Anda di halaman 1dari 6

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Identifikasi Masalah
Pada pembahasan ini penulis akan menguraikan mengenai
pengelolaan kasus pada bayi baru lahir By. Ny. A menggunakan tahap-tahap
manajemen asuhan kebidanan terdiri dari pengkajian data subjektif , data
objektif, analisa data dan penatalaksanaa serta telaah jurnal yang berkaitan
dengan asuhan yang diberikan. Pada bagian pembahasan ini membahas
mengenai hubungan antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus, identifikasi
masalah, penentuan prioritas dan pemecahan masalah.
Pada pengelolaan kasus By. Ny. A dilakukan penatalaksanaan bayi
baru lahir normal yaitu membersihkan jalan napas, memotong dan merawat
tali pusat, mempertahankan suhu tubuh bayi, memberikan vitamin K,
memberikan obat tetes/salep mata dan pemberian imunisasi Hb-0. Hal ini
berdasar pada teori menurut Saifuddin (2009).
Setelah bayi lahir, bayi langsung diletakkan di perut ibu dan kemudian
dilakukan pengeringan dan rangsang taktil. Mengeringkan bayi baru lahir dari
darah dan cairan ketuban bertujuan agar tidak terjadi hipotermi. Menurut
Wahyuni (2011) kehilangan panas tubuh bayi dapat terjadi melalui
penguapan dari kulit tubuh yang basah ke udara, karena bayi baru lahir
diselimuti oleh air/ cairan ketuban/ amnion. Oleh sebab itu mengeringkan
bayi baru lahir sangat penting untuk dilakukan.
Adapun rangsang taktil dilakukan sebagai upaya atau cara untuk
mengaktifkan berbagai refleks protektif pada tubuh bayi baru lahir.
Berdasarkan teori menurut Dewi (2011) bayi memiliki refleks kedipan
(glaber reflex), refleks mengisap (rooting reflex), sucking reflex, tonic neck
reflex, grasping reflex, reflex moro, walking reflex, dan babinsky reflex.
Merangsang taktil pada punggung By. Ny. A saat mengeringkannya menjadi
salah satu cara untuk melihat reflex moro pada bayi Ny. A.

32
Pemotongan Tali Pusat
Pada By. Ny. A tali pusat bayi tidak langsung dipotong segera setelah
bayi lahir tetapi dilakukan penundaan selama ± 2 menit atau sampai denyut di
tali pusat menghilang.
Beberapa factor pendukung dilakukannya penundaan tali pusat yaitu
kondisi bayi yang sehat, normal dan stabil sehingga tidak memerlukan
penanganan serius atau segera seperti resusitasi, kedua karena tidak adanya
budaya atau anggapan dalam keluarga Ny. A yang mengharuskan tali pusat
harus dipotong segera.
Faktor pendorong lainnya adalah langkah di dalam asuhan persalinan
yang telah dibakukan pemerintah atau biasanya disebut Asuhan Persalinan
Normal (APN) dimana di Indonesia, waktu pemotongan tali pusat awalnya
dilakukan segera setelah bayi lahir dan sebelum penyuntikan oksitosin
(JNPKR, 2004), kemudian mengalami perubahan yaitu menjadi 2 menit
setelah bayi lahir dan setelah pemberian oksitosin (JNPKR, 2008).Kemudian
factor yang paling mendasari penundaan pemotongan tali pusat ini adalah
banyaknya jurnal-jurnal yang menyatakan bahwa penundaan pemotongan tali
pusat memiliki banyak manfaat.
Adapun salah satu manfaat dari penundaan pemotongan tali pusat ini
adalah untuk meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah bayi. Hal ini
berdasar pada jurnal penelitian oleh Jaiswal dkk tahun 2015 yang berjudul
Comparison of Two Types of Intervention to Enhance Placental
Redistribution In Term Infants: Randomized Control Trial bahwa kadar
hemoglobin pada bayi dengan pemotongan tali pusat yang ditunda lebih
tinggi sebesar 2,2 gm/dl.
Jurnal lain yang berjudul Study Literatur Pengaruh Penundaan
Pemotongan Tali Pusat Pada Bayi Baru Lahiroleh Riris Andriati tahun 2011
memuat tentang beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa penundaan
pemotongan tali pusat pada bayi baru lahir terbukti dapat meningkatkan kadar
hemoglobin dalam darah bayi. Peningkatan kadar hemoglobin tersebut terjadi
karena peranoksigenasi dari plasenta ke paru bayi. Selama masa tersebut,
oksigenasi bayi melalui plasenta masih berjalan/berlanjut, darah masih
ditransfusikan ke bayi (transfusi plasental).Hal tersebut dapat mempengaruhi
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), menambah volume darah, mencegah
hipovolemi dan hipotensi pada bayi baru lahir, sehingga otak tetap mendapat
suplai oksigen yang cukup.Jumlah eritrosit dan Hb yang cukup selanjutnya
dapat dijadikan sumber Fe bayi.
Sedangkan waktu penundaan pemotongan tali pusat pada By. Ny. A
selama ± 2 menit telah sesuai dengan waktu penundaan yang
direkomendasikan. WHO menyatakan waktu yang optimal untuk penjepitan
dan pemotongan tali pusat pada semua bayi tanpa memandang usia kehamilan
atau berat badan janin adalah ketika sirkulasi atau denyutan di tali pusat telah
berhenti dan tali pusat terlihat mendatar. Yaitu dengan kisaran waktu 3 menit
setelah bayi lahir. (Riksani, 2010). Selain WHO, di Indonesia Departemen
Kesehatan sejak tahun 2007 sudah merekomendasikan untuk melakukan
penundaan pengikatan tali pusat hingga 2 menit untuk bayi normal, namun
masih banyak lahan pelayanan kesehatan di Indonesia yang melakukan
pemotongan tali pusat secara dini.
Setelah penundaan selama ± 2 menit, asuhan yang dilakukan
selanjutnya adalah penjepitan dan pemotongan tali pusat. Hal ini berdasar
pada penanganan bayi baru lahir menurut Depkes RI (2012) mengklem tali
pusat dengan dua buah kle, pada titik kira-kira 2 dan 3cm dari pangkal pusat
bayi kemudian memotong tali pusat diantara kedua klem sambil melindungi
perut bayi.

Inisiasi Menyusu Dini (IMD)


Asuhan selanjutnya yang diberikan pada By. Ny. A adalah melakukan
inisiasi menyusu dini (IMD) selama 1 jam. Menurut Sarwono Prawirohardjo
(2013), bayi setelah lahir di letakkan di dada atau perut atas ibu selama paling
sedikit 1 jam untuk memberi kesempatan pada bayi untuk mencari dan
menemukan puting ibunya. Manfaat IMD bagi bayi adalah membantu
stabilisasi pernapasan, mengendalikan suhu tubuh bayi lebih baik
dibandingkan dengan inkubator, menjaga kolonisasi kuman yang aman untuk
bayi dan mencegah infeksi nosocomial.
Teori di atas juga diperkuat oleh beberapa jurnal yang menjelaskan
mengenai manfaat dari dilakukannya IMD. Berdasarkan jurnal penelitian
yang berjudul Delayed Breastfeeding Initiation Increases Risk of Neonatal
Mortality oleh Edmond dkk tahun 2018 menjelaskan bahwa inisiasi
mencegah kematian neonatal melalui 4 mekanisme yaitu : Ibu yang menyusui
anaknya setelah lahir memiliki keberhasilan yang lebih besar untuk
memberikan ASIeksklusif sehingga bayi mendapatkan protektif yang lebih
tinggi dan mengurangi resiko kematian, pemberian makanan tambahan selain
ASI atau bukan susu manusia misalnya susu sapi memiliki antigen yang dapat
mengganggu proses fisiologis di dalam tubuh bayi, ASI kaya akan kekebalan
yang sesuai dengan bayi dan bisa mempercepat pencernaan, pematangan,
perlindungan terhadap infeksi dan melalui inisiasi menyusu dini akan
menjaga kehangatan bayi yang dapat mengurangi resiko kematian.
Jurnal lain yang juga membahas tentang IMD adalah Pengaruh
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) terhadap Suhu dan Kehilangan Panas pada
Bayi Baru Lahiroleh Hutagaol dkk tahun 2014. Dalam penelitian tersebut
dapat diketahui bahwa suhu aksila pada kelompok bayi non IMD sebesar 36,8
± 0,4°C. Rerata total kehilangan panas kering pada kelompok bayi IMD
sebesar 30,1 ± 3,4 J dan pada kelompok bayi non IMD sebesar 31,2 ± 3,9 J.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa IMD berpengaruh terhadap
peningkatan suhu aksila dan kehilangan panas kering lebih rendah pada
kelompok bayi yang di IMD.
Pada saat lahir suhu kulit kelompok non IMD lebih tinggi dari
kelompok IMD yaitu 36,5± 0,4°C dan meningkat 0,5°C selama satu jam
kelahiran. Rerata suhu kulit kelompok IMD lebih rendah dibandingkan
kelompok non IMD yaitu 36,4± 0,3°C namun mengalami peningkatan yang
lebih tinggi dibandingkan kelompok non IMD yaitu 0,8°C.
Suhu kulit berbeda dengan suhu inti, dapat naik dan turun sesuai
dengan suhu lingkungan. Suhu inti cenderung dipertahankan selalu konstan.
Suhu kulit merupakan suhu yang penting apabila merujuk pada kemampuan
kulit untuk melepaskan panas ke lingkungan, sehingga bila terjadi perubahan
pada suhu lingkungan eksternal maka tubuh akan melakukan pengaturan
untuk mempertahankan keseimbangan suhu.
Menurunkan kehilangan panas sangat berhubungan dengan upaya
untuk bertahan hidup pada bayi baru lahir. Selama periode kontak kulit ke
kulit, suhu inti dan suhu kulit perut meningkat yang mengindikasikan
keuntungan dalam pencegahan kehilangan panas. Selama bayi berada dalam
bedong dan jauh dari ibu terjadi penurunan suhu tubuh dan peningkatan
kehilangan panas mendekati kompensasi bayi baru lahir sekitar 70W/m2.
Bedong yang terlalu ketat dan kuat akan membuat bayi lebih dingin karena
tidak dapat mempertahankan posisi flexi.
Asuhan selanjutnya yang diberikan kepada By. Ny. A adalah
membungkus bayi agar bayi tetap hangat dengan kain bersih, menutup kepala
bayi untuk mengurangi penguapan panas. Selanjutnya dilakukan pengukuran
antropometri dengan hasil BB 2800 gram, PB 48 cm, LK 33 cm, LD 33 cm.
Berdasar pada teori menurut Dewi (2011) mengenai ciri-ciri bayi normal
yaitu Berat badan 2500 -4000 gram, panjang badan 48-52 cm, lingkar kepala
33-35 cm dan lingkar dada 30-38 cm maka dapat disimpulkan bahwa ukuran
fisikBy. Ny. A normal.
Bayi Ny. A kemudian disuntik vitamin K pada paha kiri dengan dosis
1 mg secara IM. Asuhan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya
perdarahan intracranial pada bayi Ny.R. Hal tersebut juga diperkuat dengan
adanya jurnal Pentingnya Profilaksis Vitamin K1 Pada Bayi Baru Lahiroleh
Surjono dkk tahun 2011 yang menjelaskan bahwa pemberian profilaksis
vitamin K merupakan hal yang pentingdilakukan pada semua bayi baru lahir.
Bayi baru lahir cenderung mengalami defisiensi vitamin K karena
cadangan vitamin K dalam hati relatif masih rendah, sedikitnya transfer
vitamin K melalui tali pusat, rendahnya kadar vitamin K pada ASI, dan
saluran pencernaan bayi baru lahir yang masih steril. Kekurangan vitamin K
berisiko tinggi bagi bayi sehingga mengakibatkan Vitamin K Deficiency
Bleeding (VKDB). Profilaksis vitamin K1 berperan menurunkan tingkat
mortalitas, morbiditas, serta kerugian secara farmakoekonomi akibat
defisiensi vitamin K. Angka kematian pada VKDB dengan manifestasi
perdarahan intrakranial dapat mencapai 25% dan kecacatan permanen
mencapai 50–65%.
Oleh karena itu, tindakan preventif dengan pemberian profilaksis
vitamin K1 pada bayi baru lahir adalah hal penting yang harus diingat oleh
penolong persalinan. Bayi baru lahir yang tidak mendapatkan profilaksis
vitamin K memiliki risiko tinggi terjadinya perdarahan akibat VKDB. Jenis
vitamin K yang digunakan sebagai profilaksis adalah vitamin K1
(phytomenadione) dengan cara pemberian secara intramuskular ataupun oral.
Intramuskular dengan dosis tunggal 1 mg pada seluruh bayi baru lahir.
Pemberian oral dengan dosis 2 mg diberikan tiga kali, yaitu pada saat bayi
baru lahir, pada umur 3-7 hari, dan pada umur 4–8 minggu. Adapun
pemberian vitamin K pada bayi Ny. A menggunakan vitamin K1
(phytomenadione) dengan cara pemberian secara intramuskular dosis tunggal
1 mg pada paha kiri bayi.
Selain pemberian vitamin K, pemberian salep mata juga tidak kalah
penting. Dimana berdasarkan teori menurut Saifuddin (2009) salah satu
penanganan bayi baru lahir adalah pemberian obat mata eritromisin 0,5% atau
tetrasiklin 1% dianjurkan untuk pencegahan penyakit mata karena klamidia
(penyakit menular seksual).
Asuhan selanjutnya diberikan pada By. Ny. A adalah menjaga
kehangatan bayi, memakaikan baju, membedong bayi memakaikan selimut,
sarung tangan, sarung kaki dan topi untuk mencegah terjadinya hipotermi,
menjelaskan kepada ibu dan keluarga tentang tanda bayi baru lahir sehat dan
tanda bahaya pada bayi, memotivasi ibu untuk menyusui bayinya dan
menjelaskan kepada ibu tentang cara menyusui yang benar.

Anda mungkin juga menyukai