Anda di halaman 1dari 4

Pendidikan luar sekolah

Wacana ‘sekolah sehari penuh’ dicetuskan oleh mendikbud pada tanggal 8 Agustus yang lalu,
dan langsung menuai reaksi keras dari masyarakat. Banyak orang tua siswa maupun pekerja di dunia
pendidikan menentang dengan berbagai alasan. Mungkin karena suara yang menentang sangat keras,
maka 2 hari kemudian, Pak Menteri secara resmi menyatakan bahwa wacana tersebut batal.
Terlepas dari argumen-argumen pro dan kontra yang dilontarkan oleh masyarakat, saya kira
wacana ‘sekolah sehari penuh’ ini keliru, karena berangkat dari anggapan bahwa pendidikan, dengan
tujuan memberi pengetahuan dan wawasan, membentuk karakter yang baik serta mempersiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki tanggung jawab dan berjiwa mandiri,
HANYA dilakukan di dalam lembaga sekolah, dan bertanggung jawab pendidikan generasi penerus
bangsa HANYA dibebankan kepada para guru. Coba kita renungkan, pengetahuan dan wawasan dan
ketrampilan yang kita miliki sekarang untuk mencari nafkah dan hidup layak sebagai anggota
masyarakat, apakah semuanya kita peroleh selama duduk di bangku sekolah / kuliah? Berapa persen
dari penduduk Indonesia yang berkesempatan memperoleh pendidikan tinggi, bahkan pendidikan
menengah yang memadai? Apakah para guru di Indonesia pada umumnya dibekali dengan
kemampuan untuk mengemban ‘tugas nasional’ tersebut.
Pendidikan luar sekolah
Pendidikan luar sekolah adalah terjemahan dari kata social education. Ini adalah konsep dan
kebijakan pendidikan yang mulai diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sejak
pertengahan abad ke-19. Pada akhir abad ke-19, Jepang mengadopsi dan menerapkan konsep
pendidikan ini.
Latar belakang dari konsep dan kebijakan pendidikan luar sekolah adalah dimulainya
industrialisasi dan berdirinya negara modern, yang berpegang pada prinsip, bahwa maju atau
terkebelakangnya suatu negara tergantung pada kualitas warga negara. Jika semua warga negara
sebagai SDM berkualitas baik, yaitu: berpengetahuan dan berwawasan luas, dapat berpikir secara
rasional dan kreatif, disiplin, rajin, mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab sosial, maka negara
akan maju, makmur dan disegani oleh bangsa2 lain. Demikian pula sebaliknya. Kalau kita gunakan
istilah yang trendy di Indonesia sekarang, keberhasilan pembangunan suatu negara tergantung dari
keberhasilan dalam ‘pembangunan manusia’.
Untuk mencapai tujuan tersebut, negara-negara tersebut menerapkan kebijakan pendidikan
secara terpadu, yaitu meliputi pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pemerintah Jepang
juga mengadopsi kebijakan pendidikan luar sekolah, mencontoh negara-negara Barat.
Sampai dengan awal abad ke-20, murid lulusan sekolah dasar yang melanjutkan ke sekolah
menengah jumlahnya kurang dari 1%, karena mereka harus membantu orang tua mencari nafkah, dan
juga karena jumlah sekolah menengah yang tersedia tidak memadai. Tentu saja para lulusan sekolah
dasar tersebut tidak akan mempunyai bekal pengetahuan yang memadai untuk bekerja dengan lebih
baik (lebih efisien dan produktif).
Untuk menfasilitasi agar mereka berkesempatan untuk terus belajar meskipun tidak duduk di
bangku sekolah lagi, kementerian pendidikan membentuk direktorat urusan pendidikan luar sekolah,
yang tugas-tugasnya meliputi: membangun dan mengelola perpustakaan umum di setiap daerah
(setara dengan kabupaten atau kecamatan di Indonesia), museum ilmu pengetahuan dan gelanggang
remaja. Selain itu, kementerian pendidikan juga bekerja sama dengan kementerian dalam negeri untuk
membentuk dan membina organisasi pemuda (karang taruna) dan organisasi perempuan (darma
wanita); pemda bekerja sama dengan tokoh masyarakat (kepala sekolah SD, petani kaya, warga kelas
menengah yang berpendidikan tinggi) menyelenggarakan kursus di malam hari, dengan
memanfaatkan ruang kelas SD, untuk memberi tambahan pengetahuan dan ketrampilan kepada para
remaja maupun ibu-ibu.
Dengan tersedianya perpustakaan umum, warga di setiap desa / kecamatan sewaktu-waktu
dapat meminjam dan membaca buku dan majalah ilmu pengetahuan populer. Museum yang didirikan
di setiap kota / kabupaten, secara berkala menyelenggarakan pameran tentang ilmu pengetahuan /
teknologi terbaru serta kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang paling mutakhir di
dunia.
Kementerian pendidikan juga memberi subsidi untuk penulisan dan penerbitan buku-buku
ilmu pengetahuan populer, dan pembuatan serta pemutaran film yang bertujuan memberi informasi
kepada khalayak ramai mengenai pola hidup sehat, cara kerja yang efisien (termasuk penggunaan
waktu yang efisien) agar kesejahteraan hidup meningkat, dan sikap yang pantas sebagai anggota
masyarakat (etiket dalam pergaulan). Acara seminar dan ceramah publik juga sering diadakan di balai
desa / balai kota, dengan mengundang ahli sebagai pembicara, berbagi informasi dan menjawab
pertanyaan dari warga.
Sampai dengan tahun 1940an, lebih dari 50% dari penduduk Jepang masih tinggal di desa,
bekerja di sektor pertanian dengan pendidikan terakhir lulus SD. Akan tetapi, dengan adanya fasilitas
dan kesempatan untuk terus menambah pengetahuan dan wawasan dan ketrampilan kerja tersebut,
mereka menjadi siap dalam menghadapi tantangan jaman akibat kemajuan teknologi dan perubahan
sosial.
Pendidikan luar sekolah yang difasilitasi oleh kementerian pendidikan dan kementerian dalam
negeri ini, disambut dengan antusias oleh masyarakat. Alasannya ada 2. Pertama, tidak seperti
pendidikan di sekolah yang bersifat memaksa (harus belajar mata pelajaran tertentu meskipun tidak
suka) dan murid sering dibuat stres karena ada ujian (dan takut nilai jelek), pendidikan luar sekolah
memberi keleluasaan kepada masyarakat, terserah mau manfaatkan fasilitas belajar tersebut atau
tidak, tidak ada ujian dan tidak perlu takut dapat nilai jelek. Kedua, hal-hal yang diajarkan adalah
pengetahuan dan ketrampilan praktis yang membawa manfaat langsung bagi masyarakat, sehingga
mereka termotivasi untuk belajar.
Manfaat lain dari pendidikan luar sekolah ini adalah rakyat Jepang menjadi terbiasa belajar,
merasa belajar adalah kegiatan yang menyenangkan, dan merasa perlu terus belajar (semakin banyak
belajar, semakin sadar bahwa betapa banyak hal yang belum diketahui), tidak terbatas pada periode di
mana mereka duduk di bangku sekolah. Ketika sudah lulus dan sudah mulai bekerja, jika menemukan
hal-hal baru yang belum pernah diajarkan ketika sekolah / kuliah, mereka lebih siap untuk mengambil
inisiatif untuk mencari tahu, belajar sendiri.
Penekanan pendidikan luar sekolah pasca PD II
Tahun 1945, Jepang kalah perang melawan sekutu. Pemerintah Jepang dan para tokoh
masyarakat umumnya beranggapan bahwa penyebab kekalahan adalah kualitas SDM di Jepang lebih
buruk dibandingkan dengan kualitas SDM di pihak musuh (Amerika). Oleh karena itu, pemerintah
Jepang segera merevisi UU pendidikan. Pada tahun 1949, UU Pendidikan Luar Sekolah yang telah
direvisi, disahkan.
Menurut UU ini, pemerintah pusat wajib mengalokasikan anggaran kepada pemda guna
menyediakan fasilitas untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran di luar sekolah, termasuk kegiatan
olah raga dan kegiatan kesenian. Kegiatan olah raga bertujuan agar para remaja tumbuh sehat dan
berjiwa sportif, dan kegiatan kesenian bertujuan meningkatkan etika dan sopan santun pada remaja.
Anggaran yang dialokasikan tersebut oleh pemda digunakan untuk membangun dan
mengelola balai kota / balai desa (city hall / town hall yang dapat dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan oleh warga, tanpa bayaran), perpustakaan, museum;
menyelenggarakan pameran, acara diskusi, kursus, pelatihan kerja, kuliah umum, pertandingan olah
raga, pagelaran kesenian dan sebagainya. Pada setiap kantor pemda (pemprov., pemkot atau pemkab)
perlu dibentuk suku dinas pendidikan luar sekolah, yang bertugas membuat perencanaan program
pendidikan luar sekolah tersebut serta melatih & mempersiapkan petugas pelaksana pendidikan luar
sekolah.
Institusi di luar sekolah
Kereta api mulai menjadi sarana transportasi rakyat Jepang secara umum sejak tahun 1910an.
Pada tahun 1919, dibentuk Kementerian Perkereta-apian, yang salah satu tugasnya adalah
mensosialisasikan etiket-etiket dan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh pengguna jasa kereta
api.
Segera setelah kalah perang, pada tahun 1948, kementerian perhubungan Jepang membentuk
Asosiasi Etiket Transportasi (Transportation Ethics Association), dengan misi ‘meningkatkan
kesadaran penumpang sebagai pengguna sarana publik dan mensosialisasikan etiket dalam
menggunakan kendaraan umum’. Program kerja konkrit adalah bekerja sama dengan berbagai instansi
(termasuk perusahaan rokok) untuk membuat dan memasang papan iklan layanan masyarakat dan
poster kampanye tertib lalu lintas di stasiun, menyelenggarakan survei dan seminar serta menerbitkan
buletin yang berisi pentingnya etiket dalam berkendaraan umum, seperti mengantri dengan tertib
(tidak menyerobot), mengutamakan penumpang yang akan turun, memberi tempat duduk kepada
lansia dan sebagainya, menjaga kebersihan gerbong kereta dan area stasiun dengan membuang
sampah pada tempatnya, merokok hanya di tempat yang telah ditentukan, bertingkah laku sopan
terhadap sesama penumpang, berani menegur dan melaporkan hal-hal yang tidak wajar atau tindakan
kriminal, dan sebagainya.
Himbauan-himbauan yang disampaikan sesuai dengan kondisi setiap jaman. Untuk beberapa
tahun terakhir ini, tema kampanye utama adalah himbauan agar para penumpang tidak menggunakan
smartphone sambil berjalan di peron, karena ada kemungkinan menabrak penumpang lain yang
berjalan dari arah yang berlawanan, atau jatuh dari peron.
Selain Asosiasi Etiket Transportasi, masih terdapat sejumlah organisasi serupa yang bertujuan
menghimbau, mengarahkan dan pada akhirnya mengubah karakter rakyat Jepang, dari egois, mau
menang sendiri dan tidak disiplin, menjadi karakter yang kita kenal (=terkenal di seluruh dunia)
sekarang.
Pada tahun 1960, asosiasi ini bersama-sama perusahaan kereta nasional (sekarang sudah
diswastakan) membentuk organisasi afiliasi, dengan nama Asosiasi Remaja Kereta Api (Railway
Children Association). Syarat keanggotaan adalah remaja berusia 10 s/d 18 tahun. Dalam organisasi
ini, mereka dilatih untuk disiplin dalam berkendaraan umum, dan diberi kesempatan untuk belajar
tentang cara kerja dalam operasional kereta api.
Kesimpulan
Contoh di Jepang menunjukkan, institusi di luar sekolah juga berperan penting bagi remaja
dalam pembelajaran untuk memperluas pengetahuan dan membangun karakter. SDM Jepang (dan
negara-negara Eropa serta Amerika) unggul, tidak lepas dari peran penting pendidikan luar sekolah.
Dalam perdebatan mengenai sekolah sehari penuh, kelompok yang pro berargumen bahwa
tidak aman jika anak dilepas tanpa kontrol guru dan orang tua. Memang, sekolah dan rumah adalah
zona aman dan nyaman. Tetapi bukankan suatu hari si anak pasti akan lulus dan terjun ke dalam
masyarakat? Bukankah mereka pasti harus keluar rumah untuk cari nafkah? Apa jadinya jika sampai
setelah lulus SMA atau lulus kuliah, baru pertama kali mereka menghadapi ‘tidak amannya’
masyarakat? Kemudian, jika kita menyadari bahwa banyak kejahatan di dalam masyarakat (di luar
institusi sekolah dan di luar rumah), bukankah seharusnya kita tidak membiarkannya, tetapi bersama-
sama berusaha meminimalisir kejahatan tersebut, sehingga generasi muda nantinya bisa hidup dalam
masyarakat yang lebih beradab?

Anda mungkin juga menyukai