Anda di halaman 1dari 22

Tugas Individu

Mata Kuliah : Administrasi kebijakan rumah sakit


Dosen : Mangindara, S.KM. , M.Kes

“KEKUASAAN DAN PROSES KEBIJAKAN”

HANIFAH SUPARMAN
201901151
ARS 19 C

PROGRAM STUDI S1_ADMINISTRASI RUMAH SAKIT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
PELAMONIAMAKASSAR 2019-2020
BAB 11
PEMBAHASAN

A. Karaktiristik Budaya Organisasi


Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang, secara
keseluruhan, merupakan hakikat budaya organisasi.
1. Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong
untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
2. Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan
menjalankan presisi, analisis, d perhatian pada hal-hal detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil
ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil
tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam
organisasi.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim
ketimbang pada indvidu-individu.
6. Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang
santai.
7. Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.

B. Fungsi Budaya Organisasi


Budaya memiliki sejumlah fungsi dalam organisasi, yaitu:
1. Batas
Budaya berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, budaya menciptakan
perbedaan atau yang membuat suatu organisasi dan membedakannya dengan
organisasi lainnya.
2. Identitas
Budaya memuat rasa identitas suatu organisasi.
3. Komitmen
Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar
daripada kepentingan individu
4. Stabilitas
Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial karena budaya adalah perekat
sosial yang membantu menyatukan organisasi dengan cara menyediakan
standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawan.
5. Pembentuk sikap dan perilaku
Budaya bertindak sebagai mekanisme alasan yang masuk akal (sense-making)
serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Fungsi terakhir inilah yang paling menarik.

C. Faktor penguat timbulnya Budaya Organisasi


Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh
munandar(2001:264), timbulnya budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor penguat:
1) Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat atau hanya sedikit yang dapat
dikendalikan oleh organisasi
2) Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat
3) Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi

Menurut robbins (2001) ada 7 karakteristik budaya organisasi yang dapat


membentuk suatu budaya organisasi:
1) Inovasi dan keberanian mengambil resiko
2) Perhatian terhadap detail
3) Berorientasi kepada manusia
4) Berorientasi kepada hasil
5) Agresivitas
6) Berorientasi pada tim
7) stabilitas

1. Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Budaya Organisasi


Secara garis besar factor penyebab perubahan dalam organisasi dapat
dibedakana menjadi dua yaitu:
1) Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah penyebab perubahan yang berasal dari luar,
atau sering disebut lingkungan. Organisasi bersifat responsive terhadap
perubahan yang terjadi dilingkungannya. Oleh karena itu, jarang sekali suatu
organisasi melakukan perubahan besar tanpa adanya dorongan yang kuat dari
lingkungannya. Artinya, perubahan yang besar itu terjadi karena lingkungan
menuntut seperti itu. Beberapa penyebab perubahan organisasi yang termasuk
factor eksternal adlah perkembangan teknologi, factor ekonomi dan peraturan
pemerontah.
Perkembangan dan kemajuan teknologinjuga merupakan penyebab
penting dilkukannya perubahan. Pergantian perlengkapan lama dengan
perlengkapan baru yang lebih modern menyebabkan perubahn dalam berbagai
hal, minsalnya: Prosedur kerja, kualitas dan kuantitas tenaga kerja, jenis bahan
baku, jenis output,sistem penggajian yang diberlakukan yang memungkinkan
jumlah jumlah bagian-bagian yang ada dikurangi atau hubungan pola kerja
diubah karena adanya perlengkapan baru.
Contoh factor eksternal:
a) Politik,
b) Hukum
c) Kebudayaan
d) Teknologi
e) Sumber Daya Alam
f) Demografi
g) Sosiologi
2) Faktor Internal
Faktor internal adalah segala keseluruhan factor yang ada didalam
orgnisasi dimana factor tersebut dapat mempengaruhi organisasi dan kegiatan
organisasi. Problema yang sering timbul berkaitan dengan hubungan sesame
anggota organisasi pada umumnya menyangkut masalah komunikasi dan
kepentingan masing-masing anggota. Proses kerja sama yang berlangsung
dalam oranisasi juga kadang-kadang merupakan penyebab terjadinya
perubahan.
Sistem kerja sama yang teralu birokratis atau sebaliknya dapat
menyebabkan suatu organisasi menjadi tidak efisien. Sistem biroktaris (kaku)
menyebabkan hubungan antara anggota menjadi impersonal yang
mengakibatkan rendahnya semangat kerja da nada gilirannya produktivitas
menurun, demikian sebaliknya.
Hubungan antar anggota yang kurang harmonis juga merupakan salah
satu problem yang lazim terjadi. Dibedakan menjadi dua, yaitu: Problem yang
menyangkut hubungan atasan bawahan (hubungan yang bersifat vertical), dan
problem yang menyangkut hubungan sesame anggota yang kedudukannya
setingkat (hubungan yang bersifat horizontal).
Contoh factor internal:
a) Problem hubungan antar anggota
b) Problem dalam proses kerja sama
c) Problem keuangan
d) Perubahan kebijakan lingkungan
e) Perubahan tujuan organisasi
f) Perubahan wilayah operasi tujuan organisasi
g) Volume kegiatan yang semakin bertambah banyak
h) Sikap dan perilaku dari anggota organisasi

2. Faktor Pendorong Perubahan


Semua organisasi menghadapi lingkungan yang dinamis dan berubah,
lingkungan eksternal cendrung merupakn kekuatan yang mendorong untuk
terjadinya perubahan. Disisi lain, bagi organisasi secara internal merasakan
adanya kebutuhan akan perubahan. Oleh karena itu, seetiap organisasi
menghadapi pilihan antara berubah atau mati tertekan oleh kekuatan perubahan.
Diantara para pakar ada ynag menyebut factor pendorong perubahan ini
sebagai kebutuhan akan perubahan (Hussey, 2006; Kreitner dan Kinicki,2001).
Seentara itu, Robbins dan Greenber dan Baron menyebutkan sebagai kekuatan
untuk perubahan, Terminologi tersebut menggandung makna bahwa kebutuhan
perubahan lebih bersifat factor internalorganisasi, sedangkan kekuatan untuk
perubahan dapat bersumber dari factor eksternal dan internal.
1) Kebutuhan perubahan Hussey
Menurut Hussey (2006) terdapat empat faktor yang menjadi
pendorong bagi kebutuhan akan perubahan, yaitu:
a) Perubahan teknologi terus meningkat
b) Prsaingan semakin intensif dan menjadi lebih global
c) Pelanggan semakin banyak tuntutan
d) Profil demografis berubah

2) Kebutuhan perubahan Greenberg dan Baron


Greenberg dan Baron (1997) berpendapat bahwa terdapat beberapa
factor yang merupakan kekuatan dibelakang kebutuhan kan berubah. Mereka
memisahkan antara perubahan terencana dan perubahan tidak terencana.
Perubahan terencana adalah aktivitas yang dimaksudkan dan diarahkan dalam
sifat dan desainnya untuk memenuhi beberapa tujuan organisasi. Seentara itu,
perubahan tidak terencana merupakan pergeseran dan aktivitas organisasi
karena adanya kekuatan yang sifatnya eksternal, diluar control orgaisasi.

D.keefektifan organisasi
sekitar tahun 1960-an dan awal 1970-an kajian tentang keefektifanorgnanisasi
menghasilkan tiga puluh kriteria berbeda yang semua mengaku mampuuntuk
mengukur “keefektifan organisasi” . Namun tidak dapat disangkal akibat dariadanya
keanekaragaman organisasi yang dievaluasi serta faktor subyektivitas sertaminat para
penilai yang bervariasi, maka menyebabkan beberapa kriteria terkesansaling
bertentangan ,misalnya untuk kriteria efisiensi tentu akan dicapai melalui penggunaan
sumber semaksimal mungkin. Hal ini ditandai dengan tidak adanya sisa /kelonggaran.
Kebalikannya, untuk kriteria fleksibilitas/ adaptasi hanya dapat dicapai jika ada
kelebihan ( surplus ) alias harus ada sisa/ kelonggaran.
Pada perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1980-an dalam buku berjudul “
InSearch of Exellence” karya dari Tom peters dan Robert Watermansetelah
mengakjilebih dari empat puluh dua perusahan yang dianggap mempunyai
pengelolaan baikdansangat efektif , disebutkan menuurut mereka ada delapan
karakteristik umu yangdipunyai perusahan-perusahaan tersebut : (1) Mereka
mempunyai bias terhadaptindakan dan penyelesaian pekerjaan; (2) Mereka selalu
dekat dengan para pelangganagar mengerti secar penuh kebutuhan pelanggan; (3)
Mereka memberi para pegawaisuatu tingkat otonomi yang tinggi dan memupuk
semangat kewiraswastaan (entrepreneurial spirit); (4) Mereka berusaha
meningkatkan produktivitas lewat partisipasi para pegawainya; (5) Para pegawai
mengetahui apa yang diinginkan perusahaan, dan para manajer terlibat aktif pada
masalah disemua tingkat; (6) Mereka selau dekat dengan usaha yang mereka ketahui
dan pahami; (7) Mereka mempunyai struktur organisasi yang luwes dan sederhana,
dengan jumlah orang yang minimal dalam aktivitas-aktivitas staf pendukung; (8)
Mereka menggabungkan kontrol yang ketat dan desentralisai unutk mengamankan
nilai-nilai inti perusahaan dengan kontrol yang longgar dibagian-bagian lain untuk
mendorong pengambilan resiko serta inovasi
Oleh karena keefektifan organisasi sulit untuk didefinisikan secara formal dan
bulat maka pada dewasa ini terdapat kesepakatan umum bahwa keefektifan organisasi
membutuhkan kriteria majemuk disebabkan fungsi organisasi yang berbeda-beda
harus dievaluasi dengan menggunakan karakteristik yang berbeda-beda pula, dan
bahwa keefektifan organisasi harus mencakup penilaian pada aspek cara-caranya /
means (process), maupun hasilnya / ends (outcomes). Dalam pembahasan selanjutnya
akan disajikan tentang berbagai pendekatan yang pernah dilakukan untuk mengkaji
konsep keefektifan organisasi dan kemudian membandingkan antar pendekatanan-
pendekatan tersebut.

BEBERAPA PENDEKATAN KEEFEKTIFAN ORGANISASI


Dalam membahas tentang keefektifan organisasi secara garis besar dapat
dibedakan dalam empat pendekatan yang masing-masing mempunyai asumsi-asumsi
dan masalah-masalahnya serta bagaimana nilai atau pengaruhnya terhadap para
manajer.

Pendekatan Pencapaian Tujuan ( goal attainment approach )


Asumsi-asumsi
Pendekatan pencapaian tujuan mengasumsi bahwa organisasi adalah kesatuan
yang dibuat dengan sengaja, rasional, dan mencari tujuan. Oleh karena itu,
pencapaian tujuan yang berhasil menjadi sebuah ukuran yang tepat tentang
keefektifan. Namun demikian, agar pencapaian tujuan bisa menjadi ukuran yang sah
dalam mengukur keefektifan organisasi, asumsi-asumsi lain juga harus sah. Pertama,
organisasi harus mempunyai tujuan akhir. Kedua, tujuan-tujuan tersebut harus
diidentifikasi dan ditetapkan dengan baik agardapat di mengerti. Ketiga, tujuan-tujuan
tersebut harus sedikit saja agar mudah dikelola. Keempat, harus ada konsensus atau
kesepakatan umum mengenai tujuan-tujuan tersebut. Akhirnya, kemajuan ke arah
tujuan-tujuan tersebut harus dapat diukur.Masalah-masalah
Pendekatan pencapaian tujuan penuh dengan masalah yang menyebabkan
penerapannya secara eksklusif dapat di pertanyakan . Banyak dari masalah tersebut
berhubungan secara langsung dengan asumsi-asumsi yang telah kita sebut
sebelumnya.
Bukan suatu masalah apabila anda membahas tujuan secara umum , namun jika
anda menggunakan pendekatan pencapaian tujuan anda anda harus bertanya: tujuan
siapa? Menejemen puncak? Jika demikian, siapa yang termasuk di dalamnya, dan
siapa yang tidak? Beberapa organisasi besar, hanya melihat para vice-president serta
yang berada di atasnya saja yang termasuk manejemen puncak. Juga mungkin dari
beberapa para pengambil keputusan yang benar-benar mempunyai kekuasaan dan
pengaruh di dalam organisasi tetapi bukan anggota dari manajemen senior. Ada
beberapa kasus orang-orang dengan pengalaman bertahun-tahun atau yang
mempunyai keahlian dalam bidang tertentu mempunyai pengaruh yang signifigan
(penting) dalam menentukan tujuan organisasi mereka (mereka adalah bagian dari
dominant coalition), meskipun mereka tidak termasuk di antara kader eksekutif
senior.
Apa yang dinyatakan secara resmi oleh sebuah organisasi sebagai tujuan tidak
selalu mencerminkan tujuan yang sebenarnya. Tujuan-tujuan resmi cenderung untuk
sangat dipengaruhi oleh standar sosial yang di inginkannya. Pernyataan-pernyataan
yang di kemukakan seperti “menghasilkan produk bermutu dengan harga yang
bersaing”, “menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab”, “memastikan
bahwa usaha-usaha produktif kita tidak akan mencemari lingkungan”,
“mempertahankan reputasi kita dalam integritas “, dan “menerima orang cacat dan
dari golongan minoritas” dapat diambil dari brosur-brosur perusahaan. Pernyataan-
pernyataan resmi yang samar yang bukan diberikan tanpa pamrih ini dapat berbunyi
enak tetapi jarang sekali memberikan kontribusi terhadap pengertian tentang apa yang
sebetulnya hendak di capai oleh sebuah organisasi. Dengan adanya kemungkinan
bahwa tujuan-tujuan yang resmi dan yang sebenarnya dapat berbeda, maka suatu
penilaian tentang organisasi mungkin harus memasukan juga pernyataan yang di buat
oleh dominant coalition ditambah dengan sebuah daftar tambahan yang dibuat atas
dasar pengamatan mengenai apa yang sebenarnya di lakukan oleh para anggota dalam
organisasi.
Tujuan jangka pendek dari sebuah organisasi kerap kali berbeda dengan tujuan
jangka panjangnya. Misalnya, tujuan jangka pendek utama sebuah perusahaan
diarahkan kepada masalah keuangan untuk meningkatkan modal kerja sebanyak 20
juta dalam jangka waktu duabelas bulan mendatang. Tetapi tujuan lima tahunnya
adalah untuk meningkatkan pangsa pasarproduknya dari 4% menjadi 10%. Dalam
menerapkan pendekatan pencapaian tujuan, tujuan-tujuan mana yang jangka pendek
atau jangka panjang yang harus di gunakan?
Fakta bahwa organisasi mempunyai tujuan majemuk juga menciptakan kesulitan.
Tujuan-tujuan tersebut dapat saling bersaing dan seringkali saling tidak cocok.
Pencapaian “kualitas produk yang tinggi “ dan “biaya per unit yang rendah”,
misalnya, bisa saling bertentangan satu sama lain. Pendekatan pencapaian tujuan
mengasumsikan harus ada kesepakatan terhadap tujuan. Dengan adanya trujuan
majemuk dan kepentingan yang berbeda-beda dalam organisasi, maka kesepakatan
tersebut mungkin tidak dapat terjadi kecuali bila tujuan-tujuan tersebut di nyatakan
dalam istilah yang mendua dan samar-samar untuk memberi kesempatan kepada
berbagai kelompok yang berkepentingan untuk mengirterpretasikannya sesuai dengan
kepentingan pribadi mereka. Hal ini, sebetulnya, dapat menerangkan mengapa
kebanyakan tujuan resmi organisasi-organisasi besar secara tradisional di buat secara
luas dan tidak nyata. Tujuannya adalah untuk menentreramkan berbagai kelompok
yang berkepentingan dalam organisasi.
Tujuan majemuk harus diatur sesuai dengan kepentingannya, jika kita menginginkan
tujuan tersebut berarti bagi para anggota. Tetapi bagaimana anda dapat
mengalokasikan kepentingan yang relatif terhadap tujuan-tujuan yang mungkin saling
tidak cocok dan mewakili kepentingan yang berbeda-beda? Jika ditambahkan pada
fakta tersebut, bahwa personalia dan hubungan kekuasaan dalam organisasi berubah,
demikian juga kepentingan yang dikaitkan dengan tujuan yang berbeda-beda tersebut
maka anda mulai menyadari kesukaran yang akan dihadapi dalam
mengoperasionalkan pendekatan tujuan.
Pengertian terakhir perlu diberikan sebelum kita menyimpulkan bagian mengenai
masalah-masalah pada pendekatan pencapaian tujuan. Mungkin saja bagi banyak
organisasi tujuan tidak mengatur perilaku. “Pernyataan umum yang mengatakan
bahwa kesepakatan tentang tujuan harus dibuat sebelum tindakan dilakukan
mengaburkan fakta bahwa kesepatakan itu tidak mungkin terjadi kecuali jika ada
sesuatu yang nyata, di mana hal tersebut dapat terjadi. Dan ‘sesuatu yang nyata’ ini
ternyata bisa berupa tindakan yang sudah dilakukan.” Dalam hal tertentu, tujuan
resmi hanya rasionalisasi untuk menjelaskan tindakan yang telah lalu, bukan
pemandu ke masa depan. Organisasi mungkin bertindak lebih dahulu, baru kemudian
menciptakan “tujuan” untuk membenarkan apa yang telah terjadi. Jika hal ini benar,
maka pengukuran keefektifan organisasi dengan mensurvei dominant coalition bukan
menghasilkan benchmark (standar) yang dapat dijadikan pembanding performa yang
sebenarnya, tetapi lebih berupa deskripsi formal mengenai pandangan dominant
coalition tentang performa sebelumnya.
Apa arti dari semua ini? Tampaknya hanya orang yang naif yang akan menerima
pernyataan formal yang dibuat oleh manajemen senior untuk menggambarkan tujuan
organisasi. Seperti yang disimpulkan oleh seorang penulis setelah menemukan bahwa
perusahaan-perusahaan ternyata mengedarkan set tujuan yang berbeda-beda: pertama
untuk para pemegang saham, kedua untuk para pelanggan, ketiga untuk para pegawai,
keempat untuk masyarakat umum, dan masih ada yang kelima untuk manajemen
sendiri, maka pernyataan formal tentang tujuan organisasi harus diperlakukan sebagai
“dongeng yang dihasilkan oleh sebuah organisasi untuk mempertanggungjawabkan,
menjelaskan, atau merasionalkan eksistensinya terhadap audience tertentu ketimbang
sebagai indikasi yang sah dan dapat dipercaya mengenai tujuan”.Nilainya bagi Para
Manajer
Masalah-masalah tersebut, meskipun pasti memberatkan, tidak harus ditafsirkan
sebagai tuduhan yang tidak beralasan tentang tujuan. Organisasi-organisasi itu ada
untuk mencapai tujuan – masalahnya terletak pada identifikasi dan pengukurannya.
Keabsahan dari tujuan-tujuan yang diidentifikasi tersebut mungkin dapat ditingkatkan
secara mencolok dengan (1) memastikan bahwa masukan diterima dari semua orang
yang mempunyai pengaruh penting dalam merumuskan tujuan-tujuan yang resmi,
meskipun mereka bukan bagian dari manajemen senior, (2) menyertakan tujuan yang
sebenarnya yang diperoleh melalui pengamatan perilaku para anggota organisasi; (3)
mengakui bahwa organisasi mengejar tujuan jangka pendek maupun jangka panjang;
(4) menekankan tujuan-tujuan yang nyata, yang dapat diverifikasi dan dapat diukur
ketimbang menggantukan diri pada pernyataan-pernyataan tidak jelas yang hanya
mencerminkan harapan masyarakat; dan (5) melihat tujuan sebagai kesatuan yang
dinamis yang berubah dari waktu ke waktu ketimbang melihatnya sebagai pernyataan
tentang tujuan yang kaku dan tetap.
Jika para manajer bersedia menghadapi kompleksitas yang terdapat pada pendekatan
pencapaian tujuan tersebut maka mereka bisa memperoleh informasi yang cukup
mendasar untuk menilai keefektifan sebuah organisasi. Tetapi masih ada banyak hal
yang bersangkut paut dengan keefektifan organisasi ketimbang hanya
mengidentifikasi dan mengukur hasil tertentu.
Pendekatan Sistem (system approach)
Asumsi – asumsi
Pendekatan sistem terhadap EO mengimplikasikan bahwa organisasi terdiri dari sub-
sub bagian yang saling berhubungan. Jika salah satu sub bagian ini mempunyai
performa yang buruk, maka akan timbul dampak yang negatif terhadap performa
keseluruhan sistem.
Keefektifan membutuhkan kesadaran dan interaksi yang berhasil dengan
konstituensi lingkungan. Manajemen tidak boleh gagal dalam mempertahankan
hubungan yang baik dengan para pelanggan, pemasok, lembaga pemerintahan, serikat
buruh, dan konstituensi sejenis yang mempunyai kekuatan untuk mengacaukan
operasi organisasi yang stabil.
Kelangsungan hidup membutuhkan penggantian yang terus-menerus untuk sumber
daya yang dikonsumsi. Bahan baku harus diamankan, lowongan yang terjadi karena
pengunduran diri dan pensiunnya para pegawai harus diisi, lini produksi yang
menurun harus diganti, perubahan dalam ekonomi dan selera para konsumen atau
pelanggan harus diantisipasi dan dihadapi, dan seterusnya. Kegagalan untuk
mengganti akan mengakibatkan kemunduran dan, mungkin, kematian organisasi.
-Masalah-masalah
Dua kekurangan yang paling menonjol dari pendekatan sistem ada hubungannya
dengan pengukuran dan masalah apakah cara-cara itu memang benar-benar penting.
Pengukuran tujuan akhir tertentu dapat dianggap mudah dibandingkan dengan
percobaan untuk mengukur variabel proses, seperti “fleksibilitas respons terhadap
perubahan lingkungan” atau “kejelasan dari komunikasi intern”. Masalahnya adalah
istilah itu mungkin dapat menjelaskan apa yang dimaksud oleh orang awam, tetapi
pengembangan alat ukur yang sah dan andal untuk memperoleh kuantitas atau
intnsitasnya agaknya tidak mungkin. Ukuran apa pun yang digunakan, oleh
karenanya, dapat dipertanyakan secara terus-menerus.
Di dalam olah raga, seringkali dikatakan bahwa “yang diperhitungkan adalah apakah
anda menang atau kalah, bukan bagaimana anda memainkan pertandingan tersebut”.
Dapat dipertanyakan apakah hal tersebut juga berlaku bagi organisasi. Jika tujuan
sudah tercapai, apakah cara-caranya masih penting? Sasarannya adalah untuk
menang, bukan untuk pergi ke pertandingan dan kalah dengan baik! Masalahnya
dengan pendekatan sistem, paling tidak menurut para kritikusnya, adalah pendekatan
itu berfokus pada cara-cara yang diperlukan untuk mencapai keefektifan daripada
kepada keefektifan organisasi itu sendiri.
Kritik ini akan lebih berarti jika kita mengkonseptualkan pendekatan pencapaian
tujuan dan pendekatan sistem sebagai pendekatan yang berorientasi kepada tujuan.
Yang pertama menggunakan tujuan akhir; yang lain cara-cara tujuan. Dari perspektif
ini dapat diperdebatkan bahwa karena keduanya menggunakan tujuan, maka anda
sebaiknya menggunakan yang lebih berarti dan yang (walalupun mempunyai masalah
pengukuran sendiri) lebih mudah untuk dikuantifikasikan; yaitu pendekatan
pencapaian tujuan.
-Nilainya bagi Para Manajer
Para manajer yang menggunakan pendekatan sistem terhadap EO cenderung kurang
mementingkan hasil yang cepat. Mereka kemungkinan besar tidak akan membuat
keputusan yang menukar kesejahteraan jangka panjang dan kelangsungan hidup
organisasi dengan membuat mereka tampak sehat dalam jangka pendek. Selain itu,
pendekatan sistem meningkatkan kesadaran para manajer tentang adanya saling
ketergantungan di antara aktivitas-aktivitas organisasi.
Keunggulan akhir dari pendekatan sistem adalah kemampuannya untuk diaplikasikan
jika tujuan akhir sangat samar atau tidak dapat diukur. Para manajer organisasi
masyarakat seringkali menggunakan “kemampuan untuk mendapatkan penambahan
anggaran” sebagai ukuran keefektifan – menggantikan kriteria masukan dengan
kriteria keluaran.
3)Pendekatan Konstituens-Strategis (strategic-constiutencies approach)
Asumsi-asumsi
Pendekatan pencapaian tujuan memandang organisasi sebagai kesatuan yang sengaja
dibuat, rasional, dan mencari tujuan. Pendekatan konstituensi-strategis memandang
organsisasi secara berbeda. Organisasi diasumsikan sebagai arena politik tempat
kelompok-kelompok yang berkepentingan (vested interests) bersaing untuk
mengendalikan sumber daya. Dalam konteks ini, keefektifan organisasi menjadi
sebuah penilaian tentang sejauh mana keberhasilan sebuah organisasi dalam
memenuhi tuntutan konstituensi kritisnya yaitu pihak-pihak yang menjadi
tempatbergantung organisasi tersebut untuk kelangsungan hidupnya di masa depan.
Kiasan dari “arena politik” selanjutnya mengasumsikan bahwa organisasi mempunyai
sejumlah konstituensi dengan berbagai tingkat kekuasaan, yang masing-masing
mencoba untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi, setiap konstituensi juga mempunyai
sekumpulan nilai yang unik, sehingga preferensi mereka tidak mungkin bisa sesuai.
Masalah-masalah
Seperti halnya pendekatan sebelumnya, yang ini pun bukannya tanpa masalah. Dalam
praktek, tugas untuk memisahkan konstituensi strategis dari lingkungan yang lebih
besar mudah untuk diucapkan, tetapi sukar untuk dilaksanakan. Karena lingkungan
berubah dengan cepat, apa yang kemarin kritis bagi organisasi mungkin tidak lagi
untuk hari ini. Bahkan jika konstituensi di dalam lingkungan dapat diidentifikasi dan
diasumsikan relatif cukup stabil, apa sebenarnya yang memisahkan konstituensi
strategis dari yang “hampir” merupakan konstituensi strategis? Di manakah anda
membuat pemisahan itu? Dan bukankah kepentigan setiap anggota dominant coalition
sangat mempengaruhi apa yang ia persepsikan sebagai sesuatu yang strategis?
Seorang eksekutif dalam fungsinya di bagian akunting kemungkinan besar tidak akan
melihat dunia – atau konstuensi strategis organisasi – dengan pandangan yang sama
seperti seorang eksekutif yang berfungsi di bagian pembelian. Akhirnya,
mengidentifikasikan harapan yang dianut oleh konstituensi strategis mengenai
organisasi menimbulkan masalah. Bagaimana anda dapat memperoleh informasi
tersebut secara tepat.
Nilai bagi Para Manajer
Jika kelangsungan hidup penting bagi sebuah organisasi, maka adalah kewajiban para
manajer untuk mengerti kepada siapa (dalam arti konstituensi) organisasi itu
bergantung untuk kelangsungan hidupnya. Dengan mengoperasikan pendekatan
konstituensi strategis, para manajer mengurangi kemungkinan bahwa mereka
mungkin mengabaikan atau sangat mengganggu sebuah kelompok yang
kekuasaannya dapat menghambat kegiatan-kegiatan sebuah organisasi secara nyata.
Jika manajemen mengetahui dukungan dari siapa mereka butuhkan supaya organisasi
dapat mempertahankan kesehatannya, maka mereka dapat memodifikasi urutan
preferensi tujuan-tujuannya sesuai dengan kebutuhannya untuk mencerminkan
hubungan kekuasaan yang berubah dengan para konstituensi strategisnya.
4) Pendekatan Nilai-nilai Bersaing (competing-values approach)
Asumsi-asumsi
Sebelum menyajikan pendekatan nilai-nilai bersaing secara eksplisit, terlebih dahulu
kami perlu menetapkan asumsi yang menjadi dasar penciptaannya. Mari kita mulai
dengan asumsi bahwa tidak ada kriteria “paling baik” untuk menilai keefektifan
sebuah organisasi. Tidak ada tujuan tunggal yang dapat disetujui oleh semua orang
dan juga tidak ada konsensus yang menetapkan tujuan mana yang harus
didahulukan dari yang lainnya. Oleh karena itu, konsep EO itu sendiri subyektif, dan
tujuan yang dipilih seorang penilai berdasarkan atas nilai-nilai pribadi, pereferensi
serta minatnya. Hal ini dapat dilihat jika kita mengambil sebuah organsisasi dan
melihat bagaimana kriteria mengenai EO berubah untuk mencerminkan kepentingan
si penilai.
Nilai-nilai bersaing secara nyata melangkah lebih jauh daripada hanya pengakuan
tentang adanya pilihan yang beraneka ragam. Pendekatan tersebut mengasumsikan
bahwa berbagai macam pilihan tersebut dapat dikonsolidasikan dan diorganisasi.
Pendekatan nilai-nilai bersaing mengatakan bahwa ada elemen umum yang
mendasari setiap daftar kriteria EO yang komprehensif dan bahwa elemen tersebut
dapat dikombinasikan sedemikian rupa sehingga menciptakan kumpulan dasar
mengenai nilai-nilai bersaing. Masing-masing kumpulan tersebut lalu membentuk
sebuah model keefektifan yang unik.
Masalah-masalah
Karena model nilai-nilai bersaing meliputi tujuan maupun caranya, maka model ini
mengatasi masalah yang timbul jika kita menggunakan pendeketan pencapaian
tujuan (goal-attainment) atau sistem. Nilai-nilai bersaing mencakup konstituensi
strategis tetapi tidak berbuat apa-apa untuk mengurangi masalah seperti yang
timbul karena digunakannya pendekatan ini, seperti yang telah kami singgung.
Metodologi nilai-nilai bersaing membuat pendekatan ini lebih baik dalam menilai
persepsi dari konstituensi mengenai seberapa baik sebuah organisasi itu
mengerjakan kedelapan kriteria ketimbang menjelaskan kriteria mana yang
ditekankan konstituensinya.
Penggunaan daur hidup untuk menentukan model EO mana yang harus diperhatikan
oleh manajemen sangat menarik, tetapi lebih banyak penelitian diperlukan untuk
menentukan apakah model-model tentang keefektifan itu benar-benar berubah
dengan cara yang dapat diramalkan seiring dengan perkembangan organisasi-
organisasi tersebut melalui daur hidup mereka.
Nilai Bagi Para Manajer
Nilai-nilai bersaing mengakui bahwa kriteria majemuk dan kepentingan-kepentingan
yang saling bertentangan mendasari setiap usaha dalam menentukan dan menilai
EO. Selain itu, dengan mengurangi sejumlah besar kriteria keefektifan ke dalam
empat model organisasi yang secara konseptual jelas, maka pendekatan nilai-nilai
bersaing dapat membantu manajer dalam mengidentifikasi kecocokan dari berbagai
kriteria bagi konstituensi yang berbeda-beda serta daur hidup yang berbeda-beda
pula.
III. OPERASIONALISASI KEEMPAT PENDEKATAN
1.OPERASIONALISASI PENDEKATAN TUJUAN
Pendekatan pencapaian tujuan mungkin paling nyata terlihat pada Management
by Objectives ( MBO ) yang menilai keefektifan dengan cara seberapa jauh
organisasi mencapai tujuan – tujuan khusunya yang telah ditetapkan secara bersama
oleh pimpinan dan anggotanya. Tujuan tersebut secara nyata dapat dibuktikan dan
diukur, serta kondisi kondisi yang memungkinkan tujuan itu terpenuhi juga telah
ditentukan. Tingkatan sejauh mana masing-masing tujuan harus dipenuhi juga telah
ditetapkan, dan juga dibandingkan antara prestasi sebenarnya dengan tujuan yang
ada.
1.OPERASIONALISASI PENDEKATAN SISTEM
Pandangan sistem melihat pada faktor-faktor seperti hubungan dengan
lingkungan untuk memastikan adanya penerimaan yang terus menerusdari masukan
serta penerimaan yang menguntungkan dari keluaran, fleksibilitas respons terhadap
perubahan lingkungan, efisiensi yang digunakan untuk mengubah masukan menjadi
keluaran, kejelasan komunikasi intern, tingkat konflik diantara kelompok dan tingkat
kepuasan kerja pegawai. Lebih berorientasi pada cara tanpa mengabaikan tujuan akhir
yang dijadikan salah satu determinan penting dari EO.
Aplikasi sistem yang lain terhadap EO adalah pemeriksaan manajemen
( management audit ), yang dkembangkan oleh Jackson Martindell yang dimaksudkan
untuk menganalisis aktivitas-aktivitas utama dalam sebuah perusahaan bisnis,
meliputi aktivitas masa lalu, masa kini dan masa mendatang, serta untuk memastikan
bahwa organisasi memperoleh usaha masksimal dari sumber-sumber dayanya.
Martindell mengajukan konsep penilaian dalam sepuluh performa yatiu meliputi
bidang : fungsi ekonomi, struktur organisasi; kesehatan pendapatan; pelayanan
terhadap pemegang saham; penelitian dan pengembangan; dewan direksi; kebijakan
keuangan; efisiensi produksi; kegiatan penjualan; erta evaluasi eksekutif. Sejumlah
kriteria tersebut meskipun hanya relevan untuk organisasi komersial namun dapat
dimodifikasi juga untuk organisai nirlaba.
Pendekatan sistem lain digunakan oleh para peneliti dari Universitas Michigan
untuk mempelajari prestasi tujuh lima perusahaan asuransi. Mereka mempelajari
sepuluh dimensi keefektifan meliputi : business volume; produstion cost; new-
member productivity; youthfulness of members; business mix; workforce growth;
devotion to management; maintenance cost; member productivity; dan market
penetration.
2.OPERASIONALISASI PENDEKATAN KONSTITUENSI – STRATEGIS
Langkah awal mengaplikasikan perspektif ini dapat dengan jalan meminta
dominant coalition mengidentifikasikan konstiuen strategis yang mempengaruhi
kelangsungan hidup organisasi yang kemudian dapat dikombinasi atau disatukan
dalam sebuah daftar.
Daftar ini kemudian dievaluasi untuk menentukan kekuasaan relatif masing-
masing, dilanjutkan dengan mengidentifikasi harapan-harpan dan tuntutan yang
dimiliki para kosntituen tersebut. Tahap terakhir adalah membandingkan berbagai
harpan tersbut, menentukan harapan yang bersifat umum dan yang tak sesuai,
memberikan bobot relatif serta mebuat urutan preferensi dari berbagai tujuan bagi
organisasi yang sebenarnya merupakn gambaran kekuasaan relatif dari masing-
masing konstituen strategis yang ada.
3.OPERASIONALISASI PENDEKATAN NILAI-NILAI BERSAING
Ada tiga kumpulan dasar tentang nilai-nilai bersaing yang dihasilkan dari
pengolahan tiga puluh kriteria EO seperti yang tercantum dalam Tabel 1.1
sebelumnya. Kumpulan pertama adalah fleksibiltas versus kontrol, yang pada
dasrnya keduanya saling bertentangan . Fleksibilitas menghargai inovasi, penyesuaian
dan perubahan namun sebaliknya kontrol lebih menyukai stabilitas, ketentraman,
serta prediksi kemungkinan.
Kumpulan kedua adalah manusia versus organisasi, yang keduanya saling
bertentangan diman yang satu lebih menekankan perhatian pad perasaan atau
kebutuhan manusia dalam organisasi , dan yang lainnya lebih perhatian pada
pencapaian produktivitas dan tugas. Kumpulan ketiga adalah cara versus tujuan yang
merupakan dikotomi dan telah dibahas dalam pendekatan tujuan dan pendekatan
sistem sebelumnya.

III.MEMBANDINGKAN KEEMPAT PENDEKATAN


Setelah membahas empat pendekatan yang berbeda untuk menilai keefektifan
organisasi yang masing-masing mempunyai cara tersendiri serta dapat menjadi model
yang bermanfaat. Untuk menentukan dalam kondisi bagaimana dari masing-masing
pendektan itu agar dapat dicapai hasil yang optimal , berikut ini dalam tabel 3.1 akan
diikhtisarkan setiap pendekatan tersebut dengan cara mengidentifikasikan apa yang
dibutuhkan dalam menetapkan keefektifan beserta kondisi –kondisi yang diperlukan.
 KLASIFIKASI BUDAYA ORGANISASI
Dalam mempelajari budaya organisasi dapat dikelompokkan dalam empat pendekatan
(Robbert dan Hunt, 1994), yaitu:
1. Kelompok pertama beberapa sarjana memandangnya sebagai asumsi bersama,
keyakinan, dan nilai-nilai dalam organisasi dan kelompok kerja.
2. Kelompok kedua tertarik mengenai mitos, cerita, dan bahasa sebagai
manifestasi budaya.
3. Kelompok ketiga memandang tata cara dan seremonial sebagai manifestasi
budaya.
4. Dan kelompok keempat mempelajari interaski antar-anggota dan simbol-simbol.

NILAI-NILAI YANG DIMILIKI BERSAMA


Pemikiran penting dan sasaran yang dimiliki oleh sebagian besar orang dalam sebuah
kelompok, cenderung membentuk tingkah laku kelompok, dan yang sering menetap
dalam jangka waktu panjang bahkan dengan perubahan dalam keanggotaan
kelompok. Contoh: perhatian manajer pada pelanggan; eksekutif menyukai utang
jangka panjang.

NORMA TINGKAH LAKU KELOMPOK


Cara yang biasa atau mudah menyebar untuk bertindak yang dijumpai dalam sebuah
kelompok dan yang menetap karena anggota kelompok cenderung bertingkah laku
dalam cara yang mengajarkan kebiasaan ini (di samping nilai-nilai milik bersama)
kepada yang baru, memberi imbalan mereka yang sesuai dan memberi sanksi kepada
mereka yang tidak sesuai. Contoh: karyawan cepat memberi respons pada permintaan
pelanggan; manajer sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam membuat
keputusan.

Kotter dan Heskett (1992) menemukan bahwa ada budaya organisasi yang baik untuk
mengadaptasi perubahan dan melestarikan prestasi organisasi, dinamakan budaya
adaptif. Nilai intinya adalah kebanyakan manajer sangat memperhatikan pelanggan,
pemegang saham, dan karyawan. Mereka amat menghargai manusia dan proses yang
menciptakan perubahan berharga (misalnya, kepemimpinan ke atas dan ke bawah
dalam hierarki manajemen). Tingkah laku umum manajer memberikan perhatian
besar kepada semua pihak yang mendukung mereka, terutama pelanggan, dan
memprakarsai perubahan kalau diperlukan untuk melayani perhatian sah mereka,
sekalipun itu berarti ada resiko.
Stevenson dan Gumpert (dalam Harris dan Moran, 1991) membedakan budaya
organisasi menjadi dua yaitu:budaya entrepreunerial dan administrative, berdasarkan
fokus perhatian yang cirinya dilihat dari; a) Orientasi strategi, b) Komitmen dalam
meraih peluang, c) Komitemen terhadap sumber daya, d) Struktur manajemen.

Suatu organisasi bisa mempunyai variasi campuran dari empat jenis tersebut, yaitu:
1) Budaya Birokratik, suatu organisasi dengan karyawan yang mempunyai
formalisasi nilai peraturan standar prosedur operasi, dan koordinasi hierarkis.
Perhatian jangka panjang dalam birokrasi, efisiensi, dan stabilitas dapat diperkirakan.
Karyawannya mempunyai standar nilai yang tinggi terhadap barang dan pelayanan
pelanggaran. Manajer memandang peran mereka sebagai koordinator yang sangat
baik, organisator, dan memperkuat standar dan aturan tertulis. Tugas, tanggung
jawab, dan kewenangan untuk seluruh karyawan dirumuskan dengan jelas. Beberapa
aturan dan proses diuraikan dengan berlebihan, dan karyawan percaya bahwa
kewajiban mereka adalah “melakukan sesuai dengan buku” dan mengikuti prosedur
legal.
2) Budaya Clan, mempunyai atribut tradisi, kesetiaan, komitmen pribadi,
sosialisasi ekstensif, tim kerja, manajemen diri, dan pengaruh sosial. Komitmen
individual jangka panjang dalam organisasi (kesetiaan) diganjar dengan komitmen
jangka panjang organisasi terhadap karyawan (jaminan). Karyawan mempunyai
sentimen bersama kebanggannya sebagai anggota organisasi. Karyawan mempunyai
perasaan yang kuat untuk mengidentifikasi diri dan bahwa mereka saling bergantung.
Komunikasi, koordinasi, dan integrasi didukung oleh tujuan bersama, persepsi, dan
kecenderungan perilaku.
3) Budaya Entrepreunerial, menunjukkan tingkat pengambilan risiko yang
tinggi, dinamis dan kreativitas. Ada komitmen terhadap eksperimentasi, inovasi.
Budaya ini tidak hanya cepat bereaksi terhadap perubahan lingkungan, tetapi
menciptakan perubahan. Cara-cara yang efektif asalkan baru dan produknya untuk
mempercepat pertumbuhan. Inisiatif karyawan, fleksibilitas, dan kebebasan dibantu
perkembangannya dan diperkuat serta diganjar dengan baik.
4) Budaya Pasar, nilai yang akan dicapai terukur, dan karyawan dituntut
mencapai sasaran, terutama yang berbasis financial dan pasar. Persaingan yang
berlangsung keras, dan orientasi keuntungan memperkuat organisasi. Hubungan
antara karyawan dan organisasi bersifat kontrak. Kewajiban para pihak disetujui
terlebih dahulu. Dalam kondisi demikian orientasi kontrol formal stabil. Karyawan
bertanggung jawab mencapai beberapa tingkat kinerja. Sementara itu organisasi
menjanjikan suatu tingkat ganjaran sesuai jadwal yang disetujui. Atasan berinteraksi
dengan bawahan secara luas berkaitan dengan persetujuan perundingan antara kinerja
dan penghargaan dan atau mengevaluasi alokasi sumber daya yang dibutuhkan.

Anda mungkin juga menyukai