Blok 11 Sken A KLMPK 7
Blok 11 Sken A KLMPK 7
PEMBAHASAN
FISIOLOGI PARU
Paru merupakan organ respirasi yang berfungsi menyediakan O2 dan
mengeluarkan CO2. Selain itu paru juga membantu fungsi nonrespirasi,
yaitu:
1. Pembuangan air dan eliminasi panas
2. Membantu venus return
3. Keseimbangan asam basa
4. Vokalisasi
Ventilasi paru
Gerakan nafas dengan 2 cara:
1. Turun-naik diafragma yang merubah diameter superoinferior rongga
toraks:
a. inspirasi: kontraksi diafragma
b. ekspirasi: relaksasi diafragma
2. Depresi-elevasi iga, merubah diameter anteroposterior rongga toraks:
a. inspirasi: elevasi iga
b. ekspirasi: depresi iga
Difusi paru
Faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi gas pada membran respirasi:
1. Tebal membran
2. Luas permukaan membran
3. Koefisien difusi gas
Transportasi gas
1. Transpor O2 dalam darah. 97% O2 ditranspor dalam bentuk HbO2, 3%
terlarut dalam cairan plasma dan sel. Rata-rata Hb dalam 100 ml darah
dapat berikatan dengan 20 ml O2. 5 ml O2 dilepaskan ke jaringan oleh
100 ml darah.
2. CO2 ditranspor dalam bentuk terlarut dalam darah 7 %, ion bikarbonat
70%, gabungan CO2, Hb, dan protein plasma 20 %.
Sirkulasi paru terdiri dari sirkulasi pulmoner dan sirkulasi bronkial.
1. Sirkulasi bronkial :
a. nutrisi pada paru dan saluran napas
b. tekanan pembuluh darah sistemik
c. cenderung terjadi perdarahan lebih hebat
2. Sirkulasi pulmonar
a. mengatur pertukaran gas
b. tekanan rendah
Fungsi paru
1. Terdapat permukaan gas-gas yaitu mengalirkan Oksigen dari udara
atmosfer kedarah vena dan mengeluarkan gas carbondioksida dari
alveoli keudara atmosfer.
2. menyaring bahan beracun dari sirkulasi
3. reservoir darah
4. fungsi utamanya adalah pertukaran gas-gas
Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada
vestibulum di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu
hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum
memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh
septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior)
pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi
oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel
olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel
olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel
olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan
epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson
yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk
piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman
menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga
memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka
dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang
masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum
masuk lebih jauh.
LAPORAN TUTORIAL BLOK XI
8
epitel olfaktori, khas pada konka superior
Sinus paranasalis
Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan
sinus sphenoid yang dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan
mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang
mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan
periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.
Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak
dengan palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe
skuamosa/gepeng.
Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea.
Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan
memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal
epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan
laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di
bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa. Di bawah
epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen
LAPORAN TUTORIAL BLOK XI
9
laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika
vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di
lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis
gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot
rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan
frekuensi yang berbeda-beda.
Trakea
Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar
serosa pada lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal
kuda), yang mana ujung bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan
mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel kelenjar membentuk lapisan
yang memungkinkan pergerakan silia untuk mendorong partikel asing.
Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga lumen trakea tetap
terbuka. Pada ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan hialin yang
berbentuk tapal kuda tersebut terdapat ligamentum fibroelastis dan berkas
otot polos yang memungkinkan pengaturan lumen dan mencegah distensi
berlebihan.
Bronkus
Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea,
dengan lamina propria yang mengandung kelenjar serosa , serat elastin,
limfosit dan sel otot polos. Tulang rawan pada bronkus lebih tidak teratur
dibandingkan pada trakea; pada bagian bronkus yang lebih besar, cincin
tulang rawan mengelilingi seluruh lumen, dan sejalan dengan mengecilnya
garis tengah bronkus, cincin tulang rawan digantikan oleh pulau-pulau
tulang rawan hialin.
Bronkiolus
Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada
mukosanya. Lamina propria mengandung otot polos dan serat elastin.
Pada segmen awal hanya terdapat sebaran sel goblet dalam epitel. Pada
bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah epitel bertingkat silindris
Bronkiolus respiratorius
Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik dengan
mukosa bronkiolus terminalis, kecuali dindingnya yang diselingi dengan
banyak alveolus. Bagian bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel kuboid
bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi muara alveolus, epitel bronkiolus
menyatu dengan sel alveolus tipe 1. Semakin ke distal alveolusnya semakin
bertambah banyak dan silia semakin jarang/tidak dijumpai. Terdapat
otot polos dan jaringan ikat elastis di bawah epitel bronkiolus
respiratorius.
Duktus alveolaris
Semakin ke distal dari bronkiolus respiratorius maka semakin banyak
terdapat muara alveolus, hingga seluruhnya berupa muara alveolus yang
disebut sebagai duktus alveolaris. Terdapat anyaman sel otot polos pada
lamina proprianya, yang semakin sedikit pada segmen distal duktus
alveolaris dan digantikan oleh serat elastin dan kolagen. Duktus alveolaris
bermuara ke atrium yang berhubungan dengan sakus alveolaris. Adanya
serat elastin dan retikulin yang mengelilingi muara atrium, sakus
alveolaris dan alveoli memungkinkan alveolus mengembang sewaktu
inspirasi, berkontraksi secara pasif pada waktu ekspirasi secara normal,
mencegah terjadinya pengembangan secara berlebihan dan pengrusakan
pada kapiler-kapiler halus dan septa alveolar yang tipis.
Alveolus
Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas oksigen
dan karbondioksida antara udara dan darah. Septum interalveolar
Pleura
Pleura merupakan lapisan yang memisahkan antara paru dan dinding
toraks. Pleura terdiri atas dua lapisan: pars parietal dan pars viseral. Kedua
lapisan terdiri dari sel-sel mesotel yang berada di atas serat kolagen dan
elastin.( Junquereira LC, Carneiro J. 1982)
b. Apa hubungan jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan tempat tinggal pada
kasus?
Jawab :
Keluhan Tn. Rudi yaitu batuk berdahak yang semakin bertambah sejak
1 bulan yang lalu, batuk mula – mula kering kemudian menjadi produktif.
Hal tersebut berhubungan dengan jenis kelamin, dan umurnya. Yang mana
Pada dasarnya batuk terdiri dari tiga fase, yaitu fase inspirasi, kompresi
dan ekspirasi. Namun ada juga yang membagi mekanisme batuk menjadi
empat fase, yaitu fase inhalasi, inspirasi, kompresi dan ekspirasi. Pada fase
inhalasi dan inspirasi terjadi inspirasi maksimal, hal ini diperlukan untuk
mendapatkan volume udara sebanyak-banyaknya sehingga terjadi
peningkatan tekanan intratorakal. Pada fase kompresi terjadi penutupan
glottis hal ini bertujuan untuk mempertahankan volume paru pada saat
2. Keluhan tersebut disertai demam dan berkeringat terutama pada malam hari,
penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, badan terasa lemah dan mudah
lelah.
a. Bagaimana patofisiologi dan apa penyebab dari :
- Demam, bekeringat terutama pada malam hari
Jawab :
Bakteri masuk tubuh melalui sistem pernapasan à zat pirogen eksogen
à mengaktifkan zat pirogen endogen (IL1, IL6, TNFα) à as. Arakidonat à
menaikkan termostat di hipotalamus à suhu di set point baru à demam.
Tubuh terinfeksi mikroorganisme à sekresi mediator inflamasi
sebagai suatu bentuk respon umum à monosit, makrofag, sel endotel, dan
lain-lain à merasang keluarnya sitokin pirogen IL-1, IL-6, TNF dan IFN
sebagai regulator imun --- regulator imun merangsang endotelium
hipotalamus àá terjadi sekresi PGE 2 dan cAMP àá termoregulator set
point oleh cAMP à konservasi demam produksi demam à demam
(Kumar, V., et al., 2007)
3. Tn. Rudi tinggal dirumah bersama istri dan dua orang anak yang berusia 15
tahun dan 6 tahun. Teman kerja Tn. Rudi ada yang mengalami keluhan yang
sama
a. Bagaimana hubungan interaksi lingkungan tempat tinggal Tn. Rudi dengan
kasus?
Jawab :
Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui jalan pernafasan.
Basilus tuberkel di sekret pernafasan membentuk nuklei droplet cairan yang
dikeluarkan lewat batuk, bersin, dan bicara. Basilus yang dikeluarkan tadi
tetap berada di udara dalam waktu yang lama terutama pada lingkungan
yang padat penduduk dalam kasus ini tuan Rudi tinggal di daerah yang padat
penduduk yakni di rumah susun. Mycobacterium tuberculosis rentan
terhadap penyinaran ultraviolet dan penularan infeksi di luar rumah akan
akan jarang terjadi pada siang hari. Bakteri ini akan lebih lama beratahan di
dalam ruangan dan lingkungan yang padat penduduk. Bakteri ini bisa
bertahan 1 hingga 2 jam bahkan berhari hari di udara sampai akhirnya
tertiup oleh angin. (Isselbacher, 1999)
4. Pemeriksaan fisik
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan: 45 kg, tinggi badan 164 cm.
Tanda vital : TD100/60 mmHg, Nadi 104x/menit, pernafasan 24x/menit, suhu
37,7º C.
a. Bagaimana interpretasi :
Berat Badan: 45 kg, tinggi badan 164 cm, Nadi 104x/menit, suhu 37,7 º C.
Jawab :
IMT : 16,731 (BB kurang)/ under weight
Nadi: 104x/menit (Takikardi)
Suhu : 37,7 ° C (subfebris)
b. Bagaimana mekanisme Berat Badan: 45 kg, tinggi badan 164 cm, Nadi
104x/menit, suhu 37,7 º C.
Jawab :
Mekanisme (BB kurang)/ under weight :
5. Keadaan Spesifik :
Kepala: konjungtiva palpebra pucat
Thoraks :
Auskultasi: vesikuler meningkat dan ronkhi basah sedang pada lapangan atas
kedua paru.
a. Bagaimana interpretasi :
Kepala: konjungtiva palpebra pucat
Thoraks :
Auskultasi: vesikuler meningkat dan ronkhi basah sedang pada lapangan atas
kedua paru.
b. Bagaimana mekanisme :
Kepala: konjungtiva palpebra pucat
Thoraks :
Auskultasi: vesikuler meningkat dan ronkhi basah sedang pada lapangan atas
kedua paru.
Jawab :
Konjungtiva palpebra pucat = Anemia
Mekanisme:
Dormant diproses oleh APC dibawa ke KGB terdekat (T-
helper) diferensiasi menjadi Th1 yang mengeluarkan IL-2 (sitokin)
sitokin dapat bersirkulasi menembus hematoencephalic barrier efek
sitokin terhadap SSP (hipotalamus produksi prostaglandin implus
ke korteks serebral leptin meningkat penekanan nafsu makan
nafsu makan menurun suplai nutrisi (terutama Fe) menurun
anemia.
(Waspadji, Sarwono, et al. 1996)
Vesikuler meningkat = suara nafas meningkat
Dormant diproses oleh APC dibawa ke KGB terdekat ( T-
helper) diferensiasi menjadi Th1 yang mengeluarkan IL-2 aktivasi
sel T sitotoksik (reseptor IL-2) dikeluarkan sitotoksin untuk
membunuh dormant daerah sekitar mengalami kerusakan nekrosis
pengkijuan (auskultasi) vesikuler meningkat.
Ronkhi basah sedang = suara gelembung kecil yang pecah, terdengar bila
adanya sekret pada saluran pada saluran napas kecil dan sedang.
Dormant diproses oleh APC dibawa ke KGB terdekat (T-
helper) diferensiasi menjadi Th1 yang mengeluarkan IL-2 aktivasi
sel T sitotoksik (reseptor IL-2) dikeluarkan sitotoksin untuk
6. Pemeriksaan Penunjang :
Hb: 9 g%, WBC: 6500/uL, LED 80 mm/hr, Hitung jenis 0/2/2/76/14/6. Hasil
pemeriksaan sputum BTA I : (++), BTA II (-), BTA III: (+)
a. Bagaimana interpretasi :
Hb: 9 g%, WBC: 6500/uL, LED 80 mm/hr, Hitung jenis 0/2/2/76/14/6. Hasil
pemeriksaan sputum BTA I : (++), BTA II (-), BTA III: (+)
Jawab :
Hb 9g%
Inrepetasi : Penurunan kadar
Normal : ♂ :13,5 – 17 g%
♀ :12 – 15 g%
Anak-anak :
- Bayi baru lahir : 14 – 24 g%
- Bayi : 10 – 17 g%
- Anak : 11 – 16 g%
Masalah Klinis :
Anemia, perdarahan hebat, sirosis hati, leukimia.
WBC 6.500/mm3
Normal, dimana :
Normal : 5.000 – 9.000/mm3
Leukositosis : > 9.000/mm3
Leukopenia : < 5.000/mm3
LED 80 mm/hr
Peningkatan kadar
Normal : ♂ : 0 – 9 mm/hr
Metode Westergreen :
– Pria : 0 - 15 mm/jam
– Wanita : 0 - 20 mm/jam
Metode Wintrobe :
– Pria : 0 - 9 mm/jam
– Wanita : 0 - 15 mm/jam
Laju endap darah pasien meningkat menunjukkan adanya infeksi chronic.
(Kumar, Vinay, dkk. 2007)
2 Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
pewarnaan Kinyoun Gabbett
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu
dengan cara sebagai berikut :
Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan
tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%
Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak
mencair sempurna
Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000 rpm
Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-
merahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya
menjadi merah
7. Radiologi :
Gambaran infiltrat pada lapangan atas kedua paru
a. Bagaimana interpretasi : Gambaran infiltrat pada lapangan atas kedua paru ?
Jawab :
Gambaran radiodensitas paru yang abnormal yang umumnya berbentuk
bercak-bercak atau titik-titik kecil dengan densitas sedang dan batas tegas.
Merupakan gambaran suatu proses aktif paru. Infiltrat biasanya disebabkan
karena adanya proses inflamasi.
(Price, 2005)
1. Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT TB.
2. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip – prinsip TB:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-
Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung DOTS oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan TB.
(Bertram G. Katzung. (ed).2010)
2.3.3 Kesimpulan
Tn. Rudi, 40 tahun mengalami keluhan batuk berdahak yang semakin produktif
sejak 1 bulan yang lalu karena mengalami penyakit kronis TB paru .
LAPORAN TUTORIAL BLOK XI
38
2.3.4 Kerangka Konsep
Masuk ke paru
Dorman
TBC paru
Daftar Pustaka
Depkes RI, Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination
(OATKDT), Jakarta, 2004
Guyton,Arthur, John E.Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Harrison. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 4. Jakarta: Penerbit
Buku. Kedokteran EGC.
Hood alsagaff. 2010.Dasar-dasar ilmu penyakit paru. pusat penerbitan dan percetakan
UNAIR.cetakan ke tujuh.
Junquereira LC, Carneiro J. 1982. Histologi Dasar. Ed ke-3. Dharma A, penerjemah. Jakarta:
EGC
Kumar, V., et al., 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. In: Hartanto, H., ed. Buku Ajar
Patologi. Jakarta: EGC.
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
EGC,Medical Publiser, Jakarta.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran edisi 6. Jakarta: EGC.
Supriyatno, Bambang. 2010. Batuk Kronik. Majalah Kedokeran Indonesia, Volum: 60,
Nomor: 6, Juni 2010.
Suyono, Slamet ,dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi ketiga. Jakarta:
Balai penerbit FKUI
WHO 2012. “Global Tuberculosis Report 2012”. World Health Organization 20 Avenue
Appia, 1211–Geneva–27, Switzerland.