Anda di halaman 1dari 3

KONSEP BANK TANAH

Benarkah UU Cipta Kerja, Neoliberal?

By Babo EJB

Bank Tanah atau land banking di luar negeri bukanlah hal baru. Itu sudah diterapkan lama. Ide itu
berasal dari Belanda. Sebetulnya land banking/bank tanah merupakan bentuk penyempurnaan dan
perluasan pola manajemen pertanahan  yang dterapkan di beberapa Negara Eropa beberapa abad
yang lampau pada saat Negara-negara tersebut menyelenggarakan program land consolidation
khususnya di sektor pertanian seperti di Negara-negara  Inggris (1710 – 1853), Denmark (1720), 
Swedia (1749), Norwegia (tahun 1821) dan Jerman (1821). Land banking sebagai manajemen
pertanahan  biasa diterapkan  di banyak Negara untuk keperluan, konsolidasi tata ruang pertanahan,
mengendalikan gejolak harga tanah, mengefektifkan manajemen pertanahan,  mencegah terjadinya
pemanfaatan yang tidak optimal maupun pengembangan tata perkotaan yang baru.

Konsep Land Bangking dalam prakteknya ada tiga jenis, Satu, Exchange land banking. Dalam
prakteknya, mereka membeli tanah yang selanjutnya tanah tersebut akan dipertahankan untuk
sementara waktu sebelum tanah tersebut dilepaskan/dipertukarkan dengan pihak ketiga. Exchange
land banking banyak digunakan untuk sektor-sektor lingkungan hidup, pertamanan, sarana lalu lintas
dan sarana umum lainnya. 

Dua, Financial instrument; dengan cara pemerintah membeli tanah untuk kemudian disewakan
kepada para petani dengan periode yang lama (umumnya 26 tahun). Sebagai financial instrument
juga  banyak dimanfaatkan di sektor pertanian, misalnya seorang petani sedang mengalami kesulitan
keuangan sebagai modal kerjanya, maka dia dapat menjual asset dan tanahnya kepada land bank
dengan hak untuk membeli kembali setelah periode tertentu dan petani tersebut juga  dapat terus 
menggarap lahannya dengan menyewa kepada land bank. 

Ketiga, Land bank as developer. Pada umumnya dilakukan oleh sektor swasta dengan cara
melakukan pembelian tanah dalam jumlah besar dengan harapan di masa depan akan perubahan
fungsi atas lokasi tanah tersebut (spekulasi) seperti berubah menjadi daerah pemukiman, rekreasi,
kegiatan ekonomi sehingga akan meningkatkan nilai tanahnya.

Ide adanya Bank Tanah ini sudah lama ingin diterapkan di Indonesia. Namun selalu terkendala.
Mungkin mental feodal masih lekat pada bangsa ini, yang menganggap tanah sebagai sarana
investasi dan komoditas. Pernah ada RUU Pertanahan yang memungkinkan ada Bank Tanah. Namun
lucunya di demo oleh publik. Mereka anggap UU Pertanahan merugikan rakyat. Saya tidak tahu apa
dasar mereka sampai bersikap seperti itu. Padahal  Gini rasio pertanahan saat ini ( 2017) sudah 0,58.
Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah,
dan ruang. Mengacu data Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan
perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia. Data dari Publikasi Perkumpulan
Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyebutkan, 25 grup usaha besar menguasai 51
persen atau 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas tersebut hampir setara dengan luas
setengah Pulau Jawa. Dari luasan tersebut, baru 3,1 juta hektar yang sudah ditanami, sisanya belum
digarap
Ketika Jokowi berkuasa , dia menerima fakta yang ada itu. Dimana sebagian besar tanah berada di
tangan segelintir orang. Bukan lagi tuan tanah, melainkan pemilik bisnis (kapitalis) besar yang hidup
di sektor agrobisnis. Kedua, pemilikan tanah oleh petani, yang merupakan soko-guru dari produksi
pangan nasional, justru mengecil. Sebagian besar petani Indonesia adalah petani gurem dengan
pemilikan lahan rata-rata 0,3 hektar. Bahkan, ada 28 juta petani adalah petani tak bertanah. Kondisi
itu tentu saja tidak sesuai dengan semangat Pancasila dan cita-cita Konstitusi (pasal 33 UUD 1945).
Juga memunggungi visi pemerintahan Joko Widodo untuk mewujudkan keadilan agraria dan
kedaulatan pangan. Kalau ini tidak segera diatasi maka hanya masalah waktu akan terjadi chaos
sosial, dan bukan tidak mungkin Indonesia akan masuk abad kegelapan. Jadi sangat mengkawatirkan
situasi ketidak adilan lahan ini.

Setelah akhirnya RUU Pertanahan ditarik dari Proglegnas karena adanya penolakan yang massive
dari masyarakat. JOkowi tidak kehilangan akal. Pemerintah masukan pasal RUU Pertanahan itu ke
dalam RUU Cipta Kerja ( omnibus law) dalam satu cluster yang dibahas khusus oleh DPR bersama
Pemerintah. Kini UU Cipta Kerja sudah disahkan DPR, dan keberadaan Bank Tanah tertuang dalam 10
Pasal yakni, Pasal 125 hingga 135.

“ Babo, UU Cipta Kerja, memungkinkan HGU untuk jangka waktu 90 tahun. Itu jelas tidak adil. Karena
zaman kolonial saja engga begitu. Ini benar benar kita terjebak dalam konsep neoliberal. “ Tanya
nitizen.

“ Kalau kamu memahami substansi dari UU Cipta Kerja, kamu bisa berkesimpulan lain. “

“ Mengapa ? 

“ Mari saya jelaskan secara sederhana. Sebelumnya HGU diberikan kepada perusahaan yang
mengelola lahan untuk perkebunan, HTI dan Pertambangan. Status tanah itu walau HGU berjangka
waktu 30 tahun namun ia menjadi hak yang bisa digadaikan. Banyak pengusaha berusaha dapatkan
HGU lahan untuk dapaktan kredit bank. Setelah dapat kredit bank, kebanyakan tanah itu
dibengkalaikan begitu saja. Kalau bangkrut ya sita aja itu tanah. Negara tidak berdaya atas tanah
yang ditelantarkan itu. Karena stautusnya milik dari pemegang HGU.

Nah berdasarkan UU Cipta kerja, HGU bisa diberikan sampai 90 tahun. Tetapi itu hak kelola, bukan
milik atau hak gadai.  Mengapa ? karena status HGU diberikan kepada Bank Tanah. Bank Tanah ini
semacam Badan negara yang bertugas mengelola lahan. Bank Tanah bisa memberikan hak kelola
HGU kepada badan usaha swasta/BUMN/ instansi pemerintah. Tentu pemberian hak kelola  itu ada
perjanjan yang berkaitan dengan sewa tanah. Itu menjadi pendapatan bagi Bank Tanah. “

“ Apa yang terjadi dengan adanya Bank Tanah? 

“ Ya. Orang engga bisa lagi menumpuk asset berupa tanah tanpa dimanfaatkan. Perhatikan, misal,
setelah tanah kamu sewa atas dasar hak kelola atau hak pakai untuk kebun sawit atau tambang,
maka kamu harus manfaatkan tanah itu dalam bentuk investasi. Kalau engga, kamu rugi sendiri. Mau
digadaikan ke bank, mana ada bank terima tanah sewa atau hak pakai sebagai collateral. Nah kalau
tanah itu tidak kamu manfaatkan dalam kurun waktu tertentu, sesuai kontrak  tanah itu kembali ke
bank tanah.
Secara akuntasi, harta Bank Tanah itu akan menjadi aset negara. Tentu jumlah harta negara akan
bertambah berlipat. Kalau sekarang harta negara 14000 triliun rupiah, mungkin setelah ada bank
tanah sesuai UU Cipta Kerja, harta negara akan jadi 4 kali lipat. Itu akan memudahkan negara me-
leverage nya melalui SUKUK.

Bagaimana dengan status HGU yang sudah di tangan perusahaan?

“ Menurut saya itu tetap ada sampai batas waktu berakhir HGU. Setelah berakhir itu akan menjadi
asset dari Bank Tanah. Bagaimana teknisnya, nanti kita lihat PP yang mengatur soal Bank Tanah ini” 

“ Oh begitu. “

“ Ya. Kesimpulan dari UU Cipta kerja ini adalah, pertama, keadilan agraria lewat Reforma Agraria dan
redistribusi tanah kepada masyarakat Sehingga Rasio GINI lahan akan turun drastis. Kedua, hak
negara atas tanah sesuai dengan UUD 45 pasal 33. “

“ Lantas mengapa ada yang bilang UU Cipta Kerja ini kapitalis? Mengapa ada yang bilang tidak
berpihak kepada rakyat? 

“ Jelas sekali yang teriak itu adalah corong kapitalis rente atau makelar kodok yang terbiasa main
tanah kebun,  tambang dan kawasan perumahan untuk bobol bank dan meminggirkan rakyat
dengan membonsai UUD 45 pasal 33.

Anda mungkin juga menyukai