Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TUGAS

MAHABBAH DALAM TASAWUF


Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang

Disusun Oleh :
Wahyu Wijiyanti
2004046016

Fakultas Usuludin Humaniora


Program Studi Tasawuf & Psikoterapi
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, taufik, serta
hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat saya selesaikan tepat pada waktunya. Sholawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita
menuju zaman kemenangan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman materi tentang tasawuf yang
sangat diperlukan dalam suatu harapan agar mahasiswa khususnya saya, dapat memahami dan
mengamalkan apa yang dinamakan mahabbah, dikarenakan mahabbah ini sangat penting dan erat
kaitannya dengan kondisi rohaniah kita.
Saya menyadari bahwa pembuatan makalah ini mempunyai banyak kekurangan. Maka
dari itu, saya mengharapkan Kritik dan Saran dari semua pihak untuk memperbaiki penelitian
ini, guna kesempurnaan penyusun diwaktu yang akan datang.

Semarang, 2 Oktober 2020


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cinta memiliki eksistensi yang tak diragukan lagi, dikarenakan demi cinta seseorang dapat
melupakan waktu, masalah dan hakikat hidup di dunia ini, seakan-akan tanpa ada penawarnya
cinta telah membuat semua orang buta karenanya.
Suatu cinta bukan hanya dimiliki oleh orang Kristen saja, tetapi agama Islam juga memiliki
cinta yang dicontohkan oleh nabi Muhammad saw. Dalam penyebarannya beliau membawa misi
sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai
salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran
cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi.
Mahabbah adalah suatu kecintaan sepenuh hati yang mendalam terhadap Tuhan, tahapan
menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi
diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang
menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati (ridho) hub (cinta) dan kerinduan (syauq).

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Tujuan dan Kedudukan Mahabbah.
2. Alat untuk mencapai mahabbah.
3. Tokoh yang mengembangkan Mahabbah.        
4. Mahabbah Dalam Al-Qur’an Dan Hadis.

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian, tujuan dan kedudukan mahabbah.
2. Untuk mengetahui alat untuk mencapai suatu mahabbah.
3. Untuk mengetahui siapa tokoh dalam mahabbah.
4. Untuk mengetahui mahabbah dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
PEMBAHASAN
A.  Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu,mahabatan,yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Selain itu al-
mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan.
dalam Mu’jam al-falsafi,Jamil Shabila mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-
baghd,  yakni cinta lawan dari benci. Al-mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang
sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada
sesuatu yang sedang berjalan , dengan Tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat
material maupun spiritual, seperti cinta seorang anak pada orang tuanya maupun sebaliknya,
seorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap pada tanah airnya, atau seorang pekerja kepada
pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-
sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran
Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau
aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan kepada Tuhan.
Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas, tampaknya ada juga yang cocok
dengan arti mahabbah yang di kehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan
yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawuf lebih lanjut dikemukakan al-Qusyairi:

َ‫صفُ ِبا َ َّن ُه ُيحِبُّ ْال َعبْد‬ َ ‫اَ ْل َم َح َّب ُة َحالَ ٌة َش ِر ْي َف ٌة َش ِه َد ْا‬
َ ‫لح َّق ُسب َْحا َن ُه ِب َهال ِْل َع ْب ِد َواَ ْخ َب َر َعنْ َم َح َّب ِت ِه ل ِْل َع ْب ِد َف ْال َح ُّق ُسب َْحا َن ُه ي ُْو‬
‫صفُ ِبا َ َّن ُه ُيحِبُّ ْال َح َّق ُسب َْحا َن ُه‬ َ ‫ي ُْو‬ ‫َو ْال َع ْب ُد‬

 “al-mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah
disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT., oleh hamba, selainjutnya yang dicintai itu juga
menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seseorang hamba mencintai Allah SWT”.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang dicintai-Nya itu selanjutnya dapat
mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk
pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah
adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan
al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin mendapatkan
sesuatu walaupun harus mengorbankan segalanya.
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang
dimaksud cinta ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian
yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
1.    Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.    Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.    Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-Sarraj, sebagai dikutip
Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan
mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang yang biasa mengambil bentuk selalu mengingat
Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangandalam
berdialog dengan Tuhan, senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah
cinta orang yang kenal pada tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya
dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan
dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog
dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat
orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh
dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang yang arif
adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan, Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul
pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-
sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan sesuatu proses mencintai, yakni
mulai dari mengenal sidat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dlanjutkan dengan
leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqi) dalam sifat
Tuhan. Dari ketiga tingkat ini tampaknya cinta yang tarakhirlah yang ingin dituju oleh
mahabbah.
Dari uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah sesuatu
keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan)
masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah
yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu uraian
di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental,
seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal pertalian dengan
maqam, karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi terdapat sebagai anugerah dan
rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi
bagi seorang sufi dalam perjalanan mendekati Tuhan.
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan al-mahabbah Adalah satu istilah yang
hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukannya maupun dalam
pengertiannya. kalau ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui
mata hati (al-qolb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta
(roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah SWT. rasa cinta itu tumbuh
karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sagat jelas dan mendalam, sehingga
yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-
Ghazali, mahabbah itu maninfestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.
Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan
mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut sebagai ma’rifah oleh al-Ghazali
itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua sebagai dikemukakan al-Sarraj di atas,
sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian
kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.
B.  Alat untuk mencapai mahabbah
Para ahli tasawuf menggunakan pendekatan psikologi untuk mencapai mahabbah, yaitu
pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution,
dalam bukunya falsafah dan mistis dalam islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh
ma’rifah oleh sufi disebut sir (‫س ّر‬ ).
ِ Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution
mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk
berhubungan dengan tuhan. Pertama, al-qolb (‫ )القلب‬hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui
sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh (‫ )الروح‬sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir (‫) ِس ّر‬, yaitu
alat untuk mencintai Tuhan. Sir lebih halus dari roh. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh
bertempat di qolb, dan roh lebih halus dari qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi
dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi
apa pun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh,
yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada
segala sesuatu, melaikan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada
manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian, alat
untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat
roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman: [5]
)٨٥( ‫وح قُ ِل الرُّ و ُح مِنْ أَم ِْر َربِّي َو َما أُوتِي ُت ْم م َِن ْالع ِْل ِم إِال َقلِيال‬ َ ‫َو َيسْ أَلُو َن‬
ِ ُّ‫ك َع ِن الر‬
dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".(QS Al-Isra’ [17]:
85).
ُ ‫َفإِ َذا َس َّو ْي ُت ُه َو َن َف ْخ‬
َ ‫ت فِي ِه مِنْ رُوحِي َف َقعُوا لَ ُه َسا ِجد‬
)٢٩( ‫ِين‬
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud[796]. (QS Al-Hijr [15]: 29).
Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan.
Selanjutnya di dalam Hadits pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh oleh
Tuhan, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan di dalam kandungan. Hadits tersebut
selanjutnya berbunyi:

َ ِ‫م ِّْث َل َذ ل َِك ُث َّم َي ُك ْو َن مُضْ َغ ًة م ِّْث َل َذل‬  ‫ ُث َّم َي ُك ْو َن َعلَ َق‬  ‫اس يُجْ َم ُع َخ ْلقُ ُه فِى َب ْط ِن ا ُ ِّم ِه اَرْ َب ِعي َْن َي ْومًا ُن ْط َف ًة‬
‫ك‬ َ ‫اِنَّ ال َّن‬
َ َ‫يُرْ َس ُل ِالَ ْي ِه ْال َمل‬ ‫ُث َّم‬
‫ك َف َي ْنفُ ُخ فِ ْي ِه الرُّ ْو ُح‬
"Sesungguhnya manusia dilakukan pencipataannya dalam kandungan ibunya, selama empat
puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi alaqoh (segumpal daging
yang menempel) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghoh
(segumpal daging yang telah berbentuk) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian
Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepada-Nya. (HR. Bukhari-Muslim).”
Dua ayat dan satu Hadits tersebut di atas selain menginformasikan bahwa manusia
dianugerahkan roh oleh tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak
tunduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi
untuk mencintai Tuhan.
C.  Tokoh yang mengembangkan Mahabbah
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan
ajaran mahabbah ini adalah Rabiah al Adawiah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapannya
yang menggambarkan bahwa ia menganut faham tersebut.
Rabiah al Adawiah adalah seorang zahid perempuan yang amad besar dari basrah Irak ia
hidup antara tahun 713-801 H. sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia dalam tahun
185 H/796 M. menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam
hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam
kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam
berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
Ia terkenal sebagai Ulama Shufi wanita yang mempunyai banyak murid dari kalangan
wanita pula. Rabi’ah menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan falsafah hubb (cinta) dan
syauq (rindu) kepada Allah. Salah satu pernyataannya yang melukiskan falsafah hubb dan syauq
yang mewarnai kehidupannya adalah :

َ ‫ما َ َع َب ْد ُت ُه َخ ْو ًفامِنْ َنا ِر ِه َواَل َط ْمعًافِىْ َج َّن ِت ِه َفا َ ُك ْو َن َكاأْل َ ِجي ِْرالس ُّْو ِء‬
‫=ع َب ْد ُت ُه ُح ًّبا لَ ُه َو َش ْو ًقا ِالَ ْي ِه‬

Artinya: Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya, dan tidak pula tamak
(untuk mendapatkan) syurga; (karena hal itu) akan menjadikan saya seperti pencuri imbalan yang
berakhlaq buruk. (Ketahuilah), bahwa saya menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.

Di antara ucapannya yang terkenal tentang zuhd ialah-sebagaimana diriwayatkan oleh al-


Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub: “ Suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang
hartawan berkata pada Rabi’ah: ‘Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!’ Rabi’ah menjawab:
‘Aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku
meminta hal itu kepada orang yang bukan Pemiliknya?”
Di antara ucapan-ucapannya yang menggambarkan tenteng konsep zuhd yang dimotivasi
rasa cinta adalah: “ Wahai Tuhan! Apa pun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku,
berikanlah kepada musuh-musuhMu. Dan apa pun yang Engkau akan berikan padaku kelak di
akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria sholih, dengan
mengatakan: ”Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujud dan luar biasa. Sedangkan pada diriku
hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam
Tuhan dan diriku sepenuhnya miliknya. Aku hidup dalam naungan firmannya. Akad nikah mesti
diminta darinya, bukan dariku”. Rabiah tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan Tuhan.
Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang menanyakan sakitnya: “demi Allah aku tak merasa
sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan
aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang membuatku
bahagia.”
Cinta Rabiah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan
doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa “Ya Tuhanku, bila aku menyembahmu
lantaran aku takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-
Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari surga; Namun jika aku menyembah-
Mu demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan abadi-Mu.
Kecintaan Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah terhadap Allah.
Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung:

‫عمن سواك وأما‬ ‫احبك حبين حب الهوى وحب ال نك أهل لذاكا فاما الذى هو حب الهوى فشغلنى بذ كرك‬
‫لى ولكن لك احمد فى ذا و ذاكا‬ ‫حت اراكا فال احمد فى ذاوال ذاكا‬   ‫لى الحجب‬ ‫انت أهل له فكشفك‬ ‫الذى‬
Aku cinta Kau dengan dengan dua model cinta, Cinta rindu dan cinta karena Kau layak dicinta.
Adapun cinta rindu, karena hanya Kau kukenang selalu bukan selainMu. Adapun cinta karena
Kau layak dicinta, karena Kau singkapkan tirai sampai Kau nyata bagiku. Bagiku, tidak ada puji
untuk ini dan itu. Tapi sekalian puji, hanya bagiMu selalu.
Atas syair-syair tersebut, al-Ghazaali mengatakan: “Barangkali yang ia maksud dengan
cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih sayang, rahmat dan iradah Allah telah
sampai kepadanya”. Karena Allah telah menganugerahkan roh, sehuingga ia dapat menyebut dan
dekat dengan-Nya.
Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan malam dengan
gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah terbui dalam
tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh dan daya rasa yang ada
dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu
mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.
D.  Mahabbah Dalam Al-Qur’an Dan Hadis
Paham mahabbah sebagaimana disebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Qur’an.
Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan
dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi:
َ ‫قُ ْل اِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحب ُّْو َن‬
                                               ُ‫ِي يُحْ ِب ْب ُك ُم هللا‬Nْ ‫هللا َفا َّت ِبع ُْون‬
Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu. (QS. Ali
‘Imran, 3: 30)
‫َيأْ تِى هللاُ ِب َق ْو ٍم ُّي ِح ُّب ُه ْم َو ُي ِحب ُّْو َن ُه‬
Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya.  (QS. Al-
Maidah, 5: 54).
Di dalam hadis juga dinyatakan sebagai berikut:
ُ ‫َواَل َي َزا ُل َع ْب ِد ى َي َت َقرَّ بُ إِ لَيَّ ِبا ل َّن َوا ف ِِل َح َّتى ا ُ ِح َّب ُه َو َمنْ اَحْ َب ْب ُت ُه ُك ْن‬
َ ‫ َسمْعًا َو َب‬  ‫ت لَ ُه‬
‫صرً ا َو َي ًدا‬
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku
cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku.
Kedua ayat dan satu hadis tersebut diatas memberitakan petunjuk bahwa antara manusia
dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasal
dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan
terjadilah mahabbah. Ayat dan hadis tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi
mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang digambarkan dalam
telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal
ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahabbah adalah mencintai secara mendalam, Kata mahabbah tersebut selanjutnya
digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf, yaitu mahabbah
yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian sepenuh hati pada Tuhan, sehingga yang
sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk
memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat
dirasakan oleh jiwa.
Alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir (‫ ِس ّر‬ ). Dengan mengutip pendapat al-
Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat
dipergunakan untuk berhubungan dengan tuhan. Pertama, al-qolb (‫ )القلب‬hati sanubari, sebagai
alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh (‫ )الروح‬sebagai alat untuk mencintai Tuhan.
Ketiga, sir (‫)س ّر‬,
ِ yaitu alat untuk mencintai Tuhan.                                                            .
Rabiah al-Adawiah adalah seorang tokoh mahabbah Ia terkenal sebagai Ulama Shufi dan
seorang zahid wanita yang mempunyai banyak murid dari kalangan wanita pula. Rabi’ah
menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan falsafah hubb (cinta) dan syauq (rindu) kepada
Allah.
 Manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh
adalah berasal dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugerah
Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah.

Anda mungkin juga menyukai