BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
laut dalam. Ekosistem terumbu karang (coral reef), yang merupakan nama
ekosistem tersebut merupakan perairan paling produktif di perairan laut tropis.
Luas ekosistem terumbu karang di perairan Indonesia diperkirakan mencapai
sekitar 85.707 km2, yang berarti menyimpan kekayaan alam yang sangat besar.
Terumbu karang merupakan sumber kehidupan bagi jutaan nelayan dan
masyarakat, serta sumber devisa bagi negara. Ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi
yang selama ini ditangkap di daerah terumbu karang antara lain kerapu, kakap,
napoleon dan lain sebagainya. Sementara biota nonikan yang ditangkap/diambil di
daerah terumbu karang diantaranya; kima, kerang, kerang mutiara, susu bundar,
teripang, bulu babi, lobster, sotong dan rumput laut. Beberapa spesies rumput laut
tersebut adalah Eucheuma, Gracilaria, Gelidium, Hypnea (Kordi, 2010).
tidak, ada pula yang membentuk koloni yang menyerupai kormus tumbuhan
tingkat tinggi (Tjitrosoepomo, 1986).
Chlorophyceae terdiri dari 12 ordo dan ordo yang umum sebagai alga
epilitik adalah ordo Volvocales dan Ulotrichales. Volvocales hidup berupa sel
tunggal motil atau berkoloni, memiliki flagel 2, 4 atau 6. Dinding sel dibangun
oleh selulosa, khloroplas seperti cawan, berbentuk bintang atau benang dan
memiliki pirenoid. Mengandung khloropil a dan b, reproduksi secara aseksual
dengan pembelahan sel dan secara seksual dengan isogami, anisogami atau
oogami. Habitat di air tawar, payau dan laut serta tempat yang lembab. Contoh
spesiesnya adalah Volvox sp. dengan ciri-ciri koloni besar lebih dari 1 mm terdiri
dari ribuan sel. Ulotrichales berbentuk filamen tidak bercabang, sel uninukleat
atau multinukleat, memiliki holdfast, kloroplas seperti pita, berkelompok di
pinggir sel. Memiliki klorofil a dan b karoten serta santofil. Reproduksi secara
aseksual dengan fragmentasi talus, pembentukan zoospora dan secara seksual
dengan isogami, anisogami atau oogami. Hidup sebagai epilitik atau planktonik di
perairan tawar, laut dan payau. Contoh spesiesnya adalah Ulothrix sp. (Usman,
2004).
Hidupnya bentos, melekat pada suatu substrat dengan benang-benang pelekat atau
cakram pelekat (Tjitrosoepomo, 1994).
Menurut Juwana dan Romimohtarto (2001), tercatat 17 marga terdiri dari
34 jenis. Berikut ini marga-marga alga merah yang ditemukan di Indonesia
diantaranya adalah:
1) Acanthophora terdiri dari dua jenis yang tercatat, yakni A. spicifera, dan A.
muscoides. Alga ini hidup menempel pada batu atau benda keras lainnya.
2) Actinotrichia (A. fragilis) terdapat di bawah pasut dan menempel pada karang
mati. Sebarannya luas dan terdapat pula di padang lamun.
3) Anansia (A. glomerata) tumbuh melekat pada batu di daerah terumbu karang
dan dapat hidup melimpah di padang lamun.
4) Amphiroa (A. fragilissima) tumbuh menempel pada dasar pasir di rataan pasir
atau menempel pada substrat dasar lainnya di padang lamun. Sebarannya luas.
5) Chondrococcus (C. hornemannii) tumbuh melekat pada substrat batu di ujung
luar rataan terumbu karang yang senantiasa terendam air.
6) Corallina belum diketahui jenisnya. Alga ini tumbuh di bagian luar terumbu
yang biasanya terkena ombak langsung. Sebarannya tidak begitu luas terdapat
antaranya di pantai selatan Jawa.
7) Eucheuma adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut rata-rata
pada pasang-surut bulan setengah. Alga ini mempunyai talus yang silindris,
berdaging dan kuat dengan bintil-bintil atau duri-duri yang mencuat ke
samping pada beberapa jenis. Talusnya licin. Warna alganya ada yang tidak
merah, tetapi coklat kehijau-hijauan kotor atau abu-abu dengan bercak merah.
Di Indonesia tercatat empat jenis, yakni E. denticulatum (E. spinosum), E.
edule, E. alvarezii (Kappaphycus alvarezii), dan E. serra.
8) Galaxaura terdiri dari empat jenis, yakni G. kjelmanii, G. subfruticulosa, G.
subverticillata, dan G. rugosa. Alga ini melekat pada substrat batu di rataan
terumbu.
9) Gelidiella (G. acerosa) tumbuh menempel pada batu. Alga ini muncul di
permukaan air pada saat air surut dan mengalami kekeringan. Alga ini
digunakan sebagai sumber agar yang diperdagangkan.
10) Gigartina (G. affinis) tumbuh menempel pada batu di rataan terumbu,
terutama di tempat-tempat yang masih tergenang air pada saat air surut
terendah.
11) Gracilaria terdiri dari tujuh jenis, yakni G. arcuata, G. coronopifolia, G.
foliifera, G. gigas, G. salicornia, dan G. verrucosa.
12) Halymenia terdiri dari dua jenis, yakni H.durvillaei, dan H. harveyana. Alga
ini hidup melekat pada batu karang di luar rataan terumbu yang selalu
tergenang air.
13) Hypnea terdiri dari dua jenis, yakni H. asperi, dan H. servicornis. Alga ini
hidup di habitat berpasir atau berbatu, adapula yang bersifat epifit.
Sebarannya luas.
14) Laurencia terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni L. intricate, L. nidifica,
dan L.obtusa. Alga ini hidup melekat pada batu di daerah terumbu karang.
15) Rhodymenia (R. palmata) hidup melekat pada substrat batu di rataan terumbu.
16) Titanophora (T.pulchra) jarang dijumpai, jenis ini terdapat di perairan
Sulawesi.
17) Porphyra adalah alga kosmopolitan. Marga alga ini terdapat mulai dari
perairan subtropik sampai daerah tropik. Alga ini dijumpai di daerah pasut
(litoral), tepatnya di atas daerah litoral. Alga ini hidup di atas batuan karang
ada pantai yang terbuka serta bersalinitas tinggi.
dengan komonitas Sargassum dan Turbinaria. Alga ini mempunyai dua atau
tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Sayap ini mencapai lebih
dari 0,5 cm lebarnya. Kantung udaranya terdapat di sepanjang thalus.
2) Dictyopteris sp. hidup melekat pada batu di pinggiran luar rataan terumbu
jarang dijumpai. Jenis alga ini banyak ditemukan di Selatan Jawa, Selat
Sunda dan Bali.
3) Dictyota (D. bartayresiana), tumbuh menempel pada batu karang mati di
daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua dan mempunyai talus bercabang
yang terbagi dua. Talus yang pipih, lebarnya 2 mm.
4) Hormophysa (H. triquesa), hidup menempel pada batu dengan alat pelekatnya
berbentuk cakram kecil. Alga ini hidup bercampur dengan Sargassum dan
Turbinaria dan hidup di rataan terumbu.
5) Hydroclathrus (H. clatratus), tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah
rataan terumbu dan tersebar agak luas di perairan Indonesia.
6) Padina (P. australis), tumbuh menempel batu di daerah rataan terumbu, baik
di tempat terbuka di laut maupun di tempat terlindung. Alat pelekatnya yang
melekat pada batu atau pada pasir, terdiri dari cakram pipih, biasanya terbagi
menjadi cuping-cuping pipih 5–8 cm lebarnya. Tangkai yang pipih dan
pendek menghubungkan alat pelekat ini dengan ujung meruncing dari selusin
daun berbentuk kipas. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm atau lebih.
7) Turbinaria terdiri dari tiga jenis yang tercatat yakni T. conoides, T. decurrens,
dan T. ornate. Alga ini mempunyai cabang-cabang silindris dengan diameter
2 – 3 mm dan mempunyai cabang lateral pendek dari 1 - 1,5 cm panjangnya.
Alga ini terdapat di pantai berbatu dan paparan terumbu.
yang terjadi karena limbah pabrik dan industri biasanya dapat menyebabkan
kematian organisme air (Suin, 2002).
2.4.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Walaupun variasi suhu dalam air tidak
sebesar di udara, hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme
akuatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit (stenotermal). Beberapa
penelitian membuktikan bahwa seiring dengan meningkatnya suhu air, maka
metabolisme organisme akan meningkat, dan akan berbanding lurus dengan
pertumbuhan dan penyebaran makroalga (Odum, 1994).
2.4.5. Salinitas
Untuk mengukur asinnya air laut maka digunakan istilah salinitas.
Salinitas merupakan takaran bagi keasinan air laut. Satuannya pro mil (‰) dan
simbol yang dipakai adalah S ‰. Salinitas didefenisikan sebagai berat zat padat
terlarut dalam gram per kilogram air laut, jika zat padat telah dikeringkan sampai
beratnya tetap pada 480 ˚C, dan jumlah klorida dan bromida yang hilang diganti
dengan sejumlah klor yang ekuivalen dengan berat kedua halida yang hilang.
Singkatnya salinitas ditentukan dengan mengukur klor yang takarannya adalah
klorinitas, dengan rumus: S‰ = 0,03 + 1, 805 C1‰ (Odum, 1994).
2.4.7. Substrat
Menurut Mubarak dan Wahyuni (1981), jenis-jenis substrat yang dapat
ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur dan pecahan karang. Tipe substrat
yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang dan
pecahan karang. Pada substrat perairan yang lunak seperti pasir dan lumpur, akan
banyak dijumpai jenis-jenis alga laut Halimeda sp., Caulerpa sp., Gracillaria sp.
berbagai keperluan antara lain di bidang industri, makanan, tekstil, kertas, cat,
kosmetika, dan farmasi (obat-obatan). Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut
untuk industri dimulai untuk industri agar-agar (Gelidium dan Gracilaria)
kemudian untuk industri kerajinan (Eucheuma) serta untuk industri alginat
(Sargassum).
Makroalga merupakan salah satu sumber kekayaan laut di Indonesia yang
tumbuh dan menyebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia.
Diperkirakan sepanjang garis pantai sekitar 81.000 km diyakini memiliki potensi
makroalga yang sangat tinggi. Dari segi ekonomis rumput laut merupakan
komoditi yang potensial untuk dikembangkan mengingat nilai gizi yang
dikandungnya. Menurut kandungan zat yang terdapat pada rumput, maka rumput
laut dapat dijadikan bahan makanan seperti agar-agar, sayuran, kue dan
menghasilkan bahan algin, karaginan dan furcelaran yang digunakan dalam
industri farmasi, kosmetik, tekstil dan lain-lain (Miarni, 2004).
Keberadaan makroalga di rataan terumbu merupakan sadiaan bahan
makanan, obat-obatan bagi manusia juga sebagai ladang pakan bagi biota
herbivor. Makroalga yang dapat dikonsumsi banyak diperoleh dari marga
Caulerpa, Gracilaria, Gelidiella, Eucheuma, dan Gelidium. Kehadiran,
pertumbuhan sampai perkembangbiakan makroalga lebih banyak dijumpai pada
substrat yang stabil dan keras, sehingga tidak mudah terkikis oleh arus dan ombak
(Kadi, 2008).
Khusus mengenai vegetasi makroalga di perairan laut, umumnya
merupakan komponen dari ekosistem terumbu karang. Keberadaannya sebagai
makroalga juga berperan dalam upaya pemulihan kualitas air, akibat pencemaran
ekosistem perairan payau, khususnya di perairan budidaya, yang dapat dilakukan
dengan berbagai jenis teknologi, baik dengan teknologi sederhana maupun
teknologi yang kompleks (Atmadja et al. 1996).
Keberadaan makroalga sebagai organisme produser memberikan
sumbangan yang berarti bagi kehidupan binatang akuatik terutama organisme-
organisme herbivora di perairan laut. Dari segi ekologi makroalga juga berfungsi
sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi
stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang (Oktaviani, 2013).