Anda di halaman 1dari 76

LAPORAN TUTORIAL

MODUL INTEGRATIF PATOLOGI

SKENARIO 3

“BATUK LAMA”

Disusun oleh:

KELOMPOK 1

Tutor:

Nanda Fadhilah Witris Salamy, dr. M. Si

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2020
KELOMPOK PENYUSUN

Ketua : Muhammad Sultan Nur Mashudi (6130018009)

Sekretaris I : Cicik Ardillah (6130018008)

Anggota :

Khusnul Khotimah Catur Putri (6130018002)

Kamila Farendityas Isworo (6130018003)

Adela Shafira (6130018004)

Ananda Putri Munfaati (6130018005)

Zalfa PutriLiana Duta (6130018006)

Nanda Diah Puspitasari (6130018007)

Divaesti Nidia Andarini (6130018009)


LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN

No Materi yang dinilai Prosentase Nilai


1 Ketepatan pemilihan kata kunci dalam peta 25%
konsep
2 Kesesuaian hubungan kata kunci dalam peta 25%
konsep
3 Kesesuaian jawaban learning objective dengan 25%
kasus skenario
4 Pemilihan daftar pustaka dan sitasi 25%

Dosen Pembimbing

Nanda Fadhilah Witris Salamy, dr. M. Si


SKENARIO 3
Batuk Lama
Tn. Wawan, usia 32 tahun, datang dengan keluhan utama batuk sejak 2
bulan yang lalu. Batuk berdahak berwarna putih kekuningan, Sering sumer dalam
2 bln ini . Keringat malam ada. Nafsu makan berkurang .Riwayat atopi dalam
anggota keluarga ada. Tetangga penderita ada yang mengalami keluhan yang
sama. Riwayat makan obat yang mengakibatkan BAK berwarna merah disangkal.
Hasil Pemeriksaan Fisik T: 120/80 mmHg, RR: 24x/menit, N: 90x/menit, T: 37,0
C. Kepala : Konjungtiva palpebra pucatLeher : Pembesaran kelenjar getah bening
tdk ada Thoraks :Inspeksi : simetris kanan dan kiri Palpasi : fremitus normal.
Perkusi : sonor ka dan ki. Auskultasi : vesikuler kanan dan ki Lain-Lain dalam
batas normal. Pemeriksaan Penunjang: Darah rutin : Hb 10%, Leukosit: 10.500,
RBC: LED 70 mm/jamHitung jenis : shift to the right, BTA -/-/-, Pemeriksaan
foto rontgen : gambaran fibro infiltrat pada sela iga I dan Iapangan paru kanan.

STEP I

Identifikasi Kata Sulit :

1. Sumer :Demam yang derajatnya rendah, dimana suhu tubuh sekitar


37,3 – 38oC
2. Atopi :Predisposisi genetik untuk membentuk reaksi
hipersensitivitas cepat terhadap antigen lingkungan umum (alergi atopik)
(Dorland, 2015)
3. Fibro Infilltrat :Bercak pada paru-paru

Kata Kunci :

1. Tn. Wawan, usia 32 tahun


2. Batuk sejak 2 bulan yang lalu
3. Batuk berdahak dengan warna putih kekuningan
4. Sumer dalam 2 bulan
5. Keringat malam
6. Nafsu makan berkurang
7. Ada riwayat atopi dalam anggota keluarga
8. Tetangga penderita ada yang mengalami keluhan sama
9. Riwayat makan obat yang mengakibatkan BAK berwarna merah
disangkal
10. Pemeriksaan Fisik (Vital Sign)
a. TD : 120/80 mmHg
b. RR : 24x/menit
c. N : 90x/menit
d. T : 37,0 oC
11. Pemeriksaan Fisik Kepala Leher
a. Kepala :Konjungtiva palpebra pucat
b. Leher :Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
12. Pemeriksaan Fisik Thorax
a. Inspeksi : Simetris kanan kiri
b. Palpasi : Fremitus Normal
c. Perkusi : Sonor kanan kiri
d. Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, lain-lain dalam batas
normal.
13. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Rutin
Hb 10% Leukosit: 10.500
b. LED 70 mm/jam
c. Hitung Jenis
Shift to the right
d. BTA (-/-/-)
e. Pemeriksaan foto rontgen
gambaran fibro infiltrat pada sela iga I dan Iapangan paru
kanan.

STEP 2

Identifikasi Masalah/Pertanyaan
1. Bagaimana mekanisme dari batuk berdahak?
2. Bagaimana mekanisme demam?
3. Mengapa nafsu makan dapat berkurang dan apa hubungannya dengan
keluhan batuk pasien?
4. Apa itu yang dimaksud riwayat atopi?
5. Berapakah nilai normal dari pemeriksaan vital sign (TD, RR, N, Suhu),
darah rutin (Hb, Leukosit), LED?
6. Mengapa dilakukan pemeriksaan BTA?
7. Apa dx dan dd dari skenario tersebut?
8. Bagaimana penegakan diagnosis dari penyakit pada skenario tersebut?
9. Mengapa ditemukan gambaran fibro infiltrat pada sela iga I dan Iapangan
paru kanan pasien?
10. Mengapa BAK pasien bewarna merah setelah mengonsumsi obat?

STEP 3

Jawaban Pertanyaan STEP 2:

1. Mekanisme batuk berdahak


Infeksi atau iritasi pada saluran napas akan menyebabkan hipersekresi
mucus pada saluran napas besar, terjadi hipertropi kelenjar submukosa
pada trachea dan bronchi. Hal ini juga ditandai dengan adanya peningkatan
sekresi sel goblet di saluran napas kecil, bronchi, bronchiole menyebabkan
produksi mucus berlebihan sehingga akan memproduksi sputum yang
berlebihan. Kondisi ini kemudian mengaktifkan rangsang batuk dengan
tujuan untuk mengeluarkan benda asing yang telah mengiritasi saluran
napas.
2. Mekanisme demam
Sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik,maka monosit, makrofag,
dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai
pirogen endogen (IL-1, TNFα, IL-6 dan interferon) yang bekerja pada
pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan termostat.
Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan
di suhu tubuh normal. Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan
titik patokan menjadi 38,9 0C, hipotalamus merasa bahwa suhu normal
prademam sebesar 37 0C terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-
mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh.

3. Mengapa nafsu makan dapat berkurang dan apa hubungannya


dengan keluhan batuk pasien?
Batuk pada skenario ini ada kemungkinan disebabkan karena
adanya infeksi bakteri. Ketika ada infeksi bakteri atau ada paparan agen
asing yang masuk ke dalam tubuh, akan terjadi aktivasi makrofag oleh
TNF γ serta terproduksinya sitokin pirogen endogen IL-1, IL-4, IL-6, dan
TNF α. Pirogen endogen akan bersirkulasi secara sistemik dan bereaksi
terhadap hypothalamus. Efek dari sitokin pirogen endogen tersebut
menyebabkan produksi prostaglandin. Prostaglandin akan merangsang
cortex cerebral dan produksi leptin akan meningkat. Leptin merupakan
hormon yang diproduksi sel adipose untuk mengendalikan rasa lapar dan
rasa kenyang. Sehingga ketika produksi leptin meningkat, maka akan
terjadi supresi nafsu makan.
4. Apa itu yang dimaksud riwayat atopi?
Atopi adalah kecenderungan personal dan/atau familial, biasanya
pada masa anak atau remaja, untuk tersensitasi dan menghasilkan IgE
sebagai respons terhadap pajanan alergen, biasanya protein. Istilah atopi
tidak dapat digunakan sebelum adanya bukti sensitisasi IgE yang ditandai
dengan radio allergo sorbent testing (RAST) atau uji tusuk kulit (UTK)
positif
5. Berapakah nilai normal dari pemeriksaan vital sign (TD, RR, Nadi,
Suhu), darah rutin (Hb, Leukosit), LED?
Tekanan Darah (TD) :
Interpretasi hasil pengukuran tekanan darah pada usia ≥ 18 tahun :

Denyut nadi (N) :


Frekunsi denyut nadi manusia bervariasi,tergantung dari banyak faktor
yang mempengaruhinya, :
1) Normal: 60-100 x/mnt
2) Bradikardi: < 60x/mnt
3) Takhikardi: > 100x/mnt
Suhu :
36,0 - 37,0oC
Respiratory Rate (RR) :
Dewasa : 12-14x / menit
Anak-anak : 20-50x / menit
Bayi : 30-40x / menit
Hemoglobin (Hb) :
Laki-laki : 13,4 – 17,7 g/dL
Perempuan : 11,4 – 15,1 g/dL
Anak-anak : 11 – 13 g/dL
Leukosit :
Laki-laki : 4.700 – 10.300 /cmm
Perempuan : 4.300 – 11.300 /cmm
LED (Laju Endap Darah) :
Laki-laki : 2 – 13 mm/jam
Perempuan : 2 – 20 mm/jam
6. Mengapa dilakukan pemeriksaan BTA?
Untuk menegakkan diagnosis setelah ditemukan atau diketahui adanya
gejala gejala yang merujuk pada penyakit TB
7. Apa dx dan dd dari skenario TB Paru?
Dx : TB Paru Dd: PPOK, Pneumonia
8. Bagaimana penegakan diagnosis dari penyakit TB Paru?
Gejala utama pasien TB Paru ialah batuk berdahak selama 2-3 minggu
/lebih, Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan seperti dahak
bercampur darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan. Hal tersebut juga dikuatkan dengan
adanya pemeriksaan sputum/dahak yang diamati secara mikroskopis yang
dikumpulkan selama 2 hari kunjungan yang berurutan
(SewaktuPagiSewaktu). Diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) pada pemeriksaan mikroskopis/
pemeriksaan BTA. Lalu, pada kondisi tertentu dapat dilakukan foto thorax
sesuai dengan indikasi. Terdapat 3 indikasi, yaitu
1) Hanya satu dari 3 spesimen dahak yang dimana pemeriksaan BTA
positif
2) Ketiga hasil pemeriksaan BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non-OAT.
3) Pasien mengalami sesak napas berat yang diperlukan penanganan
khusus
9. Mengapa ditemukan gambaran fibro infiltrat pada sela iga I dan
Iapangan paru kanan pasien?
Karena kuman Mycobacterium menyukai daerah paru yang kadar
udaranya tinggi di lapang atas paru. Secara umum, infiltrate paru foto dada
merupakan adanya gambaran proses radang dengan bentukan zat yang
lebih padat dibandingkan udara yang berada di dalam jaringan paru.
Gambaran infiltrat ini dapat berupa darah, nanah, protein , dahak sebagai
akibat proses radang dari jaringan paru. Sedangkan radang sendiri dapat
disebabkan oleh adanya infeksi ataupun proses inflamasi jaringan itu
sendiri.
10. Mengapa BAK pasien bewarna merah setelah mengonsumsi obat?
Karena adanya proses metabolisme dari pemberian obat antibiotika OAT

STEP 4

Mind Mapping

STEP 5

Learning Objective

1. Mahasiswa dapat menjelaskan struktur anatomi dan histologi paru-paru


2. Definisi, etiologi, klasifikasi batuk
3. Bagaimana mekanisme dan reflek batuk?
4. Bagaimana pengobatan dan tatalaksana batuk?
5. Apa definisi dan klasifikasi TB?
6. Definisi, Epidemiologi (khususnya di Indonesia) dan edukasi penyakit TB
Paru?
7. Patologi Anatomi TB Paru
8. Etiologi dan Patogenesis penyakit TB Paru?
9. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis penyakit TB Paru?
10. Pemeriksaan apa saja yang dapat dilakukan jika pasien mengalami
penyakit TB Paru?
11. Bagaimana pengobatan dan tata laksana penyakit TB Paru?

STEP 6

Belajar Mandiri

STEP 7

(Hasil Belajar Mandiri)

1. Struktur Anatomi dan Histologi Paru-Paru

Anatomi PARU

PLEURA.

Pleura adalah saatu membran serous mesothelium yang membatasi cavitas


pleuralis, terletak profundus terhadap fascia endothoracica dan dapat dibedakan
menjadi:

1. Pleura parietalis berdasarkan letaknya dengan struktur yang berdekatan, dapat


dibedakan menjadi :
a pleura costalis
b pleura mediastinalis
c. pleura diaphragmatica
d. cupula pleurae (pleur cervicalis).

2. Pleura visceralis (pulmonalis), lapisan ini langsung meliputi permukaan luar


pulmo. Pleura parietalis, sebagian besar terdiri dari serabut-serabut kolagen
dan sedikit serabut elastik. Permukaan dalamnya licin dan dilapisi oleh
mesothelium. Pleura visceralis relatif lebih tebal, permukaan luarnya dilapisi
mesothelium dan dibawahnya terdapat serabut-serabut kolagen serta elastik.
Kedua lapisan pleura ini dapat menahan regangan cukup lama tanpa
mengalami kerusakan.

Pleura parietalis akan bertemu dengan pleura visceralis pada radix


pulmonis dan ligamentum pulmonale, sehingga terbentuk suatu ruangan tertutup
yang disebut cavitas pleuralis. Ruangan ini dalam keadaan normal hanya berisi
cairan setipis kapiler, yang berfungsi untuk memudahkan pergeseran permukaan
kedua pleura yang berhadapan pada waktu berlangsungnya pemafasan

Garis pertemuan antara pleura costalis dengan pleura mediastinalis dapat di


proyeksi pada permukaan dinding thorax dan proyeksi-proyeksi ini dikenal
sebagai garisa refleksi pleura. Garis-garis proyeksi ini tidak sama antara yang
kanan dengan yang kiri oleh karena sebagian besar jantung terletak disebelah kiri
garis median. Jalannya garis - garis refleksi pleura adalah sebagai berikut :

- Releksi anterior, baik kanan maupun yang kiri turun dari pancak
cupula pleura menyilang articulus sternoclavicularis. Keduanya kemudian
bertemu di line mediana sterni setinggi angulus sternalis (cartilago costa ke
2).
- Refleksi kanan, kemudian melanjutkan diri lurus ke caudal sejajar
dengan tepi sternum sampai pada pertemuan cartilago costalis ke 6 dengan
sternum, kemudian berjalan serong ke lateral.
- Refleksi kiri, juga melanjutkan diri lurus ke caudal tetapi mulai
setinggi cartilago costalis ke 4 menjauhkan diri dari refleksi kanan sampai
batas kiri sternum Kemudian berjalan serong ke caudal kiri melewati
tempat pertemuan cartilago costalis ke 5 dengan sternum, mencapai
cartilago costalis ke 6 dan mengikuti ini ke lateral.
- Refleksi inferior kanan, menyilang tepi medioclavicularis,
menyilang costa ke 10 pada linea axillaris media dan berakhir setinggi
pertengahan corpus vertebra thoracalis 12.
- Refleksi inferior kiri, menyilang batas antara ke 7 dengan cartilago
costalisnya pada linea medioclavicularis, menyilang costa ke 10 pada linea
axillaris media dan berakhir setinggi pertengahan corpus vertebra
thoracalis 12.
- Reflesi posterior, kanan dan kiri berjalan vertikal dari pertengahan
corpus vertebra thoracalis 12 sampai ke cupula pleurae

Refleksi pleura lebih besar dari refleksi pulmo sehingga pada tempat -
tempat tertentu terdapat ruangan potensial yang disebut recessus pleurales.

Ruangan-ruangan ini terdiri dari:

- Recessus (sinun) costodiaphragmatica dextra et sinistra, yainu bagian dari


cavitas pleuralis yang terletak diantara pleura costalis dengan pleura
diaphragmatica.

- Recessus (sinus) cosiomediastinalis, adalah bagian dari cavitas pleuralis sinistra


yang terletak diantara pleura costalis dengan pleura mediastinalis

Apabila dilihat dari sebelah dorsal maka cupula pleurae sebagai batas
paling cranial pleura menonjol tapi tidak melampaui collum costa ke 1. Akan
tetapi di sebelah ventral cupula pleurae menonjol 2,5 cm diatas ujung sternal costa
ke 1, sehingga ia akan kebih mudah mendapat trauma dari ventral.
Vascularisasi pleura.

Pleura parietalis, mendapat darah dari cabang cabang Aa.intercostalis


posterior, Aa.thorscics interna dan Aa.phrenica superior.

Pleura visceralis mendapat darah dari cabang cabang Aa. Bronchiales,


tetapi darah akan kembali melalui Vv. Pulmonalis.

Inervasi pleura.

Pleura costalis mendapat serabut-serabut sensorik dari Na. intercostalis ke


l-ll dan N. subcostalis. Rangsangan pada daerah ini akan dirasakan sebagai rasa
nyeri yang keluar dari dalam dibelakang costa atau ruang antar costa.

Bagian perifer pleura diaphragmatica mendapat serabut-serabut sensorik


dari Na. intercontalis bagian bawah. Rangsangan nyeri pada daerah ini akan
menyebar pada dinding lateral thorax dan dinding ventral abdomen sebab No.
intercostalis bagian bawah menginnervasi daerah ini.

Pleura diaphragmatica bagian central dan pleura mediastinalis diinnervasi


oleh Na. phrenici. Rangsangan pada bagian ini akan menyebar sesuai dengan
distribusi Na. CJ-S, yaitu pada daerah kuduk dan bahu.
Pleura visceralis tidak sensitif, walaupun juga mengandung serabut-
serabut sarat, beberapa diantaranya merupakan serabut-serabut vasomotorik,
sedangkan yang lain berasal dari N. vagus yang membentuk akhiran-akhiran
sensorik yang belum diketahui fungsinya.

PULMO.

Pulmo adalah organ respirasi yang berbentuk seperti kerucut, melekat pada
trachea dan cor melalui radix pulmonia dan ligamentum pulmonale. Organ ini
konsistensinya lunak. spongiosus dan elastia. Pulmo yang sehat selalu
mengandung udara (berat jenisnya 0,342) oleh karena itu akan terapung di air dan
bila ditekan akan terdapat krepitasi. Pulmo dari individu yang belum pernah
bernafas tidak mengandung udara (berat jenisnya 1,062 - 1,068) oleh karena itu
akan tenggelam di air.

Pulmo pada fetus dan anak yang baru lahir berwarna putih kemerahan,
dengan bertambahnya usia warnanya lambat laun akan berubah menjadi abu-abu
gelap atau kebiruan.

Pulmo dexter lebih berat, lebih lebar (oleh karena yang sinistra didesak
cor) dan lebih pendek (sebab kubah diaphragma yang kanan lebih dalam karena
adanya bepar) dibandingkan dengan pulmo sinistra.

Bagian bagian pada permukaan pulmo.

Apex pulmonis.

Bagian ini terletak di dalam cupula pleurae dan menjulang keatas sampai
setinggi collum costa ke I ke basis leber.

Basis pulmonis atau facies diaphragmatica pulmonis. Bentuknya cekung


sesuai dengan bentuk diaphragma dibawahnya. Oleh karena adanya hepar
disebelah kanan, maka diaphragma di bagian kanan lebih menonjol ke dalam
cavitas thoracis dibandingkan yang kiri. Akihatnya maka basis pulmonis dextra
lebih cekung dari yang sinistra, juga pulmo dextra lebih pendek dari pulmo
sinistra.

Facies costalis, bagian ini biasanya sedikit menonjol ke ruang antar costa.
Facies medialis.

Bagian ini dapat dibedakan lagi menjadi :

- Facies vertebralis, bentuknya membulat dan terletak di dalam cekungan di


kanan kiri columna vertebralis.
- Facies mediastinalia, bagian ini berhadapan dengan mediastimum sehinga
pada permukaannya terdapat cetakan-cetakan (impresiones) struktur-
struktur dalam mediastimum (misal : impresio candiaca).

Radix pulmonis.

Terletak pada facies mediastinalis pulmonis dan merupakan kumpulan


struktur keluar masuk melalui hilum pulmonis.

Ligmentum pelmonale.

Secara embryologis dibentuk dari evaginasi lungs bud ke dalam cavitas


thoracic. Terletak pada facies mediastinalis pulmonis dan terbentang mulai hilum
pulmonis sampai ke basis pulmonis.

Pembagian pulmo.

Para-paru terbagi menjadi beberapa lobi oleh celah-celah yang disebut


fissurae, yakni fassura obliqua (terdapat pada kedua pulmo) dan fissura
horizontalis (hanya terdapat pada pulmo dextra).

Pulmo dextra, terdiri dari 3 lobi yaitu lobus superior, lobus medius dan
lobus inferior. Lobus superior letaknya cranial dan ventral, lobus inferior terletak
caudal dan dorsal sedangkan lobus medius terdapat diantara lobus superior dan
lobus inferior.

Pulmo sinister, terdiri dari 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior.
Lobus superior dapat dinamakan lobus anterior oleh karena merupakan hampir
seluruh Bgian ventral pulmo sinister. Bagian anteroinferior lobus superior berupa
tonjolan kecil yang menyerupai lidah dan disebut lingula pulmonis sinistri. Lobus
inferior dapat dinamakan lobus posterior oleh karena ia terletak dibagian dorsal
thorax.
Pulmo dapat dibagi lagi menjadi unit-unit yang lebih kecil yang disebut
segmen-segmen. Suatu segment pulmonis adalah bagian dari lobus pulmonis yang
diliputi oleh suatu kapsul jaringan ikat yang melanjtkan diri ke pleura visceralis
dan mempunyai bronchus dari orde ke 3 serta pembuluh-pembuluh darahnya
sendiri.

Dengan demikian maka pembagian pulmo adalah sebagai berikut :

Pulmo dester

- Lobus superior : - segmentum apicale

- segmentum posterius

- segmentum anterius

- Lobus medius : - segmentum laterale

- segmentum mediale

- Lobus inferior : - segmentum apicale (superius)

- segmentum basale mediale (cardiacum)

- segmentum basale anterius

- segmentum basale laterale

- segmentum basale posterius

Pulmo sinister :

Lobus superior :- segmentum apicoposterius

- segmentum anterius segmentum lingulare superius

- segmentum lingulare inferius Lobus inferior

- segmentum apicale (superius) segmentum basale


anterius

- segmentum basale mediale

- segmentum basale laterale


- segmentum basale posterius.

Arber brenchiale (percabangan bronchus):


Pengetahuan mengenai beatuk dan percabangan bronchus sangat penting
untuk dipakai sebagai pedoman dan pegangan pada waktu kita melakukan
bronchoscopy, broachopapby dan untuk memudahkan kita dalam membaca dan
menilai gambar-gambar Roentgen.

Trachea.

Terletak di dalam mediastinum superius ventral dari oesophagus,


panjangnya 12 cm dan penampangnya 2 cm. Setinggi angulus sternalis atau
vertebra thoracalis ke 5, trachea akan bercabang 2 (bifurcatio trachea), yaitu
bronchus primarius (principalis) dexter et sinister. Tracbea terdiri dari pars
cartilagines dan pars membranaceus. Pars cartilagines tersusun oleh 16 - 20 tulang
rawan berbentuk tapal kuda yang menghadap ke ventral. Pars membranaceus
menghubungkan kedua ujung pars cartilagines yang terbuka di bagian dorsal dan
terdiri dari otot dan jaringan ikat. Di sebelah dalam bifurcatio trachea terdapat
tonjolan cincin trachea terakhir yang disebut carina.

Bronchus primarius dexter.


Bila dibandingkan dengan yang sinistra maka bronchus ini lebih pendek,
berpenampang lebih besar dan membuat sudut yang lebih kecil terhadap trachea.
la juga lebih cepat mengeluarkan cabang pertamanya yaitu bronchus lobaris
superior. A. pulmonalis berjalan caudal dari cabang pertama ini, oleh karena itu
maka bronchus lobaris superior dexter disebut bronchus eparterialis. Jarak
percabangan pertama ini dengan percabangan berikutnya agak panjang dan bagian
bronchus principalis dexter antara percabangan pertama dan percabangan kedua
disebut bronchus intermedius. Pada ujung bronchus intermedius akan keluar
bronchus lobaris medius dan bronchus lobaris inferior dexter. Dari masing-masing
bronchi lobaris akan keluar bronchi segmentalis.

Bronchus primarius sinister.

Lebih lambat mengeluarkan cabang pertamanya yaitu brochus lobaris


superior sinister. A. pulmonalis sinistra berjalan cranial terhadap bronchus ini,
olch karena itu bronchus lobaris superior sinistra disebut bronchus hyparterialis.
Bronchus lobaris superior sinistra biasanya akan bercabang 2 yaitu ramus
ascendens dan ramus descendens dan barulah kemudian bercabang-cabang
menjadi bronchi segmentalis Cabang kedua dari bronchus primarius sinister
adalah bronchus lobaris inferior sinister yang mempunyai 4 cabang bronchi
segmentalis.

Percabangan bronchus selengkapnya adalah sebagai berikut :

- Bronchus lobaris superior dexter


- bronchus segmentalis apicalis
- bronchus segmentalis posterior
- bronchus segmentalis anterior
- bronchus lobaris medius :
- broncus segmentalis lateralis
- bronchus segmentalis medialis
- bronchus lobaris inferior dexter :
- bronchus segmentalis apicalis
- bronchus segmentalis basalis medialis (cardiacus)
- bronchus segmentalis basalis anterior
- bronchus segmentalis basalis lateralis
- bronchus segmentalis posterior

Bronchus principalil salster:

- bronchus lobaris superior sinister:

- ramus ascendens:

- bronchus segmentalis apicoposterior

- bronchus segmentalis anterior

- ramus descendens:

- bronchus segmentalis lingularis superior

- broncbus segmentalis lingularis inferior

- bronchus lobaris inferior sinister :

- bronchus segmentalis apicalis (superior)

- bronchus segmentalis basalis medialis

- bronchus segmentalis basalis anterior

- bronchus segmentalis basalis lateralis

- bronchus segmentalis basalis posterior.


Peredaran darah pada pulmo.

Terdiri dari dua sistem yaitu sirkulasi fungsional dan sirkulasi nutritif.

Sirkulasi fungsional.

Pembuluh-pembuluh darah yang mengatur sirkulasi fungsional disebut


"vasa publica". Truncus pulmonalis kehar dari conus arteriosus ventriculus
dexter, setelah 3 cm ia bercabang menjadi A. pulmonalis dextra et sinistra.
Kedua arteri ini masing-masing akan memasuki pulmo melalui hilum
pulmonis.

Pada hilum pulmonis dextra, A. pulmonalis terletak disebelah ventral dari


bronchus sedangkan Vv. pulmonalis I terletak caudal dari arteri I terletak
caudal dari bronchus Pada hilum, pulmonis sinistra, A. pulmonalis terletak
cranial dari bronchus sedangkan Vv. pulmonalis I terletak ventral dari
bronchus sedangkan yang lain terletak caudal dari bronchus.
Pada umumnya cabang-cabang A pulmonalis mendekati serta mengikuti
percabanganarbor bronchialis. Masing-masing A. pulmonalis setelah
mengeharkan cabang untuk lobus uperior, berjalan ke caudal pada
dorsolateral dari bronchus yang diikutinya. Cara cabang cabang segmental
dan subsegnental menyebar secara nadier dari hilumpulmonis ke dalam
adalah sebagai berikut :

- đi sebelah medial bronchus jalannya ke cranial

- di sebelah cranial bronchus jalannya transversal

- di sebelah lateral bronchus jalanya ke caudal.

Setelah mencapai bronchioli respiratorii, A. pulmonalis segera membentuk


anyaman kapiler yang mengelilingi alveoli.

Darah yang telah mengalami oksigenasi pada plexas capillarisalveolaris


akan dialirkan kembali melalui Vv.intersegmental yang kemudiga bergabung
membentuk Vv. lobaris. V. lobaris superior dan V. lobaris medius V.
lingularis akan bergabung dan membentuk V. pulionalis superior. V. lobaris
inferior akan bermuarn ke dalam V. pulmonalis inferior. Vena pulmonalis
superior dan vena pulmonalis inferior dextra et sinistra akan bermuara ke
dalam atrium sinistrum.

Sirkulasi nutritif.

Sirkulasi ini dilayani oleh vasa bronchialis yang đisebut sebagai vasa
privata. Aa. bronchialis dextra et sinistra vertebra thoracalis Ke 4 - 5. Cabang-
cabang arteri ini kemudian memasuki lapisan adventitia dari bronchi dan pada
tingkat bronchioli respiratorii sudah pecah kapiler-kapiler. merupakan cabang
aorta descendens yang keluar setingg

Dengan demikian sesudah bronchioli respiratorii, fungsi nutritil bagi


jaringan pulmo akan dilayani oleh cabang-cabang A. pulmonalis dan darah
dialirkan kembali melalui Vv. pulmonalis. Darah dari daerah hilum
pulmonalis dialirkan kembali melalui Vv. bronchials dan selanjutnya masuk
ke V. azygos atau V. hemiazygos.
Aliran lymphe pulmo.

Aliran lymphe pada pulmo terdiri dari 2 bagian yaitu aliran superficial dan
aliran profunda.

Aliran lymphe superficial.

Di mulai dari daerah ductuli alveolaris, kemudian berjalan secara


sentripetal mengikuti jalannya cabang-cabang Vv. pulmonalis kemudian
menuju ke Lnn. bronchopulmonalis pada hilum pulmonalis dan akhimya ke
Lnn. Tracheobronchialia.

Aliran lymphe superficial.

Melayani dacrah 2 - 3 mm, dibawah pleurn visceralis, kemudian


mengalirkan limfanya ke Lnn. tracheobronchialis yang terdiri dari :
- Lnn. tracheobronchialis inferior (1), menerima aliran dari lobus medius
dan lobus inferior,
- Lnn. tracheobronchialis superior (2), menerima aliran dari lobus superior.
Kemudian saluran-saluran lymphe bagian kanan akan dialirkan melahui
truncus bronchomediastinalis dexter ke ductus lymphaticus dexter.
Sedangkan saluran-saluran lymphe sebelah kiri akan langsung menuju ke
ductus thoracicus.

Innervasi pulmo.
Dilayani oleh cabang-cabang N. vagus dan serabut serabut sympathis dari
ganglia thoracalis (1) - 11 - II - IV - (V) yang akan membentuk plexus
pulmonalis anterius (ventral dari bronchus) dan plexus pulmonalis posterius
(dorsal dari bronchus). Kualitas dari plexus ini adalah viscerosensorik dan
visceromotorik.
HISTOLOGI PARU
BRONCHUS INTRA PULMONALIS.
Adalah bronchus yang sudah memasuki jaringan paru. Selalu
berjalan interlobuler, diselubungi oleh jaringan ikat interlobularis yang
merupakan kelanjutan jaringan ikat dari hilus. Didekatnya berjalan
pembuluh darah yang merupakan cabang dari arteria dan vena
pulmonalis (Gambar 15-6).
Gambar 15.6. Tampak
bronkus yang memiliki
keping tulang rawan
(panah putih), vasa
bronkialis (panah kuning)
yang terdapat pada
lamina propria bronkus
dan di sekitarnya bisa
ditemui arteri (panah
hitam) dan vena
pulmonalos (panah
hijau).

Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea,


kecuali pada susunan kartilago dan otot polosnya. Terdapat beberapa
lapisan antara lain (Gambar 17-8) :
 TUNIKA MUKOSA (LAMINA PROPRIA):
- Dilapisi oleh epitel berderet silindris dengan kinosilia dan
sel goblet dan mempunyai lamina basalis yang jelas.
- Lamina propria tipis, terdiri atas jaringan ikat kendor yang
mengandung sabut-sabut elastis dan sabut-sabut retrikuler
yang berjalan longitudinal.
- Bronchi bercabang-cabang sebagai bronchial tree yang
makin lama makin kecil dan bronchus terkecil dilapisi
oleh epitel selapis silindris, silia, dan sel goblet.
- Pada perbatasan dengan submukosa terdapat otot polos
yang tersusun spiral mengelilingi bronchus sehingga otot
polos ini tampak terputus-putus danterlihat semakin jelas
di cabang bronkus yang lebih keci (Gambar 17-7).
- Otot polos ini ibarat muskularis mukosa.
- Terdapat sabut-sabut elastis yang memadat.
 TUNIKA SUBMUKOSA:
Terletak disebelah dalam dari tulang rawan yang terdiri atas
jaringan ikat kendor yang mengandung kelenjar serous dan
mukous (kelenjar campur) serta terdapat jaringan lymfoid.
 TULANG RAWAN HYALIN:
Berupa lempengan-lempengan tulang rawan yang ireguler
mengelilingi limen sehingga pada potongan melintang tampak
seperti kepingan-kepingan atau pulau-pulau.
 TUNIKA ADVENTITIA:
Terdapat cabang-cabang dari arteri dan vena bronchialis
(Anthony, 2017).
BRONCHIOLUS.
Bronchiolus yaitu jalan nafas intralobuler dengan penampang
berkisar 1 mm dan tidak memiliki kartilago, kelenjar maupun
lymfonoduli dalam mukosanya dengan Tunika Adventitia yang tipis.
 TUNIKA MUKOSA:
Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya dilapisi oleh
epitel bertingkat silindris bersilia dan sel goblet, namun semakin
memendek dan sederhana menjadi epitel selapis silindris bersilia
atau selapis kuboid di bronchiolus terminalis yang lebih kecil.
Sel goblet menghilang selama peralihan ini, tetapi epitel
bronchiolus terminalis mengandung sejumlah besar sel
kolumnar lain yaitu sel bronkiolar eksokrin yang disebut sel
Clara, sel yang aktif bermitosis berbentuk seperti kubah dengan
apex menonjol ke arah lumen dengan sifatnya sebagai sekretoris
membentuk cairan bronchial dan surfactant (Gambar 17-10).
Lamina Propria mengandung sabut-sabut elastis dan otot polos
(muskulari mukosa) yang lebih tebal dibandingkan dengan otot
polos pada bronchus intra pulmonalis (Anthony, 2017).

BRONCHIOLUS TERMINALIS.
Hanya dapat didiagnosa pada potongan membujur (pada
potongan melintang tidak dapat dibedakan dengan bronchiolus kecil)
yang merupakan segmen pendek sebelum menjadi bronchiolus
respiratorius.
- Dilapisi oleh epitel selapis kubis dengan sel-sel yang bersilia
(penting untuk drinage yang kemudian fungsi ini akan diambil
oleh makrofag)
yang terletak diantara sel-sel kubis yang tidak bersilia.
- Belum ada muara alveoli.

BRONCHIOLUS RESPIRATORIUS.
Bronciolus respiratorius (Gambar 17-11) dilapisi oleh epitel
kuboid bersilia dan sel Clara. Muara alveoli sudah ada sehingga
pertukaran gas sudah mulai terjadi. Pada tepi muara alveolus,
epitelnya akan menyatu dengan sel-sel alveolus tipe 1 yang mana
semakin ke arah distal jumlah alveolusnya semakin banyak dengan
jarak di antaranya semakin pendek dan silia dari epitel penyusunnya
dapat tidak dijumpai.
Mempunyai sabut otot polos namun tidak melingkari lumen,
hanya tampak sebagai benjolan-benjolan atau garis tebal yang terputus
putus karena disela oleh muara alveoli. Mempunyai sabut elastis dan
sabut retikuler (Anthony, 2017).

Gambar17-11. Bronchiolus respiratorius,sakus alveolaris, duktus alveolaris,


alveolus.
DUCTUS ALVEOLARIS.
Bronkiolus respiratorius bercabang menjadi saluran yang
disebut ductus alveolaris yang sepenuhnya dilapisi oleh muara alveoli
(Gambar 17-12) dengan dinding tipis dilapisi oleh epitel selapis
pipih. Sabut otot polos hanya tampak seperti titik-titik saja karena
disela oleh muara alveoli yang sangat banyak dan otot polos ini
tampak jelas diujung-ujung muara alveoli. Mempunyai sabut elastis
dan sabut retikuler.

SACCUS ALVEOLARIS.
Ruangan multilokuler berbentuk bunga, dibentuk oleh beberapa
alveoli. (Gambar 17-12). Tidak memiliki otot polos, antara alveolus
yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh septum interalveolaris.
Mempunyai sabut elastis untuk mengembang kempiskan alveoli dan
sabut retikuler untuk mencegah over distensi dari alveoli, membentuk
jalinan rumit yang mengelilingi muara antrium, saccus alveolaris, dan
alveoli.

ALVEOLUS.
Alveolus merupakan evaginasi mirip kantong berbentuk
hexagonal (mirip sarang lebah) di bronchiolus respiratorius, ductus
alveolaris, dan saccus alveolaris untuk keluar masuknya udara.
Alveoli juga bertanggung jawab atas terbentuknya struktur berongga
dalam paru, mempunyai sabut elastis, sabut retiker dan septum
interalveolare (Gambar 17-11 dan Gambar 17-12).

Septum Interalveolare:
Dinding tipis antar alveoli yang dilapisi oleh epitel selapis pipih.
Mempunyai sabut elastis, sabut retikuler, kaya akan kapiler.
Mempunyai lubang-lubang halus yang disebut alveolar pores untuk
menjaga keseimbangan tekanan antar alveoli. Sel-sel yang terdapat
pada septum interalveolare antara lain:
a. Sel type I/ Squamous alveolar cells/ sel epitel permukaan.
Lapisan penutup yang lengkap pada permukaan alveoli
berbentuk pipih dan terdapat inti pipih dengan sitoplasma yang
sedikit. Sel tipe I (Gambar 17-14) ini menempati 97% dari
permukaan alveolus (sisanya ditempati sel tipe II). Fungsi utama
sel ini adalah membentuk sawar dengan ketebalan sawar dengan
ketebalan minimal yang dapat dilalui gas dengan mudah.
b. Sel type II/ Great alveolar cells/ septal sel.
Sel type II (Gambar 17-14) ini berbentuk kuboid sampai
bundar yang biasanya berkelompok dua sampai tiga di sepanjang
permukaan alveolus, pertemuan dinding alveolus. Memiliki inti
vasikuler, sitoplasmanya banyak dan bervakuola. Vakuola atau
vesikel ini disebabkan adanya badan lamela yang menghasilkan
materi yang menyebar di atas permukaan alveolus berupa surfaktan
paru, membentuk lapisan ekstrasel yang menurunkan tegangan
permukaan.
Sel-sel ini membelah secara mitosis untuk menggantikan
populasinya sendiri dan juga menggantikan populasi sel tipe I.
c. Sel endotel kapiler.
Mirip seperti sel tipe I, sel gelap dengan inti pipih dan
sitoplasma sedikit. Sel endotel melapisi dindig kapiler.
d. Alveolar macrophage/ alveolar phagocytes/ dust cells
Sama seperti makrofag biasa, tapi terletak pada septum
interalveolaris, alveolar space dan antara septum interalveolaris
dengan alveolar space. Bila memphagositir debu disebut dust cell.
Bil memphagositir erythrosit (pada heart failure) disebut heart
failure cells.
Blood air barrier.
Adalah struktur yang dilalui oleh gas-gas pada proses pertukaran
gas antara ruang alveolus dan darah dalam kapiler. Strukturnya terdiri
atas:
- Epitel selapis pipih dari alveoli.
- Interstitial space adalah ruang antara lamina basalis epitel
alveoli dengan lamina basalis kapiler.
- Endotel kapiler.

PEMBULUH DARAH DALAM PARU


1. Arteri atau vena pulmonalis
Arteri pulmonalis membawa darah yaitu deoxygenated (miskin
oksigen) dari ventrikel kanan jantung. Cabang-cabang arteri
pulmonalis mengikuti bronchial tree sampai bronchiolus
respiratorius sebagai terminal arteriole, kemudian membentuk
pleksus kapiler di dalam septum interalveolaris dan kembali
sebagai venule yang membawa darah oxygenated (kaya oksigen)
berjalan sendirian di dalam jaringan ikat dari septum interlobularis.
Mulai apex lobulus, cabang vena pulmonalis ini akan berjalan
berdampingan lagi dengan cabang arteria pulmonalis dan berjalan
bertiga dengan bronchus intra pulmonalis.
2. Arteri atau vena bronchialis
Bersifat nutrifit, memberi makan pada paru-paru dan
sekitarnya. Berasal dari aorta. Cabang-cabangnya lebih kecil dari
cabang arteri atau vena pulmonalis. Berjalan pada tunika adventitia
dari bronchus dan bronchiolus dan sesudah bronchiolus
respiratorius, cabang terakhir dari arteri atau vena bronchialis akan
beranastomose dengan kapiler-kapiler dari cabang arteria
pulmonalis.
PEREDARAN LYMFE:
Superficial/ pleura set.
Mengalirkan cairan lymfe dari perifer paru ke hilus.
Deep/ pulponary set:
A. Pembuluh lymfa yang berasal dari septum interlobularis akan
berjalan bersama dengan cabang-cabang vena pulmonalis.
B. Pembuluh lymfa yang berasal dari dalam lobulus paru akan
berjalan mengikuti bronchial tree.
A dan B menuju hilus dan akan berhubungan dengan yang
superficial set. Di dalam hilus pulmonalis terdapat limphonoduli.

PLEURA
Permukaan luar paru dan dinding internal rongga toraks dilapisi oleh
suatu membran serosa yang disebut Pleura (Gambar 17-18).
Gambar 17-18. Pleura. (a): menggambarkan pleura parietalis yang
melapisi permukaan internal rongga toraks dan pleura viseralis yang
melapisi permukaan eksternal paru. Di antara kedua lapisan tersebut
adalah celah sempit rongga pleura. (b): mesotel skuamosa selapis (M)
atau pada selapis tipis jaringan ikat, seperti pada gambar untuk pleura
viseralis melapisi alveoli (A). Pembuluh darah (V) dan pembuluh
limfe (L).
1. Pleura parietalis adalah membran yang melapisi dinding rongga
toraks sampai hilus pilmonalis.
2. Pleura viseralis adalah membran yang melekat pada permukaan
paru.
Diantara keduanya terdapat rongga yang disebut cavum pleura / pleura
cavity yang pada keadaan normal berisi cairan serous berfungsi
sebagai pelumas untuk memudahkan pergeseran antar permukaan
pleura selama gerakan pernafasan. Pleura terdiri atas jaringan ikat
pada yang dilapisi oleh mesotel dan berisi sabut elastis, sabut kolagen,
makrofag, kapiler, pembuluh lymfa dan sabut saraf.

Pada keadaan patologis tertentu, rongga pelura dapat


mengandung cairan atau udara karena sifatnya cukup permeabel untuk
air dan cairan yang keluar melalui eksudasi.Selain itu, pada TBC paru,
cavum pleura berisi cairan keruh dan berbau, pada Carcinoma paru
berisi darah, dan pada pneumonia berat berisi pus (nanah).

2. Definisi, etiologi, klasifikasi batuk


a) Pengertian Batuk

Batuk merupakan refleks yang terangsang oleh iritasi paru-paru


atau saluran pernapasan. Bila terdapat benda asing selain udara yang
masuk atau merangsang saluran pernapasan, otomatis akan batuk untuk
mengeluarkan atau menghilangkan benda tersebut. Batuk biasanya
merupakan gejala infeksi saluran pernapasan atas (misalnya batuk-pilek,
flu) dimana sekresi hidung dan dahak merangsang saluran pernapasan.
Batuk juga merupakan cara untuk menjaga jalan pernapasan tetap bersih.
Ada dua jenis batuk yaitu batuk berdahak dan batuk kering. Batuk
berdahak adalah batuk yang disertai dengan keluarnya dahak dari batang
tenggorokan. Batuk kering adalah batuk yang tidak disertai keluarnya
dahak (Depkes RI, 2007). Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh
di saluran pernapasan dan merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi
tubuh terhadap iritasi tenggorokan karena adanya lendir, makanan, debu,
asap dan sebagainya (Manan, 2014).

b) Gejala Batuk Gejala-gejala batuk antara lain :


1) Pengeluaran udara dari saluran pernapasan secara kuat, yang
mungkin disertai dengan pengeluaran dahak.
2) Tenggorokan sakit dan gatal (Depkes RI, 2007).
c) Penyebab Batuk
Batuk dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain :
1) Infeksi Produksi dahak yang sangat banyak karena infeksi saluran
pernapasan. Misal: flu, bronkhitis, dan penyakit yang cukup serius
meskipun agak jarang yaitu pneumonia, TBC dan kanker paru-
paru.
2) Alergi - Masuknya benda asing secara tidak sengaja ke dalam
saluran pernapasan . Misal: debu, asap, cairan dan makanan. -
Mengalirnya cairan hidung ke arah tenggorokan dan masuk ke
saluran pernapasan Misal : rinitis alergika, batuk pilek. -
Penyempitan saluran pernapasan misal pada asma (Depkes RI,
2007).
d) Klasifikasi Batuk
1) Jenis-jenis Batuk Berdasarkan Waktu
 Batuk berdasarkan durasi atau waktu dapat dibedakan menjadi 3
yaitu :
- Akut merupakan fase awal dan masih mudah untuk
sembuh. Jangka waktunya kurang dari tiga minggu dan
dapat terjadi karena iritasi, bakteri, virus, penyempitan
saluran nafas atas.
- Sub akut merupakan fase peralihan dari akut menjadi
kronis. Dapat dikategorikan sebagai sub akut jika batuk
sudah 3-8 minggu dan dapat terjadi karena gangguan pada
epitel.
- Kronis merupakan batuk yang sulit untuk disembuhkan
karena penyempitan saluran nafas bagian atas dan terjadi
lebih dari 8 minggu.
 Berdasarkan sebabnya batuk dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :
- Batuk Berdahak yaitu batuk yang terjadi karena adanya
dahak pada tenggorokan. Batuk berdahak disebabkan oleh
paparan debu, lembab berlebih, alergi dan lainnya. Batuk
berdahak merupakan mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan zat-zat asing dari saluran nafas, termasuk
dahak. Batuk jenis ini terjadi relatif singkat.
- Batuk Kering yaitu batuk yang tidak mengeluarkan
dahak. Pada batuk jenis ini tenggorokan akan terasa gatal,
sehingga merangsang timbulnya batuk.
- Batuk yang Khas yaitu sebagai berikut :
a. Batuk Rejan, bisa berlangsung selama 100 hari. Bisa
menyebabkan pita suara menjadi radang dan suara paru.
b. Batuk Penyakit TBC, berlangsung selama berbulan-bulan,
kecil-kecil, timbul sekali-sekali kadang-kadang hanya
berdehem. Pada batuk TBC dapat disertai dengan
keluarnya darah segar.
c. Batuk Karena Asma, sehabis serangan asma lendir akan
banyak diproduksi oleh tubuh, dan lendir inilah yang
memicu timbulnya batuk.
d. Batuk Karena Penyakit Jantung Lemah, darah yang
terbendung di paru-paru menjadikan paru-paru basah
sehingga merangsang timbulnya batuk.
e. Batuk Karena Kanker Paru-Paru Menahun Yang Tidak
Sembuh, batuk jenis ini tidak menentu , batuk akan
menjadi semakin parah atau bertambah jika kerusakan
paru juga bertambah.
Batuk Karena Kemasukan Benda Asing, batuk akan terjadi
jika saluran pernafasan kemasukan benda asing dan
refleks tubuh untuk mengeluarkannya akan merangsang
terjadinya batuk.

3. Bagaimana Mekanisme dan Refleks Batuk


Batuk adalah suatu refleks fisiologi protektif yang bermanfaat
untuk mengeluarkan dan membersihkan saluran pernapasan dari dahak,
debu, zat-zat perangsang asing yang dihirup, partikel-partikel asing dan
unsur-unsur infeksi (Linnisaa, 2014).
Refleks batuk memiliki lima komponen utama: yaitu reseptor
batuk, serabut saraf aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen dan efektor.

Batuk bermula dari suatu rangsang pada reseptor batuk. Reseptor


batuk terletakdalamepitelrespiratorik,
tersebardiseluruhsaluranrespiratorik,dansebagian kecil berada di luar
saluran respiratorik (Setyanto, 2004). Reseptor bahkan juga ditemui di
saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial dan
diafragma. Reseptor ini dapat terangsang secara mekanis (sekret,
tekanan), kimiawi(gas yang merangsang), atau secara termal
(udara dingin). Respetor batuk ini
jugabisaterangsangolehmediatorlokalseperti
histamin,prostaglandin,leukotriendanlain-lain (Purwanto, 2018).
Setelah itu, rangsang akan dibawa oleh serabut aferen ke pusat batuk
yang terletak di medula, di dekat pusat pemapasan dan pusat muntah.
Kemudian dari sini oleh serabut-serabut eferen akan menyalurkan
rangsang menuju ke efektor. Efektor ini terdiri dari otot-otot laring,
trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal dan lain-lain.
Terdapat beberapa peristiwa yang terjadi ketika rangsang
disalurkan ke medula. Pertama, kira-kira 2,5 liter udara akan diinspirasi
secara cepat . Kedua, epiglotis akan menutup, pita suara juga akan
menutup erat untuk menjerat udara dalam paru. Ketiga, otot-otot
abdomen akan berkontraksi dan mendorong diafragma, sedangkan otot
ekspirasi lainnya seperti intercostalis internus juga berkontraksi dengan
kuat. Hal tersebut dapat mengakibatkan tekanan dalam paru meningkat
secara cepat. Keempat, pita suara dengan epiglotis akan terbuka secara
cepat dan udara yang bertekanan tinggi dalam paru ini akan meledak
keluar (Guyton, 2016).
Mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu:
a) Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea,
bronkus besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus
glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila
reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran
telinga luar dirangsang.
b) Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat
kontraksi otot abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara
dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah
banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah
akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi
lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru.
Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan
keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat
dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga
menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.
c) Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot
adduktor kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada
fase ini tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cm H2O agar terjadi
batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik
setelah glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis
karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks
walaupun glotis tetap terbuka.
d) Fase ekspirasi/ ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar
dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-
benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan
dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase
mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya.
Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam
saluran nafas atau getaran pita suara
(Guyton, 2016)

4. Pengobatan dan Tatalaksana Batuk

1. Terapi Farmakologi
Farmakoterapiuntukbatukdibagimenjadi beberapa jenis,yaitu
a) Antitusif
Terapi antitusif terindikasi bila
batuktidakmempunyaimanfaat,misalnyabatukyang timbul
akibat rangsangan di faring untuk mencegah,
mengendalikan dan menekan batuk (Estuningtyas, 2008)
Obat Dosis dan Interval
Dewasa Anak-anak
Kodein 10-20 mg setiap 4-6 6-12 th : 5-10 mg setiap 4-6
jam jika perlu (tidak jam jika perlu (tidak boleh
boleh lebih dari 120 lebih dari 60 mg/hari)
mg/hari) 2-6 th : 0,25 mg/Kg sampai
4x sehari

Noskapin 25 mg atau 5 ml sirop, 0-4 th : 1,25 ml


setiap 8 jam 4-10 th : 2,5 ml
10-15 th : 3,75 ml setiap 8
jam
Dekstrometorfa 10-20 mg tiap 4 jam 1 mg/Kg/hari dalam 3-4
n atau 30 mg tiap 6-8 dosis terbagi
jam, maks 120 mg/hari
b) Ekspektoran
Memiliki aktivitas dengan merangsang batuk sehingga memudahkan
pengeluaran dahak/ekspektorasi. Contohnya gliseril guakolat dan
ammonium klorida. Kedua obat ini jarang diberikan sebagai obat
tunggal, tetapi lebih sering diberikan sebagai obat campuran dengan
golongan antitusif maupun golongan ekspektoran yang lain. Bahkan
disarankan menggunakan air saja sebgai ekspektoran, karena air dapat
mengencerkan dahak sebagai dahak dapat dibatukkan dengan mudah
(Estuningtyas, 2008).
c) Mukolitik
Golongan ini bekerja dengan menurunkan viskositas mucus/dahak,
biasanya digunakan pada saat kondisi dahak cukup kental dan banyak
Obat Dosis dan Interval
Dewasa Anak-anak
Asetilsistein 200 mg, 3x sehari 100 mg 3
kali sehari
Karbosistein Awal : 750 mg 3x 2-5 th: 65,5-
sehari, kemudian : 1,5 g 125 4x sehari
sehari dosis terbagi 6-12 th: 250
mg 3x sehari
Ambroksol 60 mg 2x sehari 6-12 th: 30
HCl mg, 2-3x
sehari
2-6 th: 15 mg
3x sehari
Bromheksin 8 mg, 3-4x sehari >10 th : 8
mg, 3x sehari
3.10h : 4mg,
3x sehari

(Setyanto, 2004).
2. Terapi Non-Farmakologi
Pada umunya batuk berdahak maupun tidak berdahak dapat
dikurangi dengan cara sebagai berikut:
a) Memperbanyak minum air putih untuk membantu mengencerkan
dahak, mengurangi iritasi dan rasa gatal.
b) Menghindari paparan debu, minuman atau makanan yang
merangsang tenggorokan seperti makanan yang berminyak dan
minuman dingin.
c) Menghindari paparan udara dingin.
d) Menghindari merokok dan asap rokok karena dapat mengiritasi
tenggorokan sehingga dapat memperparah batuk.
e) Menggunakan zat - zat Emoliensia seperti kembang gula, madu,
atau permen hisap pelega tenggorokan. Ini berfungsi untuk
melunakkan rangsangan batuk, dan mengurangi iritasi pada
tenggorokan dan selaput lendir.
(Setyanto, 2004)

5. Apa definisi dan klasifikasi TB


Definisi Tuberkulosis (TB)

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular langsung yang


disebabkan karena kuman TB yaitu Myobacterium Tuberculosis.
Mayoritas kuman TB menyerang paru, akan tetapi kuman TB juga dapat
menyerang organ Tubuh yang lainnya. Tuberkulosis adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis) (Werdhani, 2016).

Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC adalah penyakit


kronis yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium
Tuberculosis yang ditularkan melalui dahak (droplet) dari penderita TBC
kepada individu lain yang rentan (Ginanjar, 2018).

Klasifikasi Tuberculosis (TB)

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting


dilakukan untuk menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Klasifikasi penyakit
Tuberkulosis (Amin, 2016).

a) Tuberkulosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam :
1) Tuberkulosis Paru BTA (+)
Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif adalah Sekurang-
kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+)
atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada
menunjukan gambaran tuberculosis aktif.
2) Tuberkulosis Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto rontgen
dada menunjukan gambaran Tuberculosis aktif. TBC Paru BTA (-),
rontgen (+) dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu
bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgan dada
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.
b) Tuberculosis Ekstra Paru
TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu :
1) TBC ekstra-paru ringan
Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TBC ekstra-paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran
kencing dan alat kelamin.
c) Tipe Penderita
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe
penderita yaitu:
1) Kasus Baru
Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2) Kambuh (Relaps)
Penderita Tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
Tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
3) Pindahan (Transfer In)
Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan/pindah (Form TB.09).
4) Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out)
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2
bulan atau lebih, kemudian datang kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA (+).

6. Definisi, Epidemiologi (khusunya di Indonesia) dan Edukasi Penyakit TB


Paru

Definisi TB Paru

Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang


terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama Tuberkulosis berasal
dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu
sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb
paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular
melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin
atau bicara. (Werdhani,2016)

Epidemiologi TB Paru di Indonesia


Menurut World Health Organization (WHO) dalam satu tahun,
kuman M. tuberculosis telah membunuh sekitar 2 juta jiwa, dan WHO
diperkirakan bahwa pada tahun 2002-2020 ada sekitar 2 miliar orang yang
terinfeksi kuman ini, di mana 5-10% di antara infeksi akan berkembang
menjadi penyakit, 40% di antara yang sakit dapat berakhir dengan
kematian. Perkiraan dari WHO, yaitu sebanyak 2-4 orang terinfeksi
tuberkulosis setiap detiknya dan hampir 4 orang setiap menit meninggal
karena tuberkulosis. Kecepatan penyebaran tuberkulosis bisa meningkat
lagi sesuai dengan peningkatan penyebaran Human Immunodeficiency
Virus (HIV)/Acuired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dan
munculnya kasus TB-MDR (multy drug resistant) yang kebal terhadap
bermacam obat. Pada tahun 2013 WHO memperkirakan ada 8,6 juta kasus
baru TB (13% merupakan koinfeksi dengan HIV) dan 1,3 juta orang
meninggal karena tuberkulosis di mana diantaranya 940.000 orang dengan
HIV negatif dan 320.000 orang dengan HIV dan tuberkulosis positif.
(WHO,2006).

Indonesia menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah penderita TB


terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia
adalah sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB dunia. Di Indonesia,
diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan
kematian sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada
tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih
dari 70% usia produktif. Oleh karena itu kerugian ekonomi akibat TB juga
cukup besar. (WHO,2006).

Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang


meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di
tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah. Dari data
pencapaian target pengendalian TB per provinsi tahun 2009, diketahui
bahwa sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka
penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya lima provinsi menunjukkan
pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan. (KEMENKES,2014).
Edukasi Penyakit TB Paru

1) Konseling mengenai penyakit TB pada pasien dan keluarganya


2) Konseling mengenai penyakit TB yang dapat menular dengan anggota
keluarga lainnya yang dapat dicegah dengan pemakaian masker, dan
tidak membuang dahak sembarangan (di wc/ kotak sampah didapur/
asbak)
3) Konseling kepada pasien untuk pemberian imunisasi BCG kepada
cucunya yang masih berusia satu bulan untuk pencegahan terhadap
TB
4) Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam
mengingatkan pasien mengenai rutinitas minum obat
5) Edukasi dan motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari
semua anggota keluarga terhadap perbaikan penyakit pasien
6) Deteksi dini kuman TB pada keluarga yang tinggal serumah dengan
pasien.
(Chandra,2017).

7. Patologi Anatomi TB Paru


Tuberkulosa paru adalah bentuk infeksi Mycobacterium
tuberculosis pada manusia yang paling sering terjadi. Infeksi berawal
sebagai peradangan paru lokal yang meluas ke kelenjar limfe bronkus
(kompleks Ghon). Infeksi ini ditandai oleh pembentukan granuloma
nekrotikans yang disebut granuloma kaseosa karena penampakannya yang
seperti keju. Granuloma ini mengandung Mycobacterium tuber-culosis,
yang dapat dilihat dengan pewarnaan khusus. Granuloma ini dapat sembuh
dan berubah menjadi jaringan fibrosis. Granuloma juga cenderung
menyatu, merusak parenkim, dan menimbulkan rongga besar (tuberculosis
kavemosa). Dinding rongga ini terdiri dari jaringan fibrosa, dan
mengandung granuloma aktif serta sedang dalam penyembuhan.
Granuloma yang menyembuh sering mengalami kalsifikasi.
Penyebaran luas Mycobacterium tuberculosis melalui sirkulasi
limfe dan darah atau melalui jalan napas menyebabkan terbentuknya
banyak nodus kecil seukuran biji padi, sehingga diberi nama tuberculosis
miliaris. Nodus ini memiliki gambaran histologi serupa dengan granuloma
primer pada kompleks Ghon dan mungkin memperlihatkan nekrosis luas
dengan sedikit respons peradangan (Sander, 2007).

8. Etiologi dan Patogenesis TB Paru


ETIOLOGI TB PARU
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh
Robet Koch pada tahun 1882. Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap
virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati
dalam suhu 600C dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis
menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat
tahan asam dan merupakan faktor terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel
epiteloid dan tuberkel.

PATOGENESIS TB PARU

a) TuberkulosisPrimer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan
terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi
dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam
paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe di
sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu
antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah
sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadipositif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut
dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian,
ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau
dorman (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalambeberapa bulan,
yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi yaitu
waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan. Menyebar dengan cara :
1) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitaPerkontinuitatum, menyebar ke
sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu
kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke
lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus
yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagaiepituberkulosis
2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya atau tertelan
3) Penyebaran secara hematogen danlimfogen
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis
Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis
pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya.
b) Tuberculosis Post Primer
Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun.
Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu
tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun,
dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarangan dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang
dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi
pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang
tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik)

9. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis TB Paru


Menurut Somantri (2008), infeksi diawali karena seseorang
menghirup basil Mycobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui
jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk.
Perkembangan Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau
sampai ke area lain dari paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui
sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan
korteks serebri) dan area lain dari paru (lobus atas). Selanjutnya sistem
kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan reaksi inflamasi.
Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri),
sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil
dan jaringan normal. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10
minggu setelah terpapar bakteri.Interaksi antara Mycobacterium
tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi
membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma.
Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi
oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk
menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut
ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri yang menjadi
nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang berbentuk seperti keju
(necrotizing caseosa).Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya
membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.
(Somantri, 2008)
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik
(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman
TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN. (Werdhani, dkk, 2013)
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). (Werdhani,
dkk, 2013)
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada
proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai
jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler. (Werdhani, dkk, 2013)
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi
pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya
belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan
sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB
primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif
terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih
negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system
imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah
imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidaksesempurna focus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini. (Werdhani, dkk, 2013)
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi
yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum
terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan
TB disebut sebagai penyakit sistemik. (Werdhani, dkk, 2013)
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak,
tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru.
Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian
dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam
bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi
penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial
di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian,
bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis,
TB tulang, dan lain-lain. (Werdhani, dkk, 2013)
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. (Werdhani, dkk, 2013)
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel
yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang
menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologi merupakan granuloma. (Werdhani, dkk, 2013)
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah
protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu
focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga
sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara
klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara
berulang. (Werdhani, dkk, 2013)
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun
pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini
biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar
regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
(Werdhani, dkk, 2013)
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang
terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3
tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi
primer. (Werdhani, dkk, 2013)
Manifestasi Tuberkulosis Paru
Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. (Indah,2016)
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat
penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak. Kalau ada cairan
dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan
sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada
kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)
dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah
demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
(Werdhani, dkk, 2013)

10. Pemeriksaan TB Paru


1.Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage / BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus / BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara
pengambilan dahak 3 kali (SPS) :
 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi (keesokan harinya)
 Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau atau setiap
pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan /
ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih
dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada
fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di
gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen
dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratoriumberada jauh dari klinik/ tempat
pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui
jasa pos.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukandengan cara :
Mikroskopik dan Biakan.
Pemeriksaan mikroskopik :
 Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
 Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila :
 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif
 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian
 bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif
 bila 3 kali negatif ® BTA negatif
Scala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease) :
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan kuman :


Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara :
 Egg base media : Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
 Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul.
2.Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi :
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (Destroyed Lung ) :


 Gambaran radiologi yang menunjukkan
kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru
.Gambaran radiologi luluh paru terdiri
dari atelektasis, ektasis/
multikaviti dan fibrosis parenkim
paru. Sulit untuk menilai aktiviti
lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologi tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi
untuk memastikan aktiviti proses penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kaviti
 Lesi luas bila proses lebih luas dari lesi minimal.

3.Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
a.Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah
metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh
mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan
biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan. Bentuk lain teknik ini adalah dengan
menggunakan Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).

b.Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi
DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam
pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara
pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut
dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai
sebagai pegangan untuk diagnosis TB.
Pada pemeriksaan deteksi M.tuberculosis tersebut diatas, bahan /
spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai
dengan organ yang terlibat.

c.Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


1.Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

2.Immunochromatographic Tuberculosis (ICT)


Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
adalah uji serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam
serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5
antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.TB 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan
dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik
(2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis
kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis
antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah
15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis
antigen pada membran.
3.Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum
tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan
warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.
4.Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan
serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak
variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
5.Uji serologi yang baru / IgG TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara
mendeteksi antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk
Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG berdasarkan antigen
mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan kombinasi
lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang dapat
diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini
lebih sering digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak
cukup baik untuk diagnosis TB pada anak. Saat ini pemeriksaan
serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.
6.Uji Adenosine Deaminase / ADA test
Adenosine Deaminase adalah enzim yang mengubah adenosin
menjadi inosine dan deoxyadenosine menjadi deoxyinosine pada jalur
katabolisme purin. ADA berperan pada proliferasi dan differensiasi
limfosit, terutama lomfosit T, dan juga berperan pada pematangan/
maturasi monosit dan mengubahnya menjadi makrofag. Konsentrasi
ADA serum meningkat pada berbagai penyakit dimana imunitas seluler
distimulasi, sehingga ADA merupakan indikator imunitas selular yang
aktif. Kondisi yang memicu sistem imun seperti infeksi Mycobacterium
tuberculosis dapat meningkatkan jumlah produksi ADA di area infeksi.
Kadar ADA meningkat pada tuberkulosis karena stimulasi limfosit T
leh antigen-antigen mikobakteria.
Pemeriksaan ada ADA memiliki sensitivitas 90-92% dan spesifitas
90-92% untuk diagnosis TB pleura. Selain pada TB pleura, ADA juga
dilaporkan bermamfaat dalam TB Peritoneal (cairan asites), TB
pericarditis (cairan pericardial), dan TB meningitis (CSF). Nilai
normal: 4 – 20 U/L, Pleuritis TB > 40 U/L, Meningitis TB > 8 U/L.

4.Pemeriksaan Penunjang lain


1.Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura
perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
2.Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah
pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi
atau otopsi, yaitu :
 Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening
(KGB)
 Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope
dan Veen
Silverman)
 Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru
terbuka).
 Otopsi  Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu
sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke
laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua
difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3.Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan
kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED
sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4.Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling
bermamfaat untuk menunjukkan sedang/ pernah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas
dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari
90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif
uji tuberkulin positif 100%, umur 1-2 tahun 92%, 2-4 tahun 78%, 4-6
tahun 75%, dan umur 6-12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat
dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin
kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai
sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji
mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan 0,1cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative)
intrakutan (ke dalam kulit) berkekuatan 5.
T.U (intermediate strengh). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5
T.U dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila
dengan 5 T.U masih memberikan hasil negatif, dapat diulangi dengan 250
T.U (second strength). Bila dengan 250 T.U masih memberikan hasil
negatif, berarti tuberkulosis dapat disingkirkan. Umumnya uji mantoux
dengan 5 T.U saja sudah cukup berarti. Uji mantoux hanya menyatakan
apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.
tuberculosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya.
Dasar uji mantoux ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada
penularan dengan kuman patogen baik yang virulen maupun tidak (M.
tuberculosis atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi
imunologi dengan dibentuknya antibodi seluler pada permukaan dan
kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam
perannya akan menekankan antibodi seluler.
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan
dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi :
1. Pembengkakan (indurasi) : 0-4 mm, uji mantoux negatif
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (indurasi) : 5-9 mm, uji mantoux meragukan
Hal ini bisa karena kesalahan tehnik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (indurasi) : 10-15 mm, uji mantoux positif
Arti klinis : Mantoux posotif = golongan normal sensitivity, disini
peran kedua antibodi seimbang
4. Pembengkakan (indurasi) : > 15 mm, uji mantoux positif
Arti klinis : Mantoux posotif kuat = sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis. Disini peran antibodi seluler paling
menonjol.
 Uji tuberkulin positif, TANPA ada gejala umum dan / atau spesifik
dan radiologi: INFEKSI TB (TB Laten)
 Uji tuberkulin positif, DITAMBAH gejala umum dan/ atau spesifik
serta radiologi : SAKIT TB
5.Interferon Gamma Release Assay (IGRA)
Sebelum tahun 2001, tes tuberkulin/ TST (Tuberculin Skin Test)
adalah satu-satunya pemeriksaan imunologi untuk mendiagnosis infeksi
Mycobacterium tuberculosis di Amerika Serikat, baik itu TB laten atau
TB aktif. Seiring perkembangan penelitian penyakit TBC di tingkat
genom, peneliti menemukan biomarker baru untuk infeksi M.
Tuberculosis yaitu interferon gamma (IFN-γ). IFN-γ muncul sebagai
reaksi imun terhadap bakteri M.Tuberculosis di dalam tubuh. Penemuan
ini menyebabkan perkembangan pemeriksaan imunologi baru dengan
mengukur IFN-γ dalam tubuh secara kuantitatif. Pemeriksaan ini
bernama Interferon Gamma Release Assay (IGRA).
Pemeriksaan IGRA adalah pemeriksaan darah yang dapat
mendeteksi infeksi TB di dalam tubuh. IGRA bekerja dengan
mengukur respons imunitas selular atau sel T terhadap infeksi TB.
Hasilnya pun spesifik sebab sensitivitasnya tinggi.
Sel T dalam individu yang terinfeksi TB akan diaktivasi sebagai
respons terhadap sensitisasi antigen berupa peptida spesifik
Mycobacterium Tuberculosis, yaitu Early Secretory Antigenic Target-6
(ESAT-6) dan Culture Filtrate Protein10 (CFP-10) yang ada di dalam
sistem reaksi. Sel T akan menghasilkan Interferon
Gamma (IFN-γ) yang diukur dalam pemeriksaan.
Protein yang digunakan dalam reaksi pemeriksaan IGRA tidak
terdapat dalam vaksin BCG dan MOTT (kecuali M. kansasii, M.
Marinum, dan M. Szulgai). Alhasil, pemeriksaan menjadi sangat
spesifik dan tidak terpengaruh oleh vaksin BCG. Oleh karena itu,
pemeriksaan IGRA dengan hasil positif lebih akurat hingga 6 kali lipat
dibandingkan TST atau Tuberculin Skin Test.
Pemeriksaan IGRA lebih unggul dibanding dengan TST karena
kelemahankelemahan yang selama ini terjadi pada pemeriksaan TST
bisa dieliminasi, seperti terjadinya positif palsu pada pasien yang
sebelumnya telah diberikan vaksin BCG, negatif palsu pada pasien
yang mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh, serta
ketidakefisienan waktu dan logistik.
Pemeriksaan imunologi penyakit TBC bertujuan untuk
mengetahui apakah tubuh pasien sudah terpapar bakteri M.
Tuberculosis. Hasil positif menunjukan tubuh sudah terpapar bakteri
M. Tuberculosis tetapi belum tentu menyebabkan sakit. Oleh karena itu
untuk penegakan diagnosa penyakit TB secara menyeluruh,
pemeriksaan IGRA harus diikuti dengan pemeriksaan lain seperti
pemeriksaan riwayat penyakit, gejala klinis, radiografi dan sputum
(BTA dan kultur).
Keuntungan dari tes IGRA adalah hasil dapat tersedia dalam
waktu 24 jam, tidak meningkatkan respon terhadap pemeriksaan
berikutnya, sebelum vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin) tidak
menyebabkan hasil tes IGRA positif palsu.
Kerugian dan keterbatasan tes IGRA berupa sampel darah harus
diproses dalam waktu 8-30 jam setelah pengumpulan sementara sel-sel
darah putih yang masih layak. Kesalahan dalam mengumpulkan atau
mengambil spesimen darah atau dalam menjalankan dan
menginterpretasikan hasil tes dapat menurunkan keakuratan tes IGRA.
Data yang terbatas pada penggunaan tes IGRA untuk memprediksi
siapa yang akan berkembang menjadi penyakit TB di masa yang akan
datang. Data yang terbatas pada penggunaan tes IGRA yaitu anak-anak
yang berusia kurang dari 5 tahun, orang yang baru terkena M.
tuberculosis, orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah (HIV,
mlignansi dll) dan pemeriksaannya serial. Pemeriksaan tes IGRA
mahal..
Interpretasi IGRA didasarkan pada jumlah IFN-g yang
dilepaskan atau jumlah sel-sel yang melepaskan IFN-g. Kedua standar
kualitatif interpretasi tes (positif, negatif, atau tak tentu) dan
pengukuran tes kuantitatif (konsentrasi Nil, TB, dan mitogen atau
jumlah spot) harus dilaporkan. Seperti tes kulit tuberkulin, tes IGRA
juga digunakan untuk membantuan mendiagnosa infeksi M.
tuberculosis. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa seseorang
terinfeksi M. tuberculosis; bila hasil negatif menunjukkan bahwa
seseorang tidak terinfeksi M. tuberculosis. Hasil tes pada garis batas/
borderline (hanya T-Spot) menunjukkan infeksi M. tuberculosis belum
bisa pastikan.
Diagnosis infeksi Tuberkulosis Laten mengharuskan
mengeklusi penyakit TB dengan melakukan evaluasi medis. Evaluasi
ini mencakup pemeriksaan tandatanda dan gejala yang menunjukkan
penyakit TB, pemeriksaan foto toraks dan jika ada indikasi, dilakukan
pemeriksaan sputum dan pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa
infeksi M. tuberkulosis. Diagnosis infeksi M. tuberkulosis juga
mencakup informasi epidemiologi dan riwayat penyakit sebelumnya.
Tes IGRA ada dua macam, yaitu berbasis Immunospot Enzyme-
Linked (ELISpot) dan Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA).
Beberapa nama dagang beserta pedoman pemeriksaan ini sudah
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Sejak tahun 2001-
2005 yaitu T-SPOT.TB (T-Spot),
QuantiFERON-TB (QFT), QuantiFERON-TB Gold (QFT-G), dan
QuantiFERONTB In-Tube (QFTGIT).
QuantiFERON-TB merupakan pemeriksaan in vitro
menggunakan protein simulasi ESAT-6, CFP-10 dan TB7.7 (berperan
sebagai antigen M. Tuberculosis) untuk menstimulasi sel dalam sampel
darah heparin. Deteksi interferon-γ (IFN-γ) menggunakan Enzyme-
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengidentifikasi respon
in vitro terhadap protein simulasi ini yang dapat diasosiasikan sebagai
infeksi Mycobacterium tuberculosis.

11. Pengobatan dan Tata Laksana TB Paru

Indonesia sejak tahun 1995 telah menerapkan manajemen


operasional sesuai strategi global dari World Health Organization (WHO)
yaitu strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Penerapan
strategi DOTS. diperlukan untuk pengobatan TB dan mencegah resistensi
kuman M. tuberculosis. Setelah diagnosis TB, terutama TB paru-paru
melalui pemeriksaan bakteriologi mikroskopik dahak mengandung Basil
Tahan Asam (BTA). BTA positif bila hasil pemeriksaan sedikitnya 2 dari 3
spesimen Sewaktu-Pagi-Sewaktu hasilnya positif, hasil penegakan diagnosis
menjadi dasar terapi DOTS dengan OAT yang sesuai (Tabel 1).

Pengobatan penderita TB untuk menyembuhkan penderita sampai


sembuh, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan
tingkat penularan. Tindakan mencegah terjadinya penularan yang utama
adalah memberikan obat anti Tuberculosis yang benar dan cukup, serta
dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan Obat Anti Tuberkulosis


(OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini
untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. Pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap
intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan. Menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Selanjutnya tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Penting untuk
membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat,
pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Obat anti TB (OAT) primer adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R),


Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin. Obat tambahan lainnya
ataupun obat lini 2 adalah kanamisin, amikasin dan kuinolon. Isoniazid
diberikan selama 6-9 bulan melalui oral. Pengobatan rifampin pula diberikan
selama 4-9 bulan. Dalam Strategi DOTS, rejimen pengobatan TB
mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan,
jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan
dosis tetap

Terapi TB kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya: tahap


awal/intensif adalah 2HRZE (Lama pengobatan 2 bulan, masing masing
OAT (HRZE) diberikan setiap hari). Tahap lanjutan adalah 4H3R3 (Lama
pengobatan 4 bulan, masing masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu).

Dosis dan Paduan OAT terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.


Selanjutnya Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 dan Kategori 3: 2
HRZ/4H3R3. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket OAT
Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan paket Kombipak, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. 1 paket untuk 1 penderita dalam 1 masa
pengobatan. (Ertati, 2013)

Tabel 1. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Tahap Intensif Tahap Lanjutan

Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16

RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT

38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT

55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

Tabel 2. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk kategori 2


Tahap Lama Dosis per hari/kali Jumlah

Terapi Terapi Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali

Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan

@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg obat

Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 Bulan 2 13 - - 48

Sumber : Depkes RI, 2008

Tatalaksana
Pada jurnal yang ditulis oleh Zahra (2017) penatalaksanaan pada pasien
TB paru dilakukan dengan mengintervensi pasien beserta keluarga sebanyak 3
kali. Intervensi yang diberikan pada pasien ini adalah edukasi dan konseling
mengenai penyakitnya, pencegahan agar tidak terjadi komplikasiyang terbagi
atas patient center, family focus dan community oriented.

Patient center

1. Non medikamentosa
a. Konseling mengenai pentingnya tipe pengobatan preventif dibandingkan
kuratif
b. Konseling mengenai penyakit TBpada pasien
c. Konseling kepada pasien untuk melakukan kontrol rutin jika ada
keluhan dan mengambil obat di Puskesmas jika obatnya habis
d. Konseling kepada pasien untuk memeriksakan kembali dahaknya setelah
dua bulan dan enam bulan pengobatan
e. Konseling kepada pasien untuk makan makanan yang bergizi berupa
tinggi kalori dan tinggi protein
f. Konseling kepada pasien efek samping obat yang timbul seperti buang
air kecil akan berwarna merah yang menandakan itu bukanlah darah
hanya menandakan reaksi obat. Selain itu juga bisa timbul gatal-gatal
dan kepala terasa pusing. Hal ini dilakukan agar pasien tetap minum
obatnya dan tidak berhenti minum obat
g. Konseling kepada pasien untuk mengalihkan stress psikososial dengan
hal-hal bersifat positif
h. Edukasi mengenai gaya hidup bersih dan sehat seperti tidak merokok
serta fungsi dari ventilasi dalam rumah.

2. Medikamentosa
OAT-FDC tablet sehari tiga kali sehari (Guideline WHO dan PDPI 2016).

Family Focused

1. Konseling mengenai penyakit TB pada pasien dan keluarganya


2. Konseling mengenai penyakit TB yang dapat menular dengan anggota keluarga
lainnya yang dapat dicegah dengan pemakaian masker, dan tidak membuang
dahak sembarangan (di wc/ kotak sampah didapur/ asbak)
3. Konseling kepada pasien untuk pemberian imunisasi BCG kepada cucunya
yang masih berusia satu bulan untuk pencegahan terhadap TB
4. Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan
pasien mengenai rutinitas minum obat
5. Edukasi dan motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari semua
anggota keluarga terhadap perbaikan penyakit pasien
6. Deteksi dini kuman TB pada keluarga yang tinggal serumah dengan pasien.

Community Oriented

Konseling mengenai pencegahan dan penularan penyakit TB yang


berdampak pada orang disekitarnya dalam satu komunitas. Konseling yang
diberikan mengenai penyakit tindakan yang dilakukan penderita TB agar tidak
menularkan ke tetangga seperti pemakaian masker dan tidak membuang dahak
sembarangan (got dan sawah disamping rumahnya).

Intervensi dilakukan sebanyak tiga kali. Setelah itu, makadapat dilakukan


diagnosis holisik akhir.

Diagnostik holistik akhir

1. Aspek Personal
a. Kekhawatiran pasien terhadap penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan
sudah mulai berkurang yang rutin dan teratur serta mengurangi risiko
penularan ke orang-orag sekitar dengan menerapkan cara-cara
pencegahannya
b. Harapan batuk sudah mulai berkurang dengan cara rutn meminum obat
dan sudah yakin dapat sehat seperti sediakala
c. Persepsi mengenai batuk yang diderita pasien dapat disembuhkan dengan
pengobatan yang telah dianjurkan dokter dan kesembuhan tidak berkaitan
dengan ketidakcocokan obat.
2. Aspek Klinik
Kasus baru TB paru BTA +++ (ICD 10 A15.0)

3. Aspek Risiko Internal


a. Pengetahuan yang lebih baik tentang penyakit TB paru
b. Pengetahuan yang cukup mengenai tindakan pengobatan preventif dan
keuntungan yang didapatkan
c. Pengetahuan yang cukup tentang pencegahan penularan TB paru ke
anggota keluarga lainnya
d. Pengetahuan yang cukup tentang efektifitas terapi gizi terhadap
perbaikan klinis dan mulai membiasakan makan dengan pola diet tinggi
kalori dan tinggi protein.
4. Aspek Risiko Eksternal
a. Psikososial keluarga: keluarga lebih memahami penyakit pasien dan
memberi dukungan yang baik serta bersedia menjadi pengawas minum
obat
b. Lingkungan tempat tinggal: keadaan rumah dengan ventilasi dan
pencahayaan yang sesuai sehingga cahaya matahari banyak yang masuk
kedalam rumah
c. Lingkungan kerja: pasien sudah tidak ada kontak dengan teman kerja yang
mengalami batuk lama
d. Sosial ekonomi: biaya hidup pasien ditanggung oleh suaminya yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
5. Derajat Fungsional
Derajat fungsional yang didapatkan adalah satu (1), yaitu mampu melakukan
pekerjaan seperti sebelum sakit (tidak ada kesulitan).

(Zahra, 2017)

Kesimpulan Hasil Diskusi

Tn. Wawan datang ke rumah sakit dengan keluhan utama batuk yang
cukup lama (2 bulan). Batuk tersebut disebabkan oleh adanya infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini masuk ke organ paru-paru Tn. Wawan
dan menimbulkan gambaran fibro infiltrat ketika dilakukan foto rontgen. Infeksi
bakteri ini dimulai ketika bakteri masuk ke dalam tubuh akan timbul reaksi antara
makrofag terhadap antigen (bakteri) yang dapat menimbulkan gejala/manifestasi
klinis seperti yaitu berkurangnya nafsu makan yang dikarenakan terproduksinya
prostaglandin yang menyebabkan terproduksinya hormon leptin yang berlebih,
keringat malam, demam karena terproduksinya sitokin pirogen endogen, gejala
mual muntah dan lain-lain. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan BTA (Bakteri Tahan Asam) yang
dimana sampelnya diambil secara sewaktu pagi sewaktu, pemeriksaan darah,
pemeriksaan histopatologi jaringan, dan beberapa tes lainnya untuk membantu
penegakkan diagnosis penyakit. Untuk pemeriksaan histopatologi jaringan, pada
penderita TB Paru akan dapat terlihat terbentuknya granulosa dengan area yang
mengalami pengejuan pada paru paru, serta dapat ditemukan cavity karena
sekret/mukus pada daerah pengejuan tersebut keluar melalui batuk. Untuk
pengobatan dari tuberkulosis sendiri dapat menggunakan OAT (Obat Anti-TBC).

Daftar Pustaka

1. Amin Z, Bahar A. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-6
Jilid I (TuberkulosisParu). Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universitas Indonesia
2. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar.2009. Tuberkulosis Paru dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi kelima Jilid III.Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
3. Anthony L. 2017. Histologi Dasar JUNQUEIRA Teks & Atlas Edisi
14. Jakarta: EGC
4. Chandra. B. 2017. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas.
Jakarta: EGC
5. Dorland, W.A Newman. 2015. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29.
Jakarta: EGC
6. Estuningtyas, Ari, Azalia Arif. 2008. Obat Lokal. In Farmakologi dan
Terapi Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
7. Ginanjar, G. 2018. TBC Pada Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Dian
Rakyat
8. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 12. Jakarta : EGC
9. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman nasional
penanggulangantuberkulosis. Jakarta:Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
10. Linnisaa, Uswatun Hasanah. 2014. Rasionalitas Peresepan Obat Batuk
Ekspektoran dan Antitusif di Apotek Jati Medika Periode Oktober-
Desember 2012. IJMS – Indonesian Journal Medical Science, Vol. 1,
No. 1, Januari 2014: 30-39
11. Manan, E. 2014. Buku Pintar Swamedikasi. Penerbit: Saufa.
12. Netter, Frank H. ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25th Edition. Jakarta:
EGC
13. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia. PDPI. 2006.

14. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis.


Kementerian Kesehatan 2013.
15. Purwanto, Intan Fahdelasari, Ario Imandiri, Lusiana Arifianti. 2018.
Kombinasi Akupuntur serta Herbal Kunyit – Akar Manis pada Terapi
Batuk Kronis. Journal of Vocational Health Studies (01) p-ISSN:
2580–7161; e-ISSN: 2580–717x
16. Semihardjo, Halim. 2012. Buku Panduan Praktikum Histologi. Jakarta:
EGC
17. Setyanto, Darmawan B. 2004. Batuk Kronik pada Anak: Masalah dan
Tatalaksana. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004: 64-70
18. Werdhani, R.A . 2016. Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi
Tuberkulosis. Jakarta : JurnalFKUI, Universitas Indonesia.
19. Werdhani, Retno Asti. 2013. Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi
Tuberkulosis Paru. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas,
Okupasi dan Keluarga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
20. World Health Organization. 2006. The Stop Tuberculose Strategy.
WHO. 24 : 10- 11
21. Departemen Kesehatan RI. 2018. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Tuberkulosis. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Depkes RI.
Jakarta
22. Ertati Suarni,dkk. 2013. Implementasi Terapi DOTS (Directly
Observed Treatment ShortCourse) pada TB Paru di RS
Muhammadiyah Palembang. Palembang: Syifa’MEDIKA
23. WHO. 2016. Tuberculosis. New York: WHO Media Centrer
24. Zahra Zettira, DKK. 2017. Penatalaksanaan Kasus Baru TB Paru
dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga. Lampung: Medula Unila
25. Soemantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan
Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Salemba Merdeka.
26. Indah, Marlina. 2016. Tuberkulosis. Jakarta: Infodatin Kementrian
Kesehatan RI.
27. Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
28. Sander, Mochamad Aleq. 2019. Atlas Bewarna Patologi Anatomi (Jilid
1) Edisi Kedua. Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA
29. Chandra. B. 2017. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas.
Jakarta: EGC
30. Ermanta N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Jamaluddin. 2013. Diagnosis
Tuberkulosis. Sumatera utara : Divisi Pulmonologi dan Alergi
Imunologi – Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara RSUP. H. Adam Malik Medan

Anda mungkin juga menyukai