Anda di halaman 1dari 76

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu

Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian terdahulu yang dijadikan

sebagai acuan dan perbandingan oleh peneliti dalam penyelenggaraan

penelitian ini.

1. Pada tahun 2016, Bambang Tri Harsanto melakukan penelitian

dalam rangka penulisan jurnal yang berjudul Penguatan

Kelembagaan Kelurahan Pasca Implementasi Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Penelitian ini

dilaksanakan pada juni sampai dengan November 2016 di

Kelurahan Winoroto, Wadaslintang, dan Leksono Kabupaten

Wonosobo. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan

yang dilaksanakan pemerintah Kelurahan ditentukan oleh

kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah Kecamatan. Kinerja

pelaksanaan pembangunan fisik ditingkat kelurahan berada pada

level rendah. Ketiga kelurahan yang berkarakter desa baik secara

geografis maupun sosiologis tidak dapat menyediakan fasilitas

umum dan sosial yang diharapkan masyarakat. Perubahan

kelembagaan kelurahan pasca implementasi uu 23 tahun 2014,

telah mendorong tiga kelurahan tersebut untuk mengusulkan

perubahan kelembagaan kelurahan menjadi Desa. Selain faktor

15
historis dan geografis, faktor insentif ekonomi yang dinikmati oleh

pemerintah desa dengan adanya kebijakan dana Desa telah

memotivasi ketiga kelurahan tersebut mengajukan pengembalian

status pemerintahannya. Dalam pandangan mereka,

pengurangan kewenangan pemerintahan kelurahan berpengaruh

besar terhadap kelangsungan aktivitas pembangunan di wilayah

Kelurahan. Sementara itu, kondisi sosiologis masyarakat yang

dilayani oleh ketiga kelurahan tersebut adalah masyarakat desa,

sehingga berkembang kekhawatiran bahwa masyarakat ditiga

kelurahan tersebut tidak mendapatkan pelayanan yang lebih baik

dari sebelumnya. Persamaan penelitian tersebut di atas dengan

penelitian dalam tesis ini terletak pada fokus permasalahan yang

sama yaitu perubahan kelembagaan Kelurahan dari perangkat

daerah menjadi perangkat kecamatan, sedangkan perbedaannya

terletak pada fokus hasil permasalahan dimana pada penelitian

diatas difokuskan pada satu masalah yaitu banyaknya kelurahan

yang ingin mengajukan perubahan status menjadi desa,

sementara dalam penelitian ini fokusnya pada permasalahan dan

solusi implementasi kebijakan perubahan kedudukan kelurahan

dari perangkat daerah menjadi perangkat kecamatan.

2. Pada tahun 2018, Muhammad Hafizh Rahyuni melakukan

penelitian dalam rangka penulisan jurnal yang berjudul Studi

Perubahan Kedudukan Kelurahan Dari Perangkat Daerah

Menjadi Perangkat Kecamatan di Kecamatan Marpoyan Damai

16
Kota Pekanbaru. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan dan

kewenangan Kelurahan semenjak diberlakukannya undang-

undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah

sampai dengan akhir tahun 2016 kedudukan institusi kelurahan

masih tetap sebagai perangkat daerah, baru semenjak awal tahun

2017 kedudukan Kelurahan berubah menjadi perangkat

kecamatan. Keorganisasian Kelurahan, pengangkatan lurah

masih tetap sama dengan sebelumnya yakni diangkat oleh

walikota Pekanbaru, akan tetapi usulan pengangkatan lurah yang

selama ini diusulkan oleh camat kepada walikota, pada saat ini

diusulkan oleh sekretaris daerah kepada wlikota. Sedangkan

pertanggungjawaban lurah yang selama ini kepada walikota pada

saat ini lurah bertanggungjawab kepada camat. Persamaan

penelitian tersebut di atas dengan penelitian dalam tesis ini

terletak pada fokus permasalahan yang diteliti sama, yaitu kepada

kelembagaan kelurahan yang diubah kedudukannya, sedangkan

perbedaannya terletak pada lokus penelitian, dimana penelitian

diatas lokusnya pada organisasi kecamatan sedangkan pada

penelitian tesis ini lokusnya pada organisasi kelurahan.

3. Pada tahun 2018, Septian Arifin melakukan penelitian dalam

rangka penulisan tesis yang brjudul Implementasi Kebijakan

Perubahan Status Kedudukan Kelurahan dari Perangkat Daerah

Menjadi Perangkat Kecamatan di Kecamatan Bungo Dani,

17
Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Penelitian ini menggunakan

metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

secara umum pelaksanaan kegiatan pemerintahan berjalan

dengan baik, namun terdapat beberapa kendala yang harus

diperbaiki seperti proses penyaluran anggaran dari Kecamatan ke

Kelurahan. Kegiatan aparat kelurahan sedikit terhambat karena

pelaksanaan absensi yang harus dilaksanakan dikecamatan,

sehingga aparat kelurahan harus ke kecamatan terlebih dahulu

baru kemudian ke Kelurahan. Persamaan penelitian tersebut di

atas dengan penelitian dalam tesis ini terletak pada fokus

permasalahan terkait perubahan kedudukan kelurahan dari

perankat daerah menjadi perangkat kecamatan, sedangkan

perbedaannya terletak pada lokus penelitian, dimana penelitian

diatas lokusnya pada organisasi kecamatan sedangkan pada

penelitian tesis ini lokusnya pada organisasi kelurahan.

4. Pada tahun 2011, Didit Purbo Susanto melakukan penelitian

dalam rangka penyusuna skripsi yang berjudul Pengembangan

Organisasi Pemerintah Kecamatan Hasil Pemekaran Dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Depok. Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada Kecamatan hasil pemekaran masih

ditemukan keterbatasan dan permasalahan sehingga Kecamatan

hasil pemekaran sebagai organisasi yang baru, perlu

dikembangkan agar dapat beradaptasi dan meningkatkan

18
kemampuan. Pengembangan organisasi kecamatan hasil

pemekaran melibatkan intern organisasi kecamatan, pemerintah

kota, masyarakat, dilaksanakan dengan berbagai tahapan

kegiatan pengembangan organisasi yang meliputi sistem-sistem

dalam organisasi. Pelaksanaan pengembangan organisasi masih

ditemukan berbagai kendala, sehingga disarankan pemerintah

kota dan kecamatan hasil pemekaran bersinergi untuk

mengatasinya. Persamaan penelitian tersebut di atas dengan

penelitian dalam tesis ini terletak pada kesamaan fokus terhadap

keorganisasian kelurahan, sedangkan perbedaannya terletak

pada fokus kajian dimana pada penelitian tersebut diats berfokus

pada pengembangan organisasi kecamatan hasil pemekaran.

Untuk lebih memperjelas pemahaman terhadap fokus penelitian

terdahulu, dapat dilihat gambarannya pada tabel berikut:

Tabel 2.1
Penelitian terdahulu yang Relevan
Penulis, Metode Alat Penelitian Sekarang
No Tahun dan Penelitian Analisis Hasil Persamaan Perbedaan
Judul

1. (Bambang Tri Deskriptif Obesrvasi, Hasil Fokus Fokus hasil


Harsanto, kualitatif Wawancara perubahan Permasalahan permasalahan
2016). dan focus Kelembagaan yang sama, . Pada
Judul Group Kelurahan yaitu penelitian ini
“Penguatan Discussion pada Undang- perubahan lebih
Kelembagaan Undang Kelembagaan memfokuskan
Kelurahan Nomor 23 Kelurahan kepada
Pasca Tahun 2014 dari Permasalahan
Implementasi tentang Perangkat pada satu
Undang- Pemerintahan Daerah masalah yaitu
Undang daerah, telah menjadi kelurahan
Nomor 23 mendorong Perangkat banyak yang
Tahun 2014 beberapa Kecamatan. mengusulkan
Tentang Kelurahan berubah
Pemerintahan dikabupaten menjadi Desa.

19
Daerah”. wonosobo
untuk
(journal mengusulkan
unair,Bamban perubahan
g Tri dari Kelurahan
Harsanto, menjadi Desa.
Slamet
Rosyadi, dan
Simin
Wahyuningrat,
2016)

2. (Muhammad Deskriptif Wawancara Keorganisasia Fokus Lokus


Hafizh Kualitatif , dan n Kelurahan, permasalahan penelitiannya
Rahyuni, Dokumenta pengangkatan yang diteliti berbeda. Pada
JOM FISIP si Lurah masih sama, yaitu penelitian ini,
Vol. 5 No. 1- tetap sama kepada lokus
dengan kelembagaan penelitian nya
April 2018).
sebelumnya Kelurahan di wilayah
“Studi
yaitu diangkat yang dirubah Kecamatan.
Perubahan
oleh Walikota status Yang menjadi
Kedudukan
Pekanbaru, kedudukan organisasi
Kelurahan
namun nya dari induk dari
dari
usulannya Perangkat Organisasi
Perangkat
yang selama Daerah ke Kelurahan
Daerah
ini diusulkan Perangkat yang telah
Menjadi
oleh camat, Kecamatan. bergabung.
Perangkat
sekarang
Kecamatan di
diusulkan oleh
Kecamatan
Sekretaris
Marpoyan
Daerah. Dan
Damai Kota
pertanggungja
Pekanbaru”.
waban lurah
yang selama
ini langsung
kepada
Walikota,
sekarang
hanya kepada
Camat.
3. (Septian Deskriptif Wawancara Pelaksanaan Fokus Fokus dan
Arifin, 2018). Kualitatif , Observasi kegiatan permasalahan Lokus
Judul “ dan pemerintahan yang sama penelitiannya
Implementasi Dokumenta pasca terkait dengan berbeda. Pada
Perubahan si. perubahan perubahan penelitian ini
Status status status dilaksanakan
Kedudukan kelurahan Kelurahan pada tingkat
Kelurahan menjadi dari kecamatan
dari perangkat Perangkat dengan
Perangkat kecamatan Daerah berfokus pada
Daerah secara umum menjadi tataran

20
Menjadi sudah berjalan perangkat iplementasi
Perangkat dengan baik Kecamatan. peraturan.
Kecamatan di namun masih
Kecamatan terdapat
Bungo Dani beberapa
Kabupaten kendala yang
Bungo diakibatkan
Provinsi oleh
Jambi”. tersendatnya
( Tesis proses
Magister penyaluran
Terapan Studi dana dari
Pemerintahan Kecamatan ke
Institut Kelurahan.
Pemerintahan
Dalam Negeri)
4. ( Didit Purbo Deskriptif Wawancara Pengembanga Memiliki Fokus
Susanto, Kualitatif , observasi, n organisasi kesamaam kajiannya
2011). Judul “ dokumenta kecamatan pada salah berbeda. Pada
Pengembang si. dapat berjalan satu fokus penelitian ini
an Organisasi dengan baik, kajian yakni difokuskan
Pemerintah permasalahan pengembanga terhadap
Kecamatan yang timbul n organisasi. pengembanga
Hasil sering kali n organisasi
Pemekaran berkaitan kecamatan
Dalam dengan hasil
Pelaksanaan kepentingan. pemekaran.
Otonomi
Daerah di
Kota Depok”.
( Skripsi
Fakultas Ilmu
Sosial dan
Politik
Program Studi
Ilmu
Administrasi
Negara
Universitas
Indonesia.
Sumber: Olahan Penulis, 2020.

21
2.2. Kajian Pustaka

2.2.1. Kebijakan Publik

Secara etimologis kebijakan berasal dari bahasa Yunani yaitu

“Polis” (Negara atau Kota). Kebijakan publik merupakan output dari proses

penyelenggaraan pemerintahan, dimana output ini bertujuan untuk

mengatur serta mengatasi segala problema atau gejolak-gejolak yang

terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, substansi dan

proses kebijakan publik akan selalu berkaitan dengan berbagai aspek

keberadaan pemerintahan termasuk juga dalam kegiatan

penyelenggaraan pemerintah itu sendiri 5.

Idealnya, keberhasilan pemerintah dalam membuat kebijakan

tidaklah semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan efisien,

prinsip-prinsip ekonomi dan administrasi, akan tetapi harus pula

didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan etika dan moral 6.

Kebijakan publik merupakan rangkaian keputusan yang mengandung

konsekuensi moral yang didalamnya adanya keterikatan akan

kepentingan rakyat banyak dan keterikatan terhadap tanah air atau tempat

dimana yang bersangkutan berada.

Dari uraian diatas dapat diperoleh gambaran bahwa dengan

adanya tujuan yang ingin direalisasikan dan adanya masalah publik yang

harus diatasi, maka pemerintah perlu membuat suatu kebijakan publik.

Kebijakan publik ini untuk mencapai hasil yang tidak hanya didasari atas

prinsip-prinsip ekonomis, efisiensi, dan administratif, akan tetapi juga


5
. Hamdi, Muchlis. 2014. Kebijakan Publik : Proses, Analisis, dan Partisipasi. Bogor : Ghalia
Indonesia. Hlm. 01
6
. Ibid, Hlm. 14.

22
harus didasarkan atas pertimbangan etika dan moral. “Etika

mempersoalkan mengapa kita harus bertindak demikian, sedangkan

moral mempersoalkan bagaimana kita bertindak” 7.

Anderson mengemukakan bahwa “public policies are those policies

developed by governmental bodies and officials”, maksudnya, kebijakan

publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan

dan pejabat-pejabat pemerintah8. Adapun tujuan penting dari kebijakan

tersebut dibuat pada umumnya dimaksudkan untuk : “memelihara

ketertiban umum (negara sebagai stabilisator); melancarkan

perkembangan masyarakat dalam berbagai hal (negara sebagai

perangsang, stimulator); menyesuaikan berbagai aktivitas (negara

sebagai koordinator); memperuntukan dan membagi berbagai materi

(negara sebagai pembagi, alokator)”9.

Bromley mengidentifikasikan tiga level kebijakan yakni; “Policy

Level, Organizational Level dan Operational Level ”. Pada masing-masing

level ini kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk “institutional

arrangement” (peraturan perundang-undangan) yang sesuai dengan

tingkat hierarkinya. Dalam suatu negara demokrasi “Policy Level”

diperankan oleh cabang legislatif dan yudikatif, sedangkan “Organizational

Level” diperankan oleh cabang eksekutif. Selanjutnya mengenai

“Operational Level” akan didapati pada satuan pelaksana (operating units)

dalam masyarakat, perusahaan-perusahaan dan rumah tangga-rumah

7
. Ibid, Hlm. 15.
8
. Anderson. 2004. Public policy making. USA: Second Edition, I Lotfilin Company. Adi Winarta, I.S.
2010. Pengantar hukum perdata. Jakarta: PT Rajawali.
9
. Tachjan, H. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Panduan KKL. Hlm 16

23
tangga yang dari tindakan kesehariannya menghasilkan dampak yang

dapat diamati10.

Tachjan mengemukakan sebelas aktivitas yang dilakukan oleh

pemerintah dalam kaitannya dengan proses kebijakan yaitu:

“Perception/definition, Aggregation, Organization, Representation, Agenda

Setting, Formulation, Legitimation, Budgeting, Implementation, Evaluation,

and Adjusment/Termination”11. Pada garis besarnya siklus kebijakan

tersebut terdiri dari tiga kegiatan pokok, yaitu : (1) perumusan

kebijakan, (2) implementasi kebijakan, dan (3) pengawasan dan penilaian

(hasil) pelaksanaan kebijakan”12. Jadi dilihat dari prosesnya, efektivitas

kebijakan publik akan ditentukan/dipengaruhi oleh pertama, proses

perumusan kebijakannya; kedua oleh proses implementasinya atau

pelaksanaannya; dan ketiga, oleh proses evaluasinya. Ketiga tahapan

kebijakan tersebut mempunyai hubungan kausal.

Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan analisis kebijakan

dengan maksud untuk memperoleh informasi sebagai bahan dalam

pembuatan kebijakan. Analisis implementasi kebijakan dimaksudkan

untuk memperoleh informasi mengenai sebab-sebab keberhasilan atau

kegagalan kebijakan publik melalui pembahasan mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.

Pemahaman yang lebih luas diutarakan oleh Anderson dengan


mengatakan “In general usage, the term policy designates the
behavior of some actor or set of actor, such as an official, a
governtmental agency, or a legislature, in an area of activity such

10
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. AIPI. Hlm.17
11
Tachjan. Op. Cit. hlm 20
12
Mustopadidjadja. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi Kinerja. Jakarta: LAN dan Duta Pertiwi. Hlm 25

24
as public transportation or consumer protection. Public policy also
may be viewed aswhatever governments choose to do or not to
do”. Umumnya kebijakan publik menyangkut beberapa aktor seperti
pejabat, pegawai atau pembuat kebijakan dalam suatu wilayah
termasuk transportasi publik juga sebagai upaya melindungi
masyarakat. Kebijakan publik juga dapat dikatakan sebagai pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 13

Berdasarkan pendapat Anderson itu, dapat dilihat adanya fungsi

tertentu kebijakan seperi untuk melidungi masyarakat dalam kaitannya

dengan kebijakan pemerintah. Lebih jauh Anderson menjelaskan batas

pengertian kebijakan:

One definition holds that public policy, “broadly defined,” is “ the


relationship of a governmental unit to its environtmen , “such a
definition is a so broad as to leave most students uncertain of its
meaning; it could encompass almost anything. Another states that
“public policy is whatever government choose to do or not to do.
“roughly accurate, this definition does not adequately recognize that
what governments decide to do and what they actually do may
diverge. Moreover, it could be taken to include such actions as
routine personnel apointments or grants of driver’s liard rose
suggests that policy be considered “a long series of more-of-less
related activities” and their consequences for those concerned,
tather than as a discrete decision. Althought some what
ambiguous, his devinition does embody the usefull notion that
policy is a course or patterns of activity and not simply a decision to
do something.14
Kebijakan dapat dipahami sebagai keputusan pemerintah tentang

pernyataan akan sesuatu yang berkaitan dengan urusan publik untuk

mengantisipasi atau mengatasi masalah-masalah publik seperti misalnya

masalah pendidikan.

Upaya untuk mengatasi masalah publik antara lain dilakukan

melaui ususlan berbagai kegiatan atau program tertentu sebagaimana

13
Anderson. Op Cit. hlm.4
14
Anderson. Op Cit. hlm.5

25
dikemukakan oleh ilmuan politik Carl J. Fredrick dalam Anderson yang

mengatakan;

“a proposed course of action of a person, group, or government


within a given environtment providing obstacles and opportunities
wich the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to
reach a goal or realize and objective or a purpose”. 15

Tindakan-tindakan yang diusulkan dari seseorang, kelompok, atau

pemerintah dalam lingkungan yang memberikan hambatan dan peluang,

diusulkan suatu kebijakan untuk memanfaatkan dan mengatasinya dalam

upaya mencapai tujuan atau realisasi.

Kebijakan publik memiliki tingkatan, Nugroho menegaskan bahwa

secara sederhana rentetan atau tingkatan kebijakan publik di Indonesia

dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni :

1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau


mendasar, yaitu (a) UUD1945, (b) UU/Perpu, (c) Peraturan
Pemerintah, (d) Peraturan Presiden, dan (e) Peraturan Daerah.
2. Kebijakan Publik yang bersifat (meso) atau menengah, atau
penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan
Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati, dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula
berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri,
Gubernur dan Bupati dan Walikota.
3. Kebijakan Publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang
mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di
atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur,
Bupati dan Walikota.16
Dari gambaran tentang hirarki kebijakan di atas, nampak jelas

bahwa kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan

Daerah merupakan kebijakan publik yang bersifat strategis tapi belum

implementatif, karena masih memerlukan derivasi kebijakan berikutnya

15
Ibid. hlm.5
16
Nugroho, D, Riant. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo

26
atau kebijakan publik penjelas atau yang sering disebut sebagai peraturan

pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan. Terkait dengan hirarki kebijakan

secara umum Abidin membedakan kebijakan dalam tiga tingkatan sebagai

berikut :

1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau


petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun negatif
yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang
bersangkutan.
2. Kebijakan pelaksanaan, yaitu kebijakan yang menjabarkan
kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, Peraturan Pemerintah
tentang Pelaksanaan Undang-Undang.
3. Kebijakan teknis, yaitu kebijakan operasional yang berada di
bawah kebijakan pelaksanaan.17
Dengan memahami pendapat para pakar tentang kebijakan

tersebut, setidaknya terdapat butir-butir yang merupakan ciri penting dari

pengertian kebijakan publik. Butir-butir tersebur adalah:

1. Kebijakan adalah suatu tindakan pemerintah yang mempunyai

tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat.

2. Kebijakan dibuat melalui tahap-tahap yang sistematis sehingga

semua variabel pokok dari semua permasalahan yang akan

dipecahkan tercakup.

3. Kebijakan harus dapat dilaksanakan oleh (unit) organisasi

pelaksana.

4. Kebijakan perlu dievaluasi sehingga diketahui berhasil atau

tidaknya dalam menyelesaikan masalah.

5. Kebijakan adalah produk hukum yang harus ditatati dan berlaku

mengikat terhadap warganya.

17
Abidin, Said Zainal, 2004, Kebijakan Publik, Jakarta Pancar Siwah. Hlm.31-34

27
2.2.2. Konsep Implementasi Kebijakan Publik

Konsep Implementasi berasal dari bahasa inggris, yaitu. To

implement. Dalam kamus besar webster, to implement berarti to provide

the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan

sesuatu), dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak

terhadap sesuatu)18.

Pertama, to implement dimaksudkan “membawa ke suatu hasil

(akibat); melengkapi dan menyelesaikan”. Kedua, to implement

dimaksudkan “menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan sesuatu;

memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesuatu”. Ketiga, to

implement dimaksudkan menyediakan atau melengkapi dengan alat”. Jadi

secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan sebagai suatu

aktivitas yang berkaitan erat dengan penyelesaian suatu pekerjaan

dengan peng-gunaan sarana (alat) untuk meperoleh hasil.

Apabila pengertian implementasi di atas dirangkaikan dengan

kebijakan publik, maka kata implementasi kebijakan publik dapat diartikan

sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik

yang telah ditetapkan/ disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk

mencapai tujuan kebijakan.

Pengertian dari implementasi menurut siagian adalah upaya agar

tiap pegawai atau tiap anggota organisasi yang berkeinginan dan

18
. Sahya Anggara, Kebijakan Publik, 2014. Bandung, Hlm.232

28
berusaha dapat mencapai tujuan yang telah direncanakan 19. Dinamika di

lapangan yang terjadi adalah betapa sulitnya mengukur keberhasilan

suatu kebijakan hanya dengan melaksanakan segala standar yang

dijadikan pedoman. Diperlukan upaya-upaya sebagai bentuk diskresi

terhadap peraturan yang ada dengan maksud mewujudkan tujuan yang

telah dicita- citakan sebelumnya.

Dari uraian di atas diperoleh suatu gambaran bahwa implementasi

kebijakan publik merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan

setelah kebijakan ditetapkan/ disetujui. Kegiatan ini terletak di antara

perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan

mengandung logika yang top-down, maksudnya menurunkan/menafsirkan

alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang

bersifat konkrit atau mikro. Sedangkan formulasi kebijakan mengandung

logika bottom-up, dalam arti proses ini diawali dengan pemetaan

kebutuhan publik atau pengakomodasian tuntutan lingkungan lalu diikuti

dengan pencarian dan pemilihan alternatif cara pemecahannya, kemudian

diusulkan untuk ditetapkan.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan

kebijakan publik ada dua langkah yang bisa menjadi pilihan, yaitu

langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui

kebijakan derivat atau turunan dari suatu kebijakan.

Implementasi kebijakan publik akan lebih mudah dipahami apabila

menggunakan suatu model atau kerangka pemikiran tertentu. Suatu


19
Adisasmita, Rahardjo. 2011. Manajemen Pemerintah Daerah. Yogyakarka: Graha Ilmu. Hlm. 28

29
model akan memberikan gambaran kepada kita secara bulat dan lengkap

mengenai sesuatu objek, situasi, atau proses, komponen-komponen apa

saja yang terdapat pada objek, situasi, atau proses tersebut dan

bagaimana korelasi-korelasi antara komponen-komponen itu satu dengan

yang lainnya.

Model implementasi kebijakan publik yang berperspektif top down

dikembangkan oleh George C. Edwards III. Ia mengemukakan:

“In our approuch to the study of policy implementation, we begin in


the absrtact and ask: What are the precondition for succsesful
policy implemetation? What are primary obstacles to succsesfull
policy implementation?”20

George C. Edwards III mengatakan bahwa di dalam pendekatan

studi implementasi kebijakan pertanyaan abstraknya dimulai dari

bagaimana pra kondisi untuk suksesnya kebijakan publik dan kedua

adalah apa hambatan utama dari kesuksesan kebijakan publik.

Untuk menjawab pertanyaan penting itu, maka Edwardss III

menawarkan dan mempertimbangkan empat faktor dalam

mengimplementasikan kebijakan publik, yakni: Communication,

Resourches, Dispotition or Attitudes, and bureaucratic Structure”

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar

implementor memahami apa yang harus dilakukan. Setiap tujuan dan

sasaran kebijakan harus disosialisasikan kepada kelompok sasaran

sehinga akan mengurangi distorsi implementasi. Di sisi lain, keberhasilan

implementasi kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang berupa

sumbe rdaya manusia yang memiliki kompetensi implementor dan sumber


20
Edwards III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington, DC: Congressional
Quarterly Press. Hlm.9

30
daya finansial. Sumber daya manusia harus memiliki watak dan

karakteristik, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis, dan lain-lain.

Apabila implementor memiliki watak dan karakteristik yang baik, ia akan

dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti yang diinginkan oleh

pembuat kebijakan. Selain hal tersebut keberhasilan implementasi

kebijakan harus didukung oleh struktur birokrasi yang baik. Salah satu

aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya

prosedur operasi yang standar. Standar inilah yang menjadi pedoman

bagi setiap implementor dalam bertindak.

Variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu

kebijakan menurut Edwards III sebagaimana disebut di atas dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Komunikasi (communication).

Komunikasi merupakan dimensi penting bagi administrator

publik dalam mengimplementasikan kebijakan, khususnya untuk

pencapaian efektifitas program melalui transmisi personil yang

tepat, jelasnya perintah yang diinstruksikan oleh atasan dalam

pelaksanaan di lapangan, dan kekonsistenan pelaksana keputusan

atau program oleh semua pelaksana maupun atasan pemberi

instruksi.

Edwards III menegaskan: For implementation to be effective,


those whose responsibility it is to implement a decision must
know what they are supposed to do. Orders to implement
policies must be transmitted to the appropriate personnel,
and they must be clear, accurate, and consistent. If the
policies decision-makers wish to be eimplemented are not
clearly specified, the may be misunderstood by those at
whom they are directed. Obviously, confusion by

31
implementers about what to do increases the chances that
they will not implement a policy as those who passed or
ordered it intended.21
Implementasi kebijakan dapat berjalan secara efektif, maka

yang harus bertanggung jawab terhadap implementasi sebuah

kebijakan harus mengetahui apa yang harus dilakukannya.

Perintah untuk mengimplementasikan kebijakan harus disampaikan

secara jelas, akurat, dan konsisten kepada orang-orang yang

mampu.

Jika implementasi kebijakan yang diharapkan oleh pembuat

kebijakan tampak tidak secara jelas terspesifikasikan, mungkin saja

terjadi kesalahpahaman oleh para pelaksana yang ditunjuk. Jelas

sekali bahwa kebingungan yang dialami para pelaksana mengenai

masalah yang harus dilakukannya dapat memberi peluang untuk

tidak mengimplementasikan kebijakan sebagaimanan dikehendaki

oleh para pemberi mandat.

Faktor komunikasi ini menunjukkan peranan sebagai acuan

agar pelaksana kebijakan mengetahui persis apa yang akan

mereka kerjakan. Ini berarti bahwa komunikasi juga dapat

dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksana-

pelaksana kebijakan sehingga penerapan kebijakan tidak keluar

dari sasaran yang dikehendaki. Dengan demikian komunikasi

tersebut harus dinyatakan dengan jelas, tepat dan konsisten.

Komunikasi yang tidak sempurna akan berdampak pada

para pelaksana menafsirkan kebijakan sebagai otoritas, seperti


21
Edwards III, George C. Op Cit. hlm 10

32
tindakan-tindakan untuk menyempitkan kebijakan umum menjadi

kebijakan spesifik. Otoritas ini tidak akan diperiksa sebagaimana

mestinya guna mendahulukan tujuan semula dari perintah

kebijakan. Dengan demikian instruksi implementasi tidak

tertransmisikan dan terdistorsi dalam proses transmisi.

Inkonsistensi dapat mengakibatkan hambatan yang serius bagi

implementasi kebijakan itu sendiri karena dipahami sebagai

pembatasan kreatifitas dan kemampuan beradaptasi.

Salah satu syarat utama agar implementasi kebijakan dapat

berjalan secara efektif adalah mengetahui apa yang harus

dilakukan. Sebuah kebijakan dan instruksi implementasi harus

ditransmisikan kepada personel-personel yang tepat sebelum

dilaksanakan. Komunikasi semacam ini harus akurat dan harus

dipahami oleh para pelaksana.

Kesempurnaan suatu kebijakan sangat diperlukan ketika

akan diimplementasikan, sehingga instruksi implementasi tidak

hanya dapat diterima saja tapi pesan-pesan di dalamnya harus

dapat diterima dengan jelas. Jika tidak, para pelaksana akan

mengalami kesulitan mengenai tindakan yang harus dilakukan,

mereka akan leluasa menafsirkan implementasi kebijakan tersebut,

sebuah penafsiran yang mungkin saja berbeda dengan maksud

atasannya.

Ada tiga aspek penting dalam dimensi komunikasi ini yang

perlu diperhatikan, yaitu menyangkut indikator:

33
a. Transmisi (transmission), administrator publik harus sudah

paham, mengerti dengan jelas keputusannya, dan kesiapan

menjalankan perintah yang telah diputuskan dalam setiap

kebijakan atau program yang akan dilaksanakan, yang tidak

akan terlepas dari hambatan dalam mentrasmisikan perintah

tersebut, hal ini berkaitan dengan:

1) Adanya kontradiksi pendapat oleh para pelaksana

dilapangan terhadap perintah yang dikeluarkan oleh pejabat

yang menginstruksikan maupun yang mengambil kebijakan

(disagreement of implementers).

2) Adanya distorsi informasi melalui jenjang hirarki birikrasi

pemberi perintah yang berlapis-lapis (distortion may arise as

information passes through multiple layers of the

bureaucratic hierarchy).

3) Adanya penafsiran perintah yang diterima pelaksana

terhambat oleh persepsi selektif dan ketidaktahuan

pelaksana untuk persyaratan-persyaratan kebijakan yang

telah ditentukan (implementer selective perception and

disinclination to know about a policy’s requirements).

b. Kejelasan (clarity), implementasi kebijakan yang akan

dilaksanakan oleh para implementor harus jelas maksud dan

tujuannya melalui petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis

yang seksama dan dipahami secara mendalam. Ada enam

34
faktor yang menjadikan ketidakjelasan komunikasi dalam

implementasi kebijakan, yaitu:

1) Kompleksitas kebijakan publik (complexity of public policy).

2) Keinginan untik tidak mengganggu kelompok- kelompok

masyarakat (the desire not to irritate segments of the public).

3) Kurang consensus mengenai tujuan- tujuan kebijakan (lack

of consensus on the goals of a policy).

4) Masalah-masalah dalam pemberian suatu kebijakan baru

(the problems in starting up a new policy).

5) Menghindari pertanggungjawaban kebijakan (avoiding

accountability for policy).

6) Sifat pembuat keputusan pengadilan (the nature of judicial

decision making).

c. Konsisten (consistency), efektifitas pelaksanaan kebijakan akan

berjalan jika tujuan yang jelas dapat dilaksanakan secara

konsisten oleh para pelaksana di lapangan dengan didasari

kekonsistenan para pengambil kebijakan dalam memprediksi

probabilitas- probabilitas pada saat implementasi. Inkonsistensi

implementor dalam mengimplementasikan kebijakan dari tingkat

atas sampai pelaksana dilapangan sangan dimungkinkan

terjadinya distorsi dalam pencapaian program.

d. Implementasi kebijakan akan berjalan efektif melalui

pengkomunikasian instruksi-instruksi yang diperintahkan secara

jelas dan konsisten dalam pelaksanaannya. Ketidakjelasan

35
komunikasi akan menyebabkan ketidakkonsistenan para

pelaksana dilapangan, sebagimana dikemukakan Edwards III,

sebagai berikut:

1) Kompleksitas kebijakan publik (complexity of public policy).

2) Kesulitan-kesulitan untuk memulai program baru (the

problems in starting up a new policy).

3) Banyaknya tujuan dari berbagai kebijakan (multiple objective

of many policies).

2. Sumber daya (resources)

Implementasi kebijakan tidak akan berjalan efektif dalam

pelaksanaannya bila daya dukung sumber daya kurang,

sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III, bahwa:

“implementation orders may be accurately transmitted, clear


and consistent, but if implementors lack the resources
necessary to carry out policies, Implementation is likely to be
ineffective.”22
Selain itu, ia juga mengemukakan, bahwa:

Important resourches include staff of the proper size and


with the necesary exprise: relevant and adequate
information on how to implement policies and on the
compliance of other involved in implementation: the
auothority to ensure tha policies are carried out as they are
intended, and facilities (including buildings, equipment, land
and supplies) in which or whith which to provide services.
Insufficient resourches will mean that laws will not be
enforced, services will not be provided, and reasonable
regulation will not be developed.23

Sumber daya yang penting meliputi staf dalam ukuran yang

tepat dengan keahlian yang diperlukan, informasi yang cukup dan

22
Edwards III, George C. 1980. Op Cit. Hlm.53
23
Ibid. hlm.53

36
relevan tentang cara untuk mengimplementasikan kebijakan dan

dalam penyesuaian lainnya yang terlibat di dalam implementasi;

kewenangan untuk meyakinkan bahwa kebijakan ini dilakukan

semuanya sebagai dimaksudkan; dan berbagai fasilitas (termasuk

bangunan, peralatan, tanah dan persediaan) di dalamnya atau

dengan memberikan pelayanan. Sumber daya yang tidak cukup

akan berarti bahwa undang-undang tidak akan diberlakukan,

pelayanan tidak akan diberikan, dan peraturan-peraturan yang

layak tidak akan dikembangkan.

Jika sumber daya yang dimiliki organisasi diartikan sebagai

kemampuan organisasi, maka sumber daya pelaksana dipahami

sebagai kemampuan pelaksana. Dalam hubungan ini, maka

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh kemampuan pelaksana

yang meliputi kemampuan sumber daya, komitmen, otoritas,

koordinasi antar pelaksana dan budaya yang dianut. Implementasi

kebijakan tidak dapat dilepaskan dari pelaksananya. Dari sisi

pelaksana kebijakan didasarkan pada sumber daya yang dimiliki

dengan segala perilakunya. Sumber daya dalam suatu organisasi

meliputi kapasitas organisasi dan orang yang terlibat didalamnya,

mutu dan jumlahnya, kewenangan yang dimiliki, dan budaya

organisasi. Selain itu, apabila suatu kebijakan dilaksanakan lebih

dari satu organisasi maka sumber daya organisasi juga meliputi

kerjasama dan koordinasi.

37
Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam

implementasi kebijakan, karena bagaimanapun jelas dan

konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan suatu

kebijakan, jika para personil yang bertanggung jawab

mengimplementasikan kebijakan kurang mempunyai

sumbersumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka

implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

Selain itu, harus ada ketepatan atau kelayakan antara

jumlah staf yang dibutuhkan dan keahlian yang harus dimiliki

dengan tugas yang akan dikerjakan, dana untuk membiayai

operasionalisais implementasi kebijakan tersebut, informasi yang

relefan dan yang mencukupi tentang bagaimana cara

mengimplementasikan suatu kebijakan, dan kerelaan atau

kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi

kebijakan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar para implementor

tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam bagaimana caranya

mengimplementasikan kebijakan tersebut. Informasi yang demikian

ini juga penting untuk menyadarkan orang-orang yang terlibat

dalam implementasi, agar diantara mereka mau melaksanakan dan

mematuhi apa yang menjadi tugas dan kewajibannya.

Kebijakan yang diimplementasikan harus sesuai dengan

yang mereka kehendaki, dan didukung fasilitas/sarana yang

digunakan untuk mengoperasionalisasikan implementasi suatu

kebijakan yang meliputi: Gedung, tanah, sarana dan prasarana

38
yang kesemuanya akan memberikan pelayanan dalam

implementasi kebijakan. Kurang cukupnya sumber-sumber ini

berarti ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tidak akan menjadi

kuat, pelayanan tidak akan diberikan dan pengaturan yang rasional

tidak dapat dikembangkan.

Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan pada

dimensi sumber daya dalam implemenatsi kebijakan seperti juga

telah disinggung di atas, yaitu:

a. Sumber daya manusia/ Jumlah staf yang memadai, baik secara:

1) Kuantitas maupun cakap secara kualitas keterampilannya

(skill) dalam melaksanakan instruksi-instruksi kebijakan

dilapangan melalui keahlian dan latihan.

2) Motivasi.

3) Informasi (information), yang tecakup dalam dua bentuk:

a) Informasi tentang tata cara melaksanakan suatu

kebijakan oleh para implementator, yaitu bagaimana, apa

yang harus dan perlu dilaksanakan, dan;

b) Data tentang ketaatan para pelaksana terhadap instruksi,

peraturan atau undang-undang yang dilaksanakannya

ditaati atau tidak.

b. Sumber daya anggaran.

Budgetary limitation, and citizen opposition limit the acquisition

of adequate facilities. This is turn limit the quality of service that

implementor can be provide to public. 24 Terbatasnya anggaran


24
Widodo, Joko. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia.hllm. 100

39
yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan yang

seharusnya diberikan kepada masyarakat juga terbatas.

Terbatasnya sumber daya anggaran akan mempengaruhi

keberhasilan implementasi kebijakan. Disamping program tidak

bisa dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan anggaran juga

menyebabkan rendahnya sikap atau kualitas kerja para

implementor dilapangan.

c. Wewenang (authority), kewenangan dalam

mengimplementasikan kebijakan atau program akan berbeda

satu sama lainnya, hal ini tergantung pada deskripsi jabatannya

(job description), yaitu melalui:

1) Metode kontrol: persuasif dan ancaman; dan

2) Ketaatan terhadap aturan yang ada.

d. Fasilitas- fasilitas (facilities), sebagai daya dukung dalam

implementasi kebijakan, yang meliputi tersedianya bangunan-

bangunan (buildings), perlengkapan (equipment), dan

perbekalan (supplies).

3. Disposisi (disposition).

Faktor ketiga sebagai pertimbangan dalam

mengimplementasikan kebijakan menurut Edwards III yaitu:

The dispotition or attitude of implementations is the critical


factor in our approuch to the study of public policy
implementation. If implementation is to proceed effectiviely,
not only must implementers know what to do and have the
capability to do it, but they must also desire to carry out a
policy. Most implementors can exercise considerable
discretion in the implementation policies. One of the reacons
for this is theis independence from their nominal supperiors

40
who formulate the policies. Another reason is the complecity
of the policies themselves. They way in which implementers
exercise their direction, however, depends in large part upon
their dispotition to ward the policies. Their attitude, in turn,
will be influenced by their views toward the policeis per se
and by how the policeis effecting their organizational and
personal interest.25

Sikap pelaksana merupakan faktor penting ketiga dalam

pendekatan mengenai studi implementasi kebijakan publik. Jika

implementasi kebijakan diharapkan berlangsung efektif, para

pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang harus

dilakukan dan memiliki kapabilitas untuk melaksanakannya tetapi

mereka juga harus mempunyai keinginan untuk melaksanakan

kebijakan tersebut. Kebanyakan para pelaksana menggunakan

sedapat mungkin otoritas dalam mengimplementasikan sebuah

kebijakan. Salah satu alasan mengenai hal ini disebabkan

independensi mereka terhadap pembuat kebijakan. Alasan yang

lain adalah kompleksitas dari kebijakan itu sendiri. Meskipun cara

lain para pelaksana menggunakan otoritasnya tergantung dari

disposisi mereka yang mengacu kepada kebijakan-kebijakan

tersebut, namun pada akhirnya sikap merekalah yang

mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kebijakan tersebut

dan bagaimana mereka melihat kebijakan akan berdampak

terhadap kepentingan perorangan dan organisasi mereka.

Para pelaksana tidak selalu melaksanakan kebijakan sesuai

dengan keinginan pembuat kebijakan. Akibatnya pembuat

kebijakan sesuai sering berhadapan dengan tugastugas untuk


25
Ibid. hlm.11

41
memanipulasi atau bekerja dalam lingkungan disposisi para

pelaksananya atau bahkan membatasi otoritasnya.

Jika para pelaksana mendapatkan disposisi yang baik

terhadap kebijakan tertentu, mereka cenderung melaksanakannya

diluar yang telah diharapkan pembuat kebijakan sebelumnya.

Tetapi ketika perilaku dan perspektif para pelaksana berbeda dari

pembuat kebijakan, proses implementasi kebijakan menjadi secara

tak tertabatas lebih membingungkan. Beberapa orang yang

mengimplementasikan kebijakan dalam beberapa hal independen

dari banyak atasan mereka yang secara langsung berpartisipasi

pada awal pemberian keputusan kebijakan. Karena para pelaksana

secara umum memiliki kepentingan, perilaku mereka terhadap

kebijakan mungkin menghambat efektivitas implementasi

kebijakan.

Dalam proses implementasi biasanya terjadinya

kecenderungan sebagai berikut:

a. Dampak disposisi, yaitu:

1) Adanya homogenitas administrator, dan

2) Berkembangnya pandangan parokial, yaitu terjadinya

hubungan senior yunior dan pengaruh lingkungan.

b. Birokrasi staf, yaitu terjadinya pengangkatan birokrat.

c. Manipulasi insentif-insentif.

Setiap implementasi kebijakan yang diinstruksikan atasan

melalui perintah yang komunikatif, persuasif dan perilaku

42
administrator menerima secara baik implementasi kebijakan

atau program akan berjalan baik. Tetapi bila sebaliknya yang

terjadi, implementasi akan mengalami kesulitan bahkan

kegagalan dalam pelaksanaannya, sebagaimana dikemukakan

oleh Edwards III, sebagai berikut:

“if implementers are well-disposed toward a particular


policy, there are more likely to carry it out as the original
decisionmakers intendent. But when the implementors
atittudes or perspective deffer from desicionmakers, the
process of implementing a policy becomes infinitely more
complicated”.26

Beberapa kebijakan yang masuk kedalam zona yang

kurang perhatian (zone of indifference) oleh para administrator.

Kebijakan-kebijakn dapat menimbulkan konflik dalam

implementasi dengan berbagai pandangan atau tujuan dari

kepentingan organisasinya. Hal ini tentunya akan menjadikan

hambatan dalam pelaksanaan kebijakan, sebagaiman

dikemukakan oleh Edwards III, berikut ini:

“some policies fall within thr “zone of indifference” of


administrators: others elicid strong feelings. These police
may conflict with implementors’ substantive policy views
or the personal or organizational interests. It is here that
dispositions pose obstacles to implementation”.27

Sangat mungkin adanya disposisi dari pelaksana

merintangi pelaksanaan kebijakan bila implementator tidak

setuju dengan substansi kebijakan yang harus mereka jalankan.

Seperti beberapa pimpinan keiatan menjaga atau

mengantisispasi keseimbangan kebijakan tersebut untuk


26
Ibid. hlm.89
27
Ibid. hlm.89

43
mengantisispasi terhadap oposisinya. Kadang- kadang

implementasi dirintangi oleh situasi- situasi yang komplek,

seperti para implementator menangguhkan implementasi suatu

kebijakan yang mereka setuju untuk mengalihkan pada

pencapaian tujuan yang lain.

Pada sisi lain, pandangan- pandangan dalam suatu

badan, bagian, bahkan sub-bagian mempunyai perbedaan

dalam penafsiran terhadap pengimplementasian suatu

kebijakan. Ketidaksepakatan antara pelaksana akan

menghambat kerjasama dan implementasi suatu kebijakan.

Setiap wilayah yang menjadi kebijaknnya akan menyesuaikan

dengan prioritas kebijakan yang berbeda- beda. Baik

menyangkut perbedaan komitmen, dan cara- cara yang berbeda

dalam menanggulangi permasalahannya.

Perubahan administrator birokrasi pemerintahan

merupakan hal sulit, dan hal ini tidak menjamin bahwa proses

implementasi kebijakan akan berjalan dengan baik. Teknik yang

potensial untuk merubah permasalahan implementator tetap

dapat menjalankan kebijakan sesuai dengan tujuan yaitu

merubah sikap para implementator melalui manipulasi insentif-

insentif.

4. Struktur birokrasi (bureaucratic structure).

Birokrasi mempunyai peranan penting dalam implementasi

kebijakan walaupun merupakan organisasi yang besar dan

44
komplek, organisasi yang dominan dan mampu untuk melakukan

setiap kebijakan atau program, serta tidak ada organisasi sekuat

birokrasi yang mampu bertahan dalam keadaan dan situasi apapun

(survive) bagaimanapun lingkungan ekternal mempengaruhinya,

bahkan Edwards III menegaskan birokrasi jarang mati.

Edwards III menjelaskan bahwa:

Even if sufficient resourches to implement a policy exist and


implementers know what to do and want to doit.
Implemetation may still be thwarted because of defeciencies
in bureaucrtic structure. Organzational fragmentation may
hinder the coordination necessary to implement successfully
a complex policy requiring the cooperation of many people,
and it may also waste secarce resourches, inhibit change,
create confusion, lead to policies working at cross-purposes,
and result in important functions being overlooced.

Meskipun sumber daya untuk mengimplementasikan

kebijakan telah mencukupi dan para pelaksana mengetahui apa

yang harus dilakukan serta bersedia melaksanakannya,

implemetasi kebijakan masih terhambat oleh inefesiensi struktur

birokrasi. Fragmentasi organisasi dapat menghambat koordinasi

yang diperlukan guna keberhasilan kompleksitas implementasi

sebuah kebijakan yang mebutuhkan kerja sama dengan banyak

orang. Hal ini menyebabkan terbuangnya sumber daya yang

langka, menutup kesempatan, menciptakan kebingungan,

menggiring kebijakan-kebijakan untuk menghasilkan tujuan silang,

dan mengakibatkan fungsi-fungsi penting menjadi terlupakan.

Sebagai administrator kebijakan unit organisasi, mereka

membangun standar operasional prosedur untuk menangani tugas

45
rutin sebagaimana biasanya mereka tangani. Sayangnya strandar

dirancang untuk kebijakan-kebijakan yang telah berjalan dan

kurang dapat berfungsi dengan baik untuk kebijakan-kebijakan baru

sehingga sulit terjadi perubahan, penundaan, pembaharuan, atau

tindakan-tindakan yang tidak dikehendaki. Standar kadang-kadang

lebih menghambat dibandingkan membantu implementasi

kebijakan.

Para pelaksana kebijakan akan mengetahui apa yang harus

dilakukan dan mempunyai keinginan dan sumber daya untuk

melakukan kebijakan, tetapi mereka akan tetap dihambat proses

implementasinya oleh struktur organisasi yang mereka layani. Asal

usul karakteristik organisasi, fragmentasi birokrasi yang berbeda

akan menghambat implementasi kebijakan. Mereka selalu

menghambat implementasi kebijakan, pemborosan sumber daya,

menyebabkan tindakan yang diharapkan, menghambat koordinasi,

akibat proses kebijakan pada maksud yang berlawanan, dan sebab

beberapa kebijakan yang gagal.

Ada dua karakteristik dalam struktur birokrasi menurut

pandangan Edwards III, yaitu:

a. Standard Operating procedures (SOP), yaitu berkaitan dengan:

1) Masalah sosial dan urusan publik;

2) Instruksi yang dominan pada tahap- tahap yang berbeda;

dan

46
3) Tujuan yang berbeda berada pada lingkingan yang luas dan

komplek.

SOP pada dasarnya merupakan tatanan prosedur kerja

birokrasi dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, yang

secara internal birokrasi dapat mengatur sumber- sumber yang

dimilikinya, baik berkaitan dengan sumber daya manusia,

waktu, sarana dan prasarana.

b. Fragmentation (fragmentasi), yaitu berkaitan dengan:

1) Survive, ialah kekuatan untuk tetap bertahan hidup; dan

2) Bukan pilihan- pilihan netral dalam suatu kebijakan. 28

Fragmentasi merupakan kemampuan birokrasi dalam

menghadapi faktor- faktor eksternal yang dapat mempengaruhi

birokrasi baik berupa infrastruktur (LSM, partai politik, maupun

lembaga- lembaga profesi) dan suprastruktur (legislative,

eksekutif maupun lembaga kenegaraan lainnya).

Pada sisi lain, Edwards III menegaskan juga bahwa dari keempat

faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan terjadi adanya

interaksi yang langsung dan tidak langsung diantara beberapa faktor

tersebut, sebagaimana dikemukakannya, bahwa:

“interaction between factors: aside from directly affecting


implementation, however, they also inderectly affect in through their
impaction each others. In order words, communication affect to
resource, dispositions, and bereaucratict structure, wich in turn
influsnce implementation”.29

28
Ibid. hlm.125-141
29
Ibid. hlm.147

47
Model yang dikemukakan oleh Edwards III sifatnya Top- down dan

cocok diimplementasikan pada level birokrasi yang terstruktur pada suatu

lembaga pemerintahan, dimana setiap level hierarki mempunyai peran

sesuai dengan fungsi dalam penjabaran kebijakan yang akan

dilaksanakan dan memudahkan terhadap implementasi suatu kebijakan

pada masing- masing level birikrasi mulai dari tingkat pusat, pemerintah

provinsi, pemerintah kabupaten/kota, sampai ketingkat pelaksa di

lapangan. Model implementasi kebijakan Edwards III digambarkan

sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model implementasi kebijakan Edwards III

Communication

Resources
Implementaion
Disposition

Bureaucratic
Structure

Sumber: George C. Edwards III30

Model ini akan efektif bila perumusan kebijakan yang dibuatnya

memperhatikan dan memprediksikan implementasi kebijakan yang akan

dilaksanakan. Hal ini untuk menghindari terjadinya rintangan dan

hambatan dalam implementasi karena kekurangjelasan kebijakan dan

kurangnya representatif terhadap keinginan masyarakat atau para pihak

yang akan terkena oleh kebijakan tersebut.

30
Ibid. Hlm.57

48
Dari uraian pembahasan di atas dapat dikemukakan, bahwa

problem implementasi bisa dikonstruksi dengan cara yang berbeda-beda.

Setiap model memberikan beberapa pandangan pada dimensi tertentu

dari realitas, Adanya pendekatan dengan model yang berbeda-beda

mengandung keunggulan komparatif sebagai penjelasan dalam konteks

yang berbeda-beda. Setiap kerangka pemikirannya akan mengungkapkan

atau menjelaskan beragam dimensi implementasi. Dengan demikian, tak

ada satu metafora tunggal yang dapat memberikan semua jawaban.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori implementasi yang

dikemukakan oleh Edwards III karena ada koherensi atau keterhubungan

atau adanya hal yang dapat dihubungkan antara permasalahan-

permasalahan yang akan di kaji dengan teori tersebut dalam

menganalisis implementasi kebijakan perubahan kedudukan kelurahan

dari perangkat daerah menjadi perangkat kecamatan di Kelurahan

Matawai, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur.

2.2.3. Organisasi

Stephen P. Robbins mengemukakan pendapat tentang Organisasi

adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan

sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar

yang relatif terus-menerus untuk mencapai tujuan bersama, atau tujuan

kelompok31.

31
. Robbins, Stephen P, 1994. (Dalam Saragi) Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi.
Penerbit : Arcan, Jakarta

49
Organisasi harus memperbaiki diri sendiri secara terus menerus,

dengan melakukan perubahan struktur, perubahan fungsi maupun

perubahan kultur agar organisasi dapat terus eksis dan mampu

berkompetisi sesuai dengan perkembangan jaman.

Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dari Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1974 sampai sekarang yaitu Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 adalah contoh dari perubahan yang harus

dilakukan oleh organisasi Pemerintah, agar dapat terus berkembang

sesuai perkembangan dan kebutuhan jaman. Perubahan karatersitik

organisasi Pemerintah yang terjadi dengan perubahan Undang-Undang

Pemerintahan Daerah memiliki ciri-ciri yang terus berkembang. Ciri-cirinya

adalah sebagai berikut :

1. Diberi peluang untuk menyusun organisasi sesuai dengan


kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing (Self Renewing
System).
2. Ada kaitan langsung antara visi dan misi dengan bentuk serta
susunan organisasi (Mission and Rule Driven Organization).
3. Diarahkan untuk memiliki ukuran kinerja yang jelas dan terukur.
4. Fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan kepada
masyarakat, sehingga unsur pelaksana memperoleh perhatian
yang lebih besar, baik dari segi kewenangan, dana, personel,
maupun logistik.
5. Orientasi mulai bergeser dari struktural ke arah fungsional, dari
basis kewenangan kepada basis kompetensi.
6. Sistem hirarki menjadi lebih longgar, rentang kendali menjadi tidak
beraturan, sehingga pengembangan karir PNS secara struktural
menjadi tidak pasti”.32
Menurut Siagian bahwa apabila orang berbicara tentang perubahan

organisasional, kebiasaan yang lumrah terdapat adalah untuk memikirkan

hal- hal seperti:

1. Bagan Organisasi
32
. Fernandes Simangunsong. 2014. Transformasi Organisasi-Perubahan Status Desa menjadi
Kelurahan. Alfabeta. Bandung. Hlm. 84

50
2. Penerapan berbagai prinsip organisasi seperti:
a. Rantai komando,
b. Keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab,
c. Pendelegasian wewenang,
d. Sentralisasi versus desentralisasi, terutama dalam
pengambilan keputusan operasional
e. Rentang kendali,
f. Pengelompokan tugas- tugas yang sejenis dan
sebagainya.33
Kotter menjelaskan jenis-jenis perubahan yang dilakukan sebuah

organisasi yaitu:

1. Restrukturisasi (restructuration).
Biasanya dilakukan ketika struktur organisasi dianggap tidak
memadai lagi ( dalam arti tidak efektif dan efisien) untuk
mencapai sasaran- sasaran dan tujuan organisasi, dilakukan
dengan cara unifikasi (penggabungan beberapa unit kerja),
deorganisasi ( penghapusan satuan organisasi), revitalisasi
( memberdayakan organisasi).
2. Rekayasa ulang ( reengineering)
Perubahan pada sitem- sistem kerja organisasi guna
membangun keterkaitan yang lebih efektif dan efisien diantara
sistem- sistem tersebut.
3. Penyusunan strategi kembali ( turn around)
Dilakukan ketika posisi strategis organisasi sudah tidak
sesuai lagi dengan tujuan- tujuan dan sasaran- sasaran
organisasi.
4. Akuisisi ( acquisition)
Pengambilalihan fungsi dan tugas suatu organisasi oleh
organisasi lain. Bentuk lain akuisisi adalah merger, yakni
penggabungan dua organisasi untuk mendapatkan keuntungan-
keuntungan tertentu.
5. Perampingan ( downsizing)
Perampingan adalah upaya mengurangi ukuran organisasi
sedemikian rupa sehingga dapat lebih efisien. Ini bisa dilakukan
dengan menutup unit- unit yang dianggap tidak esensial atau
tidak menguntungkan.
6. Program- program kualitas ( quality programs)
Biasanya dilakukan untuk memperbaiki mutu atau jasa yang
dihasilkan suatu organisasi.
7. Pembaharuan kultur organisasi ( organizational culture’s
renewal)
Upaya- upaya untuk mengubah nilai- nilai dan norma- norma di
dalam organisasi. Ini dilakukan ketika budaya organisasi
dipandang sudah tidak cocok lagi dengan tujuan- tujuan dan
33
Siagian, Sondang P. 2007. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Jakarta: PT.
Gunung Agung. Hlm. 204

51
sasaran- sasaran organisasi, sehingga perlu dikembangkan
suatu budaya baru34.

2.2.4. Pemerintahan Kecamatan

Pemerintahan dalam suatu negara merupakan agen yang penting

dalam menggerakkan kekuasaan didalam kehidupan bernegara. Hal ini

disebabkan bahwa selain wilayah, penduduk, dan kedaulatan, salah satu

yang termasuk dalam unsur negara adalah adanya pemerintah 35.

Keberadaan pemerintahan semata-mata tidak hanya untuk menggerakkan

kekuasaan, namun menurut Rasyid, secara umum tugas-tugas pokok

pemerintahan mencakup tujuh bidang pelayanan, yaitu:

1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan dari luar,


dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang
dapat menggulingkan pemerintah yang sah melalui cara- cara
kekerasan.
2. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya gontok-
gontokan diantara masyarakat, dan menjamin perubahan apapun
yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung damai.
3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga
masyarakat tanpa membedakan status apapun yang
melatarbelakangi keberadaan mereka.
4. Melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam
bidang- bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non
pemerintah, atau yang akan lebih baik jika dikerjakan oleh
pemerintah, seperti: pembangunan jalan, penyediaan fasilitas
pendidikan yang terjangkau oleh warga masyarakat yang
berpendapatan rendah, pelayanan pos, pencegahan penyakit
menular.
5. Melakukan upaya- upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial.
6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat
luas.
7. Menerapkan kebijakan untuk pemeliharaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup seperti air, tanah dan hutan. 36

34
Kotter, John P & Heskett, James L. 1997. Corporate Culture & Performance (Benyamin Molan,
Penerjemah). Jakarta: Prenhallindo
35
Budiarjo, Mirriam. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hlm.51-54
36
Rasyid, M Ryaas. 1997. Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan.
Jakarta: Yasrif Watampone. Hlm.11-13

52
Dalam konteks Indonesia, tugas-tugas pokok pemerintahan seperti

diatas, perlu menyentuh kepada seluruh masyarakat baik ditingkat pusat

maupun daerah, sehingga dalam sistem pemerintahan Indonesia dikenal

dengan adanya pemerintahan pusat dan daerah. Pentingnya

pemerintahan daerah yang dipimpin oleh pemerintah lokal seperti

gubernur dan bupati/ wali kota di wilayah Indonesia semata-mata tidak

hadir begitu saja.

Salah satu penyebabnya adalah secara fakta bahwa tidak semua

urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi,

mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat,

kemajemukan struktur sosial dan budaya serta adanya tuntutan

demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah lokal

sebenarnya dapat dikatakan sebagai ujung tombak pelayanan kepada

masyarakat, karena lembaga pemerintah pada tingkat lokal memiliki akses

kedekatan dengan komunitas sebagai sasaran yang menjadi tugas

pemerintah untuk memfasilitasinya dan atau melindunginya.

Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk

memerintah atau bertindak, hak atau kekuasaan pejabat publik untuk

mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik.

Sejalan dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas,

wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan.

Dalam hukum administrasi, terdapat dua cara untuk memperoleh

wewenang pemerintah yaitu atributif dan delegatif. Kadang-kadang

53
mandat juga ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh

wewenang.37

Demikian juga Pada setiap perbuatan pemerintah diisyaratkan

harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan

yang sah, seorang pejabat atau badan tata usaha negara tidak dapat

melaksanakan suatu perbuatan pemerintah. Kewenangan yang sah

merupakan atribut bagi setiap pejabat atau bagimsetiap badan.

Kewenangan yang sah bila ditinjau dari sumber dari mana kewenangan itu

lahir atau diperoleh, maka terdapat tiga kategori kewenangan, yaitu

atributif, delegatif dan mandat.

1. Kewenangan atributif
Kewenangan atributif biasanya digariskan atau berasal dari
adanya pembagian kekuasaan oleh peraturan perundang-
undangan. Dalam pelaksanaan kewenangan atributif ini
pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pejabat atau badan yang
tertera dalam peraturan dasarnya. Terhadap kewenangan
atributif mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat berada
pada pejabat atau badan sebagaimana tertera pada peraturan
dasarnya.

2. Kewenangan delegatif
Kewenangan delegatif bersumber dari pelimpahan suatu
organ pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan
perundang-undangan. Dalam hal kewenangan delegatif,
tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi
wewenang tersebut dan beralih pada delegataris.

3. Kewenangan mandat
Kewenangan mandat merupakan kewenangan yang
bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat
atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang
lebih rendah. Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan
rutin atasan dan bawahan, kecuali bila dilarang secara tegas.

37
Nur Basuki Winarno. 2008. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi. Yogyakarta:
Mediatama

54
Dalam kaitannya dengan konsep atributif, delegatif dan mandat itu

dinyatakan oleh J.G.Brouwer dan A.E.Schilder, bahwa:

1. With attribution, power is granted to an administrative authority


by an independent legislative body. The power is intial
(originair), which is to say that is nit derived from a previously
non sexistent powers and assigns them to an authority.
2. Delegations is the transfer of an acquird attribution of power
from one administrative authority to another, so that the
delegate (the body that has acquired the power) can exercise
power it’s own name.
3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver
(mandans) assigns powe to the other body mandataris to make
decisions or take action in it’s name.38

Brouwer berpendapat pada atributif, kewenangan diberikan kepada

suatu badan administrasi oleh suatu badan legislative yang independen.

Kewenangan ini asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada

sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan

bukan putusan kewenangan sebelumnya dan memberikannya kepada

yang berkompeten.

Delegasi ditransfer dari kewenangan atributif dari suatu badan

administrasi yang satu kepada yang lainnya, sehingga delegator (badan

yang memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas

namanya. Pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi

pemberi mandate (mandans) memeberikan kewenangan kepada badan

lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu

tindakan atas namanya.

Ada perbedaan yang mendasar yang lain antara atributif dan

delegatif. Pada atributif, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian

dengan delegasi. Dalam kaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak


38
Ibid. hlm. 74

55
dengan didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin

dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai

kemungkinan delegasi.

Selain menjalankan pemerintahan umum, sebagai perangkat

daerah, kecamatan juga menerima pelimpahan wewenang dari bupati/wali

kota. Terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dari model transfer

of power dari pemerintah Kabupaten/Kota kepada kecamatan/kelurahan

antara lain adalah:

1. Beban pemda dalam penyediaan/ pemberian layanan makin


berkurang karena telah diambil alih oleh kecamaatan atau
kelurahan/desa sebagai ujung tombak;
2. Pemda tidak perlu membentuk kelembagaan yang besar
sehingga dapat menghemat anggaran;
3. Alokasi dan distribusi anggaran lebih merata keseluruh wilayah
sehingga dapat menjadi stimulan bagi pemerataan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional;
4. Sebagai wahana memberdayakan fungsi kecamatan atau
kelurahan/desa yang selama ini terabaikan.39

Disamping itu, Utomo menambahkan bahwa kebijakan untuk

melimpahkan kewenangan kepada unit organisasi yang lebih rendah ini

juga memiliki manfaat pada tiga bidang,yakni:

a. Politik: menciptakan pemerintah yang demokratis (egalitarian


governance) serta untuk mendorong perwujudan good
governance and good society.
b. Sosial ekonomi: mengurangi kesenjangan antar wilayah
(regional disparity) atau ketimpangan (inequity), memacu
pertumbuhan pembangunan (economic growth), mendorong
prakarsa dan partisipasi publik, dan sebagainya.
c. Administratif: mendorong efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan, mempercapat pelayanan
publik, dan memperkuat kinerja pemerintahan secara umum 40.

39
Utomo, Tri Widodo. 2004. Pendelegasian Kewenangan Pemerintah daerah Kepada Kecamatan
dan Kelurahan. LAN. http://www.geocities.ws/.hlm.3
40
Ibid. hlm.3

56
Kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun

2018 tentang kecamatan adalah bagian wilayah dari daerah

Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Camat, dan Kelurahan adalah bagian

wilayah dari Kecamatan sebagai perangkat Kecamatan. Kecamatan

sebagai Organisasi sektor publik yang bertugas memberikan pelayanan

kepada masyarakat bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan

umum di tingkat Kecamatan sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang mengatur pelaksanaan urusan pemerintahan umum.

Urusan pemerintahan umum berdasarkan Undang-Undang nomor 23

tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah “Urusan Pemerintahan

yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan” Pasal

9 ayat (5).

Camat sebagai pimpinan di Kecamatan mempunyai tugas sebagai

berikut :

1. Menyelenggarakan Urusan pemerintahan umum;


2. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
3. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum;
4. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan Peraturan
Bupati/Walikota;
5. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan
umum;
6. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang
dilakukan oleh Perangkat Daerah di tingkat kecamatan;
7. Membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan desa atau
sebutan lain dan /atau Kelurahan;
8. Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Kabupaten/Kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di kecamatan, dan
9. Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan”41.

41
. PP Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, pasal 50 ayat (3).

57
Sebagai organisasi sektor publik, kecamatan dalam menjalankan

tugas dan fungsinya sangatlah kompleks. Kecamatan tidak hanya

memikirkan kebutuhan internal organisasi, namun memikirkan juga

kebutuhan publik atau masyarakat sebagai objek pelayanan agar dapat

terpenuhi segala kebutuhan masyarakat akan pelayanan dasar yang wajib

mereka terima berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2.2.5. Pemerintahan Kelurahan

Kelurahan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun

2016 tentang Perangkat Daerah adalah perangkat kecamatan yang

dibentuk untuk membantu atau melaksanakan sebagian tugas camat.

Kelurahan dipimpin oleh Lurah sebagai perangkat Kecamatan dan

bertanggung jawab kepada Camat. Sebagai perangkat kecamatan, lurah

mempunyai tugas membantu camat dalam :

a. Melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan;


b. Melakukan kegiatan pemberdayaan;
c. Melaksanakan pelayanan masyarakat;
d. Memelihara ketentraman dan ketertiban umum;
e. Memelihara sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan
umum;
f. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh camat, dan
g. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan42”.
Sebagai Perangkat Kecamatan, Kelurahan bertanggung jawab

langsung kepada Kecamatan dan membantu tugas-tugas kecamatan.

Secara pengangkatan, kedudukan Camat dan Lurah adalah sama karena

sama-sama diangkat dan dilantik oleh Bupati/Walikota berdasarkan

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan

42
. PP Nomor 18 tahun 2016, Pasal 53 ayat (4) tentang Perangkat Daerah.

58
Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Namun dalam hal pertanggungjawaban, Lurah bertanggungjawab kepada

Camat selaku pimpinan kecamatan, karena Kelurahan menjadi Perangkat

Kecamatan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, dan

pelimpahan kewenangan yang diterima Kelurahan dari Bupati/Walikota

tidak lagi diterima dan hanya menjalankan tugas-tugas yang diberikan

kecamatan dan membantu tugas kecamatan.

Kelurahan sebagai perangkat Kecamatan dengan keterbatasan

kewenangan yang dimiliki di kecamatan, kelurahan tetap sebagai

organisasi sektor publik yang dibutuhkan masyarakat. Kelurahan

berkewajiban untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik

sebagai organisasi sektor publik dengan tidak hanya memenuhi

kebutuhan organisasi, namun juga memenuhi kebutuhan dan kewajiban

masyarakat sebagai sektor publik yang wajib mendapatkan hak pelayanan

dari pemerintah.

Berdasarkan Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pemerintah

Kelurahan adalah sebagai perangkat daerah Kabupaten/kota dalam

wilayah kerja kecamatan untuk mendukung program pemerintah sampai

ketingkat bawah, yakni RT dan RW, sehingga kelurahan dituntut harus

mampu tampil terdepan dalam menjadi peran penting sukses dan tidaknya

program yang akan dijalankan oleh pemerintah daerah dari tingkat bawah.

Lurah sebagai pemimpin di kelurahan memiliki peran yang penting

dalam upaya menyelenggarakan berbagai program pemerintah daerah

59
kabupaten/kota maupun program kecamatan yang dalam kegiatannya

didukung oleh aparat kelurahan dan peran aktif masyarakat keseluruhan

yang di wilayah kelurahan tersebut. Kecakapan dan profesionalisme dari

aparatur kelurahan menjadi hal yang wajib dan tidak dapat disangkal, hal

ini berkaitan dengan baik tidaknya penyelenggaraan pemerintahan

ditingkat bawah demi mensejahterakan dan memberdayakan masyarakat.

Berdasarkan Undang-undang terbaru tentang pemerintahan daerah

yaitu Undang-undang nomor 23 tahun 2014, dimana Kelurahan tidak lagi

menjadi perangkat daerah yang memiliki kewenangan dan keleluasaan

dalam menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan program

kabupaten/kota, namun telah berubah nomenklatur menjadi perangkat

kecamatan. Dimana setiap kegiatan dan operasional yang dilakukan oleh

kelurahan harus berkaitan dengan kecamatan setempat dan harus

berbagi dengan kelurahan lainnya yang berada dalam satu wilayah

kecamatan. Hal ini tentu dapat memberatkan dalam hal kegiatan dan

kebutuhan dari masing-masing kelurahan yang tentu permasalahan dan

kebutuhan masyarakat yang berbeda ditambah dengan jika setiap

permasalahan pemerintah yang ada masyarakat akan lebih menuntut

kepada Kelurahan ketimbang kecamatan, karena dalam pola pikir

masyarakaat saat ini kelurahan merupakan tingkat pemerintahan terendah

dalam sistem pemerintahan. Hal ini tentu akan semakin membebankan

organisasi kelurahan dalam melakukan operasional kegiatan

pemerintahan.

60
Penyelenggaraan Pemerintahan yang baik adalah penyenggaraan

yang berdasar kepada tujuan yang dicapai, dan pelaksanaannya dapat

dipertanggungjawabkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah kualitas

pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Hubungan yang baik harus

terjalin antara Pemerintah sebagai pelayan, dengan masyarakat sebagai

objek yang mendapatkan pelayanan, agar tercipta penyelenggaraan

Pemerintahan yang baik.

Dampak dari perubahan status organisasi kelurahan menjadi

perangkat kecamatan, diharapkan tidak menurunkan kualitas pelayanan

organisasi Kelurahan kepada masyarakat, sebagai Organisasi

Pemerintahan terdekat di masyarakat. Perubahan status kedudukan

organisasi kelurahan, diharapkan mampu meningkatkan kualitas

pelayanan dan penyelenggaraan Pemerintahan yang baik.

2.2.6. Strategi

Strategi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Strategos” yang berasal

dari kata “stratus” yang berarti militer dan “ag” yang artinya memimpin.

Strategi didefinisikan sebagai semua keputusan pada sasaran bisnis dan

cara untuk mencapai sasaran tersebut. Definisi strategi menurut Kotler

adalah proses manajerial untuk mengembangkan dan menjaga

keserasian antara tujuan perusahaan, sumber daya perusahaan, dan

peluang pasar yang terus berubah, dengan tujuan untuk membentuk dan

menyesuaikan usaha perusahaan dan produk yang dihasilkan sehingga

61
bisa mencapai keuntungan dan tingkat pertumbuhan yang

menguntungkan43.

Strategi adalah alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu dari suatu

perusahaan yang berkaitan dengan tujuan dalam jangka panjang dan

prioritas dari alokasi sumber yang ada. Strategi merupakan suatu rencana

dari suatu tindakan organisasi dengan maksud untuk mencapai suatu

tujuan tertentu44.

Strategi adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan secara

berbeda atau lebih baik dari competitor atau masa lalu untuk memberi nilai

tambah kepada pelanggan sehingga mampu mencapai sasaran jangka

menengah atau jangka panjang organisas. Menurut Chandler strategi

adalah penentuan tujuan dan sasaran jangka panjang organisasi,

diterapkannya aksi dan alokasi sumber daya yang dibutuhkan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 45

Pengertian lain dari strategi adalah rencana berskala besar,

dengan orientasi masa depan, guna berinteraksi dengan kondisi

persaingan untuk mencapai tujuan perusahaan. 46 Jadi, berdasarkan

pengertian-pengertian mengenai strategi yang telah dijabarkan, dapat

disimpulkan bahwa strategi merupakan rencana atau penentuan tujuan

yang dilakukan organisasi dalam jangka menengah ataupun jangka

panjang. Adapun strategi yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah strategi SOAR yang dikemukakan oleh Jacqueline M. Stavros.


43
Kolter, Philip. 2008. Manajemen Pemasaran, Edisi 12 Jilid 2. Jakarta: Indeks. Hlm.25
44
Amurullah. 2004. Pengantar Manajemen. Yogyakarta: Graha Ilmu.
45
Kuncoro, Murdrajat. 2006. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Salemba Empat. Hlm.1
46
Pearce II, John A. dan Robinson Richard B.Jr. 2008. Manajemen Strategis 10. Jakarta: Salemba
Empat. Hlm.6

62
Hal lain yang yang diperlukan dalam rangka menunjang proses

penemuan strategi adalah bagaiman data-data yang diperoleh di lapangan

dapat diolah dengan baik. Pengolahan data merupakan bagian terpenting

dalam suatu penelitian. Pengolahan data ini sebagai jawaban dari tujuan

penelitian yang akan dilakukan. Dalam melakukan pengolahan data guna

menemukan strategi terbaik dalam mengatasi berbagai masalah yang

timbul akibat implementasi kebijakan perubahan kedudukan kelurahan

dari perangkat daerah menjadi perangkat kecamatan di Kelurahan

Matawai Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur, pada

penelitian ini menggunakan QSPM (Quantitative Strategic Planning

Matrix).

Penyusunan strategi organisasi menggunakan metode QSPM

dilakukan dengan menggunakan tiga tahan pelaksanaan analisis data,

yaitu:47

1. The Input Stage

Pada tahap ini, data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal

dan internal. Data yang teridentifikasi dalam pengamatan di lapangan,

dirangkum dalam suatu matriks, yaitu: External Factor Evaluation

(EFE) dan Internal Factor Evaluation (IFE), dimana data tersebut

merupakan faktor strategis. Matriks EFE digunakan untuk mengetahui

peluang terbesar dan terkecil yang dimiliki organisasi, sedangkan

matriks IFE digunakan untuk mengetahui kekuatan paling besar dan

terkecil yang dimiliki organisasi.

2. The Matching Stage


47
David, Fred S. 2009. Manajemen Strategis Konsep, Edisi 12. Jakarta: Salemba Empat. Hlm.70

63
Pada tahap ini akan dilakukan proses analisis untuk merumuskan

strategi organisasi melalui dua tahap, yaitu:

a. Matriks Internal dan Eksternal (IE)

Matriks IE berfungsi untuk memposisikan suatu perusahaan

kedalam matriks yang terdiri dari Sembilan sel. Dari sel-sel tersebut

akan dapat diidentifikasi bagaimana posisi organisasi saat ini,

sehingga dapat memudahkan untuk merumuskan strategi

organisasi.

b. Matriks SOAR

SOAR merupakan strategi pendekatan penemuan solusi yang

berpatokan pada hal-hal positif yang telah dimiliki oleh sebuah

organisasi untuk dikembangkan dan dijadikan keunggulan utama.

SOAR memungkinkan anggota organisasi menciptakan masa

depan yang mereka inginkan sendiri dalam keseluruhan proses

dengan cara melakukan penyelidikan, imajinasi, inovasi dan

inspirasi.

3. Decision Stage

Pada tahap ini akan disimpulkan hasil dari analisis sebelumnya

menjadi beberapa alternative strategi untuk organisasi. Alat analisis yang

digunakan pada tahapterakhir ini adalah QSPM (Quantitative Strategic

Planning Matrix). QSPM merupakan matriks tahap akhir dalam kerangka

kerja analisis formulasi strategi. Teknik ini secara jelas menunjukkan

strategi alternative yang paling baik untuk dipilih.

64
2.2.6.1. IFE (Internal Factor Evaluation).

Analisis terhadap lingkungan internal dapat dilakukan dengan

menggunakan alat analisis berupa matriks IFE (Internal Factor

Evaluation). Matriks IFE digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal

organisasi berkaitan dengan Strength dan Opportunities.48 Data dan

infromasi aspek internal organisasi dapat digali dari beberapa fungsional

organisasi, misalnya dari aspek manajemen, keuangan, SDM, sistem

informasi, dan lain sebagainya. Matriks IFE digunakan untuk mengetahui

faktor-faktor internal organisasi berkaitan dengan hal-hal yang dianggap

penting, khususnya dalam bidang fungsional. 49 Matriks ini juga menjadi

landasan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan antar

bidang. Dalam membuat matriks ini diperlukan penilaian yang bersifat

intuitif. Tahap kerja yang harus dilakukan antara lain:

a. Membuat daftar faktor-faktor internal yang diidentifikasi dalam

proses audit internal.

b. Menentukan bobot pada setiap faktor dari 0,0 (tidak penting)

sampai 1,0 (terpenting). Jumlah seluruh bobot harus sebesar

1,0.

c. Tentukan rating setiap critical success factor antara 1 sampai 4,

dimana:

1 = Kelemahan besar

2 = Kelemahan kecil

3 = Kekuatan kecil

48
Umar, Husein. 2003. Metode Riset Perilaku Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka.hlm 43
49
David, Op.Cit. hlm 72

65
4 = Kekuatan besar

Rating mengacu pada kondisi organisasi.

d. Kalikan bobot nilai dengan nilai rating-nya untuk menentukan

nilai yang dibobotkan bagi setiap variabel.

e. Jumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total bagi

organisasi yang dinilai. Nilai rata-rata adalah 2,5. Jika nilai

dibawah 2,5 menandakan bahwa secara internal organisasi

adalah lemah, sedangkan jika nilai beada diatas 2,5

menandakan posisi internal organisasi kuat.

Penentuan bobot setiap variabel dilakukan dengan cara penilaian

bobot faktor strategis eksternal dan internal organisasi kepada internal

organisasi kepada informan yang telah dipilih, yang mengetahui betul

kondisi dan permasalahan pada suatu organisasi. Penentuan bobot untuk

matriks IFE dan EFE dilakukan dengan menggunakan metode Paired

Comparison Scales.

Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap

variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan

rumus:

Xi
Ai= n
N =∑ Xi
1

Keterangan:

Ai = bobot variabel ke- i

N = jumlah variabel

i = 1, 2, 3,….,n

66
Xi = nilai variabel ke- i

Total bobot yang diberikan harus sama dengan 1,0. Pembobotan

ini kemudian ditempatkan pada kolom kedua matriks IFE-EFE. Metode

tersebut digunakan untuk memberi penilaian setiap faktor penentu

eksternal dan internal. Paired Comparison Scale merupaka metode yang

digunakan untuk mengukur relative importence. Pembobotan yang

dilakukan menggambarkan relative beberapa objek.

Langkah pertama adalah menentukan bobot dari Strength dan

Opportunities dalam implementasi kebijakan perubahan kedudukan

kelurahan dari perangkat daerah menjadi perangkat kecamatan di

Kelurahan Matawai, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba

Timur.

Gambar 2.2.
Matriks IFE
FAKTOR HORIZONTAL TOTAL BOBOT
A B C D E F G H I J K L M N O P
INTERNAL
A X
B X
C X
D X
V E X
E F X
R G X
T H X
I I X
K J X
A K X
L L X
M X
N X
O X
P X
TOTAL
Sumber: Olahan Penulis 2020
Keterangan:

67
1 = Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal
2 = Jika indikator horizontal sama panting dengan indikator vertikal
3 = Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertical

2.2.6.2. EFE (External Factor Evaluation)

Analisis terhadap lingkungan eksternal organisasi dapat dilakukan

dengan menggunakan analisis matriks EFE (External Factor Evaluation).50

Langkah-langkah dalam menyusun matriks EFE adalah sebagai berikut:

a. Membuat daftar faktor-faktor eksternal yang diidentifikasi dalam

proses audit eksternal.

b. Menentukan bobot pada setiap faktor dari 0,0 (tidak penting)

sampai 1,0 (sangat penting).

c. Menentukan rating setiap critical success factor antara 1 sampai 4,

dimana:

1 = respon jelek

2 = respon rata-rata

3 = respon diatas rata-rata

4 = respon luar biasa

d. Mengalikan bobot nilai dengan nilai peringkat untuk mendapatkan

skor semua critical success factor.

e. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total bagi

organisasi yang dinilai. Skor total 4,0 mengidentifikasikan bahwa

organisasi merespon dengan cara yang baik terhadap kekuatan

dan peluang yang ada. Sementara skor total 1,0 menunjukkan

50
Umar, Loc.Cit

68
bahwa organisasi tidak memanfaatkan kekuatan dan peluang

eksternal.

David (2004) menjabarkan pembobotan setiap variabel ditentukan

dengan menggunakan skala 1, 2, dan 3. Skala yang digunakan untuk

pengisian kolom adalah:

1 = Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal


2 = Jika indikator horizontal sama panting dengan indikator vertikal
3 = Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertical

Langkah kedua adalah menentukan bobot faktor eksternal yang

berupa Aspiration dan Result dalam implementasi kebijakan perubahan

kedudukan kelurahan dari perangkat daerah menjadi perangkat

kecamatan di Kelurahan Matawai, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten

Sumba Timur.

Gambar 2.3
Matriks EFE
FAKTOR HORIZONTAL TOTAL BOBOT
A B C D E F G H I J K L M N O P
EKSTERNAL
A X
B X
C X
D X
V E X
E F X
R G X
T H X
I I X
K J X
A K X
L L X
M X
N X
O X
P X
TOTAL
Sumber: Olahan Penulis 2020

Keterangan:
1 = Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal
2 = Jika indikator horizontal sama panting dengan indikator vertikal

69
3 = Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal
2.2.6.3. IE (Internal – External) Matriks

Penggabungan dari kedua matriks IFE dan EFE akan

menghasilkan sebuah matriks lain yaitu Internal-Eksternal (Matriks IE),

yang digunakan untuk menganalisis posisi organisasi secara lebih detail

dan melihat strategi apa yang tepat untuk diterapkan oleh organisasi.

Pada sumbu-x matriks IE, total nilai IFE yang diberi bobot 1,00-1,99

menunjukkan posisi internal yang lemah, nilai 2,00-2,99 dianggap sedang,

nilai 3,00-4,00 kuat. Pada sumbu-y matriks IE, total nilai EFE yang diberi

bobot 1,00-1,99 dianggap rendah, nilai 2,00-2,99 sedang dan nilai 3,00-

4,00 tinggi.

Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga bagian besar yang mempunyai

implikasi strategi yang berbeda-beda. Pertama, ketentuan untuk divisi-

divisi yang masuk dalam sel I, II dan IV dapat digambarkan sebagai

tumbuh dan membangun (grow and build). Kedua, divisi-divisi yang masuk

dalam sel III, V, dan VII dapat ditangani dengan baik melalui strategi

menjaga dan mempertahankan (hold and maintain). Ketiga, ketentuan

untuk divisi-divisi yang masuk dalam sel VI, VIII, dan IX digambarkan

sebagai panen atau divestasi (harvest or divest). Organisasi yang berhasil

mampu mencapai atau berada diseputaran sel I dari matriks IE (David

2009).

70
Gambar 2.4.
Matriks IE

3.
S K O R I F E
4.
Kuat Sedang Lemah
5.
3,0-4,0 2,0-2,99 1,0-1,99
6.
4,0 3,0 2,0 1,0
7.
S
8. K Tinggi
3,0-4,0 I II III
9. O
R 3,0
10.
Sedang
2,0-2,99 IV V VI
11.
E 2,0
12.
F
Rendah VII VIII IX
13. E 1,0-1,99
1,0
14.

Sumber: David 2009

2.2.6.4. SOAR (Strengths, Opportunities, Apirations, Results)

Analisis SOAR merupakan tawaran alternatif untuk memperkaya

khasanah analisis strategis. Analisis SOAR berasal dari pendekatan

Appreciative Inquiry (AI). Appreciative Inquiry adalah sebuah pendekatan

baru yang dikembangkan oleh David Cooperrider untuk membantu

individu dan komunitas meraih mimpi-mimpi mereka. AI lebih

menitikberatkan pada pengidentifikasian dan pembangunan kekuatan dan

peluang daripada masalah, kelemahan dan ancaman.

71
SOAR (Strengths, Opportunities, Aspirations, Results) juga

merupakan strategi pendekatan penemuan solusi yang berpatokan pada

hal-hal positif yang telah dimiliki oleh sebuah organisasi untuk

dikembangkan dan dijadikan keunggulan utama.

Analisis SOAR memungkinkan anggota organisasi menciptakan

masa depan yang mereka inginkan sendiri dalam keselruhan proses

dengan cara melakukan penyelidikan, imajinasi, inovasi dan inspirasi.

Fokus internal SOAR adalah kekuatan organisasi.

1. Strength (S)

Strength (S) merupakan segala hal yang menjadi kekuatan dan

kemampuan terbesar yang dimiliki , berupa aset baik aset yang

berwujud maupun aset yang tidak berwujud yang mampu

mendukung keberlangsungan usaha. Tujuan mengetahui kekuatan

dalam sebuah usaha adalah untuk memberikan penghargaan

terhadap segala hal-hal baik yang dimiliki dan akan selalu dimiliki

oleh individu maupun organisasi. Kekuatan akan terus

dikembangkan demi kemajuan organisasi maupun individu di masa

depan.

2. Opportunities (O)

Peluang merupakan bagian dari lingkungan eksternal yang harus di

analisis agar mudah memahami apa yang harus dilakukan agar

dapat dimanfaatkan. Peluang akan memberikan manfaat bagi

organisasi jika organisasi tersebut mampu meraih peluang tersebut

dengan cepat dan tepat. Lingkungan eksternal adalah

72
sebuahwilayah yang penuh dengan berbagai macam kemungkinan

dan peluang. Salah satu syarat bagi keberhasilan suatu

perusahaan adalah kemampuannya memaksimalkan peluang yang

dimiliki. Hal ini mensyaratkan adanya cara pandang yang positif

dalam memandang lingkungan eksternal yang berubah dengan

sangat cepat.

3. Aspirations (A)

Seluruh anggota organisasi saling bertukar pendapat untuk

menciptakan visi dan misi yang ingin dicapai guna membentuk

kepercayaan diri terhadap tujuan organisasi, pasar dan hal apapun

yang dikerjakan demi mencapai visi yang diharapkan sehingga

muncullah perasaan positif dan semangat dalam meningkatkan

kinerja serta pelayanan. Setelah perasaan percaya diri timbul maka

dapat dipastikan pekerjaan yang besar sekalipun akan mampu

memberikan energi positif bagi anggota-anggota organisasi.

4. Results (R)

Berarti menentukan ukuran dari hasil-hasil yang ingin dicapai

(measurable results) dalam perencanaan strategis, guna

mengetahui sejauh mana pencapaian dari tujuan yang telah

disepakati bersama. Agar para anggota organisasi merasa

termotivasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan ini,

maka perlu dirancang sistem pengakuan (recognition) dan reward

yang menarik51.

51
Jacqueline M. Stavros. 2010. Practicing Organization Development. Third Edition. San Fransisco:
Pfeiffer.

73
Gambar 2.5
Tahap Analisis SOAR

INITIATE
Keputusan organisasi melakukan SOAR Framework

INQUIRY
Gunakan pertanyaan positif guna mempelajari nilai-nilai
inti, visi, kekuatan , dan peluang potensial setuap anggota
organisasi.

IMAJINASI
Merancang masa depan yang diharapkan. Dalam fase ini
nilai-nilai diperkuat, visi dan misi diciptakan. Sasaran
jangka panjang dan alternative strategis dan rekomendasi
di umumkan.

INOVASI
Perancangan bersama sasaran jangka pendek, rencana
taktikal dan fungsional, program, sistem. dan struktur yang
terintegrasi untuk mencapai tujuan masa depan yang
diharapkan.

INSPIRE TO IMPLEMENT
Sistem Pengakuan dan Penghargaan
Sumber: Stavros.52

Analisis SOAR bagi perencanaan strategis dimulai dengan initiate

(keputusan untuk memilih SOAR) kemudian dilanjutkan dengan

penyelidikan (inquiry) yang menggunakan pertanyaan positif guna

mempelajari nilai-nilai inti, visi, kekuatan, dan inquiry gunakan pertanyaan

positif guna mempelajari nilai inovasi, nilai inti, visi, kekuatan, dan peluang

potensial setiap anggota organisasi. Imajinasi merancang masa depan

yang diharapkan. Dalam fase ini nilai-nilai diperkuat, visi dan misi

52
Loc.Cit.

74
diciptakan.Sasaran jangka panjang dan alternatif strategi dan

rekomendasi untuk di umumkan.

Inovasi perancangan bersama sasaran jangka pendek, rencana

taktikal dan fungsional, program, sistem, dan struktur yang terintegrasi

untuk mencapai tujuan masa depan yang diharapkan. Inspire to

implement Sistem pengakuan dan penghargaan Initiate Keputusan

organisasi melakukan SOAR framework peluang potensial. Dalam fase ini,

pandangan-pandangan dari setiap anggota organisasi dihargai.

Penyelidikan juga dilakukan Guna memahami secara utuh nilai-nilai yang

dimiliki oleh para anggota organisasi serta hal-hal terbaik yang pernah

terjadi di masa lalu.

Kemudian anggota organisasi dibawa masuk ke dalam fase

imajinasi, memanfaatkan waktu untuk bermimpi dan merancang masa

depan yang diharapkan. Dalam fase ini, nilai-nilai diperkuat, visi dan misi

diciptakan. Sasaran jangka panjang dan alternatif strategis dan

rekomendasi diumumkan. Fase selanjutnya adalah inovasi, yaitu

dimulainya perancangan sasaran jangka pendek, rencana taktikal dan

fungsional, program, sistem, dan struktur yang terintegrasi untuk

mencapai tujuan masa depan yang diharapkan. Guna tercapainya hasil

terbaik yang terukur, karyawan harus diberikan inspirasi melalui sistem

pengakuan dan penghargaan. Selain itu SOAR selalu melibatkan

stakeholder dalam menentukan strategi yang akan digunakan dalam

pengembangan usaha demi kelancaran masa depan usaha suatu

organisasi.

75
Diagram analisis SOAR merupakan diagram yang berfungsi untuk

mengidentifikasi situasi dan posisi yang dihadapi oleh organisasi menurut

faktor- faktor strategis internal yang dimiliki organisasi dan eksternal yang

dihadapi organisasi.

Gambar 2.6
Diagram analisis SOAR

Internal Eksternal
S O
Presents
Strengths Opportunities
A R
Future
Aspirations Result
Sumber: Stavros.53

Diagram di atas menggambarkan dua kondisi yaitu:

1. Strategic Planning focus: perencanaan yang dilakukan fokus

berdasarkan hasil tabel Strengths dan Opportunities

berdasarkan kondisis dari organisasi.

2. Human Development Strategy: perencanaan yang fokus

berdasarkan hasil tabel Aspirations dan Result bersumber dari

semua elemen stakeholder organisasi.

Hal ini juga digambarkan dalam matriks SOAR sebagai berikut:

Gambar 2.7
Matriks SOAR

Strategic Inquiry Strength Oppurtunities


(Internal) Daftar faktor kekuatan Daftar peluang eksternal
Internal
Apreciative
(Eksternal)

53
Loc.Cit

76
Aspirations Strategi SA Strategi OA

Daftar faktor harapan Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang


dari internal menggunakan beriorientasi kepada
kekuatanuntuk aspirasi yang
mencapai aspirasi diharapkan
untukmemanfaatkan
Peluang
Result Strategi SR Strategi OR

Daftar hasil yang Ciptakan strategi yang Strategi yang


terukur untuk berdasarkan kekuatan beriorientasi kepada
diwujudkan untuk mencapai Hasil kesempatan untuk
yang terukur mencapai visi
Sumber : Stavros dalam Darfison 201654

Martriks SOAR berfungsi untuk menyusun faktor- faktor strategis

yang menggambarkan bagaimana kekuatan dan peluang eksternal yang

dihadapi dapat disesuaikan dengan aspirasi dan hasil terukur yang

dimiliki.

Penjelasan dari matriks diatas adalah sebagai berikut:

1) Strategi SA: strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh

kekuatan untuk mencapai aspirasi yang diharapkan.

2) Strategi OA: strategi ini dibuat untuk mengetahui dan memenuhi

aspirasi dari setiap stakeholder yang berorientasi kepada peluang

yang ada.

3) Strategi SR: strategi ini dibuat untuk mewujudkan kekuatan untuk

mencapai hasil yang terukur.

54
Loc.Cit

77
4) Strategi OR: strategi ini berorientasi kepada peluang untuk

mencapai hasil yang terukur.55

2.2.6.5. QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix).

Setelah diperoleh beberapa alternatif strategi yang dihasilkan dari

analisis SOAR, maka selanjutnya adalah pemilihan strategi yang terbaik.

Adapun alat analisis yang digunakan adalah Matriks Perencanaan Strategi

Kuantitatif/ QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix).

Di luar strategi-strategi pemeringkatan untuk mendapatkan daftar

prioritas, hanya ada satu teknik analisis dalam literatur yang dirancang

untuk menentukan daya Tarik relatif dari berbagai tindakan alternatif.

Teknik tersebut adalah QSPM yang menyusun tahap 3 dari kerangka

analitis perumusan strategi. Teknik ini secara objektif menunjukkan

strategi mana yang terbaik. QSPM menggunakan alasis input dari tahap 1

dan hasil pencocockan dari analisis tahap 2 untuk secara objektif memilih

strategi yang hendak dijalankan diantara strategi-strategi alteratif. QSPM

adalah alat yang memungkinkan para penyusun strategi mengevaluasi

berbagai strategi alternatif secara objektif, berdasarkan faktor-faktor

keberhasilan penting eksternal dan internal yang diidentifikasi

sebelumnya. Seperti halnya alat analisis strategi yang lain, QSPM

membutuhkan penilaian intuitif yang baik.56

Bentuk dasar QSPM diilustrasikan pada gambar 2.8 kolom kiri dari

QSPM mencakup faktor-faktor eksternal dan internal utama (dari tahap 1),

55
Loc.Cit
56
David, Op.Cit.hlm 73

78
baris teratas mencakup strategi-strategi alternatif yang masuk akal (dari

tahap 2). Secara khusus, kolom kiri QSPM berisi informasi yang diperoleh

secara langsung dari matriks EFE dan IFE. Di kolom yang berdampingan

dengan faktor-faktor keberhasilan penting tersebut, catat bobot masing-

masing yang diterima setiap faktor dalam matriks EFE dan IFE (David

2009).

Gambar 2.8
Matriks QSPM
Alternatif Strategi
Faktor Utama Bobot Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
1. Faktor-faktor eksternal
utama

2. Faktor-faktor internal
utama
Sumber: David 2009

Secara konseptual, menentukan daya tarik relatif dari berbagai

strategi yang dibangun berdasarkan faktor-faktor keberhasilan penting

eksternal dan internal. Daya tarik relatif dari setiap strategi di dalam

serangkaian alternatif dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari

setiap faktor keberhasilan penting eksternal dan internal. Berapapun

rangkaian strategi alternatif dapat dimasukkan dalam QSPM dan

berapapun strategi dapat dimasukkan dalam setiap rangkaian tersebut,

tetapi hanya strategi-strategi di dalam rangkaian tertentu yang dievaluasi

relatif satu terhadap yang lain.

Pengertian lain dari QSPM adalah merupakan teknik yang

menunjukkan strategi alternatif mana yang paling baik untuk dipilih. QSPM

adalah alat yang direkomendasikan bagi para ahli strategi untuk

79
melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara objektif berdasarkan

key success factor internal-eksternal yang telah diidentifikasikan

sebelumnnya.57 Adapun matriks QSPM dapat dilihat pada tabel berikut:

Gambar 2.9
Matriks QSPM
Faktor-faktor sukses Alternatif Strategi
Bobot Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
kritis AS TAS AS TAS AS TAS
Strength

Opportunities

Aspiration

result
Jumlah total nilai daya

tarik
Sumber: David 2003

Ada enam tahap yang harus dilakukan dalam membuat QSPM,

yaitu:58

1. Membuat daftar kekuatan-peluang organisasi (internal factor) dan

aspirasi-hasil organisasi (external factor) yang diambil langsung

dari matriks EFE dan IFE.

2. Memberikan bobot untuk masing-masing faktor internal dan faktor

eksternal. Bobot ini harus identik dengan bobot yang diberikan

pada matriks IFE dan EFE.

3. Menuliskan alternatif strategi yang dihasilkan dalam matriks SOAR.

4. Bila faktor yang bersangkutan ada pengaruhnya terhadap alternatif

strategi yang sedang dipertimbangkan, berikan nilai AS

(Atractiveness Score) yang berkisar antara 1 sampai dengan 4,


57
Umar, Op.Cit.hl. 52
58
David, Op.Cit.hlm. 74

80
dimana nilai 1 = tidak menarik, nilai 2 = agak menarik, nilai 3 =

menarik, dan nilai 4 = sangat menarik.

5. Menghitung Total Atractiveness Score (TAS) dengan cara

mengalikan bobot dengan Atractiveness Score (AS). Total

Atractiveness Score menunjukkan relative attractiveness dari

masing-masing alternative strateginya.

6. Menghitung nilai total TAS pada masing-masing kolom QSPM. Nilai

terbesar menunjukkan bahwa alternatif menjadi pilihan utama dan

nilai TAS terkecil menunjukkan bahwa alternatif strategi yang

menjadi pilihan terakhir.

Salah satu keistimewaan dari QSPM adalah bahwa rangkaian-

rangkaian strateginya dapat diamati secara berurutan dan bersamaan.

Tidak ada batasan jumlah strategi yang dapat dievaluasi atau jumlah

rangkaian strategi yang dapat dicermati sekaligus. 59

Keistimewaan lain dari QSPM adalah mendorong para penyusun

strategi untuk memasukkan faktor-faktor eksternal dan internal yang

relevan kedalam proses pengambilan keputusan. Pengembangan QSPM

dapat memperkecil kemungkinan bahwa faktor-faktor utama akan terlewat

atau diberi bobot secara berlebihan. QSPM menggarisbawahi berbagai

hubungan penting yang mempengaruhi keputusan strategi. Walaupun

mengembangkan QSPM dibutuhkan sejumlah keputusan subjektif,

pembuat keputusan-keputusan kecil disepanjang proses meningkatkan

59
Ibid, hlm. 75

81
probabilitas bahwa keputusan strategis akhir yang dicapai adalah yang

terbaik bagi organisasi.60

2.3. Kajian Normatif

Kajian Normatif adalah pedoman petunjuk yang dibuat oleh

Pemerintah agar segala kegiatan dalam Pemerintahan memiliki sebuah

acuan agar tidak bergeser dari apa yang telah ditetapkan. Terkait

implementasi perubahan status kedudukan kelurahan, regulasi yang

dijadikan pedoman adalah :

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 2005 tentang Kelurahan.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat

Daerah.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2018 tentang Kecamatan.

6. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 7 tahun 2016

tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kabupaten

Sumba Timur.

7. Peraturan Bupati Sumba Timur Nomor 61 tahun 2016 tentang

kedudukan, susunan organisasi, tugas, fungsi dan tata kerja

Kecamatan di Kabupaten Sumba Timur.

2.4. Kerangka Pemikiran

60
Ibid, hlm. 75

82
Kerangka pemikiran merupakan alur berfikir terkait penelitian yang

ingin diteliti oleh penulis. Agar penelitian menjadi terarah dan sistematis

dalam mencapai tujuan penulisan. Pembuatan kerangka pemikiran ini

berawal dari regulasi-regulasi yang menjadi sebab atau dasar perubahan

status dan kedudukan kelurahan yang akan diteliti di Kelurahan Matawai,

Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, kemudian masalah

yang timbul akibat perubahan tersebut dan diakhiri dengan penyelesaian

menggunakan strategi yang konkrit.

Pembuatan kerangka pemikiran ini adalah langkah untuk

memudahkan penggambaran terhadap masalah yang akan diteliti. Peneliti

menggunakan teori atau konsep implementasi yang dikemukan oleh

Edwards III, sebagai berikut:

1. Communication, berhubungan dengan kejelasan kebijakan atau

instruksi hingga ke tingkat pelaksana dilapangan, sehingga mereka

dapat memahami dengan jelas apa maksud dan tujuan kebijakan itu

dibuat dan bagaimana cara melaksanakannya, dalam hal ini adalah

terkait perubahan kedudukan Kelurahan dari perangkat daerah

menjadi perangkat Kecamatan di Kelurahan Matawai Kecamatan Kota

Waingapu Kabupaten Sumba Timur. Komunikasi menyangkut

bebarapa hal, yaitu:

a. Transmition, yaitu berkaitan dengan kemampuan administrator

dilapangan dalam mengkomunikasikan atau menafsirkan perintah

undang-undang terkait perubahan kedudukan Kelurahan dari

perangkat daerah menjadi perangkat Kecamatan.

83
b. Clarity, yaitu berkaitan dengan ketersediaan petunjuk teknis

pelaksanaan kebijakan implementasi perubahan kedudukan

Kelurahan dari perangkat daerah menjadi perangkat Kecamatan di

Kelurahan Matawai Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba

Timur.

c. Consistency, yaitu berkaitan dengan keberlanjutan serta

konsistensi pelaksana dilapangan dalam menjalankan kebijakan

perubahan kedudukan Kelurahan dari perangkat daerah menjadi

perangkat Kecamatan.

2. Resources, berhubungan dengan ketersediaan sumber daya baik dari

segi kuantitas maupun kualitas dalam implementasi kebijakan

perubahan kedudukan Kelurahan dari perangkat daerah menjadi

perangkat Kecamatan di Kelurahan Matawai Kecamatan Kota

Waingapu Kabupaten Sumba Timur. Beberapa aspek penting yang

perlu diperhatikan adalah:

a. Staf, yaitu berkaitan dengan apakah jumlah staf pelaksana

dilapangan cukup untuk menjalankan kebijakan perubahan

kedudukan kelurahan dari perangkat daerah menjadi perangkat

Kecamatan di Kelurahan Matawai Kecamatan Kota Waingapu

Kabupaten Sumba Timur.

b. Authority, yaitu berkaitan dengan sejauh mana para implementor

dilapangan memiliki wewenang dalam melaksanakan tugasnya

setelah adanya kebijakan perubahan kedudukan kelurahan dari

84
perangkat daerah menjadi perangkat Kecamatan di Kelurahan

Matawai Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur.

c. Facilities, yaitu berkaitan dengan ketersediaan daya dukung berupa

sarana dan prasarana dalam menunjang implementasi kebijakan

perubahan kedudukan kelurahan dari perangkat daerah menjadi

perangkat Kecamatan di Kelurahan Matawai Kecamatan Kota

Waingapu Kabupaten Sumba Timur.

3. Dispotition, berhubungan dengan sikap para pelaksana dilapangan

dalam menjalankan berbagai instruksi (instruksi harus jelas) agar tidak

terjadi bias-bias dalam proses implementasi kebijakan perubahan

kedudukan kelurahan dari perangkat daerah menjadi perangkat

Kecamatan di Kelurahan Matawai Kecamatan Kota Waingapu

Kabupaten Sumba Timur. Beberapa hal yang perlu diperhatikandalam

kaitannya dengan disposisi yaitu:

a. Pengangkatan birokrat, yaitu berhubungan dengan penempatan

apaaratur pelaksanan dilapangan dalam posisi jabatan tertentu

yang perlu guna efektifitas implementasi kebijakan perubahan

kedudukan kelurahan dari perangkat daerah menjadi perangkat

Kecamatan di Kelurahan Matawai Kecamatan Kota Waingapu

Kabupaten Sumba Timur.

b. Insentif, yaitu berhubungan dengan apakah implementasi

kebijakan perubahan kedudukan kelurahan dari perangkat

daerah menjadi perangkat Kecamatan di Kelurahan Matawai

85
Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur diikuti

dengan adanya insentif bagi para pelaku dilapangan atau tidak.

4. Bureaucratic Structure, berhubungan dengan kondisi struktur

organisasi instansi pelaksana dilapangan apakah sudah mumpuni atau

perlu dilakukan perubahan-perubahan dalam rangka penguatan

kapasitas organisasi untuk menyikapi perubahan kedudukan kelurahan

dari perangkat daerah menjadi perangkat Kecamatan. Karakteristik

yang perlu diperhatikan dalam struktur birokrasi yaitu:

a. Standard Operating Procedures (SOP), yaitu berkaitan dengan

tahapan prosedur kerja baku dalam kaitannya dengan adanya

kebijakan perubahan kedudukan Kelurahan dari perangkat daerah

menjadi perangkat Kecamatan di Kelurahan Matawai, Kecamatan

Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur.

b. Fragmentation, yaitu berkaitan dengan kekuatan organisasi

kelurahan untuk tetap bertahan dalam menyikapi perubahan akibat

adanya implementasi kebijakan perubahan kedudukan Kelurahan

dari perangkat daerah menjadi perangkat Kecamatan.

Kemudian dalam rangka menemukan solusi terhadap berbagai

permasalahan yang muncul akibat kebijakan tersebut maka diperlukan

suatu strategi yang jitu, dan dalam hal ini strategi yang digunakan adalah

konsep strategi SOAR (Strength, Opportunities, Aspirations, Result), yang

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Strength, berhubungan dengan segala hal yang merupakan potensi

kekuatan yang dimiliki oleh Kelurahan Matawai, baik yang berwujud

86
maupun tidak berwujud. Kekuatan tersebut yang akan terus

dikembangan demi kemajuan organisasi Kelurahan Matawai

Kecamatan Kota Waingapu Kabupaten Sumba Tmur pada masa yang

akan datang.

2. Opportunities, berhubungan dengan berbagai hal yang berada pada

lingkungan eksternal organisasi Kelurahan yang dapat dimanfaankan

sebagai peluang yang memberi manfaat pada Kelurahan Matawai

Kecamatan Kota Waiangapu Kabupaten Sumba Timur.

3. Aspirations, berhubungan dengan visi dan misi organisasi kelurahan

serta berbagai inovasi dari para stafnya dalam rangka pengembangan

dan kemajuan Kelurahan Matawai Kecamatan Kota Waingapu

Kabupaten Sumba Timur.

4. Result, berhubungan dengan harapan akan hasil yang akan dicapai

dalam rangka penguatan kelembagaan Kelurahan pasca implementasi

kebijakan perubahan kedudukan Kelurahan dari perangkat daerah

menjadi perangkat Kecamatan di Kelurahan Matawai, Kecamatan Kota

Waingapu, Kabupaten Sumba Timur.

Guna melakukan analisis terhadap berbagai strategi tersebut, maka

digunakan suatu alat analisis, Adapun alat analisis yang digunakan adalah

Matriks Perencanaan Strategi Kuantutatif/ QSPM (Quantitative Strategic

Planning Matrix).

Penyusunan strategi organisasi menggunakan metode QSPM

dilakukan dengan menggunakan tiga tahan pelaksanaan analisis data,

yaitu:61
61
David, Fred S. 2009. Manajemen Strategis Konsep, Edisi 12. Jakarta: Salemba Empat. Hlm.70

87
1. The Input Stage

Data yang teridentifikasi dalam pengamatan di lapangan, dirangkum

dalam suatu matriks, yaitu: External Factor Evaluation (EFE) dan

Internal Factor Evaluation (IFE), dimana data tersebut merupakan

faktor strategis.

2. The Matching Stage

Pada tahap ini akan dilakukan proses analisis untuk merumuskan

strategi organisasi melalui dua tahap, yaitu:

a. Matriks Internal dan Eksternal (IE)

Matriks IE berfungsi untuk memposisikan suatu perusahaan

kedalam matriks yang terdiri dari Sembilan sel.

b. Matriks SOAR

SOAR merupakan strategi pendekatan penemuan solusi yang

berpatokan pada hal-hal positif yang telah dimiliki oleh sebuah

organisasi untuk dikembangkan dan dijadikan keunggulan utama.

3. Decision Stage

Pada tahap ini akan disimpulkan hasil dari analisis sebelumnya

menjadi beberapa alternative strategi untuk organisasi. Alat analisis yang

digunakan pada tahapterakhir ini adalah QSPM (Quantitative Strategic

Planning Matrix).

Untuk memperjelas hubungan dari uraian tersebut diatas, maka

disajikan kerangka pemikiran penelitian berikut ini:

88
Gambar 2.10
Kerangka Pemikiran

Landasan Yuridis Implementasi Kebijakan Perubahan Landasan Yuridis


Pusat Kedudukan Kelurahan Dari Perangkat Daerah
Daerah Menjadi Perangkat Kecamatan di
1. Undang-undang nomor 23 1. Peraturan Daerah
Kelurahan Matawai, Kecamatan Kota
tahun 2014 tentang Kabupaten Sumba Timur
Pemerintahan Daerah. Waingapu, Kabupaten Sumba Timur.
nomor 7 tahun 2016
2. Peraturan Pemerintah tentang Pemebentukan dan
nomor 18 tahun 2016 Susunan Perangkat
tentang Perangkat Daerah. Daerah Kabupaten Sumba
3. Peraturan Pemerintah Timur.
nomor 17 tahun 2018 2. Peraturan Bupati Sumba
tentang Kecamatan. Timur nomor 61 tahun
2016 tentang Kedudukan,
Susunan Organisasi,
Tugas, Fungsi dan Tata
Kerja Kecamatan di
Kabupaten Sumba Timur..

Teori Implementasi Kebijakan


Masalah yang
George C. Edwards III
timbul dalam
(1980:9-147)
implementasi
1. Communication
kebijakan
2. Resources
perubahan 3. Disposition
kedudukan 4. Bereaucratic Structure
Kelurahan

89
Strategi SOAR
Matriks IFE Matriks EFE
Jacqueline M. Stavros
(2010:377-394)
1. Strengths
2. Opportunities
3. Aspirations Matriks Internal-External (IE)
4. Result

Matriks QSPM

Penyelenggaraan Pemerintahan dan


Pelayanan Masyarakat Menjadi Lebih Baik

Keterangan:
= Fokus Penelitian
Sumber: Olahan Penulis 2020

90

Anda mungkin juga menyukai