Anda di halaman 1dari 14

MENGAJARKAN SAINS DI SEKOLAH MENURUT HAKIKAT SAINS

Muktar B. Panjaitan
muktar.panjaitan@gmail.com
Universitas HKBP Nommensen

Pendahuluan
Untuk meningkatkan mutu pembelajaran Sains secara khusus diperlukan
perubahan dalam kegiatan proses belajar mengajar. Pada masa lalu proses belajar
mengajar untuk mata pelajaran sains kurang fokus pada siswa. Selain fokus kepada
siswa, tujuan pembelajaran perlu diubah dari sekedar memahami konsep dan prinsip,
siswa juga harus memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu dengan menggunakan
konsep dan prinsip yang telah dipahami. Pada kenyataannya banyak siswa yang
menganggap bahwa pelajaran fisika merupakan mata pelajaran yang sulit diterima
karena selalu mengarah kepada suatu sistematika, sehingga siswa belajar sains hanya
dengan cara menghafal rumus tanpa adanya pemahaman konsep yang lebih
mendalam. Oleh karena itu, seorang guru sains diharapkan dapat menemukan suatu
metode pembelajaran yang tepat agar dapat membantu siswa memahami konsep
yang benar, mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan dapat membantu siswa
dalam memecahkan masalah sains pada setiap materi. Guru yang efektif memiliki
strategi pengajaran yang baik dan didukung oleh metode penetapan tujuan,
rancangan pengajaran dan manajemen kelas (Santrock, J.W., 2004)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan untuk
mengatasi masalah yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia, yaitu lemahnya
proses belajar dan pelaksanaan pembelajaran yang masih didominasi oleh guru
(teacher centered). Kenyataan ini berlaku hampir untuk semua mata pelajaran.
Proses pembelajaran mata pelajaran sains saat ini belum mampu mengembangkan
kemampuan anak untuk berpikir kritis dan sistematis. Dalam KTSP guru
sebenarnnya lebih leluasa merancang pengalaman belajar untuk setiap mata pelajaran
sesuai dengan satuan pendidikan, karakteristik sekolah/daerah maupun karakteristik
peserta didik. Demikian juga sistem penilaian yang dikembangkan disesuaikan
dengan indikator untuk mata pelajaran tertentu.
Berdasarkan definisi tersebut, paling tidak terdapat tiga fokus utama dalam
pengajaraan sains di sekolah, antara lain pemberian berbagai pengetahuan ilmiah
berupa konsep, teori dan hukum-hukum alam dalam sains yang dianggap penting
untuk diketahui siswa. Dalam hal ini sains dipandang sebagai produk. Kedua, sains
dipandang sebagai proses dan metoda pemecahaan masalah untuk mengembangkan
keahlian siswa dalam memecahkan masalah. Ketiga, pandangan hidup, yakni
membentuk siswa menjadi manusia yang berkarakter, jujur, terbuka terhadap kritik,
obyektif, tekun dalam bekerja untuk menyelesaikan suatu persoalan.
Problematika pendidikan sains yang ada di negara kita tidak lepas dari ketiga
fokus tersebut. Beberapa contoh diantaranya adalah:
Lemahnya pola pikir sains yang dimiliki oleh masyarakat kita. Contoh
kejadian sehari-hari yang menunjukkan hal tersebut adalah ledakan tabung
gas elpiji 3 kg yang digunakan sebagai pengganti bahan kabar minyak untuk
keperluan rumah tangga, pada tahun 2010 yang mencapai 33 kali ledakan
hingga 28 Juni 2010 merenggut jiwa pemilikinya dan orang orang yang ada

| 1
disekitarnya dalam radius tertentu (harian Pos kota senin, 28 Juni 2010).
Pencurian besi-besi baja pada menara listrik tegangan tinggi yang
membahayakan bukan saja pelakunya tetapi termasuk juga orang-otang yang
berada disekitar menara tersebut dan masih banyak lagi fakta yang
menunjukkan kurangnya literasi sains masyarakat. Sesungguhnya kejadian-
kejadian tersebut bisa dikurangi bahkan tidak perlu terjadi jika mereka (para
pelaku) itu melek sains dan atau memiliki pola pikir sains.
Siapakah yang patut disalahkan atas lemahnya pemahaman konsep, dan pola
pikir sains masyarakat kita? Guru sains? Depdiknas? Ataukah Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) yang belum menciptakan kurikulum pendidikan sains
yang standar, relevan dengan perkembangan masyarakat ?
Badan Standar Nasional Pendidikan telah melakukan upaya yang memadai
dalam menyiapkan berbagai macam standar, mulai dari standar prasarana, standar
proses sampai pada standar kompetensi mata pelajaran sains untuk sekolah dasar
hingga sekolah lanjutan. Perangkat tersebut memberi peluang bagi setiap bagi setiap
jenjang pendidikan di daerah tertentu untuk menyusun sendiri kurikulumnya sesuai
dengan karateristik daerah dan fasilitas sekolahnya yang kemudian dikenal dengan
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Kementerian pendidikan nasional sebagai lembaga yang paling
bertanggunggjawab mengelola pendidikan juga telah melakukan upaya yang
memadai untuk meningkatkan kualitas guru dan kualitas pembelajaran di setiap
jenjang pendidikan. Program Bantuan dana Operasional Sekolah telah dikucurkan ke
setiap pelosok sekolah di nusantara, Peningkatan kualifikasi guru, program Bermutu
yang merupakan sinergi antara LPMP dan LPTK untuk meningkatkan kualitas
kegiatan kelompok kerja guru yang ada di daerah sampai pada pelaksanaan
sertifikasi guru mata pelajaran sains semua telah terlaksana.
Jika semua instansi yang terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan
termasuk LPMP dan LPTK telah berupaya secara maksimal untuk melaksanakan
fungsinya masing-masing, tetapi penguasaan konsep sains dan pola pikir sains di
antara siswa kita tetap saja masih rendah, maka dapat dipastikan bahwa guru sains di
lapangan yang telah dilatih melalui program peningkatan kualifikasi guru, program
bermutu dan PLPG tidak berhasil melaksanakan pembelajaran sains sesuai dengan
hakekat sains sebagai produk, proses maupun pola pikir. Tuduhan ini logis dan
cukup beralasan, pertama guru adalah orang yang beinteraksi langsung dengan siswa,
merancang pembelajaran, mengelola pembelajaran, mengevaluasi keberhasilan siswa
dan kedua, yang tak kalah pentingnya adalah guru merupakan teladan, atau figur bagi
siswa.
Berdasarkan uraian masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasi masalah yang mungkin diselesaikan adalah sebagai berikut: (1)
Rendahnya penguasaan konsep sains; (2) Lemahnya pola pikir sains yang dimiliki
oleh masyarakat kita; (3) Minimnya sarana dan prasarana yang mendukung
pembelajaran; (4) Partisipasi siswa yang kurang selama kegiatan belajar mengajar
dan (5) Kurikulum yang kurang sesuai
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian Bagaimankah meningkatkan penguasaan konsep sains sekaligus
meningkatkan keterampilan berpikir kritis siwa? Sesuai dengan rumusan masalah,
maka tujuan penulisan ini adalah memperoleh informasi tentang pengaruh

| 2
penggunaan pembelajaran yang meningkatkan penguasaan sains dan keterampilan
berpikir kritis siswa.

Kajian Teori
A. Hakekat Pembelajaran Sains
Sains atau IPA yang mendasari perkembangan teknologi maju dan konsep
hidup harmonis dengan alam. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan
komunikasi dewasa ini dipicu oleh temuan di bidang fisika material melalui temuan
piranti mikroelektronika yang mampu memuat banyak informasi dengan ukuran yang
sangat kecil. Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena alam, sains juga
memberikan pelajaran yang baik kepada manusia untuk hidup selaras berdasarkan
hukum alam.
Menurut Carin and Sund (1991) Sains dapat dilihat dari tiga sisi yaitu sains
sebagai proses, produk dan pandangan hidup (way of life). Sains sebagai proses
adalah merupakan suatu ilmu yang berisi tentang prosedur menyelesaian masalah
yang terkenal dengan metode ilmiah. Sains sebagai produk adalah merupakan
sekumpulan teori, fakta, konsep teori atau hukum yang menjelaskan fenomena alam.
Sains sebagai pola pikir (way of life) menuntun manusia untuk bersikap lebih arif,
jujur, terbuka terhadap kritik, obyektif dan teliti.
Hakikat pembelajaran Sains (Puskur, 2003) adalah pembelajaran yang
mampu merangsang kemampuan berfikir siswa meliputi empat unsur utama (1)
sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan
sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui
prosedur yang benar; IPA bersifat open ended; (2) proses: prosedur pemecahan
masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis,
perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan
kesimpulan; (3) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (4) aplikasi:
penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
Sains menguraikan dan menganalisis struktur dan peristiwa yang terjadi di
alam, teknik dan lingkungan di sekitar kita. Menurut Duxes (1996:4) dalam proses
tersebut ditemukan sejumlah aturan atau hukum-hukum di alam yang dapat
menerangkan gejala alam tersebut secara logis dan rasional. Proses menguraikan dan
menganalisis tersebut didasarkan pada penerapan struktur logika sebab akibat
(kausalitas). Pada gilirannya proses menguraikan dan menganalisis tersebut bertujuan
untuk memahami gejala alam. Maksud memahami di sini adalah dapat menyesuaikan
gambaran dalam jiwa manusia dengan pengalaman fisis. Lebih lanjut memahami
gejala alam, sains diperlukan untuk perkembangan pembangunan bagi kesejahteraan
manusia. Dengan demikian sangat dibutuhkan proses penerusan pemahaman konsep-
konsep sains. Didaktik sains merupakan wahana dalam upaya meneruskan
pengetahuan tentang sains.
Menurut Bloom (1976) kemampuan pemahaman konsep adalah hal penting
dalam kemampuan intelektual yang selalu ditekankan di sekolah dan Perguruan
Tinggi. Kemampuan pemahaman konsep suatu materi subjek merupakan hal
terpenting dalam pengembangan intelektual. Dalam pembelajaran sains, kemampuan
pemahaman konsep merupakan syarat mutlak dalam mencapai keberhasilan belajar
sains. Hanya dengan penguasaan konsep sains seluruh permasalahan sains dapat
dipecahkan, baik permasalahan sains yang ada dalam kehidupan sehari-hari maupun

| 3
permasalahan sains dalam bentuk soal-soal sains di sekolah. Hal ini menunjukkan
bahwa pelajaran sains bukanlah pelajaran hafalan tetapi lebih menuntut pemahaman
konsep bahkan aplikasi konsep tersebut sehingga dibutuhkan keterampilan berpikir
kritis untuk menyelesaikan masalah-masalah sains.

B. Pembelajaran yang Inovatif


Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih bersifat student
centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang kepada siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri (self directed) dan dimediasi oleh teman
sebaya (peer mediated instruction). Pembelajaran inovatif mendasarkan diri pada
paradigma konstruktivistik. Pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma
konstruktivistik membantu siswa untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau
mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi melalui kreasi pemahaman
baru (Gardner, 1991) yang merupakan hasil dari munculnya struktur kognitif baru.
Pemahaman yang mendalam terjadi ketika hadirnya informasi baru yang mendorong
munculnya atau menaikkan struktur kognitif yang memungkinkan para siswa
memikirkan kembali ide-ide mereka sebelumnya.

C. Teori Konstruktivisme
Para konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif,
melainkan dikonstruksi secara aktif oleh individu. Masuknya pengetahuan/ informasi
baru dalam struktur kognitif melalui dua meka- nisma, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Pada asimilasi, informasi baru yang dihadapi seseorang langsung diserap
masuk ke dalam struktur kognitifnya karena mengandung kesamaan dengan struktur
kognitif yang sudah ada. Sedangkan pada akomodasi seseorang harus memodifikasi
struktur kognitifnya agar mereka dapat menerima informasi baru yang dihadapinya.
Arti suatu keadaan tidak terletak dalam kenyataan itu sendiri, tetapi
manusialah yang membangun arti dari kenyataan itu di dalam struktur kognitifnya.
Arti yang yang dibangun itu tergantung pada pengalaman dan tujuan orang yang
bersangkutan. Fakta atau keadaan yang sama jika diamati oleh dua atau lebih
pengamat dapat ditafsirkan dengan berbagai model tergantung pada praduga dan
kecenderungan masing-masing pengamat. Misalnya seseorang yang mendengar kata

digunakan untuk menarik dokar, tetapi bisa pula dimaknai sebagai mobil yang sering

mempunyai makna lebih dari satu.


Pengetahuan bukan hanya bertambah terus, tetapi juga di-konstruksi terus-
menerus oleh individu. Jika seseorang mempelajari materi baru, maka
pandangannya mengenai materi lama dapat berubah (jika terjadi akomodasi)), hal ini
berarti bahwa materi lama perlu dibangun kembali untuk menyesuaikannya dengan
materi baru.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu
perubahan konseptual yang dapat berupa pengkonstruksian ide atau merekonstruksi
ide yang sudah ada.
Dalam hal proses belajar mengajar sains/fisika konstruktivis berpendapat
bahwa: 1) siswa yang masuk ke kelas belajar sains/fisika telah memiliki konsepsi
awal tentang materi yang diajarkan oleh guru, 2) hasil belajar tergantung pada
| 4
lingkungan belajar dan konsepsi awal siswa, 3) belajar melibatkan pembentukan
makna dengan menghubungkan konsepsi awal dengan konsep yang sedang
dipelajari, proses pembentukan ini aktif dan berkelanjutan,
Dalam proses konstruksi makna tersebut diperlukan partisipasi aktif antara
guru dan siswa, oleh karena itu siswa harus mengidentifikasi, menguji dan
menafsirkan makna dari pengetahuan-pengetahuan yang sudah di miliki dan
kemudian menyesuaikannya dengan situasi atau masalah yang dihadapinya. Dari
pihak guru, idealnya mereka menemukan cara-cara memahami pandangan-
pandangan siswa, merancang kerangka alternatif, merangsang kebingungan antar
siswa terhadap konsep awalnya, dan mengembangkan tugas yang memajukan
konstruksi pengetahuan.

dengan konsepsi ilmiah, maka diperlukan empat kondisi yang harus terpenuhi
dalam pembelajaran yakni sebagai berikut:
1) Ketidakpuasan, yaitu kondisi yang menyebabkan siswa merasa tidak puas
terhadap konsep awal/gagasannya
2) Pemahaman minimal yaitu kondisi yang mengarahkan ke pemahaman
minimal siswa terhadap konsep yang sedang dipelajari
3) Kemasukakalan awal, yaitu kondisi yang memungkinkan konsep yang sedang
dipelajari dapat diterima oleh akal siswa
4) Kebermaknaan, yaitu kondisi yang dapat menimbulkan rasa kebermaknaan
dalam diri siswa terhadap konsep yang sedang dipelajari.
5) Upaya untuk menciptakan kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah:
a) mengungkap gagasan awal siswa dengan didskusi kelompok kecil
atau kelompok kelas, meminta siswa menggambarkan , menuliskan
idenya tentang situasi atau penomena yang diamatinya,
b) mengamati suatu kejadian/fenomena alam, tertentu yang
menimbulkan konflik konseptual dalam pikiran siswa, sehingga
mendorong mereka untuk memikirkan kembali ide/gagasan awalnya
c) menggunakan pertanyaan yang sifatnya menggali, untuk menggali
pemikiran siswa sehingga mereka dapat berpikir lebih logis dan
ilmiah,
d) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji/memeriksa
keterpakaian hasil kerja mereka pada situasi yang baru, agar mereka
meyakini bahwa konsep/pengetahuan baru yang diperolehnya lebih
berguna.
Dalam seting kelas konstruktivistik, para siswa bertanggung jawab terhadap
belajarannya, menjadi pemikir yang otonom, mengembangkan konsep terintegrasi,
mengembangkan pertanyaan yang menantang, dan menemukan jawabannya secara
mandiri (Brook & Brook, 1993; Duit, 1996; Savery & Duffy, 1996). Tujuh nilai
utama konstruktivisme, yaitu: kolaborasi, otonomi individu, generativitas,
reflektivitas, keaktifan, relevansi diri, dan pluralisme. Nilai-nilai tersebut
menyediakan peluang kepada siswa dalam pencapaian pemahaman secara mendalam.
Seting pengajaran konstruktivistik yang mendorong konstruksi pengetahuan
secara aktif memiliki beberapa ciri: (1) menyediakan peluang kepada siswa belajar
dari tujuan yang ditetapkan dan mengembangkan ide-ide secara lebih luas; (2)
mendukung kemandirian siswa belajar dan berdiskusi, membuat hubungan,
| 5
merumuskan kembali ide-ide, dan menarik kesimpulan sendiri; (3) sharing dengan
siswa mengenai pentingnya pesan bahwa dunia adalah tempat yang kompleks di
mana terdapat pandangan yang multi dan kebenaran sering merupakan hasil
interpretasi; (4) menempatkan pembelajaran berpusat pada siswa dan penilaian yang
mampu mencerminkan berpikir divergen siswa.
Urutan-urutan mengajar konstruktivistik melibatkan suatu periode di mana
pengetahuan awal para siswa didiskusikan secara eksplisit. Dalam diskusi kelas yang
menyerupai negosiasi, guru memperkenalkan konsepsi untuk dipelajari dan
mengembangkannya. Strategi konflik kognitif cenderung memainkan peranan utama
ketika pengetahuan awal para siswa diperbandingkan dengan konsepsi yang
diperlihatkan oleh guru. Untuk maksud tersebut, pemberdayaan pengetahuan awal
para siswa sebelum pembelajaran adalah salah satu langkah yang efektif dalam
pembelajaran konstruktivistik. Beberapa pendekatan pembelajaran sering berfokus
pada kemampuan metakognitif para siswa. Para siswa diberikan kebebasan dalam
mengembangkan keterampilan berpikir. Pembelajaran mencoba memandu para siswa
menuju pandangan konstruktivistik mengenai belajar, bahwa siswa sendiri secara
aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Penelitian sebelumnya telah
mengungkapkan bahwa pembelajaran inovatif dapat meningkatkan proses dan hasil
belajar siswa (Ardhana et al., 2003; Sadia et al., 2004; Santyasa et al., 2003).
Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma pembelajaran, tidak
terlepas pula dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang
diharapkan. Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri
pada tiga fokus belajar, yaitu: (1) proses, (2) tranfer belajar, dan (3) bagaimana
belajar. Fokus yang pertama: proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk
mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut
didasari oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara
alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa
ke hakekatnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar
hanya dari apa yang dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan
komitmen untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju
pendidikan berpusat pada siswa. Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa,
tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana membantu para siswa
melakukan revolusi kognitif. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran
adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivistik. Fokus yang kedua: transfer
menggunakan dibandingkan
hanya dapat mengingat nilai yang dapat dipetik dari
premis tersebut, bahwa belajar bermakna harus diyakini memiliki nilai yang lebih
baik dibandingkan dengan belajar menghafal, dan pemahaman lebih baik
dibandingkan hafalan. Sebagai bukti pemahaman mendalam adalah kemampuan
mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru. Fokus yang ketiga: bagaimana
belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa
yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah
dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini, diperlukan
fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir
merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa, 2003).
Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar yang disasar tersebut

| 6
tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan yang
diharapkan.
Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al.,
2001), di abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh
Guru dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki
pemahaman yang baik tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan
kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu
pemahaman siswa, memiliki kemampuan mempercepat kreativitas sejati siswa, dan
memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain. Para guru diharapkan dapat
belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk
mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan
teknologi.
Guru tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya
memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana
memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru diharapkan bertindak atas
dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain,
dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para guru diharapkan
menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang
mendalam. Guru harus tahu bagaimana memotivasi, berkomunikasi, dan
berhubungan secara efektif dengan murid-murid berbagai latar belakang kultural
(Santrock, J.W, 2004). Santrock (2004) juga menekankan bahwa guru juga harus
memahami cara menggunakan teknologi yang tepat di dalam kelas.
Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah mengkreasi dan
memahami model-model pembelajaran inovatif. Gunter et al (1990:67)
mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure that leads to
specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model
pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model
pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi
pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is
intended to helpstudents achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai,
model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1)
syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah
suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction,
menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan
merespon siswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan
belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects-
hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional
effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).

D. Keterampilan Berpikir Kritis


Jika dianalisis dari empat unsur utama yang terdapat dalam defenisi hakikat
pembelajaran sains, pada intinya pembelajaran sains adalah melatih siswa untuk
berpikir kritis. Hal sesuai dengan defenisi Ennis (1985 dalam Costa, 1985) bahwa
| 7
berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang difokuskan pada membuat keputusan
mengenai apa yang diyakini untuk dilakukan. Definisi berpikir kritis yang lebih
komprehensif oleh Facione (2006) sebagai pengaturan diri dalam memutuskan
(judging) sesuatu sebagai hasil interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi, maupun
pemaparan menggunakan suatu bukti, konsep, metodologi, kriteria, atau
pertimbangan kontekstual yang menjadi dasar dibuatnya keputusan.
Untuk mengenali karakter berpikir kritis, Ennis (1985, dalam Costa, 1985),
mengembangkan 13 indikator yaitu:
1) Mencari pertanyaan jelas dari teori dan pertanyaan.
2) Mencari alasan.
3) Mencoba menjadi yang teraktual.
4) Menggunakan sumber-sumber yang dapat dipercaya dan menyatakannya.
5) Menjelaskan keseluruhan situasi.
6) Mencoba tetap relevan dengan ide utama.
7) Menjaga ide dasar dan orisinil di dalam pikiran.
8) Mencari alternatif.
9) Berpikiran terbuka.
10) Mengambil posisi (dan mengubah posisi) ketika bukti-bukti dan alasan-alasan
memungkinkan untuk melakukannya.
11) Mencari dokumen-dokumen dengan penuh ketelitian.
12) Sepakat dalam suatu cara yang teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan
kompleks.
13) Peka terhadap perasaan, pengetahuan, dan kecerdasan orang lain.
Untuk pembelajaran IPA, indikator-indikator keterampilan berpikir kritis ini
dirinci lebih lanjut sehingga diperoleh indikator-indikator yang sesuai dan spesifik
yaitu sebagai berikut:
1) mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan.
2) mengidentifikasi kesimpulan, mengidentifikasi alasan yang dikemukakan,
mengidentifikasi alasan yang tidak dikemukakan, menemukan persamaan dan
perbedaan, mengidentifikasi hal yang relevan, menemukan struktur/rumus,
dan merangkum.
3) menjawab pertanyaan mengapa, menjawab pertanyaan tentang alasan utama,
dan menjawab pertanyaan tentang fakta.
4) menyesuaikan dengan sumber, memberikan alasan, dan kebiasaan berhati-
hati.
5) melaporkan berdasarkan pengamatan, melaporkan generalisasi eksperimen,
mempertegas pemikiran, dan mengkondisikan cara yang baik.
6) menginterpetasikan pertanyaan.
7) menggeneralisasikan dan meneliti.
8) menerapkan prinsip /rumus dan mempertimbangkan alternatif.
9) menentukan strategi terdefinisi dan menentukan definisi materi subyek.
10) mengidentifikasi asumsi dari alasan yang tidak dikemukakan dan
mengkonstruksi pernyataan.
11) merumuskan masalah, memilih kriteria untuk mempertimbangkan
penyelesaian, merumuskan alternatif penyelesaian, menentukan hal yang
dilakukan secara tentative, dan merangkum dengan mempertimbangkan
situasi lalu memutuskan,
| 8
12) menggunakan strategi logis.
Menggunakan indikator berfikir sebagai indikator perilaku siswa dalam
kegiatan pembelajaran sains sangat relevan karena: 1) Berpikir kritis dapat
dikembangkan dengan memperkaya pengalaman siswa yang bermakna. Pengalaman
tersebut dapat berupa kesempatan berpendapat secara lisan maupun tulisan layaknya
seorang ilmuwan (Curto dan Bayer, 2005). Diskusi yang muncul dari pertanyaan-
pertanyaan divergen atau masalah tidak terstruktur (ill-structured problem), serta
kegiatan praktikum yang menuntut pengamatan terhadap gejala atau fenomena akan
menantang kemampuan berpikir siswa (Broadbear, 2003). 2) melalui keterampilan
berpikir kritis, siswa dapat lebih mudah memahami konsep, peka terhadap masalah
yang terjadi sehingga dapat memahami dan menyelesaikan masalah, dan mampu
mengaplikasikan konsep dalam situasi yang berbeda (Scriven dan Paul, 2007). 3)
Melalui berpikir kritis, siswa diajak berperan serta secara aktif dan efektif untuk
membangun pengetahuannya sendiri (King, 1994; Mayborn dan Lesher, 2000;
Sullenger et al., 2000 dalam Rankey, 2003 ).
Pendidikan perlu mengembangkan potensi peserta didik agar mampu
mengembangkan keterampilan hidup diantaranya berpikir kritis agar peserta didik
memiliki kemampuan bersikap dan berperilaku adaptif dalam menghadapi tantangan
dan tuntutan kehidupan sehari-hari secara efektif. Pengembangan keterampilan
berpikir kritis dalam proses pembelajaran memerlukan keahlian guru. Keahlian
dalam memilih media/model pembelajaran yang tepat adalah salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa.

F. Kerangka Berpikir
Sistem pembelajaran yang diperlukan adalah pembelajaran yang mengacu
pada paradigma student centered dan bukan pada teacher centered. Pembelajaran
yang diperlukan saat ini adalah pembelajaran yang bersifat konstruktivisme
sehingga siswa tidak hanya dibiasakan dengan menghafal konsep tetapi
mengkonstruksi pengetahuannya sehingga informasi yang diperoleh dapat tertanam
lebih lama. Konstruktivis juga membuat siswa berlatih mengembangkan
kemampuan berpikir kritisnya dan keterampilan berpikir. Setiap orang memiliki
kemampuan berpikir yang berbeda-beda, dengan demikian maka kemampuan
berpikir kritis harus dilatihkan kepada siswa mulai dari tingkatan sekolah yang
paling rendah. Ini dilakukan karena tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan.
Siswa harus disiapkan untuk masa depan dalam pemecahan masalah, pengambilan
keputusan yang dipikirkan secara matang dan pembelajaran tanpa henti sepanjang
hayat (life long education).
Untuk mencapai pembelajaran yang bermakna di abad ini, maka siswa
diharapkan dapat menjadi self regulated learners. Siswa akan menjadi self regulated
learners jika kemampuan berpikir kritis terus diberdayakan oleh guru dalam
kegiatan belajar mengajar. Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan jika
metakognitif diperhatikan oleh guru. Hal ini disebabkan karena kemampuan berpikir
kritis dengan memperkaya pengalaman siswa yang bermakna.

| 9
G. Alternatif Pemecahan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi penyebab rendahnya penguasaan konsep sains,
dan pola pikir sains siswa maka solusi yang mungkin untuk menyelesaian masalah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengubah pandangan guru tentang sains agar sesuai dengan hakekat sains,
hal ini dapat dilakukan dengan alternatif kebijakan pada pelaksanaan
penataran atau pelatihan yakni mengetes pemahaman awal peserta tentang
hakekat sains untuk mengetahui pandangan mereka tentang sains.
2. Menciptakan sebuah model pembelajaran yang menfasilitasi siswa untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya agar mereka menguasai konsep-
konsep sains dengan baik, terampil menggunakan metode ilmiah untuk
menyelesaikan masalah dan memiliki karakter (sikap ilmiah) seperti yang
dimiliki oleh saintis.
Dari dua solusi tersebut, yang bisa dilakukan oleh penulis menciptakan
sebuah model dan perangkat pembelajaran yang menfasilitasi siswa untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya agar mereka menguasai konsep-konsep
sains dengan baik, terampil menggunakan metode ilmiah untuk menyelesaikan
masalah dan memiliki karakter (sikap ilmiah). Bagaimana profil model
pembelajaran tersebut dan landasan pengembangannya, akan dibahas berikut ini.

Pembahasan
Penggunaan sudut pandang inovasi perlu dikenakan pada seluruh
komponen pembelajaran tersebut agar mencapai peningkatan kualitas
pembelajaran yang diharapkan. Peningkatan kualitas pembelajaran menunjukkan
kepiawaian guru dalam merencanakan dan mengelola pembelajaran. Kepiawaian
ini menjadi indikator profesionalisme guru. Berikut ini tinjauan tiap komponen
pembelajaran yang perlu diinovasi.
A. Inovasi Guru
Untuk menjawab tantangan tersebut hendaknya guru selalu ingat bahwa
jiwa Sains adalah inkuiri. Belajar sains atau fisika hanya menarik apabila dapat
membuat siswa meningkatkan rasa ingin tahu (curiosity) lebih banyak melalui
sains (fisika). Peningkatan curiosity siswa dapat meningkat apabila siswa
dipandu bekerja sains, dan bukan menghafal sains (fisika) terutama yang berkaitan
dengan rumus. Untuk mencapai hal tersebut guru dituntut mendorong siswa untuk
bertanya secara kritis dalam bekerja sains tersebut. Kemampuan itu baru dapat
tercapai apabila guru berhasil membimbing siswa melakukan analisis dan
sintesis.
Guru sebaiknya juga tidak memposisikan pelajaran sains khususnya fisika
sebagai pelajaran yang sulit agar tidak menjadi momok bagi siswa. Guru harus
memulai pelajaran fisika dengan konsep-konsep yang sederhana dan
menghubungkan fisika dengan keadaan sekitar (lingkungan) tempat belajar.
Penyampaian rumus hendaknya diberikan setelah konsep, prinsip, hukum dan
keterkaitan antar konsep dipahami oleh siswa. Hal ini kemungkinan akan berdampak
positif dan menjadikan fisika itu tidak lagi menjadi momok atau pelajaran yang
menakutkan bagi siswa.

| 10
B. Inovasi Siswa
Siswa perlu diinovasi dalam cara belajarnya. Bila biasanya siswa cukup
hanya mengumpulkan pengetahuan dalam pembelajaran, namun belajar masa
kini perlu diarahkan untuk mencapai kompetensi tertentu. Pengumpulan
pengetahuan siswa yang paling mudah dapat dilakukan melalui hafalan. Apabila
pencapaian pengumpulan pengetahuan diukur, biasanya cukup jelas melalui tes
tentang konsep-konsep yang dipelajari. Meskipun siswa dapat lulus dalam tes
tersebut, belum tentu ia menguasai konsep-konsep yang dipelajarinya bila diukur
dari segi kinerja. Pengetahuan tentang banyak konsep sains ternyata tidak
cukup. Pencapaian kompetensi sains siswa baru dapat diukur melalui kinerja
siswa atau penerapan konsep-konsep yang dipelajarinya pada situasi yang berbeda.
Apabila biasanya aktivitas kelas didominasi oleh aktivitas guru, maka
perlu diubah menjadi didominasi oleh aktivitas siswa. Dari kegiatan menghafal
diinovasi menjadi kegiatan berpikir. Jadi dari belajar menerima perlu diubah
menjadi belajar menemukan. Untuk meningkatkan komunikasi, belajar individual
yang biasanya dilakukan perlu diubah menjadi belajar berkolaborasi.
Kegiatan pembelajaran perlu diinovasi dengan beberapa indikator yang
perlu diganti, seperti dari menyimak menjadi kegiatan, dari praktikum verifikasi
menjadi praktikum berbasis inkuiri dan berbasis masalah. Apabila biasanya siswa
hanya menjawab pertanyaan guru, maka perlu diubah menjadi bertanya kepada
guru dan sesama siswa. Sebagai akibatnya kegiatan siswa yang biasanya hanya
mencatat hal-hal yang disampaikan guru, perlu diubah menjadi merangkum.
Kegiatan ini dapat meningkatkan kualitas belajar siswa dari surface learning
menjadi deep learning (Light and Cox, 2001). Dari kegiatan siswa mendengarkan
ceramah guru perlu diinovasi menjadi siswa mempresentasikan apa yang
dipelajarinya. Bertolak dari hal-hal tersebut ciri-ciri proses pembelajaran yang
inovatif meliputi menyenangkan, menantang, aktif, kreatif, mandiri, interaktif dan
inspiratif.

C. Inovasi Bahan Ajar


Buku teks merupakan salah satu sumber informasi yang dapat diinovasi
dengan buku-buku teks mutakhir dan bahan-bahan pelajaran yang dicari siswa
secara aktif dari internet. Bahan ini dapat berupa teks dan non teks. Bahan ajar
multimedia dapat berupa software animasi, simulasi, pemodelan, tutorial dan
berbagai jenis software lainnya. Bentuk lain bahan ajar dapat dalam bentuk
rekaman audio/video, software interaktif, journal ilmiah tercetak ataupun elektronik.
Diversifikasi bahan ajar diperlukan megingat pertambahan jumlah siswa per-
kelas yang jumlah meningkat sangat pesat. Makin banyaknya jumlah siswa
menyebabkan aksesnya terhadap bahan ajar makin terbatas, namun
meningkatnya curiosity siswa memerlukan bahan ajar penunjang yang tak
terbatas. Hal ini bukan hanya terbatas pada jumlah dan ragam bahan ajar saja,
tetapi juga perlu ditembus ruang dan waktu. Perpustakaan yang dulu hanya
memiliki bahan ajar tercetak saja, masa kini dengan adanya inovasi
pembelajaran memerlukan adanya bahan ajar yang dapat diakses dimana saja
dan kapan saja. Bila biasanya perpustakaan hanya dapat digunakan pada jam buka
yang terbatas, misalnya pukul 08.00-20.00, tuntutan penggunaan bahan ajar dapat
diinovasi menjadi 24 jam setiap hari dengan menggunakan akses internet.
Dengan demikian penyediaan dan pemanfaatan bahan ajar sudah saatnya tidak
| 11
dibatasi dengan ruang dan waktu lagi. Hal ini menuntut adanya perubahan
kompetensi siswa maupun guru dalam menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK).
Komunitas belajar ini perlu melibatkan dosen dari universitas sebagai
anggota komunitas yang berfungsi menjadi nara sumber. Komunitas ini
menyelenggarakan ICT Based Lesson Study yang tidak terbatas oleh jarak, ruang
dan waktu; jangkauannya dapat sangat luas menggunakan fasilitas internet.
Melalui komunitas belajar yang dibentuk setiap guru dapat meningkatkan
pengetahuannya secara terus-menerus, sehingga kesenjangan kemampuan guru
karena jauhnya dari informasi dapat dihindarkan.

D. Solusi yang Ditawarkan


Dengan menggunakan indikator keterampilan berpikir kritis sebagai indikator
prilaku siswa yang teramati dalam kegiatan pembelajaran, dan teori konstruktivisme
sebagai landasan filosofis pengembangan kegiatan pembelajarannya, maka
dirumuskanlah sintaks model pembelajaran sains seperti yang terlihat dalam tabel di
bawah ini.

Tabel 1 Sintaks model pembelajaran Sains


No Tahap Perilaku guru Kegiatan siswa

Memotivasi siswa Mengamati penomena alam


untuk belajar Merumuskan pertanyaan
Memperlihatkan tentang fenomena alam
fenomena yang Mengemukakan hipotesis
mengandung
1 Pendahuluan pertanyaan (berupa
video, kejadian
langsung.)
Mengarahkan
pertanyaan
Mengarahkan hipotesis
Mengarahkan siswa ke Mencari informasi
informasi yang relevan Mengamati penomena khusus
Mengarahkan siswa Mengumpulkan dan
dalam pengumpulan mengorganisasi data
data Menyeleksi sumber yang tepat
2 Pengkajian, Mengontrol disain
dan Disain Mendisain eksperimen yang
eksperimen cocok
Mengarahkan diskusi Berdiskusi
Mengarahkan siswa ke
Mendefenisikan paramenter
parameter yang relevan
dari sebuah penyelidikan

Mengklarifikasi Mengkomunikasikan
3 Kalrifikasi pernyataan siswa informasi dan ide
ide Membimbing siswa Mengkonstruksi penjelasan
untuk merumuskan baru

| 12
solusi Evaluasi oleh teman sebaya
Menentukan solusi yang tepat

Mengevaluasi kinerja Menerapkan pengetahuan dan


Mengendalikan keterampilan
Aplikasi dan diskusi
4 Saling bertukar informasi dan
Pertanyaan Membimbing ide
baru. perumusan pertanyaan Meminta pertanyaan baru

E. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan
a. Untuk inovasi pembelajaran maka guru menerapkan model pembelajaran
yang baru bahkan juga menggabungkan beberapa model pembelajaran yang
dianggap sesui dengan konteks atau materi pelajaran fisika.
b. Apabila biasanya aktivitas kelas didominasi oleh aktivitas guru, maka
perlu diubah menjadi didominasi oleh aktivitas siswa. Jadi dari belajar
menerima perlu diubah menjadi belajar menemukan.
c. Pembelajaran sains (fisika) perlu diinovasi berupa peningkatan penekanan
pembelajaran pada aplikasi konsep-konsep sains, yang menghasilkan efek
iringan pembelajaran berupa keterampilan-keterampilan berpikir tingkat
tinggi, seperti berpikir kritis, berpikir kreatif, memecahkan masalah dan
mengambil keputusan

2. Saran
a. Diperlukan suatu kajian yang lebih jauh untuk melihat faktor-faktor yang
menyebabkan rendahnya prestasi belajar sains (fisika) siswa.
b. Kajian ini masih dapat dilanjutkan dengan menerapkan model pembalajaran
lain yang tepat untuk memperbaiki kemampuan-kemampuan siswa yang
masih rendah agar supaya dapat ditingkatkan.

Daftar Pustaka
Bloom, B.S. 1976. Human Characteristics and School Learning. New York:
McGraw Hill.
Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case
forconstructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and
Curriculum Development.
Carin & Sund. 1989. Teaching Science Through Discovery, 9th Edition, Merril)
Publishing Company
Costa, A.L. (Ed.).1985. Developing Minds: A Resource Book for Teaching
Thinking ssociation for Supervision and Curriculum
Development.
Drykstra, D.I. 1992. Journal of
Research In Science Teaching, John Wiley & Sons, Inc: New York: 76(6)
615-652

| 13
Duxes, Herbert. 1996. Kompedium Didaktik Fisika. Bandung: Remaja Rosdakarya
E.Van Den Satya W. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. Universitas Kristen:
Satya Wacana. Salatiga
Gardner, H. 1999. Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21th
Century. New York: Basic Books.
Some Long-Term Effects of Uniformed Concepwal
. Journal of Research In Science Teaching: John Wiley & Sons,
Inc: New York: 76(2), 175-197.
Hafis Muaddab, Perilaku Guru dan lmplementasi TIK Dalam Pembelajaran, (16
Pebruari20l0) diakses 29 September 2010 dari http://blog-
indonesia.com/blog-archive-i 3203 -24
Hafis Muaddab. Problem Dasar Pendidikan Sains, (14 Pebruari 2010) dari
http://blog-indonesia.com/blog-archive-i 3203 -24
Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1996. The New Sourcebook for Teacing Reasoning and
Problem Solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and
Bacon.
Miller ,S.1993. Altemave Framework: Should be Directly Adres Science
Instruction ? nal of Research In Science TeachingJohn ile & Sons,
mc: , New York: 30(3), 233-248
Pusat kurikufum (2007) Naskah Akademik: Kajian Kebijakan Kurikulum IPA; Pusat
Kurikulum Balitbang Depdiknas
Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana
Santrock, J.W,. 2004. Educational Psychology. University of Texas at Dallas:
McGraw-Hill Company, Inc.
Santyasa, I W., Subratha, I N., & Suwindra, I N. P. 2003. Pembelajaran Fisika
Berbasis Model Rekonstruksi Pengetahuan Kognitif dan Pengaruhnya
Terhadap Hasil Belajar. Laporan penelitian. IKIP Negeri Singaraja.
Sutarno, Keterampilan Berpikir Kritis, (26 Mei 2010) diakses 29 September 2010
dari http://fisika21.wordpress.com/
Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka

| 14

Anda mungkin juga menyukai