Anda di halaman 1dari 24

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/338213475

Paper Fix Perjanjian Internasional

Conference Paper · December 2019

CITATIONS READS

0 598

1 author:

Febri Noor'Aini
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Analisis Terhadap Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak View project

All content following this page was uploaded by Febri Noor'Aini on 28 December 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ANALISIS TERHADAP KONVENSI ASEAN MENENTANG PERDAGANGAN

ORANG KHUSUSNYA PEREMPUAN DAN ANAK-ANAK

(ASEAN CONVENTION AGAINST TRAFFICKING IN PERSONS,

ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN)

Nama Anggota:

Alvin Rakaditya (20160610150)

Daffa Maulana Azhar (20170610136)

Febri Noor’Aini (20170610228)

Putri Dhefa Syafira (20170610328)

Dalam suatu perjanjian terdapat klasifikasi perjanjian yang dapat dibedakan

berdasarkan jumlah pesertanya yaitu ada perjanjian bilateral, trilateral, multilateral,

regional, dan universal. Menurut kaedah hukum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua

yaitu treaty contract dan law making treaty. Treaty contract biasa kita temukan dalam

suatu perjanjian bilateral, trilateral, regional atau perjanjian-perjanjian yang sifatnya

tertutup, tidak memberi kesempatan kepada pihak yang tidak ikut perundingan untuk

menjadi peserta perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan law making treaty adalah

perjanjian yang menciptakan kaedah atau prinsip-prinsip hukum yang tidak hanya

mengikat pada peserta perjanjian saja tapi juga dapat mengikat pada pihak ketiga.

Sedangkan menurut Sudarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara

melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan


Yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan

apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan, dan

usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan

situasi pada suatu waktu.1

Selain itu didalam jurnal yang ditulis oleh Yordan Gunawan dan Resta Wilianti

menyebutkan bahwa :

“In terms of human rights protection, since year 2000 Indonesia has enacted Law No.

26 of 2000 on Human Rights Court. However, it has not sufficiently upheld human

rights enforcement. The National Action Plan for Human Rights of Indonesia in 2004-

2009 stated that the government expects to ratify the Rome Statute in 2008. Truthfully,

the target has not been realized, thus in 2009-2014 the government pursues to ratify the

Rome Statute in 2013.”2

Jadi dijelaskan bahwasannya indonesia sendiri sejak tahun 2000 sudah memiliki hukum

mengenai Hak Asasi Manusia tetapi belum cukup untuk menegakan HAM maka dari itu

Indonesia saat itu ingin meratifikasi Statuta Roma . Lalu menurut kelompok kami

meratifikasi statuta roma belum lah cukup untuk menjadi salah satu penegak Hak Asasi

Manusia tetapi harus ada tindakan nyata dari negara-negara regional maka indonesia

ikut dalam ASEAN CONVENTION AGAINST TRAFFICKING IN PERSONS,

ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN karena kejahatan perdagangan orang

termasuk dalam kejahatan kemanusiaan.

1
Sudarto. Politik Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,1996), hlm.5-6.
2
Y Gunawan, R Wilanti, 2015, The Urgency of Rome Statute of the International Criminal Court
Ratification for Republic of Indonesia, US-China L. Rev. 22 (2015). Diakses juga pada laman
https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/uschinalrw12&div=4&id=&page= pada
tanggal 25 Desember 2019 pukul 15.30 WIB
Dalam konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Khususnya

Perempuan dan Anak-anak menurut kelompok kami dalam perjanjian ini menggunakan

klasfikasi perjanjian treaty contract mengapa demikian dikarenakan dalam perjanjian

tersebut negara yang menjadi peserta adalah negara yang tergabung dalam ASEAN

(Indonesia, Kamboja, Malaysia, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam, Fillipina,

Singapura, Thailand, dan Vietnam) dan ini kategorikan perjanjian regional hanya

khusus bagi negara anggota ASEAN saja.

Seeperti kita ketahui bahawa tindakan perdagangan orang merupakan suatu

tindak pidana hal ini dikarenakan suatu tindakan yang menimbulkan korban,

bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM dan merupakan suatu ancaman

yang cukup serius bagi masyarakat, bangsa dan negara. Masalah kejahatan perdagangan

orang (trafficking inpersons), merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan abad ini.

Dengan demikian perdagangan orang termasuk juga pelanggaran terhadap hak asasi

manusia. Manusia yang harkat dan martabatnya sama di hadapan Tuhan Yang Maha

Esa, maka sesama manusia siapapun dia tidak diperkenankan memperlakukan sesama

manusia seperti benda atau barang dengan memperjualbelikannya untuk tujuan apapun 3

Konvensi ini membantu ASEAN untuk berkomitmen dan menyatukan tujuan

dalam memberantas perdagangan orang dengan demikian maka negara-negara yang

tergabung dalam ASEAN akan saling membantu dalam melaksanakan pemberantasan

perdagangan orang khususnya perempuan dan anak anak.

3
Rahel Octora. Penerapan Asas Nasionalitas Pasif dan Pemidanaan Pembantu Tindak Pidana
Perdagangan Orang Dalam RKUHP, (Jurnal Kertha Patrika, Vol. 40, No. 3, Desember 2018), Hlm.159.
ANALISIS

BAB I

BAB I umumnya berisi tentang ketentuan-ketentuan umum yang terdiri dari 4 (empat)

pasal , sebagai berikut:

a. Pasal 1 berisi tujuan ASEAN dalam hal mengenai bentuk pencegahan,

pemberantasan, dan perlindungan terhadap perdagangan orang khususnya

perempuan dan anak.

Seperti kita ketahui perdagangan manusia (human trafficking) adalah suatu

kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak seseorang untuk berkehidupan

secara bebas. Selain dalam konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang

Khususnya Perempuan dan Anak-anak, sebenarnya ada instrument hukum

internasional yang mengatur human trafficking antara lain adalah United Nations

Convention Against Transnasional Organized Crime dan Protocol To Prevent,

Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children di

Palermo (Italia) disebut dengan protokol palermo 2000.

Setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi ASEAN Menentang

Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak-anak maka negara tesebut

harus menjalankan segala pasal yang sudah tertulis pada konvensi ini baik dari

segi pencegahan, perlindungan, maupun perlindungannya. Setiap negara dapat

saling membantu untuk tercapainya tujuan tersebut.

b. Pasal 2, berisi penggunaan istilah yang dipakai dalam konvensi ASEAN

Menentang Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak-anak seperti

istilah Perdagangan orang, Anak, Korban, dan kelompok pelaku tindak pidana
terorganisasi, Tindak pidana serius, Tindak pidana transnasional, Pejabat publik,

kekayaan, Hasil tindak pidana, pembekuan, perampasan, dan Tindak pidana asal.

Penggunaan istilah ini berfungsi untuk acuan setiap negara agar setiap negara

tidak menginterpretasikan istilah yang berbeda-beda.

c. Pasal 3, berisi penegasan terhadap ruang lingkup keberlakuan seperti halnya

Pencegahan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana. Selain itu juga dalam

ruang lingkup ini berlaku untuk tindak pidananya bersifat transnasional,

termasuk kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi , perlindungan dan

bantuan kepada korban perdagangan orang.

Dalam hal ini indonesia selaku negara memiliki kewajiban melindungi

(Obligation to Protect) Hak Asasi Manusia juga mempunyai kewajiban

memastikan tidak terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh individu

dan/atau korporasi.4

d. Pasal 4 : berisi penegasan bahwa setiap negara-negara pihak wajib

melaksanakan kewajibannya pada konvensi ini sesuai dengan menggunakan

prinsip-prinsip kesetaraan kedaulatan dan integritas wilayah dan prinsip

nonintervensi.

Menurut bodin kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi (supreme power) atas

warga negara, kekuasaan tertinggi ini menjadi sumber hukum, tidak diikat oleh atau

dibatasi oleh hukum yang lain. 5 Prinsip non intervensi dalam Black’s Law

Dictionary, intervensi diartikan sebagai urut campurnya sebuah negara dalam urusan

dalam negeri negara lain atau dalam urursan dengan negara lain secara diktator
4
Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia : Perspektif Internasional, Regional, dan Nasional, (Depok:
Rajawali Pers, 2018), hlm. 70.
5
Ibid, hlm.29.
dengan menggunakan ancaman kekuatan. Kewajiban untuk tidak melakukan

intervensi atau ikut campur urusan negara lain merupakan salah satu kewajiban

dasar yang sangat penting dalam hukum internasional.6

Dengan demikian dalam melaksanakan kewajibannya negara negara yang

tergabung dalam konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Khususnya

Perempuan dan Anak-anak tidak boleh menganggu kedaulatan dan ikut campur

urusan dalam negeri negara lain.

BAB II

KRIMINALISASI

a. Pasal 5, dalam pasal ini Negara yang ikut terlibat dalam konvensi ASEAN

Menentang Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak-anak wajib

untuk mengadopsi legislasi atau tindakan lainnya yang diperlukan dalam

kriminalisasi perdagangan orang.

Di Indonesia sendiri tindak pidana perdagangan manusia diatur dalam

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang. Indonesia juga mempunyai peraturan perundang-undangan

yang dapat digunakan untuk mencegah maupun menindak kejahatan perdagangan

manusia antara lain. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 7

6
Ibid., hlm.52.
7
Deypend Tommy Sibuea, Pemberantasan Perdagangan Orang Melalui Instrumen Hukum Nasional dan
Internasional di Indonesia, (Jurnal Cendekia Hukum : Vol.3 No.2 Maret 2018), Hlm.239.
b. Pasal 6, berisi tentang orang yang termasuk dalam kriminalisasi tindak pidana

terorganisasi.

Segala bentuk kejahatan adalah hal yang tidak mempunyai perikemanusiaan.

Baik kejahatan itu masih dalam tahap percobaan atau sudah dilakukan, tetaplah

sudah dianggap sebagai bentuk tindak kejahatan. Semua pelaku kejahatan

haruslah diberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Adapun orang

yang dianggap sebagai pelaku tindak kejahatan terorganisasi yaitu mereka yang

mengatur, mengerahkan, membantu, bersekongkol, dan/atau membimbing

terjadinya suatu tindak kejahatan. Untuk perdagangan manusia sendiri

melibatkan proses yang melibatkan 3 (tiga) fase: rekruitmen, pengangkutan, dan

eksploitasi. Dalam setiap fase yang terjadi sudah biasa adanya penculikan,

ancaman kekerasan, penyerangan, pemerkosaan, dan sebagainya yang terjadi

pada korban.8

c. Pasal 7, berisi tentang kriminalisasi tentang tindak pidana pencucian uang.

Ada definisi umum yang dapat mendefinisikan tentang upaya pengubahan atau

penyembunuiaan uang hasil dari kejahatan, pada zaman sekarang ini upaya itu

disebut dengan tindak pencucian uang. Pengertian itu memiliki arti pengubahan

“uang kotor” menjadi “uang bersih” atau tindakan penyembunyian asal-usul

hasil kejahatan. 9 Sebagai suatu bentuk kejahatan, ternyata ada pihak tertentu

yang turut menikmati keuntungan dari tindak pidana pencucian uang tersebut

tanpa memperhatikan apa saja dampak yang ia sebabkan. 10

8
Mangai Natarajan, Kejahatan dan Pengadilan Internasional, (Bandung: Nusa Media, 2015), hlm. 121.
9
Ibid, hlm. 172-173.
10
Ramelan, Annotated Money Laundering: Case Reports, (Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima & ELSDA
Institue, 2008), hlm. 23.
Kejahatan tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan proses, yaitu:

1. Penempatan: Mengubah uang ke bank atau berbentuk cek.

2. Pelapisan: Transaksi yang mengaburka asal-usul uang.

3. Integrasi: Pembelian aset legal untuk dapat menikmati hasil kejahatan.

d. Pasal 8, berisi tentang kriminalisasi dalam tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi memilik pengertian yaitu sebuah perilaku yang tidak

sesuai dengan tugas yang seharusnya ia kerjakan sebagai seseorang yang

mengemban jabatan Negara disebabkan karena ingin mendapatkan keuntungan


11
dan/atau melanggar peraturan yang bersifat pribadi. Tindak pidana korupsi

dapat berupa penyuapan, pencurian, penggelapan, dan penipuan.

e. Pasal 9, berisi tentang gangguan dalam proses peradilan yang dianggap sebagai

tindak kriminalisasi.

Yang termasuk dalam tindakan kriminalisasi di dalam pasal ini yaitu tindakan

kekerasan fisik, ancaman, intimidasi agar korban melakukan kesaksian palsu

yang berhubungan dalam tindak pidana dalam pelaksaan tugas peradilan atau

penegakan hukum. Segala tindakan itu haruslah diberikan hukuman yang

setimpal karena merugikan pihak lain.

f. Pasal 10, berisi tentang hak untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana

yang berkaitan dengan perdagagan orang bagi negara yang sudah meratifikasi

konvensi ini.

11
Hermoyo, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 31.
Tindakan-tindakan yang dimaksud adalah termasuk dalam tindak pidana

terorganisasi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi, dan tindak

pidana gangguan proses peradilan. Penerapan hak-hak itu dapat dilakukan di

wilayah negara yang bersangkutan, kapal bendera negara, atau pesawat terbang

yang terdaftar saat tindak pidana tersebut dilakukan. Negara yang bersangkutan

dapat diberlakukan kepada warga negara nya sendiri, atau untuk jika pelaku

yang tidak memiliki warga negara diberlakukan berdasarkan peraturan di negara

mana saat ia melakukan tindak pidana tesebut. Untuk permasalahan tentang

ekstradisi, perlu penetapan ekstradisi atas tindak pidana pelaku yang dilakukan

di wilayahnya dan jika ia termasuk warga negara di negara tersebut, ia tidak

dapat di ekstradisi. Penerapan konvensi ini juga tidak mengesampingkan norma

yang berlaku pada negara masing-masing.

BAB III

PENCEGAHAN

a. Pasal 11, berisi tentang kewajiban negara yang meratifikasi konvensi ini

untuk melakukan pencegahan perdagangan orang tertutama pada perempuan

dan anak.

Pada dasarnya, penghentian perdagangan orang memilik empat syarat yaitu

pencegahan, penghukuman, perlindungan, dan kerja sama antara beberapa

pihak. 12 Di dalam pasal ini dijelaskan bahwa negara-negara yang terkait

dalam konvensi ini diberikan kewajiban untuk melakukan pencegahan

12
Ibid, hlm. 123.
perdagangan orang. . Setiap negara juga diberi kewajiban untuk melakukan

kampanye bagaimana cara untuk mencegah tindak pidana ini.

b. Pasal 12, berisi tentang pentingnya kerja sama yang terjalin antar setiap

negara untuk melawan perdagangan orang.

Dengan terjalinnya kerja sama di antara pihak-pihak yang terkait akan

meminimalisir terjadinya tindak pidana perdagangan orang, hal ini

dikarenakan oleh salah satu faktor yaitu berkurangnya permintaan yang

memicu tindakan eksploitasi orang. Kerja sama ini bisa dalam bentuk kerja

sama bilateral, multilateral, atau regional. Serta semua kasus tindak pidana

perdagangan orang diharapkan dapat diproses secara hukum dan pelakunya

diberi hukuman yang seberat-beratnya.13

c. Pasal 13, berisi tentang kewajiban untuk bekerjasama lintas batas,

pengawasan, dan keabsahan dokumen.

Setiap negara yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk

melaksanakan kerja sama lintas batas dengan tujuan untuk mencegah dan

mendeteksi terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Hal ini dapat

dilakukan dengan cara memelihara komunikasi secara baik dengan negara-

negara lain. Kerja sama ini haruslah disertai dengan melakukan pengawasan

terhadap batas-batas dengan efektif dan mengawasi dokumen yang

diterbitkan dengan baik sehingga tidak terjadi pemalsuan, peniruan, atau

penyalahgunaan dokumen.

13
Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, (Jakarta: ICMC, 2003), hlm. 19.
BAB IV

PERLINDUNGAN

a. Pasal 14, berisi tentang pentingnya memberikan perlindungan terhadap

korban perdagangan orang.

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain

manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan

perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi

maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan,

ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.14

Di dalam pasal ini dijelaskan bahwa negara-negara yang bersangkutan

haruslah memberikan prosedur untuk mengidentifikasi korban

perdagangan orang, tidak ada ekstradisi untuk tindak pidana perdagangan

orang kecuali jika korban yang meminta, negara diberi kewajiban untuk

menerima korbang perdagangan orang, negara mempunyai kewajiban

untuk menjaga fisik korban, dan dalam situasi tertentu negara wajib

menyimpan dengan baik identitas korban, negara tidak boleh menahan

korban, negara harus memberikan pengetahuan apa saja hak-hak korban

dan apa saja perlindungan yang ia dapat, negara harus memberikan

fasilitas yang layak untuk korban, negara harus memberikan bantuan

yang maksimal untuk korban, negara juga harus membantu kekurangan

dana penanganan untuk korban. Dalam melaksanakan semua kewajiban

14
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan,( Bandung: Refika
Aditama, 2012), hlm. 82.
negara terhadap korban tersebut, negara harus memperhatikan umur,

jenis kelamin, kebutuhan khusu, dan hukum domestiknya.

Di indonesia terdapat upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin

perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana

perdagangan orang tercermin dalam 3 tahap yaitu pada saat terjadinya

tindak pidana perdagangan orang, tahap persidangan pelaku tindak

pidana perdagangan orang dan tahap setelah putusan pengadilan atas

pelaku tindak pidana perdagangan orang yang disimpulkan dari

ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-undang Nomor 35

Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak.15

b. Pasal 15, Berbicara mengenai suatu kejahatan maka tidak terlepas dari

korban, dimana korban merupakan pihak yang paling menderita suatu

kerugian akibat terjadinya kejahatan. Konsep keadilan yang sekarang

berkembang lebih mengacu kepada keadilan restoratif lebih

mengutamakan pemulihan terhadap kondisi korban, yang sesuai dengan

perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern.16

15
Nelsa Fadila, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korba Tindak Pidana Perdagangan
Orang, (Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 5 No. 2 Juli 2016), Hlm.193.
16
Sri Rahayu, Efektivitas Gugus Tugas Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang Terutama
Perempuan dan Anak Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat.(Jurnal Hukum, Vol.1 No.2 januari
2017) diakses pada 22 desemer 2019 jam 11.42 WIB, hlm. 1
BAB V

PENEGAKAN HUKUM

a. Pasal 16, Dalam bagian ini diatur bahwa negara berkewajiban untuk

membentuk otoritas penanganan kasus perdagangan manusia dari

orang yang kompeten, mengambil tindakan efektif menangani

kejahatan kerah putih (white collar crime) yang dapat berkontribusi

pada perdagangan manusia, berkewajiban untuk memastikan efisiensi

hukum domestiknya dalam hal perdagangan manusia, jika diperlukan

negara dapat membentuk badan koordinasi untuk penanganan

kejahatan yang terorganisir, yang konsisten dalam penegakan hukum

melalui hukum domestiknya, memberikan pelatihan bagi para pejabat

dalam pencegahan dan Pemberantasan perdagangan manusia, wajib

untuk mengambil tindakan untuk melindungi korban dan saksi,

mengatur waktu berakhirnya penuntutan, dan dalam mekanisme

penegakan hukum dan penuntutan untuk tunduk pada hukum

domestik negara pihak.

b. Pasal 17, Dalam bagian ini diatur bahwa jika hukum dalam negeri

negara memungkinkan untuk melakukan penyitaan, negara dapat

melakukan perampasan kepemilikan dari hasil tindak pidana yang

terkandung dalam Konvensi ini dan kekayaan, perangkat, atau

peralatan yang digunakan untuk mendukung tindak pidana yang

ditetapkan dalam Konvensi ini dan negara dalam melakukan


perampasan dapat melakukan identifikasi, pelacakan, pembekuan,

dan penyitaan barang.

BAB VI

Kerja Sama Internasional

a. Pasal 18, Dalam rangka pemberantasan kejahatan transnasional atau

lintas-perbatasan, maka negara yang menyetujui perjanjian ini harus

memberikan bantuan hukum sesuai dengan hukum yang berlaku di

negara tersebut dalam bentuk penyelidikan atau penuntutan yang

berkaitan dengan tindak pidana dimaksud dalam Pasal 5 dari

Konvensi ini.

b. Pasal 19, Dalam rangka jenis kejahatan bisa dikategorikan sebagai

kejahatan yang di ekstradisikan, negara harus membuat perjanjian

ekstradisi dengan negara lain yang saling menyetujui jenis

kejahatannya. Tunduk pada ketentuan hukum domestik dan

perjanjian ekstradisinya, pihak negara dapat menaahan orang yang di

carii dan tinggal di dalam wilayahnya atau mengambil tindakan lain

yang sesuai untuk memastikan kehadirannya dalam proses ekstradisi.

Pada era globalisasi ini, tak dapat dipungkiri dengan majunya sistem

teknologi dan informasi menjadikan para oknum kejahatan

mengambil kesempatan untuk melarikan diri ke negara lain guna

menghindari hukuman sekaligus mencari suaka 17 . Berbagai jenis

17
Indroharto, Kapita Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji, S.H, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1995, hlm. 181
kejahatan yang dilakukan juga beragam seperti pembunuhan,

penipuan, pemerkosaan, perbudakan, perdagangan manusia,

narkotika, hingga korupsi dan masih banyak lagi.18

c. Pasal 20, Negara Pihak harus bekerja sama satu sama lain sesuai

dengan sistem hukum dan administrasi domestik, untuk

meningkatkan efektivitas penegakan hukum dalam rangka

memberantas kejahatan yang tercakup dalam Konvensi ini, negara

pihak dapat mengambil tindakan sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan dan memanfaatkan saluran komunikasi

yang memiliki otoritas yang kompeten, dalam rangka

memfasilitasi pertukaran informasi yang aman dan cepat terkait

untuk mengeluarkan aspek tindak pidana.

2. Bekerjasama dengan pihak negara lain melakukan penyelidikan

terkait dengan tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi ini.

3. Menyediakan, jika memungkinkan, bahan yang diperlukan untuk

tujuan analisis atau Penyelidikan.

4.Memfasilitasi koordinasi yang efektif antara otoritas yang

kompeten, instansi, dan negara pihak dan untuk mendorong

pertukaran personil dan ahli lainnya. Bertukar informasi dengan

pihak negara lain dengan cara-cara-dan metode khusus yang

digunakan oleh pelaku perdagangan manusia.

18
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi
5. Bertukar informasi dan berkoordinasi secara administratif dan

tindakan lain yang diambil untuk tujuan identifikasi dini dari

tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi ini.

Upaya Perlindungan terhadap korban traficking dan

eksploitasi anak merupakan hal yang kompleks karena beirisan

dengan berbagai aspek kehidupan, maka diperlukan kesadaran

dan peran serta seluruh masyarakat, penyelenggara negara dan

aparat penegak hukum.Selama ini masalah trafficking dan

eksploitasi anak hanya berfokus pada masalah yang sudah terjadi

dan penyelesaian terhadap penanganan kasus. Sementara upaya

pencegahan dan pemenuhan terhadap hak anak kurang menjadi

perhatian. KUHP yang berlaku saat ini tidak atau kurang

memberi perhatian pada korban. Tidak ada pidana ganti rugi

dalam KUHP, baik sebagai pidana pokok maupun sebagai pidana

tambahan19

d. Pasal 21, Pihak negara lainnya berhak untuk mengajukan

permintaan kepada pihak negara yang telah bersama-sama membuat

perjanjian ekstradisi untuk merebut hasil dari tindak pidana,

kekayaan, perangkat atau peralatan lainnya sebagaimana diatur dalam

Pasal 17 ayat 1, yang berada di wilayahnya, Mungkin dalam sistem

hukum domestik. Persyaratan untuk mengajukan permohonan

tersebut harus:

1. mengirimkan permintaan ke otoritas yang kompeten

19
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya,
Bandung, 2001, hlm 56-57
2. mengajukan surat kehilangan yang dikeluarkan oleh

pengadilan di wilayah pemohon dari negara pihak ke otoritas

yang berkompeten.

Jika pihak negara telah memperoleh surat permintaan,

maka ditindaklanjuti untuk mengidentifikasi, atau menyita

hasil dari tindak pidana dan kekayaan lainnya sebagaimana

tercantum dalam Pasal 17 ayat 1 Konvensi ini. Keputusan

yang akan diberlakukan oleh negara Pihak harus sesuai dan

sesuai dengan ketentuan hukum Domextik yang mengikat.

e. Pasal 22, Hasil dari tindak pidana atau kekayaan yang disita oleh

negara pihak berdasarkan Pasal 17 atau Pasal 21 ayat 1 Konvensi ini,

wajib disampaikan oleh pihak negara sesuai dengan prosedur hukum

domestiknya.

BAB VII

Ketentuan Penutup

a. Pasal 23, Negara Pihak harus mempertimbangkan pembentukan

struktur koordinasi dalam memerangi perdagangan manusia,

termasuk meningkatkan kerjasama dalam semua bidang Konvensi

ini.

b. Pasal 24, Pertemuan petinggi senior ASEAN Tentang Kejahatan

Transnasional (SOMTC) bertanggung jawab untuk mengawasi dan

melaporkan secara berkala di pertemuan tingkat Menteri ASEAN

tentang kejahatan transnasional (AMMTC).


c. Pasal 25, Negara Pihak harus menjaga kerahasiaan dan dokumen

rahasia, catatan dan informasi lainnya yang diterima oleh pihak

negara lain, termasuk sumbernya. Setiap dokumen, catatan atau

informasi lainnya tidak akan diungkapkan atau dibagi ke negara lain,

atau siapapun kecuali dengan persetujuan tertulis dari negara Pihak

yang memberikan dokumen.

d. Pasal 26, Konvensi ini tidak dapat mengesampingkan kewajiban

yang ada antara Negara-negara pihak terkait dengan perjanjian

internasional lainnya. Yang disini dapat di artikan bahwa setelah

konvensi ini di terapkan maka tidak boleh mengganggui jalannya

perjanjian internasional lainnya.

e. Pasal 27, Pada pasal ini dikatakan bahwa jika terjadi beberapa

perselisihan antar Negara-negara pihak akibat dari interpretasi atau

plaksanaan ketentuan dari bkonvensi ini maka wajib diselesaikan

dengan cara damai melalui konstitusi dan negosiasi antara Negara-

negara pihak yang terkait dengan perselisihan melalui diplomatik

atau dapat melalui penyelesaian perselisihan secara damai

sebagaimana yang sudah disepakati oleh Negara-negara pihak. Pada

awal perkembangan hukum internasional prinsip persamaan

kedaulatan negara yang kemudian ditindaklanjuti dengan prinsip

persamaan kedudulan sering diartikan semua negara harus

diperlakukan sama, mendapat hak dan kewajiban yan g sama, tidak

boleh ada diskriminasi. Penafsiran ini dapat ditemukan antara lain

dalam konsep eksploitasi ruang angkasa , semua negara dinyatakan


memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengeksploitasi ruang

angkasa selama untuk tujuan damai.20

f. Pasal 28, Pada konvensi ini disebutkan dalam pasal 28 bahwa

konvensi ini diratifikasi atau disetujui sesuai dengan prosedur

internal masing-masing Negara-negara pihak lalu instrument

ratifikasi atau persetujuan konvensi ini disampaikan untuk disimpan

oleh Sekertaris Jendral ASEAN yang akan segara disampaikan

kepada Negara-negara pihak lain.

g. Pasal 29, Dalam konvensi ini wajib berlaku 30 hari setelah tanggal

dari penyimpanan keenam (6) instrument ratifikasi kepada Sekertaris

Jendral ASEAN bagi Negara-negara pihak tersebut yang telah

menyampaikan unstrumen ratifikasi atau persetujuan. Konvensi ini

dapat di amandemen kapan saja melalui persetujuan secara tertulis

oleh negara-negara pihak, dan amandemen mulai berlaku pada

tanggal yang telah disepakati oleh Negara-negara pihak.

h. Pasal 30, Negara-negara pihak ini dapat menarik diri dari konvensi

ini kapan saja setelah berlakunya konvensi ini terhadap Negara-

negara pihak tersebut.m penarikan diri dapat berlaku 180 hari setelah

diterima oleh Sekertaris Jendral ASEAN dan instrumen penarikan

diri dapat diajukan melalui Sekertaris Jendral ASEAN.

i. Pasal 31, konvensi ini dapat didaftarkan kepada Sekertaris Jendral

ASEAN kepada Sekertaris Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai

dengan pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

20
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT. Grafindo apaersada, Depok, 2018, hlm 115
EFEK

Dengan berlakunya konvensi ini disetiap Negara-negara pihak (negara-negara

yang sudah melakukan ratifikasi terhadap konvensi ini) diwajibkan untuk memiliki

beberapa prosedur untuk menanggulangani kasus pidana perdagangan orang terutama

terhadap perempuan dan anak-anak. Negara-negara yang sudah meratifikasi konvensi

ini diharapkan bisa lebih berkompeten menangani dalam kasus perdaganga orang.

Adanya konvensi ini diharapkan mampu menjadi perlindungan hukum yang

mampu untuk melindungi setiap orang terutama perempuan dan anak-anak dari tindakan

perdagangan orang. Efek lainnya dari adanya konvensi ini mampu meningkatkan

kerjasama yang baik antar Negara-negara pihak yang meratifikasi konvensi ini dan antar

negara ASEAN dalam menanggulangani. Efek lainnya juga dapat untuk bisa

memberantas kasus kejahatan perdagangan orang, untuk melindungi siapapun orangnya

berhak memiliki Hak Asasi Manusia artiya disamping keabsahannya terjaga dalam

eksistensi kemaqnusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh

untuk dimengerti, dipahami dan bertanggung jawab untuk memeliharanya. 21

TINDAK LANJUT

Terkait dengan konvensi ini pemerintah Indonesia telah meratifikasi dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pengesahan ASEAN

Convention Against Trafficking in Person, Especially Women and Children (Konvensi

ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak)

bertujuan untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat di

21
Muhtaj, EL Majda, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dari UUD1945 Sampai Dengan
Perubahan UUD 1945 TAHUN 2002, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007.
Indonesia dari kejahatan perdagangan orang dan sebagai upaya dari Pemerintah

Republik Indonesia untuk menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan ketenangan

dan melaksanakan kerja sama internasional untuk mencegah sekaligus memberantas

tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak.

DAFTAR PUSTAKA

Sudarto.1996. Politik Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Riyadi, Eko. 2018. Hukum Hak Asasi Manusia : Perspektif Internasional, Regional, dan

Nasional,. Depok: Rajawali Pers

Sefriani.. 2018. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Depok: PT. Grafindo Persada,

Muhtaj, EL Majda. 2007. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dari

UUD1945 Sampai Dengan Perubahan UUD 1945 TAHUN 2002. Jakarta: Kencana

Persada Media Grup

Indroharto, Kapita Selekta Hukum, Ghalia Indonesia, (Jakarta, 1995)

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, (Citra Aditya, Bandung, 2001)

Natarajan, Mangai. 2015. Kejahatan dan Pengadilan Internasional. Bandung: Nusa

Media

Ramelan. 2008. Annotated Money Laundering: Case Reports. Jakarta: Pustaka Juanda

Tigalima&ELSDA Institute

Rosenberg, Ruth. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta:

ICMC
Gultom, Maidin. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan.

Bandung: Refika Aditama

JURNAL

Tommy Sibuea, Deypend. Pemberantasan Perdagangan Orang Melalui Instrumen

Hukum Nasional dan Internasional di Indonesia, (Jurnal Cendekia Hukum : Vol.3 No.2

Maret 2018)

Rahayu, Sri. Efektivitas Gugus Tugas Dalam Pencegahan dan Pemberantasan

Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak Berdasarkan Peraturan Daerah

Provinsi Kalimantan Barat.(Jurnal Hukum, Vol.1 No.2 januari 2017)

Fadila, Nelsa. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak

Pidana Perdagangan orang (Junal Hukum dan Peradilan Volume 5 No.2 Juli 2016)

Octora, Rahel. Penerapan Asas Nasionalitas Pasif dan Pemidanaan Pembantu Tindak

Pidana Perdagangan Orang Dalam RKUHP, (Jurnal Kertha Patrika, Vol. 40, No. 3,

Desember 2018)

Y Gunawan, R Wilanti, 2015, The Urgency of Rome Statute of the International


Criminal Court Ratification for Republic of Indonesia, US-China L. Rev. 22 (2015).
Diakses juga pada laman
https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/uschinalrw12&div=4&i
d=&page= pada tanggal 25 Desember 2019 pukul 15.30 WIB
LEMBAR PENILAIAN SEJAWAT
NO. Mahasiswa Nama Presentase UK 1 UK 2 UK 3
Bekerja
20160610150 Alvin 80 YA YA YA
Rakaditya
20170610136 Daffa Maulana 95 YA YA YA
Azhar
20170610228 Febri 95 YA YA YA
Noor’Aini
20170610328 Putri Dhefa 80 YA YA YA
Syafira

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai