Kalau filsuf sejarah dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, dapatkah ia
mengambil pelajaran dari masa depan? Hawking, seorang Fisikawan
terkemuka sejauh ini orang yang pertama kali menyatakannya;
‘... mengapa kita mengingat masa lalu tapi tidak mengingat masa depan.
Waktu dianggap ibarat rel lurus dimana kita hanya bisa bergerak kesatu
arah dan sebaliknya. Tapi bagaimana bila rel itu punya jalur melingkar dan
cabang sehingga kereta yang berjalan diatasnya bisa terus bergerak maju
tapi kembali ke stasiun yang sudah dilewatinya? Dengan kata lain bisakah
kita bepergian ke masa depan atau masa lalu? (Hawking, 2018:222)”
Diksi ‘Akhir negara’ sepertinya mirip dengan apa yang sering dikutip dari
Karl Marx fase menuju masyarakat sosialis namun bukan berarti siklus
akhir sejarah. Pada waktunya akhir sejarah versi Fukuyama akan menjadi
olok-olokan. Belakangan, banyak ramalan tentang akhir kapitalisme global
dengan merujuk pada perkembangan wabah Covid-19.
Meskipun tingkat kematian Covid-19 dibawah 10% lebih rendah dari SARS
dan MERS, namun virus ini telah menjadi ‘selebriti global’ bukan hanya
karena menular pada kalangan selebriti, tapi mempengaruhi aktivitas
manusia secara global yang didominasi oleh pesawat terbang.
Keinginan tersebut sudah banyak dicoba oleh berbagai pihak termasuk filsu
sejarah. Science-fiction (fiksi sains) telah memberikan sedikit kalkulasi dan
konsekuensi logis dari perjalanan ke masa lalu maupun masa depan.
Namun satu hal yang pasti, bepergian ke masa lalu selalu dihantui
kemungkinan perubahan pada ‘masa kini’. Oleh Sebab itu Alfred Anyer
segera menyanggah dengan menyatakan bahwa meskipun kita benar-benar
hadir dimasa lalu menyaksikan—katakanlah—ketika Pangeran dipenogoro
di tangkap oleh pihak Belanda, apa yang kita alami dan rasakan tidak bisa
mewakili apa yang dialami dan dirasakan oleh zaman tersebut ataupun
orang yang hadir dalam sejarah tersebut—pelaku sejarah. Kita selalu
membawa bias masa kini dalam tafsiran masa lalu (angkersmith, 92-23).
Peristiwa sejarah juga menunjukan bagaimana sejarah masa depan di masa
lalu. Sebagai contoh gambaran optimis terhadap sistem kapitalisme Global
mulai mendapatkan banyak pertanyaan. Proyek Neoliberalisme yang
terkenal setelah Margareth Teacher- Reagen menyatakan ‘there is no such
as society’ diwakili oleh poster masa depan tahun 1980 bahwa pada awal
milenium tahun 2000 manusia akan mencapai ‘mobil terbang’. Bukannya
mobil melayang, dunia justru dipenuhi konflik atas kebutuhan bahan bakar
mobil dan ternyata mengawali tahun 2020--melalui nasehat terbaik
‘mencuci tangan’—kita dipaksa kembali ke era dimana kuman baru
ditemukan (Diamond, 1997).
Utopia sebagai tujuan dari pemetaan masa depan disebut oleh Angkersmith
sebagai sistem filsafat sejarah Spekulatif. Pemikiran ini berlanjut dari
Khaldun, Darwin, O Spengler, Toynbee, Hegel, Marx hingga Harari. Para
filsuf sejarah melalui pemikiran sejarah berani menyatakan bahwa gerak
dan arah masa depan bisa dibayangkan melalui sistem filsafat sejarah
mereka. Belakangan, Rutger Bregman, Sejarawan berkebangsaan Belanda
mengklaim bahwa tidak hanya penganut Idealisme atau Materialisme
dialektik saja yang memiliki Utopia. Seorang Realistis masih memiliki
kesempatan ber-utopia.
Apabila kita membentuk Utopia baru, tentu saja hal tersebut adalah thesis
yang bisa melawan dan bertahan terhadap mekanisme waktu dialektik.
Ambil contoh, seringkali dikatakan bahwa pembela kapitalis lebih rajin
membaca das Capital untuk membaca pengaruh politik dalam bursa
saham. Bahkan dikatakan Spekulan saham ternama, George Soros,
mengoleksi karya Marx tersebut. Berbeda dengan kaum sosialis yang
menjadikannya sebagai dogma politik.
Sumber:
Harari, Yuval Noah. 2020. The World after Coronavirus. Financial Times