Anda di halaman 1dari 7

MASA DEPAN DALAM FILSAFAT SEJARAH:

Komentar atas Filsuf Sejarah seperti Ibnu Khaldun, Stephen Hawkins,


Einstein, Angkersmith dan Harari mengenai wabah dan masa depan Global

Oleh: Iman Zanatul Haeri

Bulan keempat tahun 2020 umat manusia dihantui dua kegetiran.


Pertama, dapatkah vaksin wabah virus Corona atau COvid-19 ditemukan
dalam waktu dekat? Kedua, Apabila wabah sudah bisa diatasi dengan
disiplin yang keras dan dukungan atas penemuan ilmiah, seperti apa masa
depan dunia setelahnya? Melalui masa lalu, pertanyaan pertama dapat
dijawab dengan kajian peristiwa sejarah. Kemudian memberikan contoh-
contoh wabah dan mitigasinya dimasa depan. Namun untuk pertanyaan
kedua, filsafat sejarah mengajukan banyak tawaran.

Peristiwa sejarah dengan Filsafat sejarah merupakan hal yang berbeda.


Peristiwa sejarah adalah apa yang mungkin kita fahami tentang masa lalu.
Kemudian--singkat kata--filsafat sejarah adalah bagaimana caranya
membentuk pemahaman tentang masa lalu baik objeknya, subjeknya
maupun keseluruhan diantara keduanya. Orang yang mencoba
memikirkannya adalah filsuf sejarah. Termasuk didalamnya para pemikir
yang memikirkan masa depan sejarah.

Kalau filsuf sejarah dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, dapatkah ia
mengambil pelajaran dari masa depan? Hawking, seorang Fisikawan
terkemuka sejauh ini orang yang pertama kali menyatakannya;

‘... mengapa kita mengingat masa lalu tapi tidak mengingat masa depan.
Waktu dianggap ibarat rel lurus dimana kita hanya bisa bergerak kesatu
arah dan sebaliknya. Tapi bagaimana bila rel itu punya jalur melingkar dan
cabang sehingga kereta yang berjalan diatasnya bisa terus bergerak maju
tapi kembali ke stasiun yang sudah dilewatinya? Dengan kata lain bisakah
kita bepergian ke masa depan atau masa lalu? (Hawking, 2018:222)”

Historiografi Wabah Global

Ketika ilmuwan kedokteran bersusah payah menanggulangi dan terus


berupaya mencari cara mengatasi Covid-19, para Ilmuwan sosial sibuk
memetakan masa depan. Yuval Noah Harari, setelah bukunya menjadi best
seller karena untuk pertama kali mengajukan sejarah sebagai bahan
optimisme tatanan dunia, segera ditegur oleh keadaan dunia yang belum
siap dengan gambaran Homo Deus miliknya.

Harari berharap umat manusia perlu bergandengan disaat wabah covid-19


berlangsung. Disaat yang sama justru beberapa negara mengambil sikap
oportunis dan anti-solidaritas. Baru-baru ini Jerman mengeluhkan
tindakan Amerika Serikat mencegat produksi Masker yang dibuat untuk
Jerman di pabrik Thailand dan Cina, kemudian mengambil untuk
negaranya sendiri (RusianToday, 4/4/2020). Apakah tindakan negara
seperti ini merupakan hal yang lumrah dalam sejarah? Mari kita lihat
catatan Khaldun mengenai negara dan wabah:

“Hendaknya sekali-kali jangan dikatakan, bahwa pada masa akhir negara,


akan terdapat paksaan terhadap rakyat dan akan timbul pemerintahan
yang buruk. Ini benar, namun tidak bertentangan dengan apa yang baru
saja kita katakan ... pada masa akhir negara, kelaparan dan wabah menjadi
banyak (Khaldun, 2017: 383-4).”

Diksi ‘Akhir negara’ sepertinya mirip dengan apa yang sering dikutip dari
Karl Marx fase menuju masyarakat sosialis namun bukan berarti siklus
akhir sejarah. Pada waktunya akhir sejarah versi Fukuyama akan menjadi
olok-olokan. Belakangan, banyak ramalan tentang akhir kapitalisme global
dengan merujuk pada perkembangan wabah Covid-19.

Salah satunya artikel Martin Surajaya yang merekomendasikan model


sosialisme negara yang menurutnya paling ideal menghindari Barbarisme
sebagai resiko wabah terhadap politik negara (Surajaya, 30/3/2020).
Kekhawatiran akan kapitalisme sebenarnya sudah diutarakan oleh Albert
Einstein artikelnya berjudul ‘Why Socialism?’ pada tahun 1949. Ia
menganggap kapitalis merupakan sumber kejahatan. Sebab dalam sistem
kapitalis teknologi seringkali menyebabkan lebih banyak pengangguran
daripada meringankan beban pekerjaan (Einstein, 1949).”

Ramalan Einstein tentang pengangguran karena teknologi lebih banyak


terbukti, berbeda jauh dengan kaum optimistik seperti Harari yang melihat
‘perkembangan biotech’ sebagai masa depan yang harus diberikan porsi
investasi lebih besar. Menghadapi perkembangan teknologi industri yang
ganas terhadap nilai-nilai kemanusiaan—bukannya mempertanyakan
teknologi—Harari malah membuka peluang perubahan aspek-aspek
kemanusiaan sehingga diksi negatif seperti ketidakadilan, penindasan,
hingga rasa sakit dapat dimediasi melalui bioteknologi. Ia membela
perkembangan teknologi secara penuh yang didukung sistem kapitalisme
melalui pendanaan riset-riset strategis, kemudian mempersiapkan
bagaimana ‘manusia’ mulai melampaui kemanusiaanya menuju Homo Deus
(Harari, 2018).

Harari membandingkan sikap Amerika terhadap Ebola dan Covid-19. Ia


menganggap sikap Amerika Serikat terhadap Ebola harusnya dicontoh oleh
Amerika Serikat ketika menghadapi Covid-19 (Harari, 20/2/2020).
Walhasil, Ebola sukses dihentikan. Namun perbedaannya cukup signifikan,
virus Ebola lebih dekat dengan kemiskinan dan kebersihan sanitasi.
Sedangkan Covid-19 menyerang kelas atas dan menengah terlebih dahulu,
melalui bilik-bilik privat transportasi ber-AC tertutup; ruang kerja, kamar
lobi, mobilisasi keagamaan dan pertemuan-pertemuan pejabat penting.
Tentu ini perkembangan awal saja, ramalan ledakan tahap selanjutnya
Covid-19 justru ketika menyebar ke lingkungan padat dan meledak dengan
cepat.

Meskipun tingkat kematian Covid-19 dibawah 10% lebih rendah dari SARS
dan MERS, namun virus ini telah menjadi ‘selebriti global’ bukan hanya
karena menular pada kalangan selebriti, tapi mempengaruhi aktivitas
manusia secara global yang didominasi oleh pesawat terbang.

Tahun 1918 pada waktu pesawat komersil berpenumpang massal belum


ditemukan, kematian akibat Virus Influenza berada di angka 50-100 juta
jiwa. Namun buku sejarah lebih memberi porsi besar pada Revolusi
Bolsevik, Perang Dunia I, dan krisis Malaise. Buku Garis besar sejarah
Amerika Serikat sama sekali tidak menyinggungnya.

Alfred W Crosby mengemukakan bahwa dampak yang luar biasa yang


ditimbulkan oleh pandemi Influenza tidak membekas sama sekali pada
rakyat AS padahal tentara mereka paling banyak terjangkit (Wibowo,
2009:52). Artinya ingatan manusia akan wabah cukup pendek, selain itu
mekanisme pengkaburan peristiwa-peristiwa sejarah gelap seperti wabah
dianggap membantu masa-masa sulit penyembuhan global melalui
peristiwa-peristiwa lainnya demi memudahkan mobilisasi masyarakat dan
membentuk masa depan baru pasca-wabah.

Sejarah Masa Depan

Ibun Khaldun mengamati sejarah ramalan-ramalan masa depan yang


dimulai sejak penerjemahan pembicaraan pada astrolog/ Filsuf Yunani
yang mempengaruhi Astrolog Muslim Seperti Harun Ibn Sa’id Al-Ajali,
Jarras bin Ahmad Al Hasib, dan Ya’kub bin Ishaq Al-Kind. Ia mengkritik
karena kebanyakan kitab-kitab ramalan dimanfaatkan ahli nujum, penuh
kebohongan dan manipulatif (Khaldun, 2017: 391-3). Namun proses
mengunjungi masa lalu dan masa depan secara serius pernah dicapai
filsafat Sejarah.

Keinginan tersebut sudah banyak dicoba oleh berbagai pihak termasuk filsu
sejarah. Science-fiction (fiksi sains) telah memberikan sedikit kalkulasi dan
konsekuensi logis dari perjalanan ke masa lalu maupun masa depan.
Namun satu hal yang pasti, bepergian ke masa lalu selalu dihantui
kemungkinan perubahan pada ‘masa kini’. Oleh Sebab itu Alfred Anyer
segera menyanggah dengan menyatakan bahwa meskipun kita benar-benar
hadir dimasa lalu menyaksikan—katakanlah—ketika Pangeran dipenogoro
di tangkap oleh pihak Belanda, apa yang kita alami dan rasakan tidak bisa
mewakili apa yang dialami dan dirasakan oleh zaman tersebut ataupun
orang yang hadir dalam sejarah tersebut—pelaku sejarah. Kita selalu
membawa bias masa kini dalam tafsiran masa lalu (angkersmith, 92-23).
Peristiwa sejarah juga menunjukan bagaimana sejarah masa depan di masa
lalu. Sebagai contoh gambaran optimis terhadap sistem kapitalisme Global
mulai mendapatkan banyak pertanyaan. Proyek Neoliberalisme yang
terkenal setelah Margareth Teacher- Reagen menyatakan ‘there is no such
as society’ diwakili oleh poster masa depan tahun 1980 bahwa pada awal
milenium tahun 2000 manusia akan mencapai ‘mobil terbang’. Bukannya
mobil melayang, dunia justru dipenuhi konflik atas kebutuhan bahan bakar
mobil dan ternyata mengawali tahun 2020--melalui nasehat terbaik
‘mencuci tangan’—kita dipaksa kembali ke era dimana kuman baru
ditemukan (Diamond, 1997).

Gambaran lainnya yakni keberhasilan internet dalam menyelenggarakan


Open Society. Kampanye internet akan menyatukan kita semua telah
banyak mengecewakan. Selain disinformasi, perubahan paling fundamental
web 3.0 adalah ketika Logaritma newsfeed sosial media tidak lagi kronologis
sesuai dengan kebiasaan sejarah, namun mengutamakan interaksi
tertinggi. Sehingga dimensi waktu dalam sosial media lebih mirip gravitasi
antar planet. Anda tidak akan terhubung secara bebas, logaritma akan
merekomendasikan newsfeed yang paling tertinggi disekitar anda. Kisah
Utopia bahwa manusia akan semakin terhubung melalui globalisasi
menghadapi kiamatnya justru bukan karena wabah atau tindakan negara
yang mengisolasi dirinya, namun dimulai sejak tahun 2018 ketika logaritma
internet berubah.

PASCA-DISTOPIA: Tanpa Kapitalisme?

Belakangan ruang imajinasi dan fiksi menghadapi tantangan baru


ketika tren film anak berubah dari Utopia (Cinderela) menjadi Distopia
(Despicable). Kata Utopia sendiri ditemukan tahun 1516 oleh Thomas More
yang diartikan sebagai tempat imajiner dengan sistem sosial politik
sempurna (Coverley, 2010:9). Kebalikan dari Utopia, distopia merujuk pada
masa depan yang kelam. Keduanya hadir dalam sejarah.

Merlin Coverley menunjukan empat kecenderungan Utopia dari


Golden Ages (seperti kisah Atlantis & City of God), Early Mordern Era (On
Cannibals & New Atlantis), The Imaginary Voyage (Candide & Voyage
Around The World), dan Socialism Utopia ( An New View of Society & The
Communist Manifesto). Selain itu terdapat dua kecenderungan Distopia,
pertama Totalitarian Nightmares (kisah 1984 George Orwell) dan kedua The
Cold War Era (The Handmaid’s Tale karya Margaret Atwood) (Coverley, 2010:
9-14). Mungkin perlu ditambahkan impian kepemimpinan Islam
transnasional (khilafah) sebagai salahsatu Utopia kontemporer.

Utopia sebagai tujuan dari pemetaan masa depan disebut oleh Angkersmith
sebagai sistem filsafat sejarah Spekulatif. Pemikiran ini berlanjut dari
Khaldun, Darwin, O Spengler, Toynbee, Hegel, Marx hingga Harari. Para
filsuf sejarah melalui pemikiran sejarah berani menyatakan bahwa gerak
dan arah masa depan bisa dibayangkan melalui sistem filsafat sejarah
mereka. Belakangan, Rutger Bregman, Sejarawan berkebangsaan Belanda
mengklaim bahwa tidak hanya penganut Idealisme atau Materialisme
dialektik saja yang memiliki Utopia. Seorang Realistis masih memiliki
kesempatan ber-utopia.

Dalam bukunya berjudul Utopia for Realists (2016), Bregman memberikan


gambaran bagaimana peningkatan basic income disebuah distrik kecil di
Canada bisa menaikan taraf pengangguran hingga angka nol. Hal ini
diperkuat dengan penelitian tingkat IQ seorang petani ketika sebelum dan
setelah panen. Hasilnya seorang Petani rata-rata memiliki IQ tinggi setelah
panen dan ber-IQ rendah ketika belum panen.

Hal ini menunjukan bagaimana kecerdasan orang bisa berubah sesuai


dengan ‘rasa’ jaminan kelangsungan hidupnya. Berkaitan dengan Utopia, ia
menyarankan bahwa meningkatkan kesejahteraan penduduk melalui basic
income masyarakat bukanlah Utopia. Sebab di era yang sangat kapitalistik,
jaminan basic income dari pemerintah dianggap Utopia. Padahal sistem
kapitalisme sendiri didorong oleh Utopia Fundamentalisme Pasar.

Apabila kita membentuk Utopia baru, tentu saja hal tersebut adalah thesis
yang bisa melawan dan bertahan terhadap mekanisme waktu dialektik.
Ambil contoh, seringkali dikatakan bahwa pembela kapitalis lebih rajin
membaca das Capital untuk membaca pengaruh politik dalam bursa
saham. Bahkan dikatakan Spekulan saham ternama, George Soros,
mengoleksi karya Marx tersebut. Berbeda dengan kaum sosialis yang
menjadikannya sebagai dogma politik.

Menghadapi kaum merah pada era Perang Dingin, negara-negara barat


membangun serangkaian kampanye melawan Utopia sosialis dengan
menyediakan kisah-kisah fiksi revolusi yang gagal. Sehingga hasil sejarah
yang diharapkan seperti ‘kapitalisme hamil tua’ dan prestasi negara sosialis
terkubur oleh kisah-kisah gelap yang diproduksi Hollywood. Dalam hal ini
sejarah pikiran dalam sistem spekulatif menjadi benar-benar Utopis karena
didorong untuk menjauhi kenyataan sejarah. Namun gambaran masyarakat
sosialis yang telah kehilangan pamornya selalu muncul secara periodik
secara dramatis seperti pada krisis ekonomi Global tahun 2008 silam. Kate
Connolly memperhatikan tren tersebut pada tahun 2008 dengan
menyatakan “Karl Marx is Back” (The Guardian, 12/10/2008)

Hal tersebut hanyalah contoh bagaimana nasib spekulasi-spekulasi sejarah.


Untuk pertama kalinya orang yang mampu mengkritik itu adalah Karl
Popper. Ia menyebut spekulan sejarah sebagai Historisisme’ (Angkersmith,
1987:50). Ia keberatan dengan ramalan masa depan melalui ‘hukum
sejarah.’

Namun perlu ditegaskan, tanpa filsafat sejarah spekulatif tidak akan


tersedia narasi-narasi sejarah yang mampu merangkul semua peristiwa-
peristiwa sejarah termasuk memetakan rangkaian penemuan ilmiah demi
keberlangsungan keilmuan itu sendiri. Contohnya, sebagai fakta sejarah,
tulisan Harari dalam Sapiens dan Homo Deus tidaklah baru bagi para
pengkaji sejarah. Namun gambaran besar mengenai sistem sejarah
spekulatif yang ditulis Harari telah membuka popularitas sejarah diera
teknologi dan informasi. Selain itu Harari berhasil menyediakan narasi
sejarah bagi kaum optimis.

Artinya, harus diberikan ruang bagi spekulasi-spekulasi sejarah dan Utopia


yang akan menyeimbangkan narasi Distopia, sehingga masyarakat
memahami (atau mungkin mempertanyakan!) fungsi utama mereka sebagai
manusia. Namun Paul Mason yang menulis ‘The End of Capitalism has
Begun’ menghawatirkan Utopia yang tidak sesuai ‘sejarah.’ Ia menyatakan
‘kita membutuhkan lebih dari sekedar impian utopis dan proyek horizontal
skala kecil. Kita membutuhkan proyek berdasarkan alasan, bukti dan desain
yang dapat diuji, yang sesuai dengan sejarah dan kelanjutan planet ini’ (The
Guardian, 17/7/2015).

Kelanjutan sejarah sebenarnya ditentukan pula oleh faktor non-manusia.


Mungkin ketidakhadiran dunia objektif yang bersifat ‘alamiah’ seperti
bencana alam dan wabah sebagai fakta yang konstan dalam setiap
penulisan sejarah akan mengakibatkan ketidaksesuaian ‘sejarah.’ Sebagai
contoh diperlukan ketekunan membentuk sejarah pikiran yang lebih ramah
lingkungan untuk menandingi sejarah pikiran yang ramah industri.
Catatan sejarah mengenai prestasi industri dalam merubah kehidupan
manusia harus diletakan sebagai prestasi negatif ketika kerusakan
lingkungan yang diakibatkannya melampaui masa lalu dan masih terasa
hingga sekarang.

Kebebasan untuk membentuk Utopia ditopang oleh kesempatan


bereksperimen Filsuf sejarah untuk menulis masa depan. Pembukaan
kesempatan ini bukan hanya berbentuk demokrasi politik. Kebebasan yang
dimaksud adalah memecah pesimisme terhadap Utopia yang selalu saja
memberikan apologi terhadap sistem ekonomi-politik yang sedang berlaku.
Slavo Zizek pernah berkelakar, mengapa orang-orang yang mampu
membayangkan tidak ada surga dan neraka, justru kesulitan untuk
membayangkan dunia tanpa kapitalisme? Sebagai langkah awal, manusia
perlu diberi kesempatan untuk membayangkan dunia yang melampaui
Utopia kapitalisme global. Tentu saja artinya ia tidak bisa kembali pada
Utopia yang kuno dan sudah gagal.

Sumber:

Angkersmith, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat


Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Coverley, Merlin. 2016. Utopia. Harpenden: Pocket Essentials

Einstein, Albert. 1949. Why Socialism? ---


Harari, Yuval Noah. 2018. Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia. Ciputat:
Alvabeth

Harari, Yuval Noah. 2020. The World after Coronavirus. Financial Times

Khaldun, Ibn. 2000. Mukaddimah Ibn Chaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Stephen Hawking. 2018. A Brief History of Time. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama

Surajaya, Martin. Membayangkan Politik Dunia setelah Korona. 30 Maret


2020. Martinsurajaya.com
Wibowo, Priyanto dkk. 2009. Pandemik Influenza 1918 di Hindia Belanda.
Depok: FBPI-UNICEF

Anda mungkin juga menyukai