency); (2) Akuntabilitas

(accountability); dan (3) Partisipasi (participation).

Berdasarkan pendapat di atas maka penulis membatasi hanya

pada tiga unsur utama good governance yaitu akuntabilitas, transparansi

dan partisipasi sebagai tolak ukur dalam penelitian ini. Untuk membatasi

kajian deskriptif dengan beberapa alasan bahwa tolok ukur demokrasi

yang baru dibangun menyebabkan reformasi birokrasi masih belum sesuai

dengan tuntutan masyarakat. Terbukanya sistem demokrasi

menyebabkan harapan masyarakat yang semakin tinggi dan semestinya

diimbangi dengan peningkatan kinerja dengan memfokuskan kualitas

sumber daya manusia setempat dengan memanagerial kualitas

kelembagaan untuk mencapai efektifitas good governance secara baik.

1. Transparansi (Tranparency)

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan

bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan

pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan

pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi yakni

adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Informasi adalah informasi

mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh

publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan

politik yang sehat, toleran dan kebijakan dibuat berdasarkan pada

preferensi publik (Bapenas & Depdagri, 2002).

Transparansi menjadi sangat penting bagi pelaksanaan fungsi-fungsi

55
pemerintah dalam menjalankan mandat dari rakyat. Mengingat pemerintah

memiliki kewenangan mengambil berbagai keputusan penting yang

berdampak bagi orang banyak, pemerintah harus menyediakan informasi

yang lengkap mengenai apa yang dikerjakannya. Dengan transparansi,

kebohongan sulit untuk disembunyikan. Dengan demikian transparansi

menjadi instrumen penting yang dapat menyelamatkan uang rakyat dari

perbuatan korupsi.

Prinsip-prinsip transparansi dapat diukur melalui sejumlah indikator

(Krina, 2003) seperti berikut:

1. Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari

semua proses-proses pelayanan publik.

2. Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan- pertanyaan publik tentang

berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses

didalam sektor publik.

3. Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran

informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam

kegiatan melayani.

Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik,

pada akhirnya akan membuat pemerintah menjadi bertanggung jawab

kepada semua stakeholders yang berkepentingan dengan proses maupun

kegiatan dalam sektor publik. Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu (1)

komunikasi publik oleh pemerintah, dan hak masyarakat terhadap akses

informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak

56
menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah

titik awal dari transparansi. Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif

dari pemerintah untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun

aktivitasnya yang relevan. Transparansi harus seimbang, juga dengan

kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi

yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena pemerintahan

menghasilkan data dalam jumlah besar, maka dibutuhkan petugas

informasi professional, bukan untuk membuat dalih atas keputusan

pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusan- keputusan yang

penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari setiap

kebijakan tersebut.

Lebih lanjut Krina (2003) menyatakan, dalam rangka penguatan

partisipasi publik, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah:

1. Mengeluarkan informasi yang dapat diakses oleh publik;

2. Menyelenggarakan proses konsultasi untuk mengali dan

mengumpulkan masukan-masukan dari stakeholders termasuk

aktivitas warga negara dalam kegiatan publik.

2. Akuntabilitas (Accountability)

Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan

pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan

tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada

pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan

57
atau pertanggung jawaban (LAN-RI, 2003:3).

Menurut The World bank (2007) accountability as ”holding people to

account for their impact on the lives of people.People who are effected

have the right to be heard and to have their views taken in to account.

People with power have the obligation to listen and respon. To enforce

these rights and obligations, societies have established sanctions”

Dalam pelaksanaan akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah

(LAN-RI, 2000:43) perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk

melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel

2. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan

sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku

3. Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran

yang telah ditetapkan.

4. Harus berorientasi pada pencapaian misi dan misi serta hasil dan

manfaat yang diperoleh

5. Harus jujur, objektif, transparan dan inovatif sebagai katalisator

perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk

pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan penyusunan

laporan akuntabilitas.

Krina (2003) menyatakan ketiga prinsip (transparansi, akuntabilitas

dan partisipasi) tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri, ada hubungan yang

58
sangat erat dan saling mempengaruhi, masing-masing adalah instrumen

yang diperlukan untuk mencapai prinsip yang lainnya, dan ketiganya

adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai manajemen publik

yang baik. Walaupun begitu, akuntabilitas menjadi kunci dari semua

prinsip ini. 3 Prinsip ini menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab

(answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen pertama

istilah yang bermula dari responsibilitas adalah berhubungan dengan

tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap

pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka

menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah

dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber

daya tersebut.

Menurut Gary et al. (1996;10) dalam Chowdhury et al. (2005)

menyatakan bahwa kerangka akuntabilitas berguna dalam menganalisa

informasi akuntansi yang ditransmisi secara umum. Parker & Guthrie

(1993:71) dalam Chowdhury et al. (2005) menyatakan bahwa harapan

publik akan mendominasi dan menentukan arah akuntabilitas sektor

publik.

Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan

pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga

pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus

menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances sistem).

Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil

59
presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta

legislatif (MPR dan DPR). Peranan pers yang semakin penting dalam

fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar keempat Guy Peter

dalam Rusliyawati dan Halim (2007) menyebutkan adanya 3 tipe

akuntabilitas yaitu : (1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas

administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan publik. Akuntabilitas publik

adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan

pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku

kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas

berhubungan dengan kewajiban dari institusi pemerintahan maupun para

aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun

melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun kebutuhan

masyarakat. `Akuntabilitas publik menuntut adanya pembatasan tugas

yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi. Karena pemerintah

bertanggung jawab baik dari segi penggunaan keuangan maupun sumber

daya publik dan juga akan hasil, akuntabilitas internal harus dilengkapi

dengan akuntabilitas eksternal, melalui umpan balik dari para pemakai

jasa pelayanan maupun dari masyarakat. Prinsip akuntabilitas publik

adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat

kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau

norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang

berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga, berdasarkan

60
tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah :

1. Pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator

untuk menjamin akuntabilitas publik adalah:

a. pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan

tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan

b. pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-

nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip

administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di

stakeholders

c. adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan

sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang

berlaku

d. adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah

terpenuhi, dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban

jika standar tersebut tidak terpenuhi

e. konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah

ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut.

2. Pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin

akuntabilitas publik adalah :

a. penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui

media massa, media nirmassa, maupun media komunikasi

personal

b. akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan

61
cara mencapai sasaran suatu program

c. akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah

keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat

d. ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil

yang telah dicapai oleh pemerintah.

3. Partisipasi (Participation)

Partisipasi adalah setiap warganegara mempunyai suara dalam

pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi

institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi ini dibangun

atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi

secara konstruktif (LAN & BPK, 2000).

Partisipasi masyarakat menurut Dwipayana dkk (2003) dapat dilihat

dari 3 (tiga) aspek yaitu: akses, kontrol dan voice masyarakat dalam

policy making process. Prinsip dan indikator partisipasi masyarakat dalam

penganggaran menurut Sulistioni dan hendriadi (2004) mencakup hal-hal

berikut:

1. Adanya akses bagi partisipasi aktif publik dalam proses perumusan

program dan pengambilan keputusan anggaran. Indikatornya adalah

sebagai berikut:

a. Dalam proses penyusunan anggaran dibuka ruang bagi

keterlibatan publik secara langsung

b. Dalam proses legislasinya, berapa frekwensi publik hearing dan

pihak mana saja yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

62
Persentase dapat diukur dengan membandingkan jumlah

sidang/rapat yang diagendakan secara resmi dengan jumlah

publik hearing yang dilaksanakan.

2. Adanya peraturan yang memberikan tempat ruang kontrol oleh

lembaga independen dan masyarakat baik secara perorangan

maupun kelembagaan sebagai media check and balances

a. Adanya peraturan yang menjadi landasan hukum dan

menjelaskan batasan kewenangan dan tanggung jawab lembaga

kontrol independen atau masyarakat dalam melakukan

pengawasan dan monitoring terhadap pelaksanaan keuangan

negara

b. Substansi peraturan memberikan ruang gerak lembaga

independen atau masyarakat untuk mengakses dokumen

keuangan negara

c. Seberapa banyak lembaga kontrol dan unsur masyarakat lainnya

yang memberikan perhatian pada proses pengelolaan keuangan

negara

3. Adanya sikap proaktif pemerintah daerah untuk mendorong partisipasi

warga pada proses penganggaran. Hal ini mengingat kesenjangan

yang tajam antara kesadaran masyarakat tentang cara berpartisipasi

yang efektif dan cita-cita mewujudkan APBD yang aspiratif.

2.1.8 Kualitas Pelayanan

63
Menurut (Brewster et.al, 2010) dalam buku IT Service Management

ITIL, value of service diciptakan dari dua hal yaitu utility dan warranty.

Yang dimaksud utility adalah hal positif yang dirasakan oleh konsumen

berkaitan dengan capaian yang diinginkan oleh seorang konsumen

terhadap sebuah layanan (fit for purpose). Sedangan warranty mengacu

pada bagaimana sebuah utility tersebut disampaikan kepada konsumen

(fit for use) yang diturunkan dari hal positif yang dirasakan oleh konsumen

tersebut. Sebuah value hanya akan tercipta jika baik utility maupun

warranty sama-sama tercipta. Gambaran dalam penyampaian value milik

ITIL dapat dilihat pada Gambar 2.2. Utility memastikan bahwa apakah

layanan yang diberikan tersebut mampu mendukung kinerja konsumen

(performance supported) dan mampu mengurangi batasan (constraints

removed). Sedangkan warranty memastikan bahwa layanan tersebut

tersedia (available) dengan kapasitas (capacity), keberlanjutan

(continuity) dan keamanan (security) yang mencukupi. Available

merupakan aspek dasar yang akan menjadi jaminan kepada masyarakat

bahwa layanan tersebut akan tersedia dengan kondisi dan syarat yang

telah disetujui. Capacity merujuk bahwa terdapat jaminan layanan yang

akan mendukung aktivitas atau permintaan layanan e-government yang

dibutuhkan oleh masyarakat. Aspek ini akan berdampak langsung

terhadap ketersediaan (availability) dari sebuah layanan. Continuous

merujuk pada dukungan dari keberlangsungan sebuah layanan. Misalnya

dengan melakukan kontrol atau perbaikan dari layanan e- government.

64
Sedangkan secure merujuk pada jaminan bahwa masyarakat akan

merasa aman dengan menggunakan layanan e-government dari

pemerintah

Ratminto (2005) mendefinisikan bahwa Pelayanan publik atau

pelayanan umum dapat didefenisikan sebagai segala bentuk jasa

pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang

pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dandilaksanakan oleh instansi

pemerintah di pusat, di daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik

Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangkaupaya pemenuhan

kebutuhan masyarakat maupun dalam rangkapelaksanaan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur

Negara Nomor 63 Tahun 2003 telah dijelaskan bahwa pengertian

pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan

oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan kebutuhan

peraturan perundangundangan. Sedangkan penyelenggara pelayanan

publik dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63

tahun 2003 diuraikan bahwa Instansi Pemerintah sebagai sebutan kolektif

yang meliputi Satuan Kerja/ satuan organisasi Kementerian, Departemen,

Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga

Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi Pemerintah lainnya, baik pusat

maupun Daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik

65
Daerah, Menjadi penyelenggara palayanan publik. Sedangkan pengguna

jasa pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan

badan hukum yang menerima layanan dari instansi pemerintah.

Menurut Nurmandi (1999: 14) Pelayanan publik mempunyai

beberapa ciri yaitu :

1. Tidak dapat memilih konsumen, artinya setiap masyarakat yang

datang dan membutuhkan pelayanan harus diperlakukan secara

baik;

2. Peranannya dibatasi oleh undang-undang, artinya dalam

menjalankan tugas melayani kepentingan masyarakat, tetap ada

norma, aturan dan ketentuan yang menjadi batas dan dasar;

3. Politik menginstitusionalkan konflik, artinya berbagai konflik dan

permasalahan yang terjadi sering merupakan dampak dari politik;

4. Pertanggungjawaban yang kompleks, karena mengatasnamakan

negara maka dalam pelayanan publik ada berbagai prosedur yang

tetap harus dijalankan;

5. Sangat sering diteliti;

6. Semua tindakan harus mendapat justifikasi;

7. Tujuan atau output sulit diukur atau ditentukan.

Pelayanan publik yang baik tentunya harus mengutamakan kualitas

pelayanan yang diberikan kepada konsumen / masyarakat. Kualitas

layanan dijadikan ukuran kinerja dari organisasi. Menurut Brewster and

Lawes (2010) dalam buku IT Service Management ITIL, service adalah

66
menyampaikan value yang diinginkan oleh konsumen. Sedangkan quality

adalah bagaimana kita bisa mendefinisikan value yang kita terima dari

karakteristik produk atau atribut dari sebuah layanan (N. Kenyon and

C.Sen, 2015). Menurut Parasuraman et al. (1985), quality memiliki

pengertian yang sulit untuk dijelaskan dan kecenderungan tidak jelas

antara satu pemahaman dengan pemahaman yang lainnya. Hal tersebut

disebabkan oleh karakteristiknya yang bersifat intangibility, heterogeneity

dan inseparability. Sehingga secara umum kualitas layanan dapat

dianggap bahwa (Parasuraman et al., 1985):

1. Mendefinisikan kualitas layanan lebih sulit dibandingkan dengan

kualitas suatu barang

2. Persepsi mengenai kualitas layanan merupakan hasil dari

perbandingan antara ekspektasi konsumen dengan performa

aktual layanan yang mereka terima

3. Evaluasi sebuah kualitas tidak hanya dari hasil akhir layanan yang

diberikan, namun juga mencakup proses yang dilakukan untuk

menciptakan sebuah layanan

Dari situlah ada beberapa peneliti dan manajer setuju bahwa

kualitas layanan adalah perbandingan antara ekspektasi dengan

performa. Pena et al. (2013) yang menyebutkan bahwa kualitas layanan

dapat dilihat dari tingkat efektivitas yang diberikan oleh layanan tersebut

dari ekspektasi pengguna. Sedangkan menurut Schneider and S. White

67
(2004) kualitas layanan dapat diartikan sebagai sebuah pencapaian

unggulan, pencapaian sebuah keinginan atau menjadi berguna.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala

bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa

publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan

oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan

Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.

2.1.9 Asas Pelayanan Publik

Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi

pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas

pelayanan (Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004) sebagai berikut:

1. Transparansi

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak

yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah

dimengerti

2. Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangundangan.

3. Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima

pelayanan dengan tetap berpegangan pada prinsip efisiensi dan

efektifitas

68
4. .Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan

pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan

harapan masyarakat.

5. .Kesamaan Hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras,

agama, golongan, gender dan status ekonomis.

6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberian dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak

dan kewajiban masing-masing pihak.

Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli

pelayanan publik, sebagai regulator/pembuat peraturan (rule

government/peraturan pemerintah) harus mengubah pola pikir dan

kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu

memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat

untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan

publik, pemerintah daerah juga harus memberikan kesempatan luas

kepada warga dan masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan

publik, berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, kondisional,

partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban.

Di Indonesia sendiri di tetapkan Standar Pelayanan Publik menurut

Keputusan Menteri PAN Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003, yang sekurang-

kurangnya meliputi:

69
1. Prosedur pelayanan;

2. Waktu Penyelesaian;

3. Biaya Pelayanan;

4. Produk Pelayanan;

5. Sarana dan Prasarana;

6. Kompetensi petugas pelayanan;

2.1.10 Mengukur Kualitas Pelayanan Publik Perspektif Pemerintah

Untuk mengetahui kepuasan pelanggan, dapat dilakukan melalui

survei pelanggan yang didasarkan pada dimensi-dimensi kualitas

pelayanan yang berkaitan erat dengan kebutuhan

pelanggan. Dalam mengukur kualitas pelayanan yang diberikan

penyelenggara pelayanan, sesungguhnya banyak dimensi-dimensi yang

dirancang para ahli yang dapat diadopsi, atau sebagai alat pemandu bagi

aparatur.

Berkembangnya era servqual juga memberi inspirasi pemerintah

Indonesia untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja pelayanan sektor

publik. Salah satu produk peraturan pemerintah terbaru tentang pelayanan

publik yang telahdi keluarkan untuk melakukan penilaian dan evaluasi

terhadap kinerja unit pelayanan publik instansi pemerintah adalah

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP-

25/M.PAN/2/2004 tanggal 24 Pebruari 2004 tentang Pedoman

Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi

Pemerintah. Meliputi 14 indikator yang relevan, valid, dan reliable untuk

70
melakukan pengukuran atas indeks kepuasan masyarakat akan

pelayanan publik.Kemudian definisi Pelayanan publik menurut Kepmen ini

adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara

pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima

layanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Menurut Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur

Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik menyatakan bahwa ukuran

komprehensif untuk servqual sektor publik antara lain:

1. Prosedur Pelayanan

yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada

masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.

Sehubungan dengan hal di atas, dalam sendi-sendi pelayanan

prima seperti yang dikutip Warella (1997 : 31) menyebutkan bahwa

untuk menilai pelayanan publik yang berkualitas dapat digunakan

kriteria-kriteria antara lain (1) kesederhanaan yaitu bahwa prosedur

atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar,

cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh

yang meminta pelayanan, (2) Adanya kejelasan dan kepastian

mengenai prosedur atau tata cara pelayanan, (3) Adanya

keterbukaan dalam prosedur pelayanan.Kemudian menurut

Carlson dan Schwartz (dalam denhardt, 2003 : 61) menyatakan

71
bahwa ukuran komprehensif untuk servqual sektor publik antara

lain Convenience (kemudahan) yaitu ukuran dimana pelayanan

pemerintah adalah mudah diperoleh dan dilaksanakan masyarakat.

Sementara itu salah satu unsur pokok dalam menilai kualitas jasa

yang dikembangkan Tjiptono (2002 : 14) antara lain (1)

Accessibility and Flexibility dalam arti sistem operasional atau

prosedur pelayanan mudah diakses dan dirancang fleksibel

menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.

2. Persyaratan pelayanan

yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk

mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.

Sehubungan dengan hal di atas, dalam sendi-sendi pelayanan

prima seperti yang dikutip Warella (1997 : 31) menyebutkan bahwa

untuk menilai pelayanan publik yang berkualitas dapat digunakan

kriteria-kriteria antara lain (1) Adanya kejelasan persyaratan

pelayanan baik teknis maupun administrasi, (2) Keterbukaan

mengenai persyaratan pelayanan, (3) Efisiensi persyaratan dalam

arti bahwa dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan

pelayanan serta dicegah adanya pengulangan pemenuhan

persyaratan.

3. Kejelasan petugas pelayanan

yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan

pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan dan tanggung

72
jawab). Sehubungan dengan hal di atas, menurut Gaspersz

(1997 : 2), atribut atau dimensi yang harus diperhatikan dalam

perbaikan kualitas pelayanan antara lain (1) Kemudahan

mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan berkaitan dengan

penerimaan pelayanan dan penanganan keluhan dari pelanggan

eksternal. Kemudian Morgan dan Murgatroyd (1994)

mengemukakan beberapa kriteria persepsi pelanggan terhadap

kualitas pelayanan antara lain (1) Responsiveness yaitu kesediaan

untuk membantu pelanggan dengan menyediakan pelayanan yang

cocok seperti yang mereka inginkan, (2) Access yaitu mudah

melakukan kontak dengan penyedia jasa.

4. Kedisiplinan petugas pelayanan

yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan

terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang

berlaku. Sehubungan dengan hal di atas, menurut Morgan dan

Murgatroyd (1994), beberapa kriteria persepsi pelanggan terhadap

kualitas pelayanan antara lain (1) Reliability yaitu kemampuan

untuk melaksanakan pelayanan yang telah dijanjikan dengan tepat

waktu, Credibility yaitu dapat dipercaya, jujur dan mengutamakan

kepentingan pelanggan.

Kemudian menurut Carlson dan Schwarz (dalam Denhardt, 2003 :

61) yang mengatakan bahwa ukuran yang komprehensif untuk

servqual sektor publik antara lain: (1) Reliability (keandalan) yaitu

73
menilai tingkat dimana pelayanan pemerintah disediakan secara

benar dan tepat waktu, (2) Personal attention (perhatian kepada

orang) yaitu ukuran tingkat dimana aparat menyediakan informasi

kepada masyarakat dan bekerja sungguh-sungguh dengan mereka

untuk memenuhi kebutuhan mereka.

5. Tanggung jawab petugas pelayanan

yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab dalam

penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan. Sehubungan

dengan hal di atas, dalam sendi-sendi pelayanan prima seperti

yang dikutip Warella (1997 : 31) menyebutkan bahwa untuk menilai

pelayanan publik yang berkualitas dapat digunakan kriteria-kriteria

antara lain (1) Kejelasan dan kepastian unit kerja atau pejabat yang

berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan,

(2) Keterbukaan mengenai satuan kerja/ pejabat penanggungjawab

pemberi pelayanan.

6. Kemampuan petugas pelayanan

yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam

memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.

Sehubungan dengan hal di atas, menurut Tjiptono (2002 : 14)

mengemukakan beberapa unsur untuk menilai kualitas jasa yang

antara lain (1) Profesionalism and Skill; yang berkaitan dengan

pengetahuan dan keterampilan (intelektual, fisik, administrasi

maupun konseptual) yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah

74
pelanggan secara profesional. Kemudian Morgan dan Murgatroyd

(1994) mengemukakan beberapa kriteria persepsi pelanggan

terhadap kualitas pelayanan antara lain (1) Competence, yaitu

menyangkut pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk

melaksanakan pelayanan.

7. Kecepatan pelayanan

yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang

telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan. Sehubungan

dengan hal di atas, menurut Gaspersz (1997 : 2 ), atribut atau

dimensi yang harus diperhatikan dalam perbaikan kualitas

pelayanan antara lain (1) Ketepatan waktu pelayanan, dimana hal

yang perlu diperhatikan berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu

proses. Kemudian dalam sendi-sendipelayanan prima seperti yang

dikutip Warella (1997 : 31) menyebutkan bahwa untuk menilai

pelayanan publik yang berkualitas dapat digunakan kriteria-kriteria

antara lain (1) Keterbukaan waktu penyelesaian, (2) Ketepatan

waktu yaitu bahwa pelaksanaan pelayanan publik dapat diseleaikan

dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

8. Keadilan mendapatkan pelayanan

yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan

golongan/status masyarakat yang dilayani. Sehubungan dengan

hal di atas, menurut Carlson dan Schwartz (dalam denhardt, 2003 :

61) menyatakan bahwa ukuran komprehensif untuk servqual sektor

75
publik antara lain (1) Fairness (keadilan) yaitu ukuran tingkat

dimana masyarakat percaya bahwa pelayanan pemerintah

disediakan sama untuk semua orang. Selanjutnya dalam sendi-

sendi pelayanan prima seperti yang dikutip Warella (1997 : 31)

menyebutkan bahwa untuk menilai pelayanan publik yang

berkualitas dapat digunakan kriteria-kriteria antara lain (1) Keadilan

yang merata yaitu bahwa cakupan/jangkauan pelayanan harus

diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan

diberlakukan.

9. Kesopanan dan keramahan petugas

yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling

menghargai dan menghormati. Sehubungan dengan hal di atas,

menurut Gaspersz (1997: 2), atribut atau dimensi yang harus

diperhatikan dalam perbaikan kualitas pelayanan antara lain

kesopanan dan keramahan dalam memberikan khususnya interaksi

langsung. Kemudian Morgan dan Murgatroyd (1994)

mengemukakan kriteria persepsi pelanggan terhadapkualitas

pelayanan yaitu Courtessy, yaitu sikap sopan, menghargai orang

lain, penuh pertimbangan dan persahabatan. Selain itu, menurut

Zeithaml dkk salah satu dimensi untuk mengukur kepuasan

pelanggan antara lain (1) Assurance yaitu kemampuan dan

keramahan serta sopan sanun pegawai dalam meyakinkan

76
kepercayaan konsumen, (2) Emphaty yaitu sikap tegas tetapi

penuh perhatian dari pegawai terhadap konsumen.

10. Kewajaran biaya pelayanan

yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang

ditetapkan oleh unit pelayanan. Sehubungan dengan hal di atas,

dalam pelayanan prima seperti yang dikutip Warella (1997: 31)

menyebutkan bahwa untuk menilai pelayanan publik yang

berkualitas dapat digunakan kriteria-kriteria antara lain (1)

Ekonomis yaitu biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar

dengan memperhatikan. Kemudian Tjiptono (2002: 14)

mengemukakan beberapa unsur untuk menilai kualitas jasa yang

antara lain (1) Reputation and Credibility yaitu pelanggan menyakini

bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan

nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya atau

biayanya.

11. Kepastian biaya pelayanan

yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang

telah ditetapkan. Sehubungan dengan hal di atas, dalam pelayanan

prima seperti yang dikutip Warella (1997 : 31) menyebutkan bahwa

untuk menilai pelayanan publik yang berkualitas dapat digunakan

kriteria-kriteria antara lain (1) Kejelasan dan kepastian mengenai

rincian biaya/tariffpelayanan dan tatacara pembayarannya, (2)

Keterbukaan mengenai rincian biaya/tariff pelayanan.

77
12. Kepastian jadwal pelayanan

yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang

telah ditetapkan. Sehubungan dengan hal di atas, dalam pelayanan

prima seperti yang dikutip Warella (1997 : 31) menyebutkan bahwa

untuk menilai pelayanan publik yang berkualitas dapat digunakan

kriteria-kriteria antara lain (1) Kejelasan dan kepastian yaitu yang

menyangkut jadwal waktu penyelesaian pelayanan. Kemudian

Carlson dan Schwartz (dalam denhardt, 2003 : 61) menyatakan

bahwa ukuran komprehensif untuk servqual sektor publik antara

lain (1) Reability (keandalan) yaitu menilaitingkat dimana pelayanan

pemerintah disediakan secara benar dan tepat waktu.

13. Kenyamanan lingkungan

yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi

dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada

penerima pelayanan. Sehubungan dengan hal di atas, menurut

Gaspersz (1997 : 2 ), atribut atau dimensi yang harus diperhatikan

dalam perbaikan kualitas pelayanan antara lain (1) Kenyamanan

dalam memperoleh pelayanan yang berkaitan dengan lokasi, ruang

tempat pelayanan, kemudahan menjangkau, ketersediaan

informasi dan lain-lain, (2) Atribut pendukung pelayanan lainnya

yang berkaitan dengan lingkungan, kebersihan, ruang tunggu,

fasilitas musik dan lain-lain. Kemudian menurut Zeithaml dkk salah

satu dimensi untuk mengukur kepuasan pelanggan antara lain (1)

78
Tangibles yaitu yang berupa sarana fisik perkantoran,

komputerisasi administrasi, ruang tunggu, tempatinformasi dan lain-

lain. Selanjutnya di dalam pelayanan prima seperti yang dikutip

Warella (1997 : 31) menyebutkan bahwa untuk menilai pelayanan

publik yang berkualitas dapat digunakan kriteria-kriteria antara lain

(1) penilaian fisik lainnya antara lain kebersihan dan kesejukan

lingkungan.

14. Keamanan pelayanan

yaitu terjaminnnya tingkat keamanan lingkungan unit

penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan,

sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan

pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari

pelaksanaan pelayanan. Sehubungan dengan hal di atas, menurut

Morgan dan Murgatroyd (1994) mengemukakan beberapa kriteria

persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan antara lain (1)

Security yaitu bebas dari resiko, bahaya dan keragu- raguan.

Kemudian Carlson dan Schwartz (dalam denhardt, 2003 : 61)

menyatakan bahwa ukuran komprehensif untuk servqual sektor

publik antara lain (1) Security yaitu ukuran tingkat dimana

pelayanan yang disediakan membuat masyarakat merasa aman

dan yakin ketika menerimanya. Selain itu, dalam pelayanan prima

seperti yang dikutip Warella (1997 : 31) menyebutkan bahwa untuk

menilai pelayanan publik yang berkualitas dapat digunakan kriteria-

79
kriteria antara lain (1) Keamanan yaitu proses serta hasil pelayanan

dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan memberikan

kepastian hukum bagi masyarakat.

Zeithaml et. Al. (1990) dalam Hardiansyah (2011:40) mengatakan

bahwa:

“SERVQUAL is an empirically derived method that may be used by a


services organization to improve service quality. The method involves the
development of an understanding of the perceived service needs of target
customers. The resulting gap analysis may then be used as a driver for
service quality improvement”.
SERVQUAL merupakan suatu metode yang diturunkan secara

empiris yang dapat diturunkan secara empiris yang dapat digunakan oleh

organisasi pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Metode ini

meliputi pengembangan pemahaman mengenai kebutuhan layanan yang

dirasakan oleh pelanggan. Hal ini diukur dari persepsi kualitas layanan

bagi organisasi yang bersangkutan. Analisis kesenjangan yang dihasilkan

kemudian dapat digunakan sebagai panduan untuk peningkatan kualitas

layanan.

Selanjutnya, Zeithaml (1990) dalam Hardiyansyah (2011:41)

menyatakan bahwa kualitas pelayanan ditentukan oleh dua hal, yaitu:

“…expected service dan perceived service. Expected service dan


perceived ditentukan oleh dimention of service quality yang terdiri dari
sepuluh dimensi, yaitu: (1) Tangibles. Appearance of physical facilities,
equipment, personnel, and communication materials; (2) Reliability. Ability
to perform the promised service dependably and accurately; (3)
Responsiveness. Willingness to help customers and provide prompt
service; (4) Competence. Possession of required skill and knowledge to
perform service; (5) Courtesy. Politeness, respect, consideration and

80
friendliness of contact personnel; (6) Credibility. Trustworthiness,
believability, honestly of the service provider; (7) Feel Secure. Freedom
from danger risk, or doubt; (8) Access. Approachable and easy of contact;
(9) Communication. Listens to its customers and acknowledges their
comments. Keeps customers informed. In a language which they can
understand; and (10) Understanding the customer. Making the effort to
know customers and their needs”
Berdasarkan uraian di atas, Zeithaml dalam Hardiyansyah

(2011:41) menjelaskan bahwa ukuran kualitas pelayanan memiliki sepuluh

dimensi, yaitu:

1) Tangibles (berwujud fisik), terdiri atas fasilitas fisik, peralatan,

personil dan komunikasi;

2) Reliability (kehandalan), terdiri dari kemampuan unit pelayanan

dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat;

3) Responsiveness (ketanggapan), kemauan untuk membantu

konsumen, bertanggungjawab terhadap kualitas pelayanan yang

diberikan;

4) Competence (kompeten), terdiri atas tuntutan yang dimilikinya,

pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam

memberikan pelayanan;

5) Courtesy (ramah), sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap

terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak;

6) Credibility (dapat dipercaya), sikap jujur dalam setiap upaya untuk

menarik kepercayaan masyarakat;

7) Security (merasa aman), jasa pelayanan yang diberikan harus

bebas dari berbagai bahaya atau resiko;

81
8) Access (akses), terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak

dan pendekatan;

9) Communication (komunikasi), kemauan pemberi pelayanan untuk

mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan;

10) Understanding the customer (memahami pelanggan), serta

melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.

Berdasarkan sepuluh dimensi kualitas pelayanan tersebut,

kemudian Zeithaml et.al. (1990) dalam Hardiyansyah (2011:42)

menyederhanakan menjadi lima dimensi, yaitu dimensi SERVQUAL

(kualitas pelayanan) sebagai berikut:

“Tangibles. Appearance of physical facilities, equipment, personnel, and


communication materials; (2) Reliability. Ability to perform the promised
service dependably and accurately; (3) Responsiveness. Willingness to
help customers and provide prompt service; (4) Assurance. Knowledge
and courtesy of employees and their ability to convey trust and
confidence; and (5) Empathy. The firm provides care and individualized
attention to its customers”.

Selisih antara persepsi dan harapan inilah yang mendasari

munculnya konsep gap dan digunakan sebagai dasar skala SERVQUAL,

yang didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu: (1) tangibles, meliputi

fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi; (2)

realibility, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan

tepat waktu dan memuaskan; (3) responsiveness, kemampuan para staf

untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan yang

tanggap; (4) assurance, mencakup kemampuan, kesopanan, bebas dari

bahaya resiko atau keraguan; (5) emphaty, yaitu mencakup kemudahan

82
dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami

kebutuhan para pelanggan.

Menurut zeithaml (1990) dalam Hardiansyah (2011:41) menyatakan

bahwa kualitas pelayanan dapat diukur dari 5 dimensi, yaitu: Tangible

(Berwujud), Reliability (Kehandalan), Responsiveness (Ketanggapan),

Assurance (Jaminan), dan Emphaty (Empati). Masing-masing dimensi

memiliki indikator sebagai berikut:

1. Untuk dimensi Tangible (Berwujud), terdiri atas indikator:

a. Penampilan petugas/aparatur dalam melayani pelanggan

b. Kenyamanan tempat melakukan pelayanan

c. Kedisiplinan petugas/aparatur dalam melakukan pelayanan

d. Kemudahan proses dan akses layanan

e. Penggunaan alat bantu dalam pelayanan

2. Untuk dimensi Reliability (Kehandalan), terdiri atas indikator:

a. Kecermatan petugas dalam melayani pelanggan

b. Memiliki standar pelayanan yang jelas

c. Kemampuan petugas/aparatur dalam menggunakan alat bantu

dalam proses pelayanan

d. Keahlian petugas dalam menggunakan alat bantu dalam proses

pelayanan

3. Untuk dimensi Responsiveness (Respon/Ketanggapan), terdiri atas

indikator:

a. Merespon setiap pelanggan/ pemohon yang ingin mendapatkan

83
pelayanan

b. Petugas/aparatur melakukan pelayanan dengan cepat dan tepat

c. Petugas/aparatur melakukan pelayanan dengan cermat

d. Semua keluhan pelanggan direspon oleh petugas

4. Untuk dimensi Assurance (Jaminan), terdiri atas indikator:

a. Petugas memberikan jaminan tepat waktu dalam pelayanan

b. Petugas memberikan jaminan legalitas dalam pelayanan

c. Petugas memberikan jaminan kepastian biaya dalam pelayanan

5. Untuk dimensi Emphaty (Empati), terdiri atas indikator:

a. Mendahulukan kepentingan pemohon/ pelanggan

b. Petugas melayani dengan sikap ramah

c. Petugas melayani dengan sikap sopan santun

d. Petugas melayani dengan tidak diskriminatif (membeda-

bedakan)

e. Petugas melayani dan menghargai setiap pelanggan

Pada dasarnya teori diatas tetap dapat dipakai untuk mengukur

kinerja pelayanan publik yang diberikan oleh instansi pemerintahan. Karna

aparatur pelayanan tidak mempunyai alasan sedikitpun untuk tidak

berorientasi kepada kepuasan pelanggan secara total, bahkan kepusan

pelanggan lah yang dapat dijadikan barometer dalam mengukur

keberhasilan dalam pelayanan. Untuk mencapai hal ini pemerintah tidak

boleh menghindar dari prinsip pelayanan dilakukan sepenuh hati

(sinambela, 2011:8).

84
Dengan demikian, untuk dapat menilai sejauhmana mutu

pelayanan publik yang diberikan kepada publik, memang tidak bisa

dihindari, bahkan menjadi tolok ukur kualitas pelayanan tersebut dapat

ditelaah dari kriteria dimensi-dimensi kualitas pelayanan publik.

2.1.11 Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Kegiatan pelayanan publik diselenggarakan oleh instansi

pemerintah. Instansi pemerintah merupakan sebutan kolektif meliputi

satuan kerja atau satuan orang kementerian, departemen, lembaga,

pemerintahan non departemen, kesekertariatan lembaga tertinggi dan

tinggi negara, dan instansi pemerintah lainnya, baik pusat maupun daerah

termasuk Badan Usaha Milik Daerah. Sebagai penerima pelayanan publik

adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum.

Kegiatan pelayanan publik atau disebut juga dengan pelayanan

umum, yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintahan dinilai

kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan masyarakat,

sebgai konsumen mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang

keladinya adalah bentuk orang birokrasi, sehingga birokrasi seperti

dikemukakan oleh Achmat Batinggi (1999:53) adalah:

“Merupakan tipe dari orang yang dimaksudkan untuk mencapai

tugas- tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir

secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.”

Konsep birokrasi bukan merupakan konsep yang buruk. Organisasi

birokrasi mempunyai keteraturan dalam hal pelaksanaan pekerjaan

85
karena mempunyai pembagian kerja dan struktur jabatan yang jelas

sehingga komponen birokrasi mempunyai tanggung jawab dan wewenang

untuk melaksanakan kewajibannya. Pelaksanaan pekerjaan dalam orang

birokrasi diatur dalam mekanisme dan prosedur agar tidak mengalami

penyimpangan dalam mencapai tujuan orang. Dalam organisasi birokrasi

segala bentuk hubungan bersifat resmi dan berjenjang berdasarkan

struktur orang yang berlaku sehingga menuntut ditaatinya prosedur yang

berlaku pada orang tersebut.

Adapun yang menjadi ciri ideal birokrasi menurut Max Weber

seperti yang dikutip dan diterjemahkan oleh Ahmad Batingi (1999: 53)

antara lain adalah : a) pembagian kerja yang kurang jelas, b) Adanya

hierarki jabatan, c) Adanya pengaturan sistem yang konsisten, d) Prinsip

formalistic impersonality, e) Penempatan berdasarkan karier, f) Prinsip

rasionalitas.

Dengan adanya otonomi daerah, diharapkan memberikan dampak

nyata yang luas terhadap peningkatan pelayanan terhadap masyarakat.

Dengan demikian pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah

memungkinkan terjadinya penyelenggaraan pelayanan dengan jalur

birokrasi yang lebih ringkas dan membuka peluang bagi pemerintah

daerah untuk melakukan inovasi dalam pemberian dan peningkatan

kualitas pelayanan.

2.2 Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya

86
Untuk memperkaya referensi penelitian dan analisis penulis terkait

tema sentral penelitian ini, maka penulis pun melakukan tinjauan atas

beberapa hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik

penelitian ini. Adapun hasil penelitian sebelumnya yang menjadi referensi

yang digunakan penulis antara lain sebagai berikut;

Tabel 2.2.

Mapping Hasil Penelitian Sebelumnya

NO. NAMA JUDUL PENELITIAN HASIL PENELITIAN


PENELITI

1 Danu Hariadi Analisis Kebijakan Pengaruh implementasi e-Gov


Implementasi E- investasi terhadap populasi
(2012) government Terhadap layanan di Kabupaten Sragen,
Pelayanan dan ada pengaruh
Kependudukan Dan implementasi e-Gov investasi
Perekonomian Di terhadapi jumlah investasi di
Kabupaten Sragen Sragen.

2 Annisa Ayu pengaruh penerapan e- Pengaruh penerapan e-


Azzahra (2016) government terhadap government terhadap
pelaksanaan tata kelola pelaksanaan tata kelola
pemerintah di pemerintah pemerintah sebesar 61,9%.
kota tasikmalaya

3 Berlian Analisis Pengaruh terdapat hubungan signifikan


Maulidya Izzati Kualitas Layanan Publik antara kualitas layanan publik
(2017) E-government e-government terhadap
(Government To Citizen) penciptaan public value
Terhadap Penciptaan (Hipotesis 4) dengan
Public Value (Studi signifikansi nilai path

87
Kasus: Kota Surabaya) coefficient yang tertinggi
sebesar 0.454 dan t-statistic
sebesar 3.785. Selain itu juga
terdapat hubungan signifikan
antara Effective of public
organization terhadap Public
value (Hipotesis 5) dengan
signifikansi nilai path
coefficient sebesar 0.267 dan
t-statistic sebesar 2.303; serta
Information quality terhadap
Quality of public service in e-
government (Hipotesis 1)
dengan signifikansi nilai path
coefficient yang tertinggi
sebesar 0.454 dan tstatistic
sebesar 3.785

Joko Tri E-government dan Peneliti menemukan


Nugraha (2018) pelayanan publik perbedaan yang terjadi antar
daerah dengan berbagai
(studi tentang elemen alasan, seperti faktor
sukses pengembangan
keterbatasan anggaran,
E-government di infrastruktur dan sumber daya
pemerintah kabupaten manusia yang berbeda-beda
sleman)

2.3 Kerangka Pemikiran

Sistem pemerintah yang demokratis, memberikan perubahan

dalam tatanan kehidupan baik bagi masyarakat maupun untuk

pemerintah itu sendiri. Hal tersebut memacu pemerintah untuk

mengupayakan kelancaran komunikasi antara stakeholder, masyarakat

dengan Pemerintah. Sehingga aspirasi masyarakat dapat tersampaikan

88
secara langsung dan kontribusi atau partisipasi publik juga dapat terjalin.

Permasalahan sosial yang timbul pada masyarakat luas sebagai dampak

dari otonomi daerah juga mengakibatkan Pemerintah baik pusat maupun

daerah untuk mengupayakan bagaimana memecahkan permasalahan

tersebut.

Dengan adanya berbagai permasalahan akan kondisi

pemerintahan saat ini, mengakibatkan masyarakat menuntut pemerintah

untuk menyelenggarakan tatanan pemerintahannya dengan baik dari

proses kerja aparat pemerintah sampai dengan peningkatan kualitas

layanan publik yang diberikan. Konsepsi kepemerintahan yang baik

(good governance) secara konseptual kata baik dalam istilah

kepemerintahan yang baik mengandung dua pemahaman yaitu pertama,

nilai yang menjungjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai

yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan

nasional yaitu kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan

sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien

dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut

(Sedarmayanti, 2004:42).

Berdasarkan hal tersebut, ketika suatu pemerintahan dapat

memenuhi kedua aspek yang dimaksud, mengarahkan pelaksanaan

tatanan pemerintahan berjalan sesuai dengan tujuan good governance.

Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap

pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai

89
tujuan serta cita-cita bangsa dan bernegara. Dalam rangka itu diperlukan

pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban

pemerintahan yang tepat, jelas, dan legitimate, sehingga

penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung

secara berdayaguna, berhasilguna, bersih, bertanggungjawab dan bebas

dari korupsi, kolusi dan nepotisme (Sedarmayanti, 2004:10).

Oleh sebab itu, sistem merupakan salah satu faktor pendukung

tercapainya pelaksanaan tata kelola pemerintah yang baik. Sehingga

dalam menunjang good government governance, maka upaya yang

dilakukan oleh pemerintah yaitu mengimplementasikan pengembangan

sistem informasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yaitu e-

government yang dapat memberikan wadah partisipasi publik terhadap

kebijakan yang akan dijalankan atau kegiatan yang dilaksanakan oleh

pemerintah. Karena pada dasarnya teknologi informasi berguna untuk

alat penunjang dalam operasional sebuah instansi. Pentingnya

penerapan e- government juga diuraikan dalam Instruksi Presiden No. 3

Tahun 2003 yaitu:

Pemerintah harus segera melaksanakan proses transformasi

menuju e- government. Melalui proses transformasi tersebut,

pemerintah dapat mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan

teknologi informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi,

birokrasi , serta membentuk jaringan sistem manajemen dan proses

kerja yang memungkinkan instansi- instansi pemerintah bekerja

90
secara terpadu untuk menyederhanakan akses ke semua informasi

dan layanan publik yang harus disediakan oleh Pemerintah.

Dengan demikian seluruh lembaga-lembaga negara, masyarakat,

dunia usaha, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dapat setiap

saat memanfaatkan informasi dan layanan pemerintah secara

optimal.

Maka dengan adanya penerapan e-government ini pemerintah

dapat menata sistem manajemen, pelayanan dan proses kerja pada

pemerintahan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Dengan

demikian teknologi memiliki peranan yang penting dalam mengefektifkan

seluruh kegiatan pemerintah. Adapun untuk mendukung pemanfaatan

teknologi informasi tersebut, terdapat beberapa komponen yang harus

dipenuhi guna untuk mengaplikasikan teknologi informasi tersebut. Hal

ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Azhar Susanto (2008:207),

bahwa komponen sistem informasi akuntansi terdiri dari perangkat keras

(hardware) yaitu perangkat fisik yang digunakan dan setiap organisasi

harus memiliki perangkat hardware yang lengkap sebagai komponen

penunjang dari sebuah sistem teknologi informasi. Perangkat lunak

(software), dalam hal ini terkait dengan kemudahan aplikasi dan software

yang dipakai sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Pemanfaatan sistem informasi yang dikembangkan menjadi

konsep e- government sangat penting dan harus diimplementasikan

91
dengan baik sebagai faktor pendukung yang dapat mempengaruhi

terselenggaranya pelaksanaan tata kelola pemerintah. E-government

juga bertujuan memberikan pelayanan tanpa adanya intervensi pegawai

institusi publik dan sistem antrian yang panjang hanya untuk

mendapatkan suatu pelayanan yang sederhana, serta sistem e-

government juga bertujuan untuk mendukung good governance (Erick,

2011). Manfaat yang diberikan dari penerapan sistem e-government,

mencerminkan bahwa teknologi informasi, dapat dijadikan salah satu

aspek penting untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Pemanfaatan sistem informasi yang dikembangkan menjadi e-

government sangat penting dan harus diterapkan dengan baik sebagai

faktor pendukung yang dapat mempengaruhi terselenggaranya

pelaksanaan tata kelola pemerintah. Hal ini karena dalam sistem e-

government maupun tata kelola pemerintah, kedua aspek tersebut

mencerminkan adanya pengaruh dalam upaya peningkatan pelayanan

publik, efektif dan efisiensi kerja pemerintahan, transparansi pemerintah,

dan akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat. Dengan demikian

adanya e-government dapat berdampak terhadap terciptanya tata kelola

pemerintah yang baik. Secara rinci dapat dijelaskan hubungan dari

konsep tersebut, yaitu:


Gambar 2.4
Paradigma Penelitian

92
Rumusan Masalah:

Seberapa besar pengaruh penerapan e-government


terhadap kualitas pelayanan publik?
Seberapa besar pengaruh tata kelola pemerintahan
(good governance) terhadap kualitas pelayanan
publik?
Seberapa besar pengaruh penerapan e-government
dan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) secara bersama-sama terhadap kualitas
pelayanan publik?

E-Government (G to C)
(X1) Good Governance
(X2)
1. Manfaat
2. Efisiensi Transparansi
3. Partisipasi Akuntabilitas
4. Transparansi Partisipasi
5. Manajemen Perubahan
Sumber: I Wayan Gede Suacana
Sumber: Booz Allen dan Hamilton (2008)
dalam Indrajit (2005:43-44)

Kualitas Pelayanan Publik


(Y)

1. Tangible (Berwujud)
2. Reliability (Kehandalan)
3. Responsiveness (Respon/Ketanggapan)
4. Assurance (Jaminan)
5. Emphaty (Empati)

Sumber: zeithaml (1990) dalam Hardiansyah


(2011:41))

Dari gambar tersebut dapat dipaparkan e-government merupakan

sebuah perkembangan dalam penyelenggaraan kegiatan kepemerintahan

93
yanag berbasis elektronik. Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah upaya

yang dilakukan oleh Pemerintah dalam meningkatkan kualitas pelayanan

publik yang cepat, tepat, dan mudah. Selain itu, dengan menerapkan

sistem e-government ini, maka tercipta transparansi, akuntabilitas,

efisiensi dan efektivitas, dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

tatanan pemerintahan. Hal tersebut sesuai dengan prinsip- prinsip pada

tata kelola pemerintah, maka dengan demikian adanya penerapan e-

government pada sebuah pemerintah baik pusat maupun daerah dapat

mewujudkan paradigma tata kelola pemerintah atau dengan istilah Good

Government Governance.

2.4 Hipotesis

Hipotesis Penelitian atau biasa disebut hipotesis penelitian adalah

jawaban sementara terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian. Jadi

peneliti akan membuat hipotesis dalam penelitian ini, yang bertujuan untuk

menjadikannya sebagai acuan dalam menentukan langkah selanjutnya

agar dapat membuat kesimpulan-kesimpulan terhadap penelitian yang

dilakukannya. Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah

penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris (Moh.Nazir,

1998: 182). Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran

diatas, peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Tedapat Pengaruh yang signifikan antara E-Government

terhadap Kualitas Pelayanan Publik

94
H2 : Terdapat Pengaruh yang signifikan antara Good Governance

terhadap Kualitas Pelayanan Publik

H3 : Pengaruh E-Government dan Good Governance secara

bersama-sama terhadap Kualitas Pelayanan Publik

95

Anda mungkin juga menyukai