Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

TRAUMA THORAKS

Pembimbing:

dr. Donny Sandra, Sp.B

Disusun Oleh:

Kusuma Intan

2011730145

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan referat yang
berjudul Trauma Thoraks.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada tim pengajar FKK
Universitas Muhammadiyah Jakarta dan rekan-rekan yang telah membantu
penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih


banyak terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalah berikutnya.

Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi dokter
muda yang sedang menjalani stase ilmu bedah.

Jakarta, Mei 2020

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................I

DAFTAR ISI...........................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1. Latar Belakang.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2

2.1. Definisi..................................................................................................2

2.2. Epidemiologi..........................................................................................2

2.3. Anatomi Thoraks...................................................................................2

2.4. Patofisiologi Trauma Thoraks...............................................................7

2.5. Kasus Kegawatdaruratan yang Terjadi pada Thoraks...........................8

2.6. Primary Survey......................................................................................9

2.7. Secondary Survey................................................................................18

2.8. Manifestasi lain terhadap trauma thoraks............................................23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

II
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Trauma toraks merupakan penyebab kematian utama pada kelompok
umur dibawah 35 tahun. Trauma toraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus
kecelakaan. 20-25% dari kasus trauma yang diterima rumah sakit berkaitan
dengan kematian. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor
empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun, trauma merupakan penyebab
kematian utama. Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas yang umumnya berupa trauma tumpul (90%).1

Kurang dari 10% kasus trauma tumpul thoraks dan 15-30% trauma
tembus thoraks memerlukan tindakan bedah (umumnya thorakoskopi atau
torakotomi). Beberapa kasus kegawat daruratan yang terjadi pada thoraks
terutama yang disebabkan oleh trauma seperti, obstruksi jalan napas,
hemothoraks massif, tamponade jantung, tension pneumotoraks, open
pneumothorax, dan flail chest.2

Berdasarkan uraian diatas, akan dibahas mengenai trauma thoraks,


baik dari beberapa kasus kegawat daruratan hingga tatalaksananya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.2. Definisi
Trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan menyebabkan
hilangnya produktivitas seseorang. Trauma toraks adalah luka atau cedera
yang mengenai rongga toraks atau dada yang dapat menyebabkan kerusakan
pada dinding toraks ataupun isi dari cavum thoraks (rongga dada) yang
disebabkan oleh benda tajam atau tumpul dan dapat menyebabkan keadaan
sakit pada dada. 2,3

2.2 ETIOLOGI
1. Trauma Tajam
 Luka Tembak
 Luka Tikam / tusuk
2. Trauma tumpul
 Kecelakaan kendaraan bermotor
 Jatuh
 Pukulan pada dada

I.3. Epidemiologi
Trauma toraks merupakan penyebab kematian utama pada kelompok
umur dibawah 35 tahun. Trauma toraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus
kecelakaan. 20-25% dari kasus trauma yang diterima rumah sakit berkaitan
dengan kematian. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor
empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun, trauma merupakan penyebab
kematian utama. Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas yang umumnya berupa trauma tumpul (90%).1,4,5

I.4. Anatomi Thoraks

2
Struktur Dinding Thorax

Dinding thorax disebelah luar dilapisi oleh kulit dan otot – otot. Dinding
thoraks dilapisi oleh pleura parietalis.

Dinding thoraks di posterior dibentuk oleh pars thoracica columna


vertebralis, dianterior oleh sternum dan cartilago costa, lateral oleh costa dan
spatium intercosta, superior oleh membrane suprapleuralis ; dan inferior oleh
diafragma, yang memisahkan cavitas thoracis dan cavitas abdominis. 4

3
Gambar 2. Thorax
Mempelajari dilihat
anatomi daridada
dinding ateraldengan
, menunjukan menghubungkan
cara mengidentifikasi antara
struktur jejas
pada
permukaan dengan
tiap bagiannya. tinggi vertebra
Gambar dibawah ini menunjukan sela antara dua tulang rusuk dan
diberi nomor oleh tulang rusuk di atasnya.5

4
Sternum

Sternum terletak digaris tengah dinding anterior thorax. Sternum merupakan

tulang pipih yang dapat dibagi menjadi 3 bagian: (a) manubrium sterni.

Manubrium sterni merupakan bagian atas sternum yang masing-masing sisinya

bersendi dengan clavicula, kartilago costa 1 dan bagian atas kartilago kosta II.

Manubrum sterni terletak berhadapan dengan vertebrata thoracica III dan IV. (b)

corpus sterni. Bagian atas corpus sterni bersendi dengan ,manubrium sterni

melalui symphysis manubrium sternalis, bagian bawah corpus sterni bersendi

dengan processus xyphoideus pada symphisis xiphosternalis. Pada setiap sisi

terdapat lekukan lekukan untuk bersendi dengan bagian bawah cartilago costa II

dan kartilago kosta III sampai VII. Kartilago costae II-VII bersendi dengan

sternum melalui juctura syonovialis (c) processus xiphoideus merupakan bagian

sternum yang paling bawah dan paling kecil . sternum merupakan cartilago

hyaline pipih yang pada orang dewasa mengalami ossifikasi pada ujung

proksimalya, tidak ada costa ataupun cartilage costalis yang melekat pada bagian

ini. 4

5
Angulus Sterni

Angulus sterni yang dibentuk oleh persendian manubrium sterni dengan corpus

sterni dapat dikenali dengan adannya peninggian transversal pada permukaan

anaterior sternum. Peninggian transversal terletak setinggi cartilage costalis II, dan

merupakan titik mula perhitungan kartilago kosa dan kosta. Angulus sterni

terletak berhadapan dengan discus intervertrebralis diantara vertebrata thoracica

IV dan V. 4

Kartilago Kosta

Kartilago kosta merupakan batang kartilago hyaline yang menghubungkan 7 kosta

bagian atas dengan pinggir lateral sternum, dan kosta VIII,IX,X dengan kartilago

tepat diatasnya. Kartilago kosta XI dan XII berakhir pada otot – otot abdomen.

Kartilago kosta berpera penting dalam elastisitas dan mobilitas dinding thoraks.

Pada manula, kartiago kosta cenderung kehilangan sebagian fleksibilitasnya. 4

Kosta

Terdapat 12 pasang kosta yang semuanya melekat pada columna vertebrata

thoracica. 7 pasang costa yang teraatas melekat di anterior pada sternum melalui

kartilago kostalis. Pasangan kota VIII,IX, dan X dianterior melekat satu dengan

lainnya dank e costa VIII melalui kartilago kostalis dan junctura synovialis yang

kecil. Pasangan costa XI dan XII tidak mempuyai perlekatan didepan dan

dinamakan costa fluctuantes.

6
Persendian pada costa

Dari costa II sampai IX, caput cost bersendi dengan corpus vertebrae yang sama

nomornya melali sendi synovial dan pada corpus vertebra yang ada tepat

diatasnya. Terdapat ligament,intra-articulare kuat yang menghubungkan caput

costa dengan discus intervertebralis. Caput costa I dan tiga costa yang terbawah

mempunyai sebuah sendi synovial pada corpus vertebra yang sesuai. Persendian

antara costa dengan kartilago costa merupakan sendi cartilaginosa, dan tidak ada

gerakan yang mungkin dilakukan. Kartilago costa I bersendi dengan manubrium

7
sterni melalui sendi cartilaginosa dan tidak ada gerakan yang mungkin bias

dilakukan. Kartilago II-VII bersendi dengan pinggir lateral sternum melalui sendi

synovial. Selain itu kartilago costa VI,VII,VIII,IX,dan X besendi satu dengan

yang lain melalui sendi synovial yang kecil pada pinggirnya masing-masing.

Kartilago costa XI dan XII terbenam didalam otot-otot abdomen. Gerakan kosta

dan kartilago kosta costa I bersma dengan kartilago kosta difiksasi pada

manubrium sterni, sehingga tidak dapat digerakan. Pengangkatan dan penurunan

kosta selama respirasi diikuti oleh gerakan pada sendi sendi di kaput dan

tuberkulum, sehinga memungkinkan kolum kosta berputar disekeliling sumbnya. 4

Musculus Intercostalis

Otot intrinsic terdiri dari 3 lapisan , yaitu lapisan tengah, luar, dan dalam.

Lapisan terluar tersususn atas M. intrcostalis eksternus dan M levatores kostarum,

lapisan tengah hanya dibetuk oleh M.intercostalis internus, sedangkan lapisan

dalam disusun oleh M.intercostalis intimus, m.subcostalis, dan m,transverses

costalis.1

M intercostalis eksternus membentuk lapisan yang paling luar. Arah

serabut-serabutnya kebawah dan depan, dari pinggr bawah costa di atasnya ke

pinggir atas costa yang adadibawahnya. M. Intercostalis internus membentuk

lapisan tengah. Arah serabut-serabutnya ke bawah dan belakang, dari sulcus

costae diatas, sampai pinggir atas costa yang ada dibawahnya. Otot-otot berjalan

kebelakang dari sternum didepan sampai keangulus kosta dibelakang. M.

intercostalis intimi membetuk lapisan paling dalam dan analog dengan M.

transverses abdominis pada dinding anterior abdomen. Otot ini merupakan lapisan

8
otot yang tidak lengkap dan menyilang lebih dari satu spatium intercostale yang

terdapat diantara costa. Kedalam, berhbungan dengan fascia endothoraica dan

pleura parietalis dan keluar berhubungan dengan A.V.dan N intercostalis. 4

Fungsi musculus intercostalis bila berkontraksi cenderung mendekatkan

costa satu dengan yang lainnya, jika costa I difiksasi oleh kontraksi otot – otot

yang terdapat pada pangkal leher , yaitu Mm Scaleni, Mm Intercostalis akan

menangkat costa II sampai XII kearah costa I, seperti pada inspirasi. Sebaliknya

jika costa XII difiksasi oleh M. Quadratus lumborum costa I sampai ke XI akan

9
tertarik kebawah oleh kontraksi Mm, intercostalis seperti pada ekspirsi. Selain itu

tonus Mm inercostalis selama fase-fase respirasi berperan memperkuat jaringan

yang ada dalam spatium intercosta kedalam atau pendorongan ke luar jaringan,

jadi mencegah

pengisapan kedalam atau pendorongan keluar jaringan akibat perubahan

tekanan intra torakal.4

10
Klavikula

Klavikula adalah tulang berbentuk S, agak mudah dilihat dan teraba pada dada

bagian atas. permukaan superior relatif mulus, sedangkan permukaan inferior

ditandai dengan alur dan punggung untuk lampiran otot. Klavikula adalah tulang

yang umumnya pada tubuh karena begitu dekat ke permukaan. 6

Vaskularisasi thorax

Setiap spatium intercostale mempunyai satu A.Intercostalis posterior yang besar

dan dua A.intercostalis anterior yang kecil. A.intercostalis posterior pada dua

spatium intercosta yang pertama berasal dari A.intercostalis superior, cabang dari

truncus costocervicalis dari A.subclavia Aa intercostalis posterior pada Sembilan

spatium intercostale yang bawah dipercabangkan dari aorta thorachalis.

11
Aa. Intercostales anterior pada enam spatium intercosta yang pertama

dipercabangkan dari A.thoracica interna yang berasal dari bagian pertama

A.subclavia Aa.intercostalis anterior pada spatium intercostalis yang lebih bawah

dipercabangkan dari A. musculophrenicus (salah satu cabang arteri thoracica

interna).

Masing-masing A.intercostalis memberikan cabang untuk otot-otot kulit dan

pleura parietalis. Pada daerah glandula mamma wanita. Cabang-cabag yang

menuju ke struktur permukaanberukuran besar.4

Rongga dada

12
Rongga dada dibatasi oleh dinding thorax dan di bawah oleh diafragma.rongga ini

meluas keatas kedalam pangkal leher sekitar satu jari diatas clavicula kanan dan

kiri. Diafragma sebuah otot yang sangat tipis , merupakan satu-satunya struktur

(selain dari pleura dan peritoneum) yang memisahkan rongga dada dari viscera

abdomen. Rongga dada dibagi oleh pemisah garis tengah, disebut mediastinum,

atau dua bagian lateral yang ditempati oleh paru dan pleura.4

Mediastinum

13
Mediastinum,walaupun tebal, merupakan pemisah yang mudah bergerak,

yang terletak diantara kedua pleura dan paru. Meluas keatas samapi aperture

thoracis superior dan pangkal leher, dan kebawah sampai diafragma. Kedepan

mediastinum meluas sampai sternum dan ke posterior sampai columna vertebralis.

Mediastinum dibagi dua menjadi mediastinum superius dan mediastinum inferius

oleh bidang imajiner yang berjalan dari angulus sterni (persendian antara

manubrium dan corpus sterni) di anterior kepinggir bawah corpus vertebrata

thoracica IV diposterior, Mediastinum inferius lebih jauh dibagi lagi dalam

mediastinum medium yang berisi pericardium dan jantung, mediastinum anterius

yang merupakan ruang diantara pericardium dan sternum; dan mediastinum

posterius yang terletak diantara pericardium dan columna vertrebralis.4

Mediastinum superius

Isi mediastinum superius dari anterior ke posterior adalah: sisa-sisa

thymus, vena brachiocephalica, bagian atas vena cava superior, arteria

14
brachiocephalica, arteria karotis communis sinistra, arteria subclavia sinistra,

arcus aorta, nervus phrenicus dan nervus vagus dekster dan sinister, nervus

laryngeus reccurrens sinister, dan nervi cardiac, trachea dan nodus lymphaticus,

esophagus, dan ductus thoracicus, serta truncus sympathicus. Mediastinum

anterius, isi mediastinum anterius antara lain ligamentum sternopericardium,

kelenjar limfe, dan sisa thymus. Mediastinum medium, isi mediastinum medium

antara lain pericardium, jantung, dan pangkal pembuluh darah besar, nervus

phrenicus, bifurcartio trachea, dan kelenjar limfa. Mediastinum posterius, isi

mediastium posterius antara lain aorta descendens, esophagus, ductus thoracicus,

vena azygos dan vena hemizygous, nervus vagus, nervi splanchnici, truncus

symphathicus, dan nodus lymphaticus.4

Pleura dan paru terletak pada kedua sisi mediastinum didalam rongga

dada. Pleura merupakan dua kantong serosa yang mengelilingi dan melindungi

paru. Setiap pleura terdiri dari dua lapisan. Lapisan parietalis, yang meliputi

dinding thorax, meliputi permukaan thoracal, diaphragm, dan permukaan lateral

mdiastinum dan meluas sampai kepangkal leher; dan lapisan visceralis yang

meliputi seluruh permukaan luar paru dan meluas kedalam fissure interlobaris.

Lapisan parietalis melanjutkan diri menjadi lapisan visceralis pada lipatan pleura

yang mengelilingi alat-alat yang masuk dan keluar dari hilus pulmonalis pada

setiap paru. Untk memungkinkan pergerakan vasa plmonalis dan bronchus besar

selama

respirasi, lipatan pleura tergantung sebagai lipatan bebas dan disebut ligamentum

pulmonale.

15
16
I.5. Patofisiologi Trauma Thoraks
Patofisiologi cedera toraks meliputi:7

o Perdarahan.
o Kerusakan alveoli/jalan napas/ pleura sehingga udara keluar dari
jalan napas.
o Patah tulang iga: timbul rasa nyeri (terjadi gangguan ventilasi) dan
tidak mau batuk (sekret/dahak terkumpul/ tidak bisa keluar). Selain
itu dapat terjadi flail chest bila patah tulang iga jamak dan
segmental (lebih dari 1 tempat).
o Kompresi pada toraks dapat mengaki-batkan terjadinya asfiksia
traumatika.
o Luka ”menghisap” pada dinding dada yang menyebabkan paru
mengempis/ kolaps.

Mekanisme trauma thoraks meliputi:7

o Akselerasi: Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung


dari penyebab trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan
massa dan percepatan (akselerasi) sesuai dengan hukum Newton II.
Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh
yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut. Pada luka
tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak;
penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer
high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan
kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar
lubang masuk peluru.
o Deselerasi: Kerusakan terjadi akibat mekanisme deselerasi dari
jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba
terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat
trauma organ-organ dalam keadaan masih bergerak dan gaya yang
merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh
lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.

17
o Torsio dan rotasi: Gaya torsio dan rotasi yang terjadi umumnya
diakibat-kan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang
sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/terfiksasi.
o Blast injury: Kerusakan jaringan terjadi tanpa adanya kontak
langsung dengan penyebab trauma, sebagai contoh: ledakan
kendaraan saat terjadi kecelakaan lalu lintas (KLL). Gaya merusak
di terima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.
o Blunt trauma: Kerusakan jaringan tanpa adanya kontak langsung
dengan penyebab trauma.
o Faktor lain yang mempengaruhi
a. Sifat jaringan tubuh
Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari
perlukaan, akan tetapi sangat menentukan pada akibat yang
diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya fraktur iga pada
bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila
ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau
sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk
atau orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara
dibanding pria, dsb.
b. Lokasi
Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ
yang menderita kerusakan, terutama pada trauma tembus.
Seperti luka tembus pada daerah pre-kordial.
c. Arah trauma
Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga
sangat mentukan dalam memperkirakan kerusakan organ atau
jaringan yang terjadi. Perlu diingat adanya efek "ricochet" atau
pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti
misalnya : trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat
memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda dari sumber peluru
sehingga kerusakan atau organ apa yang terkena sulit
diperkirakan.

18
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh
trauma toraks. Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak
adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena
hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary
ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma,
kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks
(contoh : tension pneumotoraks, pneumotoraks terbuka).
Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya
ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan
tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh
hipoperfusi dan jaringan (syok)
1. Trauma Tembus
 Pneumothoraks terbuka
 Hemothoraks
 Trauma tracheobronkial
 Contusi Paru
 Ruptur diafragma
 Trauma Mediastinal
2. Trauma Tumpul
 Tension pneumothoraks
 Trauma tracheobronkhial
 Flail Chest
 Ruptur diafragma
 Trauma mediastinal
 Fraktur kosta.

I.6. Kasus Kegawatdaruratan yang Terjadi pada Thoraks


Kasus kegawat daruratan pada trauma thoraks dibagi pada saat primary
survey dan saat secondary survey, dimana kasus yang paling banyak di
temukan pada saat primary survey adalah:2

 Airway obstruction

19
 Tracheobronchial tree injury
 Tension pneumothorax
 Open pneumothorax
 Massive hemothorax
 Cardiac tamponade
 Traumatic circulatory arrest

Sedangkan pada secondary survey kasus yang paling sering adalah:2

 Simple pneumothorax
 Heamothorax
 Flail chest
 Pulmonary contusion
 Blunt cardiac injury
 Traumatic aortic disruption
 Traumatic diaphragmatic injury
 Blunt esophageal injury

Assessment dan penanganan awal pada trauma thorax meliputi

 Primary survey (airway, breathing, circulation)


 Resusitasi fungsi vital
 Secondary survey terinci
 Perawatan definitive

I.7. Primary Survey

I.7.1. Airway
a. Airway obstruction (obstruksi jalan napas)
Obstruksi jalan napas merupakan hasil dari pembengkakan,
perdarahan, atau muntah yang terhirup ke jalan napas, mengganggu pertukaran
gas. Beberapa mekanisme cedera dapat menghasilkan jenis masalah ini.

20
Cidera laring dapat menyertai trauma toraks mayor atau hasil dari pukulan
langsung ke leher atau pengekangan bahu yang salah tempat di leher.
Dislokasi posterior klavikula kadang-kadang menyebabkan obstruksi jalan
napas. Atau, trauma tembus yang melibatkan leher atau dada dapat
menyebabkan cedera dan perdarahan, yang menghasilkan obstruksi. Meskipun
manifestasi klinis kadang-kadang ringan, obstruksi jalan napas akut dari
trauma laring adalah cedera yang mengancam jiwa. 2

Selama primary survey, lihat apakah ada tanda – tanda air hunger,
seperti retraksi otot interkostal dan supraklavikula. Periksa orofaring untuk
obstruksi benda asing. Dengarkan gerakan udara di hidung, mulut, dan paru-
paru pasien. Dengarkan bukti obstruksi jalan nafas atas parsial (stridor) atau
perubahan nyata dalam kualitas suara yang diharapkan pada pasien yang dapat
berbicara. Rasakan adanya crepitus di leher anterior. 2

Pasien dengan obstruksi jalan nafas dapat diobati dengan pembersihan


darah atau muntah dari jalan nafas dengan suction. Manuver ini seringkali
hanya bersifat sementara, dan penempatan jalan napas definitif diperlukan.
Palpasi untuk defek pada daerah sendi sternoklavikula. Kurangi dislokasi
posterior atau fraktur klavikula dengan memperpanjang bahu pasien atau
menggenggam klavikula dengan penjepit handuk penembus, yang dapat
meringankan penyumbatan. Pengurangan biasanya stabil ketika pasien tetap
dalam posisi terlentang. 2

b. Tracheobronchial tree injury


Cedera pada trakea atau bronkus mayor adalah kondisi yang jarang
terajadi namun dapat berpotensi fatal. Mayoritas cedera trakeobronkial tree
terjadi dalam jarak 2,5 cm dari carina. Cedera ini bisa parah, dan sebagian
besar pasien meninggal di tempat kejadian. Mereka yang mencapai rumah
sakit hidup memiliki tingkat kematian yang tinggi dari cedera terkait, jalan
napas yang tidak memadai, atau dapat berkembang menjadi tension
pneumothorax atau tension pneumopericardium.

deselerasi cepat akibat trauma tumpul menghasilkan cedera di mana


titik perlekatan memenuhi area mobilitas. Cedera ledakan umumnya

21
menghasilkan cedera parah pada antarmuka udara-cairan. Trauma penetrasi
menghasilkan cedera melalui laserasi langsung, robek, atau transfer cedera
kinetik dengan kavitasi. Intubasi berpotensi menyebabkan atau memperburuk
cedera pada trakea atau bronkus proksimal.

Pasien biasanya datang dengan hemoptisis, emfisema subkutan


serviks, pneumotoraks tension, dan / atau sianosis. Perluasan paru yang tidak
lengkap dan kebocoran udara yang besar setelah pemasangan tabung dada
menunjukkan cedera trakeobronkial, dan penempatan lebih dari satu tabung
dada mungkin diperlukan untuk mengatasi kebocoran udara yang signifikan.
Bronkoskopi menegaskan diagnosis. Jika dicurigai cedera trakeobronkial,
dapatkan konsultasi bedah segera.

Perawatan segera mungkin memerlukan penempatan jalan nafas yang


pasti. Intubasi pasien dengan cedera trakeobronkial seringkali sulit karena
distorsi anatomi dari hematoma paratrakeal, cedera orofaring terkait, dan /
atau cedera trakeobronkial itu sendiri. Keterampilan jalan napas tingkat lanjut,
seperti penempatan tabung endotrakeal serat optik yang dibantu melewati
lokasi sobekan atau intubasi selektif bronkus yang tidak terpengaruh, mungkin
diperlukan. Untuk pasien seperti itu, intervensi operasi segera diindikasikan.
Pada pasien yang lebih stabil, pengobatan operatif cedera trakeobronkial dapat
ditunda sampai peradangan akut dan edema sembuh.

I.7.2. Breathing problem


Ekspos dada dan leher pasien untuk memungkinkan penilaian
pembuluh darah leher dan pernapasan. Ini mungkin memerlukan pelepasan
sementara bagian depan cervical collar; dalam hal ini, menahan pergerakan
dari leher secara aktif dengan memegang kepala pasien saat kerah
dilonggarkan. Lihatlah dinding dada untuk menilai gerakan dan menentukan
apakah itu sama. Nilai kecukupan respirasi. Dengarkan suara napas di dada
untuk mengevaluasi suara napas yang sama dan mengidentifikasi suara-suara
tambahan yang mungkin menunjukkan efusi atau memar. Palpasi untuk
menentukan apakah ada area nyeri tekan, krepitus, atau cacat.

22
Tanda-tanda cedera dada dan / atau hipoksia yang signifikan, namun
seringkali halus, meliputi peningkatan laju pernapasan dan perubahan dalam
pola pernapasan pasien, yang seringkali dimanifestasikan oleh respirasi yang
semakin dangkal. Ingat bahwa sianosis merupakan late sign dari hipoksia pada
pasien trauma dan bisa sulit dirasakan pada kulit berpigmen gelap;
ketidakhadirannya tidak selalu mengindikasikan oksigenasi jaringan yang
memadai atau jalan napas yang adekuat.

Tension pneumotoraks, pneumotoraks terbuka (sucking wound), dan


hemotoraks masif adalah cedera toraks utama yang memengaruhi pernapasan.
Sangat penting bagi dokter untuk mengenali dan mengelola cedera ini selama
survei primer.

a. Tension Pneumothoraks
Tension pneumotoraks berkembang ketika kebocoran udara "katup
satu arah" terjadi dari paru-paru atau melalui dinding dada. Udara dipaksa
masuk ke dalam rongga pleura tanpa ada jalan keluar, yang pada akhirnya
akan membuat paru-paru yang menjadi kolaps. Mediastinum terdorong ke sisi
yang berlawanan, mengurangi aliran balik vena dan menekan paru-paru yang
berlawanan. Syok (sering diklasifikasikan sebagai syok obstruktif) merupakan
hasil dari penurunan dari arus balik vena yang terkena, yang menyebabkan
penurunan curah jantung.

Penyebab paling umum dari tension pneumothorax adalah ventilasi


tekanan positif mekanis pada pasien dengan cedera pleural visceral. Tension
pneumotoraks juga dapat menyulitkan pneumotoraks sederhana setelah trauma
dada tembus atau tumpul di mana cedera paru parenkim gagal menutup, atau
setelah upaya pemasangan kateter vena subklavia atau internal jugularis.
Kadang-kadang, cacat traumatis pada dinding dada menyebabkan
pneumothorax tegang ketika perban oklusif diamankan di empat sisi atau cacat
itu sendiri merupakan mekanisme katup-katup. Jarang, tension pneumothorax
terjadi dari fraktur tulang belakang thorakal yang bergeser. Tension
pneumotoraks adalah diagnosis klinis yang mencerminkan udara di bawah

23
tekanan di ruang pleura yang terkena. Jangan menunda pengobatan untuk
mendapatkan konfirmasi radiologis.

Pasien yang bernafas spontan sering bermanifestasi tachypnea ekstrem


dan air hunger, sedangkan pasien yang ventilasi mekanisnya menunjukkan
collpas hemodinamik. Tension pneumotoraks ditandai oleh beberapa atau
semua tanda dan gejala berikut:

 Nyeri dada
 Air hunger
 Takipnea
 Respiratory distress
 Toraks asimetris
 Deviasi trakea
 Dilatasi v. Jugular
 Sianosis
 Takikardia
 Hipotensi
 Suara nafas unilateral hilang.

Lakukan penilaian pernapasan, seperti dijelaskan di atas. Nada


hyperresonant pada perkusi, trakea yang menyimpang, vena leher buncit, dan
bunyi napas yang tidak ada adalah tanda-tanda ketegangan pneumotoraks.
Saturasi arteri harus dinilai menggunakan pulse oximeter dan akan menurun
ketika tension pneumothorax. Ketika ultrasound tersedia, tension
pneumothorax dapat didiagnosis menggunakan pemeriksaan FAST (eFAST)
yang diperpanjang.

Tension pneumotoraks memerlukan dekompresi segera dan dapat


dikelola pada awalnya dengan memasukkan kateter over-the-needle yang
besar ke dalam ruang pleura. Karena ketebalan bervariasi dari dinding dada,
kinking kateter, dan komplikasi teknis atau anatomi lainnya, dekompresi
jarum mungkin tidak berhasil. Dalam hal ini, finger torakostomi adalah
pendekatan alternative.

24
Ketebalan dinding dada mempengaruhi kemungkinan keberhasilan
dengan dekompresi jarum. Bukti menunjukkan bahwa kateter over-the-needle
5-cm akan mencapai ruang pleura> 50% dari waktu, sedangkan kateter over-
jarum 8-cm akan mencapai ruang pleura> 90% dari waktu. Penelitian juga
menunjukkan bahwa penempatan kateter over-jarum di lapangan ke dinding
dada anterior oleh paramedis terlalu medial pada 44% pasien. Bukti baru-baru
ini mendukung penempatan kateter besar di atas jarum di interspace kelima,
sedikit anterior ke garis midaxillary. Namun, bahkan dengan kateter over-the-
needle dengan ukuran yang sesuai, manuver tidak akan selalu berhasil.

Dekompresi jarum yang berhasil mengubah tension pneumotoraks


menjadi pneumotoraks sederhana. Namun, ada kemungkinan pneumotoraks
selanjutnya sebagai akibat dari manuver, sehingga perlu dilakukan penilaian
ulang terus menerus terhadap pasien. Tube thoracostomy adalah wajib setelah
dekompresi jarum atau jari pada dada.

b. Open pneumothoraks
Cedera besar pada dinding dada yang tetap terbuka dapat
menyebabkan pneumotoraks terbuka, yang juga dikenal sebagai luka dada
mengisap. Kesetimbangan antara tekanan intrathoracic dan tekanan atmosfer
langsung terjadi. Karena udara cenderung mengikuti jalan yang paling tidak
resistan, ketika bukaan di dinding dada kira-kira dua pertiga diameter trakea.
Cedera besar pada dinding dada yang tetap terbuka dapat menyebabkan
pneumotoraks terbuka, yang juga dikenal sebagai sucking wound.
Kesetimbangan antara tekanan intrathoracic dan tekanan atmosfer langsung
terjadi. Karena udara cenderung mengikuti jalur yang paling tidak resistan,
ketika lubang di dinding dada kira-kira dua pertiga diameter trakea atau lebih
besar, udara lewat secara istimewa melalui defek dinding dada dengan
masing-masing inspirasi. Ventilasi yang efektif karenanya terganggu,
menyebabkan hipoksia dan hiperkarbia.

Untuk penatalaksanaan awal pneumotoraks terbuka, segera tutup defek


dengan pembalut steril yang cukup besar untuk menutupi tepi luka. Perban
oklusif (mis. Pembungkus plastik atau kasa petrolatum) dapat digunakan

25
sebagai tindakan sementara untuk memungkinkan penilaian cepat untuk
melanjutkan. Rekatkan dengan aman hanya pada tiga sisi untuk memberikan
efek flutter-valve. Saat pasien bernafas, balutan menutup luka, mencegah
udara masuk. Selama pernafasan, ujung terbuka dari pembalut memungkinkan
udara keluar dari ruang pleura. Menempel keempat tepi pembalut dapat
menyebabkan udara menumpuk di rongga toraks, menghasilkan pneumotoraks
karena ketegangan kecuali ada tabung dada. Tempatkan tabung dada jauh dari
luka sesegera mungkin. Penutupan bedah definitif selanjutnya dari luka sering
diperlukan.

I.7.3. Circulation problem


a. Massive hemathoraks
Akumulasi> 1500 ml darah di satu sisi dada dengan hemotoraks masif
dapat secara signifikan mengganggu upaya pernapasan dengan menekan paru-
paru dan mencegah oksigenasi dan ventilasi yang memadai. Masukkan tabung
dada untuk meningkatkan ventilasi dan oksigenasi, meminta konsultasi bedah
segera, dan mulai resusitasi yang tepat. Akumulasi darah akut yang sangat
besar menghasilkan hipotensi dan syok.

Pada pasien dengan hemotoraks masif, vena leher mungkin datar


karena hipovolemia berat, atau mereka buncit jika ada pneumotoraks tension
yang terkait. Jarang efek mekanis dari darah intrathoracic masif menggeser
mediastinum cukup untuk menyebabkan vena leher buncit. Hemothorax masif
disarankan saat syok dikaitkan dengan tidak adanya suara napas atau
kekusutan pada perkusi di satu sisi dada.

Hemotoraks masif pada awalnya dikelola dengan mengembalikan


volume darah secara simultan dan mendekompresi rongga dada. Buat jalur
intravena yang lebih besar, infus kristaloid, dan mulailah transfusi darah yang
tidak cocok atau tipe spesifik sesegera mungkin. Bila perlu, darah dari tabung
dada dapat dikumpulkan dalam perangkat yang cocok untuk autotransfusi.
Sebuah tabung dada tunggal (28-32 french) dimasukkan, biasanya di ruang
intercostal kelima, tepat di anterior ke garis midaxillary, dan pemulihan

26
volume yang cepat berlanjut ketika dekompresi rongga dada selesai.
Pengembalian segera 1500 mL atau lebih darah umumnya mengindikasikan
perlunya torakotomi yang mendesak.

Pasien yang memiliki keluaran awal kurang dari 1500 mL cairan,


tetapi terus berdarah, mungkin juga memerlukan torakotomi. Keputusan ini
didasarkan pada tingkat kehilangan darah yang terus-menerus (200 mL / jam
selama 2 hingga 4 jam), serta status fisiologis pasien dan apakah dada
sepenuhnya dievakuasi dari darah. Sekali lagi, kebutuhan yang terus-
menerus untuk transfusi darah merupakan indikasi untuk torakotomi.
Selama resusitasi pasien, volume darah awalnya dikeringkan dari tabung dada
dan tingkat kehilangan darah terus menerus harus diperhitungkan dalam
resusitasi yang diperlukan. Warna darah (menunjukkan sumber arteri atau
vena) merupakan indikator yang buruk tentang perlunya torakotomi.

Luka dada anterior yang menembus medial ke garis puting dan luka
posterior ke skapula ("kotak" mediastinum) harus mengingatkan praktisi akan
kemungkinan perlunya torakotomi karena potensi kerusakan pada pembuluh
darah besar, struktur hilar, dan jantung, dengan potensi terkait untuk
tamponade jantung. Jangan melakukan torakotomi kecuali jika ahli bedah,
yang memenuhi syarat dengan pelatihan dan pengalaman, hadir.

b. Cardiac tamponade
Tamponade jantung adalah kompresi jantung dengan akumulasi cairan
di kantung perikardial. Hal ini mengakibatkan penurunan curah jantung karena
penurunan aliran masuk ke jantung. Kantung perikardial manusia adalah
struktur berserat yang tetap, dan jumlah darah yang relatif kecil dapat
membatasi aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Tamponade
jantung paling sering terjadi akibat luka tembus, meskipun cedera tumpul juga
dapat menyebabkan perikardium terisi darah dari jantung, pembuluh darah
besar, atau pembuluh darah epikardial.
Tamponade jantung dapat berkembang secara lambat, memungkinkan
untuk evaluasi yang kurang mendesak, atau secara cepat, membutuhkan
diagnosis dan perawatan yang cepat. Tiga serangkai klinis klasik dari bunyi

27
jantung yang teredam, hipotensi, dan vena buncit tidak secara seragam hadir
dengan tamponade jantung. Nada jantung yang terselubung sulit untuk dinilai
di ruang resusitasi yang bising, dan vena leher buncit mungkin tidak ada
karena hipovolemia. Tanda Kussmaul (mis., Peningkatan tekanan vena dengan
inspirasi ketika bernafas secara spontan) adalah kelainan tekanan vena
paradoksal yang berhubungan dengan tamponade. PEA menunjukkan
tamponade jantung tetapi dapat memiliki penyebab lain, seperti yang
dijelaskan sebelumnya.
Tension pneumotoraks, terutama di sisi kiri, dapat meniru tamponade
jantung. Karena kesamaan dalam tanda-tanda mereka, tension pneumothorax
pada awalnya dapat dikacaukan dengan tamponade jantung. Kehadiran
hyperresonance pada perkusi menunjukkan tension pneumothorax, sedangkan
kehadiran bunyi napas bilateral menunjukkan tamponade jantung. Penilaian
terfokus dengan sonografi untuk trauma (FAST) adalah metode pencitraan
jantung dan perikardium yang cepat dan akurat yang dapat secara efektif
mengidentifikasi tamponade jantung.
FAST adalah 90-95% akurat dalam mengidentifikasi keberadaan
cairan pericardial untuk operator berpengalaman (lihat video FAST pada
aplikasi seluler MyATLS). Hemothorax bersamaan dapat menjelaskan baik
ujian positif palsu dan negatif palsu. Ingatlah bahwa tamponade dapat
berkembang kapan saja selama fase resusitasi, dan ulangi ujian FAST
mungkin diperlukan. Penyedia yang berpengalaman dalam ultrasonografi juga
dapat menilai disfungsi miokard dan pengisian ventrikel.

Metode tambahan untuk mendiagnosis tamponade jantung termasuk


ekokardiografi dan / atau jendela perikardial, yang mungkin sangat berguna
ketika FAST tidak tersedia atau samar-samar.

Ketika cairan perikardial atau tamponade didiagnosis, torakotomi


darurat atau sternotomi harus dilakukan oleh ahli bedah yang berkualifikasi
sesegera mungkin. Pemberian cairan intravena akan meningkatkan tekanan
vena pasien dan meningkatkan curah jantung sementara sementara persiapan
dilakukan untuk pembedahan. Jika intervensi bedah tidak memungkinkan,

28
perikardiosentesis dapat menjadi terapi, tetapi itu bukan merupakan
pengobatan definitif untuk tamponade jantung.

Ketika perikardiosentesis subxiphoid digunakan sebagai manuver


sementara, penggunaan kateter over-theneedle yang besar atau teknik
Seldinger untuk memasukkan kateter fleksibel adalah ideal, tetapi prioritas
yang mendesak adalah mengambil darah dari kantung perikardial. Karena
komplikasi umum terjadi dengan teknik insersi buta, perikardiosentesis harus
mewakili tindakan penyelamatan terakhir dalam situasi di mana tidak ada ahli
bedah yang memenuhi syarat untuk melakukan torakotomi atau sternotomi.
Panduan ultrasonografi dapat memfasilitasi pemasangan kateter jarum yang
besar dan berlebihan ke dalam ruang perikardial.

I.8. Secondary Survey


Survei sekunder pasien dengan trauma toraks melibatkan lebih lanjut,
pemeriksaan fisik mendalam, EKG dan pemantauan oksimetri denyut nadi,
pengukuran gas darah arteri (ABG), x-ray dada tegak pada pasien tanpa
dugaan ketidakstabilan kolom tulang belakang, dan CT scan dada ( CT) scan
pada pasien tertentu dengan dugaan cedera aorta atau tulang belakang. Selain
ekspansi paru-paru dan adanya cairan, film dada harus ditinjau untuk
pelebaran mediastinum, pergeseran garis tengah, dan hilangnya detail anatomi.
Beberapa patah tulang rusuk dan patah tulang rusuk pertama atau kedua
menunjukkan bahwa kekuatan signifikan dikirim ke dada dan jaringan di
bawahnya. Extended FAST (eFAST) telah digunakan untuk mendeteksi
pneumothoraces dan hemothoraces. Namun, cedera yang berpotensi
mengancam jiwa lainnya tidak divisualisasikan dengan baik pada ultrasound,
membuat rontgen dada menjadi bagian penting dari setiap evaluasi setelah
cedera traumatis.

I.8.1. Simple pneumothoraks


Pneumotoraks terjadi karena udara memasuki ruang potensial antara
visceral dan parietal pleura. Thoraks biasanya terisi penuh oleh paru-paru,
yang dipegang oleh dinding dada oleh tegangan permukaan antara permukaan

29
pleura. Udara di ruang pleura mengganggu kekuatan kohesif antara visceral
dan parietal pleura, memungkinkan paru-paru runtuh. Cacat ventilasi-perfusi
terjadi karena darah yang perfusi daerah yang tidak terventilasi tidak
teroksigenasi.

Trauma penetrasi dan non-penetrasi dapat menyebabkan cedera ini.


Laserasi paru-paru dengan kebocoran udara adalah penyebab paling umum
pneumotoraks akibat trauma tumpul. Lakukan pemeriksaan fisik dada yang
komprehensif, termasuk pemeriksaan memar, laserasi, dan memar. Menilai
pergerakan dinding dada dan menilai dan membandingkan suara napas secara
bilateral. Ketika pneumotoraks hadir, bunyi napas sering menurun pada sisi
yang terkena. Perkusi mungkin menunjukkan hiperresonansi.

Seorang pasien dengan pneumotoraks juga harus menjalani


dekompresi dada sebelum diangkut melalui ambulans udara karena potensi
risiko ekspansi pneumotoraks di ketinggian, bahkan di kabin bertekanan.

Tatalaksana pada simple pneumothoraks adalah: pemasangan chest


tube pada ICS 4 atau 5 linea axillaris anterior. Lakukan X-ray thorax post
pemasangan chest tube untuk memastikan re-ekspansi paru dan lokasi chest
tube

I.8.2. Flail Chest dan kontusio paru


Merupakan fraktur di ≥ 2 titik pada 1 kosta, yang terdapat pada ≥ 2
kosta yang berurutan pada 1 segmen. Ditandai dengan:4

 Pergerakan nafas paradoksikal


 Krepitasi tulang iga
 Hipoksia
 Umumya disertai dengan kontusio paru

Hipoksia yang terjadi bukan karena fraktur namun akibat keterbatasan


pergerakan dinding dada disertai nyeri dan trauma paru. Dapat juga akibat
akumulasi cairan (darah, dsb)

30
Penanganan awal dari kasus flail chest adalah dengan memberikan
ventilasi yang adekyat dan pemberikan oksigen. Pikirkan untuk dilakukan
intubasi apabila PaO2 kurang dari 60mmHg atau SaO2 kurang dari 90% dengan
udara ruangan. Pemberian resusitasi cairan harus berhati – hati bila tidak
ditemukan hipotensi untuk mencegah kelebihan cairan yang memperberat
pernapasan.

I.8.3. Blunt cardiac injury


Tinjauan literatur terbaru menunjukkan 50% cedera jantung tumpul
(BCI) terkait dengan kecelakaan kendaraan bermotor (MVC), diikuti oleh
pejalan kaki yang tertabrak kendaraan, kecelakaan sepeda motor, dan
kemudian jatuh dari ketinggian lebih dari 20 kaki (6 meter). Cedera jantung
tumpul dapat menyebabkan kontusi otot miokard, ruptur ruang jantung,
diseksi dan / atau trombosis arteri koroner, serta gangguan katup. Ruptur
jantung biasanya disertai tamponade jantung dan harus dikenali selama survei
primer. Namun, kadang-kadang tanda dan gejala tamponade lambat
berkembang dengan ruptur atrium. Penggunaan dini FAST dapat
memudahkan diagnosis.

Anggota tim Trauma harus mempertimbangkan pentingnya BCI


karena trauma. Pasien dengan cedera miokard tumpul dapat melaporkan
ketidaknyamanan dada, tetapi gejala ini sering dikaitkan dengan kontusio
dinding dada atau fraktur sternum dan / atau tulang rusuk. Diagnosis
sebenarnya dari cedera miokard tumpul dapat ditegakkan hanya dengan
inspeksi langsung pada miokardium yang terluka. Gejala sisa yang signifikan
secara klinis adalah hipotensi, disritmia, dan / atau kelainan gerak dinding
pada ekokardiografi dua dimensi. Perubahan elektrokardiografi adalah
variabel dan bahkan mungkin menunjukkan infark miokard jujur. Kontraksi
ventrikel prematur multipel, takikardia sinus yang tidak dapat dijelaskan,
fibrilasi atrium, blok bundel-cabang (biasanya kanan), dan perubahan segmen
ST adalah temuan EKG yang paling umum. Tekanan vena sentral yang
meningkat tanpa penyebab yang jelas dapat mengindikasikan disfungsi
ventrikel kanan sekunder akibat kontusio. Dokter juga harus ingat bahwa
peristiwa traumatis mungkin telah dipicu oleh episode iskemik miokard.

31
I.8.4. Traumatic aortic distruption
Pecahnya aorta traumatis merupakan penyebab umum kematian
mendadak setelah tabrakan kendaraan atau jatuh dari ketinggian. Orang yang
selamat dari cedera ini sering sembuh jika ruptur aorta segera diidentifikasi
dan diobati dengan segera. Pasien-pasien dengan kemungkinan terbaik untuk
bertahan hidup cenderung mengalami laserasi yang tidak lengkap di dekat
ligamentum arteriosum aorta. Kontinuitas dijaga oleh lapisan adventisial yang
utuh atau hematoma mediastinum, mencegah exsanguination dan kematian
segera.

Darah dapat keluar ke mediastinum, tetapi satu karakteristik yang


dimiliki oleh semua korban adalah mereka memiliki hematoma yang
terkandung. Hipotensi yang persisten atau berulang biasanya disebabkan oleh
lokasi perdarahan yang terpisah dan tidak teridentifikasi. Meskipun pecahnya
aorta transeksi yang bebas ke dada kiri memang terjadi dan dapat
menyebabkan hipotensi, biasanya fatal kecuali tim trauma dapat
memperbaikinya dalam beberapa menit.

Tanda dan gejala:

 Pelebaran mediastinum
 Obliterasi aortic knob
 Deviasi trakea ke sisi kanan
 Depresi dari bronkus principalis kiri
 Elevasi dari bronkus principalis kanan
 Obliterasi ruang antara arteri pulmoner dan aorta
 Deviasi esophagus ke kanan
 Pelebaran garis paratrakeal
 Pelebaran paraspinal interfaces
 Adanya pleural / apical cap
 Hemothoraks kiri
 Fraktur dari costae I/II atau skapula

32
Helical computed tomography (CT) dada yang ditingkatkan kontras
telah terbukti sebagai metode skrining yang akurat untuk pasien yang diduga
mengalami cedera aorta tumpul. Pemindaian CT harus dilakukan secara bebas,
karena temuan pada x-ray dada, terutama pandangan terlentang, tidak dapat
diandalkan. Jika hasilnya samar-samar, aortografi harus dilakukan. Secara
umum, pasien yang hemodinamik abnormal tidak boleh ditempatkan dalam
CT scanner. Sensitivitas dan spesifisitas CT heliks yang ditingkatkan kontras
telah terbukti mendekati 100%, tetapi hasil ini bergantung pada teknologi. Jika
tes ini negatif untuk hematoma mediastinum dan ruptur aorta, tidak diperlukan
pencitraan diagnostik aorta lebih lanjut, meskipun konsultan bedah akan
menentukan perlunya pencitraan lebih lanjut. Transesophageal
echocardiography (TEE) tampaknya menjadi alat diagnostik yang berguna dan
kurang invasif. Ahli bedah trauma yang merawat pasien berada dalam posisi
terbaik untuk menentukan tes diagnostik lain mana yang diperlukan.

I.8.5. Traumatic diagphramatic injury


Ruptur diafragma traumatis lebih sering didiagnosis pada sisi kiri,
mungkin karena hati menghilangkan defek atau melindunginya pada sisi
kanan, sedangkan penampakan tuba, lambung, dan / atau nasogastrik (NG)
yang terlantar lebih mudah dideteksi di dada kiri. Trauma tumpul
menghasilkan robekan radial besar yang menyebabkan herniasi, sedangkan
trauma tembus menghasilkan perforasi kecil yang dapat tetap tanpa gejala
selama bertahun-tahun.

Cedera diafragma sering terlewatkan pada awalnya ketika film dada


disalahartikan sebagai menunjukkan diafragma tinggi, pelebaran lambung
akut, hemopneumothorax, atau hematoma subpulmonik. Penampilan
diafragma kanan yang meningkat pada rontgen dada mungkin merupakan
satu-satunya temuan dari cedera sisi kanan. Jika laserasi diafragma kiri
dicurigai, tabung lambung dapat dimasukkan; jika tabung lambung muncul di
rongga toraks pada film dada, kebutuhan untuk studi kontras khusus
dihilangkan. Kadang-kadang, kondisi ini tidak diidentifikasi pada film x-ray
awal atau CT scan berikutnya, dalam hal ini studi kontras gastrointestinal atas
harus dilakukan. Munculnya cairan peritoneum lavage dalam drainase tabung

33
dada juga menegaskan diagnosis pada pasien yang telah menjalani lavage
peritoneum diagnostik. Prosedur endoskopi invasif minimal (mis.,
Laparoskopi dan torakoskopi) dapat membantu dalam mengevaluasi
diafragma pada kasus yang tidak ditentukan.

Operasi untuk cedera perut lainnya sering menunjukkan robekan


diafragma. Perawatan dengan perbaikan langsung. Perawatan harus diambil
ketika menempatkan tabung dada pada pasien dengan dugaan cedera
diafragma, karena tabung secara tidak sengaja dapat melukai isi perut yang
telah dipindahkan ke dalam rongga dada.

I.8.6. Blunt esophageal ruptur


Trauma esofagus paling sering terjadi akibat cedera penetrasi.
Meskipun jarang, trauma tumpul esofagus, yang disebabkan oleh pengusiran
paksa isi lambung ke kerongkongan dari pukulan parah ke perut bagian atas,
bisa mematikan jika tidak dikenali. Ejeksi yang kuat ini menghasilkan robekan
linier pada esofagus bagian bawah, yang memungkinkan kebocoran ke
mediastinum. Mediastinitis yang dihasilkan dan ruptur segera atau tertunda ke
dalam ruang pleura menyebabkan empiema.

Gambaran klinis pasien dengan ruptur esofagus tumpul identik dengan


ruptur esofagus postemetik. Pengaturan klinis cedera kerongkongan biasanya
pasien dengan pneumotoraks kiri atau hemotoraks tanpa fraktur tulang rusuk
yang telah menerima pukulan berat pada tulang dada bagian bawah atau
epigastrium dan dalam keadaan nyeri atau syok tidak sebanding dengan cedera
yang tampak. Materi partikulat dapat mengalir dari tabung dada setelah darah
mulai jernih. Kehadiran udara mediastinal juga menunjukkan diagnosis, yang
sering dapat dikonfirmasi oleh studi kontras dan / atau esofagoskopi.

Perawatan ruptur kerongkongan terdiri dari drainase luas dari ruang


pleura dan mediastinum dengan perbaikan langsung dari cedera. Perbaikan
yang dilakukan dalam beberapa jam setelah cedera meningkatkan prognosis
pasien.

34
I.9. Manifestasi lain terhadap trauma thoraks
Selama secondary survey, dapat pula ditemukan kondisi – kondisi lain
yang tidak mengancam jiwa seperti, emfisema subkutan, crushing injury/
asfiksia traumatic, serta fraktur baik itu fraktur kostae, sternum, maupun
scapula.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Pitojo KG, Tangkilisan A, Monoarfa A. Pola trauma tumpul


toraks non penetrans, penanganan, dan hasil akhir di Instalasi
Rawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode Januari 2014 – Juni 2016. e-CliniC. 2016;4(2).

2. Stewart R, Rotondo M, Henry S. Advanced trauma life support


(ATLS). 10th ed. American College of Surgeons; 2018. 100–169
p.

3. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed.


Jakarta: EGC; 2010.

4. Sellke FW. Sabiston & Spencer Surgery of the Chest. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Inc.; 2019.

5. Townsend CM. Sabiston Textbook of Surgery. 20th ed.


Philadelphia: Elsevier Inc.; 2017.

6. Drake R. Gray’s Atlas of Anatomy. 3rd ed. Philadelphia:


Elsevier Saunders; 2020.

7. Labora JR, Kristanto EG, Siwu JF. Pola Cedera Toraks Pada
Kecelakaan Lalu Lintas Yang Menyebabkan Kematian Di
Bagian Forensik Dan Medikolegal Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou
Periode Januari 2013- Januari 2014. J Biomedik. 2015;7(1):42–
7.

36

Anda mungkin juga menyukai