Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ASPEK LEGAL KEPEREWATAN GERONTIK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik


Dosen Pengampu: Drs. H. Zulkiflin,S. KEP.,MMKes.,MM.

NINING ARYANI

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Gerontik yang
berjudul “ASPEK LEGAL KEPEREWATAN GERONTIK”.

Makalah ini disususun berdasarkan pengupulan data dari beberapa buku panduan  yang


ada, serta dengan bantuan dari dunia maya yaitu melalui situs internet, dan yang lainnya.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan umumnya
kepada semua pihak yang membaca makalah ini. Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis
banyak mendapat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada: Drs. H. Zulkiflin,S. KEP.,MMKes.,MM. dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Gerontik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat penulis butuhkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Mataram, September 2020

penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................................2
1.3. Tujuan .....................................................................................................................2
1.4. Manfaat ...................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Standar Gerontologi...............................................................................................3
2.2. Prinsip Etik............................................................................................................3
2.3. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik...............................................5
2.4. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan Pada Lansia...................................................6
2.5. Informed Consent..................................................................................................9
2.6. Peraturan Yang Berkaitan Dengan Kesejahteraan Lansia.....................................9
BAB III PENUTUP
3.1.Simpulan.................................................................................................................12
3.2. Saran......................................................................................................................12
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut World Health Organization (2014), proporsi penduduk di atas
60 tahun di dunia tahun 2000 sampai 2050 akan berlipat ganda dari sekitar 11%
menjadi 22%, atau secara absolut meningkat dari 605 juta menjadi 2 milyar
lanjut usia. Peningkatan jumlah lanjut usia juga terjadi di negara Indonesia.
Persentase penduduk lanjut usia tahun 2008, 2009 dan 2012 telah mencapai di
atas 7% dari keseluruhan penduduk, dengan spesifikasi 13,04% berada di
Yogyakarta, 10,4% berada di Jawa Timur, 10,34% berada di Jawa Tengah, dan
9,78% berada di Bali (Susenas, 2012). Penduduk lanjut usia terbesar di
Yogyakarta berasal dari Kabupaten Sleman, yaitu berkisar 135.644 orang atau
12,95% dari jumlah penduduk Sleman (Pemkab Sleman, 2015).
Meningkatnya populasi usia lanjut ditandai dengan umur harapan hidup
yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut membutuhkan
pemeliharaan serta peningkatan kesehatan dalam rangka usaha mencapai masa
tua yang sehat, bahagia, berdaya guna, dan produktif (UU No. 23 Tahun 1992
Pasal 19 tentang Kesehatan. Menurut Susenas (2012), usia harapan hidup lanjut
usia pada tahun 2000 adalah 64,5 tahun. Angka ini meningkat menjadi 69,43
tahun pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun. Menurut
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten Sleman tahun 2014,
usia harapan hidup lanjut usia di Yogyakarta mencapai 74 tahun dan untuk
Kabupaten Sleman mencapai 2 76,08 tahun (laki-laki 73,46 tahun dan
perempuan 77,12 tahun), yang menjadi angka harapan hidup tertinggi nasional.
Meningkatnya jumlah lanjut usia dan umur harapan hidup berdampak
besar terhadap kesehatan masyarakat, terlebih dengan perubahan-perubahan
yang dialami lanjut usia dari berbagai sistem tubuh, baik dari segi fisik,
psikologis, sosial dan spiritual (Wirahardja dan Satya, 2014). Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh lagi mengenai aspek legal etik tentang
lanjut usia, serta dasar hukum pelayanan untuk lanjut usia sehingga dapat
memahami masalah-masalah yang dialami lanjut usia dewasa ini.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimanakah standar gerontologi?
1.2.2. Bagaimanakah prinsip etik?
1.2.3. Bagaimanakah prioritas penelitian bidang keperawatan gerontik?
1.2.4. Bagaimanakah prinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia?
1.2.5. Apakah informed consent ?
1.2.6. Bagaimanakah peraturan yang berkaitan dengan kesejahteraan lansia ?

1.3. Tujuan Tulisan


1.3.1. Untuk mengetahui standar gerontologi
1.3.2. Untuk mengetahuiprinsip etik
1.3.3. Untuk mengetahuiprioritas penelitian bidang keperawatan gerontik
1.3.4. Untuk mengetahuiprinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia
1.3.5. Untuk mengetahui informed consent
1.3.6. Untuk mengetahui peraturan yang berkaitan dengan kesejahteraan lansia

1.4. Manfaat Tulisan


1.4.1 Manfaat Teoretis
Penulisan makalah ini dapat menambah kajian pustaka mengenai Aspek Legal dan
Etik Keperawatan Lansia
1.4.2 Manfaat Praktis
Makalah ini dapat dijadikan sebagai pedoman awal bagi mahasiswa keperawatan
atau tenaga kesehatan (perawat) yang nantinya dapat dipraktikan di lingkungan
masyarakat

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Standar Gerontologi


Gerontologi berasal dari kata geros yang berarti lanjut usia dan logos berarti
ilmu. Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang lanjut usia dengan masalah-
masalah yang terjadi pada lansia yang meliputi aspek biologis, sosiologis, psikologis,
dan ekonomi. Gerontologi merupakan pendekatan ilmiah (scientific approach) terhadap
berbagai aspek dalam proses penuaan (Tamher&Noorkasiani, 2009). Menurut Miller
(2004), gerontologi merupakan cabang ilmu yg mempelajari proses manuan dan
masalah yg mungkin terjadi pada lansia. Geriatrik adalah salah satu cabang dari
gerontologi dan medis yang mempelajari khusus aspek kesehatan dari usia lanjut, baik
yang ditinjau dari segi promotof, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang mencakup
kesehatan badan, jiwa, dan sosial, serta penyakit cacat (Tamher&Noorkasiani, 2009).
Gerontologi adalah suatau pendekatan ilmiah dari berbagai aspek proses
penuaan, yaitu biologis, psikologis, social, ekonomi, kesehatan, lingkungan dan lain-
lain. Menurut kozier (1987), gerontologi adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek
penuaan.Menurut Miller (1990), gerontologi adalah Ilmu yang memperlajari proses
menua dan masalah yang mungkin terjadi pada lansia.
Gerontologi adalah suatu ilmu yang memperlajari proses penuaan dan maslaah
yang akan terjadi pada lansia (kozier,1987). Dalam referensi lain dikatakan gerontology
merupakan suatu pendekatan ilmiah dari berbagai proses penuaan yaitu kesehatan,
social, ekonomi , prilaku, lingkungan dan lain-lain (Depkes RI, 2000).
Pada tahun 1995 WHO menggariskan bahwa focus pembinaan bagi usia lanjut
adalah upaya promotif dan meminimalkan ketergantungan pada usia lanjut.

2.2. Prinsip Etik


2.2.1. Respect (Hak untuk dihormati)
Perawat harus menghargai hak-hak pasien
2.2.2. Autonomy (hak pasien memilih)
Hak pasien untuk memilih treatmen terbaik untuk dirinya
2.2.3. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien)

3
Kewajiban untuk melakukan hal yang tidak membahayakan pasien/orang lain dan
secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasien
2.2.4. Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain)
Kewajiban untuk perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian atau
cedera
2.2.5. Confidentiality (hak kerahasiaan)
Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien yang
dipercayakan pasien kepada perawat.
2.2.6. Justice (keadilan)
Kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Perkataan adil sendiri berarti
tidak memihak atau tidak berat sebelah.
2.2.7. Fidelity (loyalty/ketaatan)
2.3.7.1. Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab
terhadap kesepakatan yang telah diambil.
2.3.7.2. Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak
hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat.
2.3.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku
2.3.7.4. Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang
disepakati.
2.2.8. Veracity (Truthfullness & honesty)
Kewajiban untuk mengatakan kebenaran
2.3.8.1. Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent
2.3.8.2. Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan
kebenaran
Pemecahan masalah etik
1. Identifikasi masalah etik
2. Kumpulkan fakta-fakta
3. Evaluasi tindakan alternatif dari berbagai perspektif etik.
4. Buat keputusan dan uji cobakan
5. Bertindaklah, dan kemudian refleksikan pada keputusan tsb

4
2.3. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik
Keperawatan gerontik secara holistik menggabungkan aspek pengetahuan dan
keterampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan kondisi
kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia. Hal ini diupayakan untuk
memfasilitasi lansia kearah perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan
pendekatan pada pemulihan kesehatan, maksimalkan kualitas hidup lansia baik dalam
kondisi sehat, sakit, maupun kelemahan serta memberikan rasa aman, nyaman, terutama
dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik diharapkan dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengem- bangan teknik maupun mutu
pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas. Namun, dalam menyusun prioritas
penelitian, perlu diseimbangkan antara kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan
baru dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas, efektivitas, efisiensi, dan
kepatuhan pelayanan. Dalam mengembangkan penelitian tersebut, kita terlebih dahulu
perlu mengetahui aspek- aspek kritis yang ada dalam keperawatan gerontik.
2.3.1. Area Prioritas
2.4.1.1. Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu atau
kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area prioritas:
ventilasi dan sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat, stimulasi mental,
tidur, masalah kardiovaskuler, masalah penyakit vaskularisasi periver, masalah
respiratori, masalah gastrointestinal, 3 masalah diabetes, masalah
muskulusskeletal, masalah genitourinary, masalah neurology, masalah
menurunnya fungsi sensorik, masalah dermatologi, masalah kesehatan mental,
tindakan operatif dan dampaknya, palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi,
perawatan diri dan higienitas, pengawasan menelan obat.
2.4.1.2. Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik. Subarea
prioritas:diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat ukur geriatric.
2.4.1.3. Factor-faktor organisasi yang berdampak pada system pelayanan dan
kinerja, sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di rumah
(home care), model perawatan di rumah sakit (hospital care), model perawatan
di panti jompo (institutional care), model perawatan jangka panjang (long-term
care), nursing agency, team work.

5
2.4.1.4. Factor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia. Sub
area prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi, kelenturan kesehatan yang
berbasis budaya dan kepercayaan, sosial ekonomi, konsep-konsep gerontology
(aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral, aspek nutrisi, aspek
psikologis, aspek fisiologis dan aspek social).
2.4.1.5. Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko social. Sub
area prioritas:penilaian status fungsional, psikologis, senile demensia, olah raga,
rekreasi, upaya preventif terhadap risiko kecelakaan, interaksi social, spiritual,
manajemen stress, sakaratul maut, support keluarga, aktivitas dan disfungsi
seksual.
2.4.1.6. Promosi kesehatan. Sub area prioritas:pesan, teknologi.

2.4. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia


Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia
lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
2.4.1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : “Simpati atas dasar pengertian
yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus
memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan
memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.
2.4.2. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga
tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua
petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita
lansia.
2.4.3. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-
maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan
untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan
yang menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non
nocere (”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian
ini, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri,
pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup,
pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin
mudah dan praktis untuk dikerjakan.

6
2.4.4. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak
tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar
pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas.
Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?)
oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk
melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-
maleficence dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel).
Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme,
dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan
(mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
2.4.5. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang
sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita
secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak
relevan.
2.4.6. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang
diberikan pada seorang penderita. Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan
otonomi, Meier dan Cassel menulis sebagai berikut :
”..............although the medical community has ferquently been attacked for its
attitude toward patients, it is usually conceded that paternalism can be justified if
certain criteria are met; if the dangers averted or benefits gained for the person
outweigh the loss of autonomy resulting from intervention; if the person is too ill
to choose the same intervention…………………………”.
Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatric
berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai
berikut :
a) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan
pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat
sukarela.
b) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.

7
c) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian ituangkan
dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau informed
consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan medik yang
disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan
pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguan
(useless) atau bahkan berbahaya (harmful).
Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum yang
sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut
haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label diagnosis, antara
lain terlihat dari :
1) Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar?
2) Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat?
3) Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita mendapatkan
penjelasan yang lengkap dan benar)?
4) Apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya? (misalnya tentang keuntungan
dan kerugian dari tindakan tersebut? Dan mengerti pula berbagai pilihan yang ada?)
Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk
mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :
1) Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada
keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut demikian
berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan bisa dialihkan
kepada wakil hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau pengacara). Dalam
istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate decission maker.
2) Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek medis,
tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll) maka sebaiknya
terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan penderita yang
disebut badan perlindungan hokum (guardianship board). (brocklehurst and allen
1987, kane et al, 1994).
Dalam kenyatannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan
keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding keadaan de-jure

8
oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering
melelahkan baik secara fisik maupun emosional.
Oleh karena suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian,
kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita
mengambil keputusan yang salah ( antara lain menolak tramfusi / tindakan bedah yagn
live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas
otonomi penderita tetap harus dihargai.
Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua keluhan atau alas an
penderita dan kalau mungkin memperbaiki keputusan penderita tersebut denagn
pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil tindakan “kompromi” antara apa yang baik
menurut pertimbangan dokter dan apa yang diinginkan oleh penderita.

2.5. Informed Consent


Persetujuan tertulis merupakan suatu persetujuan yang diberikan sebelum
prosedur atau pengobatan diberikan kepada seorang lanjut usia atau penghuni panti.
Syarat yang diperlukan bila seorang lanjut usia memberikan persetujuan ialah ia masih
kompeten dan telah mendapatkan informasi tentang manfaat dan risiko dari suatu
prosedur atau pengobatan tertentu yan g diberikan kepadanya. Bila seoang lanjut usia
inkompeten, persetujuan diberikan oleh pelindung atau seorang walui.

2.6. Peraturan yang Berkaitan dengan Kesejahteraan Lansia


Berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai
Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah
diterbitkan sejak 1965. beberapa di antaranya adalah :
1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang
Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan
tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.

9
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan keluarga Sejahtera.
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan
Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang- Undang
nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
15. Pasal 27 UUD 45 Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjungnya hukum dan pemerinahannya itu
dengan tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaannya
dan penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan.
16. Pasal 34 UUD 45 Fakir miskin dan anak–anak yang terlantar dipelihara oleh
negara. Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan
masyarakat bertanggung jawab dalam mencegah penganiayaan. Penganiayaan
yang dimaksud dapat berupa : penyianyiaan, penganiayaan yang disengaja dan
eksploitasi. Sedangkan pencegahan yang dapat dilakukan adalah berupa
perlindungan di rumah, perlindungan hukum dan perawatan di rumah.
Jenis-jenis penyiksaan (Gelles & Straus, 1988)
1. Penyiksaan suami-istri
2. Penyiksaan terhadap anak fisik dan seksual
3. Penyiksaan terhadap lansia
4. Peniksaan terhadap orang tua

10
5. Penyiksaan terhadap sibling
17. Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
18. UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19: Kesehatan manusia usia
lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan agar tetap
produktif dengan bantuan pemerintah dalam upaya penyelenggaraannya.
19. UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut pasal 14 : Pelayanan
kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajad kesehatan
dan kemampuan usia lanjut agar kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat
berfungsi secara wajar melalui upaya penyuluhan, penyembuhan, dan
pengembangan lembaga.
20. Undang-undang No.13 tahun 1998 mengamanatkan bahwa pemerintah dan
masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia.
Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya masyarakat
Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang mengandung arti
yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi, yaitu: anak, orang tua
dan kakek/nenek.
21. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Seseorang yang telah
lulus dan mendapatkan ijasah dari pendidikan kesehatan yang diakui
pemerintah. Tenaga keperawatan adalah perawat dan bidan.
22. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. 4.23. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Kesehatan.
23. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia
24. Keppres No 52 Tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lanjut Usia.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pembentukan Komda Lansia dan Pemberdayaan Masyarakat dalam penanganan
lansia di daerah
25. Peraturan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan
Sosial Lanjut Usia.

11
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pengertian lanjut usia secara umum, seseorang dikatakan
lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun keatas (Effendi dan Makhfudli,
2009). Batasan umur lansia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) lanjut
usia meliputi usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59
tahun, lanjut usia (elderly) antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara
75 sampai 90 tahun sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Gerontologi merupakan pendekatan ilmiah (scientific approach) terhadap
berbagai aspek dalam proses penuaan (Tamher&Noorkasiani, 2009). Gerontic
nursing berorientasi pada lansia, meliputi seni, merawat, dan menghibur.
Nugroho (2006), gerontik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
lanjut usia dengan segala permasalahannya, baik dalam keadaan sehat maupun
sakit. Masalah  Kesehatan Gerontik meliputi masalah kehidupan sexual,
perubahan prilaku, pembatasan fisik, palliative care, pengunaan obat, kesehatan
mental. Upaya pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi azas, pendekatan,
dan jenis pelayanan kesehatan yang diterima.
Dasar hukum pelayanan lansia meliputi UU Nomor 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004
tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Keppres No 52
Tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lanjut Usia, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 60 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Komda Lansia
dan Pemberdayaan Masyarakat dalam penanganan lansia di daerah, Peraturan
Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut
Usia dan UU No. 13 tahun 1998.
3.2 Saran
Diharapkan mahasiswa agar dapat meningkatkan pemahamannya
terhadap materi mengenai trend dan issue tentang lanjut usia dan dasar hukum
pelayanan lanjut usia. Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya dan menambah pengetahuan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. 2000.Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut), Edisi 2. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Effendi & Mukhfudli. 2009. Keperawatan Komunitas : Teori dan Praktek dalam
Keperawatan.Jakarta : Salemba Medika
Elliopolous, C. 2005. Gerontologic Nursing. Jakarta : Erlangga
Maryam, R siti.2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatanya. Jakatra: Salemba medika
Situart dan Sundart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah 1. Jakarta: EGC
SKM, dkk. 2005. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari Berbagai Aspek. PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Tamher, S & Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

14

Anda mungkin juga menyukai