Anda di halaman 1dari 4

Wajah Instrumen Lingkungan Hidup Versi UU Cipta Kerja

Konten ini diproduksi oleh Mas Achmad Santosa

Tata Ruang, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan dan Pelibatan
Masyarakat adalah empat instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) dari 16
(enam belas) instrumen yang diatur dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Keempat instrumen ini telah dikembangkan dan diterapkan hampir di seluruh
dunia sejak Konferensi Stockholm 1972 tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang
menyepakati bahwa pengambilan keputusan dalam pembangunan ekonomi perlu
mempertimbangkan dengan kuat aspek lingkungan hidup dan keadilan sosial.

Sejak Konferensi Stockholm yang diperkuat dengan Konferensi Rio 1992, kesadaran para pemimpin
dan masyarakat dunia terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development) semakin
menguat. Konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (ecologically
sustainable development) secara politik dunia (global politics) juga telah diakui oleh ratusan negara
dalam konstitusi, legislasi nasional, dan putusan pengadilan di tingkat internasional dan nasional.
Tidak terkecuali Indonesia sebagai negara yang dikenal sangat aktif di kancah dunia ikut serta
mengembangkan kesepakatan-kesepakatan global seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi
Rio 1992.

Puncak legacy yang dibuat Indonesia post Stockholm dan Rio adalah pengakuan pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam UUD Negara RI 1945 (pasal 33 ayat 4). Secara lebih
konkret, konsep dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
diterjemahkan ke dalam paling tidak 16 (enam belas) instrumen perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup (PPLH). Keenam belas instrumen PPLH tersebut antara lain inventarisasi
lingkungan, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan
Hidup Strategis, Penataan Ruang, Amdal, Izin Lingkungan, Pengawasan Kepatuhan, Penegak Hukum,
dan peran serta/keterlibatan masyarakat.

Keempat instrumen tersebut inilah yang diatur dalam UU Cipta Kerja (UU CK), yang telah disahkan
oleh DPR dan Pemerintah dalam Sidang Paripurna DPR-RI tertanggal 5 Oktober 2020, yaitu: Tata
Ruang, Amdal, Izin lingkungan dan Pelibatan Masyarakat. Instrumen-instrumen tersebut yang diatur
secara komprehensif dalam UU 32 tahun 2009 tidak berdiri sendiri sendiri, tetapi berkaitan erat
antara satu instrumen dengan instrumen lainnya (interrelated).

Tata Ruang merupakan instrumen pencegahan terhadap gangguan ekosistem. Pasal 14 A ayat 1 UU
CK (hasil perubahan terhadap UU Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007), menyebutkan
pelaksanaan penyusunan tata ruang dilakukan dengan memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Ketentuan pasal tersebut
mengakui bahwa KLHS sangat terkait dengan tata ruang. UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU 32 tahun 2009) menegaskan bahwa penyusunan tata ruang wilayah harus
didasarkan pada KLHS. Di dalam UU CK, keterkaitan kedua instrumen ini dibuat lebih lunak, kata
‘didasarkan’ diganti dengan ‘memperhatikan’. Pasal 19 ayat 1 UU 32 tahun 2019 (tidak dicabut oleh
UU CK) menegaskan bahwa, “untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS.” UU CK
menghindari ketentuan "KLHS wajib dijadikan dasar bagi proses penyusunan rencana tata ruang".
Pemilihan kata ‘memperhatikan’ lebih lemah dibandingkan dengan menjadikan KLHS sebagai ‘dasar’.
Keterkaitan antara KLHS dengan Penataan Ruang merupakan hal penting karena keterkaitan kedua
hal ini merupakan bagian dari integritas keilmuan (integrity of science). Sedangkan pemilihan kata
‘memperhatikan’ dipahami untuk by passing proses dalam mengantisipasi apabila dalam suatu
wilayah belum ada KLHS. Di sini terlihat jelas kebutuhan investasi bisa mengorbankan integritas
keilmuan. By passing ini banyak ditemukan di berbagai pasal terutama untuk kebijakan nasional
yang bersifat strategis nasional dan kegiatan pemanfaatan ruang laut dan pesisir oleh pemerintah.

Amdal sebagai salah satu instrumen PPLH tetap diakui dalam UU CK (sebagaimana ditegaskan oleh
Presiden Jokowi dalam keterangan pers tertanggal 9 Oktober 2020). Tetapi pertanyaannya adalah
Amdal seperti apa yang diperkirakan akan dihasilkan dari UU CK?

Mengapa pertanyaan ini harus diajukan. Ada dua alasan. Pertama, proses penyusunan maupun
penilaian Amdal yang diatur UU 32 tahun 2009 diubah oleh UU CK. Perubahan meliputi subyek peran
serta masyarakat dalam penyusunan Amdal yang membatasi pada masyarakat yang terdampak
langsung saja. Dengan demikian, pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh atas
keputusan Amdal tidak lagi merupakan bagian dari subyek peran serta masyarakat dalam Amdal
sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat 3 UU 32 tahun 2009. Kedua, penilaian Amdal yang
dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal yang terdiri para pemangku kepentingan, termasuk ahli
independen, wakil masyarakat terdampak dan organisasi lingkungan hidup dihapus oleh UU CK.
Model joint decision making seperti ini sesungguhnya merupakan hal positif dalam negara
demokrasi sebagai upaya pencegahan dan resolusi konflik. Dukungan kelompok-kelompok kritis dan
independen diperlukan dalam proses penilaian Amdal. Pola ini di samping memberdayakan
masyarakat untuk menjadi mitra sejajar dalam pengambilan keputusan, sekaligus sebagai bagian
dari membangun konsensus dalam merumuskan solusi bersama yang mengemas pertimbangan
ekonomi, sosial dan lingkungan secara bersamaan. Sayangnya pola ini tidak diinginkan oleh
penggagas UU CK.

Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang manajemen lingkungan yang berkembang di dunia,


peran serta masyarakat yang riil (bukan peran serta yang bersifat proforma) dalam Amdal
merupakan sebuah keniscayaan. Pelibatan masyarakat penting sebagai masukan bagi pertimbangan
keadilan bagi masyarakat terdampak langsung maupun tidak langsung, dan dukungan masyarakat
terhadap kegiatan ekonomi yang telah dinilai kelayakan lingkungan dan sosial-nya.

Hal penting lainnya dalam mencermati Amdal ini, Amdal disusun dengan mendasarkan salah satunya
pada Rencana Tata Ruang (RTR). Apabila RTR tidak didasarkan pada KLHS (pengaturan dalam UU 32
tahun 2009 KLHS wajib menjadi dasar tata ruang, sedangkan UU CK hanya perlu diperhatikan saja)
maka beralasan kiranya integritas keilmuan dari rencana tata ruang diragukan. Tata ruang seperti ini
akan berpengaruh kepada penyusunan Amdal yang baik.

Dengan demikian, proses pelibatan masyarakat yang minimal dan tidak adanya kewajiban KLHS
sebagai dasar penyusunan tata ruang wilayah sebagaimana diinginkan UU CK dapat berpengaruh
terhadap kualitas Amdal yang dihasilkan.

Keterkaitan Amdal dan Izin Lingkungan


Izin lingkungan adalah salah satu instrumen penting PPLH. Mengapa penting? Paling tidak terdapat 3
alasan: (1) Amdal sebagai hasil studi/kajian tidak memiliki legal effect apabila tidak diintegrasikan
atau ditindak lanjuti dengan instrumen hukum administrasi yang disebut dengan izin lingkungan;

(2) Izin lingkungan itulah yang membuat output akhir Amdal dalam bentuk Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dapat diimplementasikan (to be
implemented) bahkan ditegakkan (to be enforced);

(3) Izin lingkungan sebagai keputusan tata usaha negara apabila terdapat kekeliruan dapat
dibatalkan melalui keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 38 UU 32 tahun 2009.

Izin lingkungan berdasarkan UU CK dihilangkan dan digantikan dengan persetujuan lingkungan yang
tentu saja berbeda efek hukumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa hasil
akhir Amdal dalam bentuk persetujuan lingkungan dan RKL serta RPL merupakan dokumen dan
persetujuan yang tidak memiliki legal effect (bahasa populer: menggantung). Lain halnya, apabila UU
CK mengatur bahwa: (a) output Amdal wajib diintegrasikan ke dalam perizinan berusaha; (b)
pengawasan kepatuhan dilakukan oleh Menteri teknis terkait (Menteri teknis memiliki perangkat
teknis yang disebut pengawas/inspektur); dan (c) Pejabat pemerintah yang menerbitkan izin usaha
wajib melaksanakan dan menindaklanjuti hasil pengawasan kepatuhan yang dilakukan oleh
kementerian teknis. Masalahnya, ketiga hal penting ini tidak diatur dalam UU CK.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas terkait dengan wajah baru Tata ruang dan Amdal, pelibatan
masyarakat dan penghapusan/peleburan Izin Lingkungan ke dalam perizinan berusaha, kualitas
environmental safeguard dalam UU CK sangat berbeda dengan kualitas instrumen PPLH
sebagaimana diatur dalam UU 32 tahun 2009. Pakem keilmuan pengelolaan lingkungan yang telah
berkembang lama diganti dengan pakem baru, yaitu kemudahan investasi yang tidak mempedulikan
implikasi jangka panjang dari hasil pergantian pasal-pasal di atas.

Penutup

Mengapa pereduksian hakikat dan fungsi instrumen PPLH dilakukan oleh Indonesia melalui UU CK di
tengah dunia sedang berpromosi tentang investasi yang ramah dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan dan masyarakat? Tidak ada di dunia manapun, instrumen perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup (environmental safeguard) dipersepsikan sebagai kendala investasi (investment
barriers). Saat ini dunia secara riil sedang menghadapi krisis lingkungan yang diakibatkan oleh
perubahan iklim, sehingga pemerintah dan pelaku usaha di negara-negara maju dan emerging
countries sedang menuju kepada pengembangan investasi yang lebih bertanggung jawab terhadap
daya dukung ekosistem untuk mempertahankan kualitas generasi saat ini dan generasi mendatang.

Apabila melihat 9 indikator East of doing Business (EODB), tidak ada satu pun indikator yang terkait
dengan hambatan environmental safeguard. Trend dunia membuktikan justru investor dari negara-
negara besar yang kini mulai meningkat kesadarannya tentang perlunya green investment tidak
tertarik berbisnis dengan kelonggaran environmental safeguards.

Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, birokrasi yang lamban, dan perilaku korupsi dalam
birokrasi membuat persyaratan lingkungan ini sering kali terhambat. Jadi, kuncinya: perbaiki
governance-nya, bukan menghilangkan instrumennya. Dalam konteks Indonesia, peningkatan
kualitas pelayanan publik, mengikis korupsi dalam politik, korupsi penegakan hukum serta korupsi
pelayanan publik lebih prioritas dilakukan oleh Indonesia dalam mendorong investasi yang berbasis
konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana dimandatkan oleh pasal 33 ayat 4 UUD 1945.

Dr. Mas Achmad Santosa., SH., LL.M (Pengajar Hukum Lingkungan FHUI)

Anda mungkin juga menyukai