Anda di halaman 1dari 16

(ANALISIS LINGKUNGAN KEBIJAKAN)

Analisis lingkungan kebijakan dan mampu menjelaskan konteks politik,


ekonomi,sosial, dan budaya pada perkembangan kebijakan kesehatan.

1. Mahasiswa mampu menganalisis lingkungan kebijakan


2. Mahasiswa mampu menjelaskan konteks politik kebijakan
3. Mahasiswa mampu menjelaskan konteks ekonomi dalam pengembangan
kebijakan
4. Mahasiswa menjelaskan konteks sosial dan budaya dalam pengembangan
kebijakan

1) Implementasi Kebijakan

Proses pengembangan dan implementasi kebijakan kesehatan dipengaruhi oleh


berbagai konteks atau factor serta lingkungan dari kebijakan tersebut berada.
Para actor atau pelaku kebijakan yang terlibat juga tak lepas dari pengaruh
konteks dan lingkungan yang mempengaruhi nilai-nilai, pilihan atau
kepentingannya. Dengan demikian, lingkungan dan konteks yang menyertai
kebijakan kesehatan menjadi unsur yang selalu dipertimbangkan dalam menilai
atau menganalisis kebijakan kesehatan.
Dalam segitiga system kebijakan yang dikembangkan Dunn (1994), unsur
lingkungan menjadi satu unsur di antara unsur segitiga kebijakan lainnya: actor
kebijakan dan konten kebijakan yang saling mempengaruhi. Dalam terminology
segitiga kebijakan kesehatan yang dikembangkan Walt dan Gilson (1994) aspek
lingkungan dimaknai sebagai konteks. Kedua istilah tersebut memiliki peran yang
hampir sama, yaitu memberi pengaruh dalam system kebijakan kesehatan, akan
tetapi berbeda dalam hal penggunaan atau cara pandangnya di dalam suatu
analisis kebijakan kesehatan.

a. Lingkungan Kebijakan
Istilah lingkungan kebijakan lebih tepat ditempatkan di luar segitiga
system kebijakan sebagaimana termininologi system pada umumnya,
yang menempatkan input proses-output pada satu garis yang sama di
dalam runag lingkup unsur lingkungan. Pemahaman ini juga mengau pada
system penetapan kebijakan yang dikemukakan oleh Easton, yaitu
bagaimana proses formulasi kebijakan berlangsung sebagai sebuah
system dengan ada factor lingkungan yang mempengaruhi. Penggunaan
istilah lingkungan kebijakan akan lebih tepat jika digunakan saat
melakukan analisis kebijakan yang menempatkan lingkungan sebagai
pengaruh eksternal yang memengaruhi keberhasilan suatu kebijakan
kesehatan saat diimplementasikan. Misalnya, kebijakan persalinan oleh
tenaga kesehatan tidak berjalan karena adanya kepercayaan masyarakat
yang lebih besar pada dukun dan terbatasnya anggaran untuk
menempatkan bidan desa di daerah-daerah pelosok. Adapun konteks
kebijakan memiliki pengertian yang saling mendukung dan melengkapi
dengan lingkungan. Istilah konteks kebijakan lebih tepat ketika digunakan
saat membuat analisis kebijakan, tetapi dengan ‘kacamata’ bidang atau
sektor lain. Misal, dari konteks ekonomi, kebijakan kesehatan berupa
imunisasi polio akan menguntungkan karena dinilai sebagai investasi
jangka panjang mengingat akibat ekonomi yang ditimbulkan dari penyakit
polio yang jauh lebih besar. Ketika terjadi endemic polio maka Negara
akan kehilangan tenaga poduktif dair yang seharusnya (anak yang
terkena polio, yang berdampak pada kelumpuhan, akan mengurangi
tenaga produktif di Negara sehingga dapat mengurangi pendapatan per
kapita, dan seterusnya. Hasil analisis kebijakan akan menjadi berbeda-
beda ketika dilihat dari konteks yang berbeda pula. Untuk selengkapnya,
berikut penjelasan mengenai lingkungan kebijakan kesehatan dan konteks
politik, ekonomi, dan social budaya dalam kebijakan kesehatan.
Kelembagaan sektor kesehatan berada pada sebuah sistem yang terbuka
yang disebut sistem pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, sektor
kesehatan tidak berdiri sendiri dalam menjalankan kebijakannya.
Dukungan dari lingkungannya, seperti dukungan lembaga legislatif,
masyarakat, atau organisasi pemerintah pada sektor lainnya sangat
diperlukan. Berdasarkan jenisnya, lingkungan kebijakan dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Lingkungan politik
Proses dan struktur politik turut serta memengaruhi instrumen dan
proses kebijakan kesehatan. Lingkungan politik terbagi atas
surprastruktur politik dan infrastruktur politik. Suprastruktur politik
terdiri dari eksekutif, legislatif, dan judikatif sedangkan lingkungan
insfrastruktur politik terdiri kelompok-kelompok yang memiliki
kepentingan secara langsung atau tidak langsung terhadap
kebijakan, yang kemudian bisa saja menjadi kelompok penekan
perubahan kebijakan.
2. Lingkungan social
Faktor-faktor sosial, seperti struktur sosial, kondisi sosial, dan
interaksi sosial memengaruhi instrumen dan proses kebijakan
kesehatan.
3. Lingkungan administrasi
Sistem birokrasi yang memengaruhi instrument dan proses
kebijakan kesehatan. Dalam hal ini seluruh kegiatan pemerintahan
diselenggarakan baik secara internal maupun yang berkaitan
dengan interaksinya dengan masyarakat dalam memberikan
pelayanan publik.
4. Lingkungan ekonomi
Kebijakan yang berkaitan dengan kondisi perekonomian dan
faktor-faktor produksi (modal dan sumber daya lainnya)
memengaruhi instrument dan proses kebijakan kesehatan.
5. Lingkungan demografis
Lingkungan kondisi dan struktur demografi sebuah wilayah yang
memengaruhi instrument dan proses kebijakan kesehatan.
6. Lingkungan geografis
Lingkungan kebijakan yang dibatasi oleh batas-batas geografis
wilayah yang memengaruhi instrumen dan proses kebijakan
kesehatan.
7. Lingkungan budaya
Unsur-unsur budaya seperti nilai, etika dan tradisi yang
bekembang dalam masyarakat yang memengaruhi insrumen dan
proses kebijakan kesehatan.

Setiap jenis lingkungan yang disebutkan diatas memiliki


pengaruh yang besar, terutama dalam membentuk konteks
kebijakan. Pengaruh yang diberikan berbeda-beda tergantung
dengan seberapa besar permasalahan kebijakan itu berkaitan
dengan setiap jenis lingkungan.
Sering kali kebijakan kesehatan terhambat oleh factor-faktor
lingkungan seperti lingkungan politik, kondisi geografis seperti
ketersediaan alam yang kurang mendukung, perubahan iklim yang
sangat ekstrim, atau masalah budaya seperti pemahaman gender
dalam pembangunan kesehatan. Contohnya, dalam penanganan
kasus anemia pada ibu hamil setelah diruntut ternyata kondisi
anemia tersebut merupakan akumulasi dari anemia yang diderita
sejak masa kanak-kanak dan remaja. Contoh lain, setelah diruntut
ternyata perbedaan perlakuan antara anak perempuan dengan
anak laki-laki pada berbagai daerah termasuk dalam pola asuh dan
pola pemberian makanan yang menjadi permasalahan.
Berdasarkan kenyataan tersebut pendekatan kebijakan yang
digunakan harus menyentuh perubahan pemahaman berbasis
gender terhadap pola asuh, pola didik, dan pola pemberian
makanan kepada masyarakat kelompok sasaran. Selain itu,
instrumen kebijakan yang dibuat harus melibatkan partisipasi dari
kelompok masyarakat.

2) Konteks politik kebijakan

Berikut pernyataan ahli tentang konteks politik dalam kebijakan:

1. Wright Mills( 1956) dalam bukunya, The Power Elite, mengatakan semua
kebijakan besar dan penting ditentukan oleh sekelompok elite individu, yang
memiliki kedudukan sangat kuat.
2. Thomas Dye dan Harmon Ziegler dalam The Irony of Democracy, dalam
Winarno (2007), memberikan suatu ringkasan pemikiran tentang elite, bahwa
kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-nilai
elite yang berlaku.
3. Gill Walt (1994), meyakini bahwa kebijakan kesehatan di suatu Negara
sesungguhnya merefleksikan system politik yang berlaku di Negara tersebut.
4. Charlotte Gray (1998), berpendapat bahwa sekian waktu menjelang
dilangsungkannya pemilu atau pada saat kampanye maka upaya perbaikan
system kesehatan, pelayanan kesehatan gratis bermutu, penjaminan obat
seperti menjadi mantra yang selalu didengungkan oleh para kandidat, atau
juga pemegang kekuasaan yang ingin melanjutka dan mempertahakan
kekuasaannya. Namun jangan heran jika selepas musim pemilu, kesehatan
kembali menjadi sekedar sehelai kartu poker di meja pejudian politik.

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan yang antara lain
berwujud proses pembuatan keputusan. Terminologi politik kerap dimaknai atau
disamaartikan dengan kebijakan, dalam bahasa portugis (Walt,1994) atau
Prancis ( Crinson, 2009). Jadi dapat dikatakan bahwa hubungan definisi antara
politik dengan kebijakan publik sebagai hubungan dua arah yang saling
berkaitan, yaitu sebagai proses perumusan dan implementasi kebijakan publik
yang berlangsung dala sebuah sistem politik.
Pemerintah adalah organisasiyang memiliki kekuasaan untuk membuat
dan menerapkan kebijakan, hukum serta undang-undang di wilayah tertentu
serta berkaitan dengan pengambilan keputusan yang terdiri dari serangkaian
proses dan system manajemen kepemimipinan. Definisi lain secara resmi dirilis
oleh World Bank bahwa pemerintah adalah institusi, struktur dari kewenangan
dan yang bekerja sama untuk mengalokasikan sumber daya dan berkoordinasi
untuk mengontrol kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Politik maupun
pemerintah sama-sama berbicara tentang kekuasaan dan kewenangan Negara.
Politik melibatkan serangkaian proses dimana sekelompok orang dengan opini
berbeda berupaya mencapai keputusan kolektif yang diwajibkan berlaku kepada
anggota kelompok lain dna dilegitimasikan dalam bentuk kebijakan. Sementara
itu,pemerintahan adalah proses pengelolaan administratif kewenangan Negara
yang merupakan elemen pelaksanaan dan pengaturan kewenangan tersebut.
Akan sangat naïf jika berpikiran bahwa pengembangan kebijakan selalu
berlangsung dengan tegas dan rasional. Kerap kali kebijakan dibentuk atas dasar
kompromi dari berbagai pelaku politik maupun pemerintahan. Dengan demikian
menjadi jelas bahwa pengembangan kebijakan dalam prosesnya tidak hanya
berdasarkan pemikiran secara rasional ataupun hasil pengelolaan administratif,
melainkan sering kali bersifat politis serta memiliki keterkaitan dengan politik,
kekuasaan dan sistem politik. Salah satu contoh pengaruh politik pada kebijakan
kesehatan dapat dilihat pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang desentralisasi.
Dalam undang-undang tersebut, kesehatan dijadikan sebagai salah satu
kewenangan yang didesentralisasikan. Tujuan dari desentralisasi kesehatan
menjadi lebih efisien dan efektif, menciptakan pelayanan ke masyarakat yang
lebih baik( aspiratif, akomodatif dan responsif), meningkatkan peluang partisipasi,
dan demokratisasi di sektor kesehatan.
Dalam prakteknya, posisi strategis kesehatan menjadikannya sarat
dengan muatan politik. Kekuasaan politik terkonsentrasi di ibu kota dan kota-kota
besar lainnya jauh meninggalkan wilayah Indonesia bagian Timur, misalnya
termanifestasi di sektor kesehatan. Beberapa provinsi yang memiliki tingkat AKB
tinggi seperti NTB memiliki rasio fasilitas pelayanan dan tenaga kesehatan per
100.000 penduduk yang lebih rendah dibandingkan wilayah yang memiliki tingkat
AKB yang rendah serta sosioekonomi yang relatif baik.
Pelayanan kesehatan sering kali menjadi komoditas para pertarungan
politik, temasuk digunakan untuk menarik suara pemilih (Ayuningtyas, 2011).
Konteks politik mengacu pada aspek-aspek politik dari lingkungan yang relevan
terhadap tindakan yang dilakukan oleh kekuasaan. Ini termasuk aspek-aspek,
seperti pembagian kekuasaan, berbagai organisasi yang terlibat serta
kepentingan mereka, dan peraturan formal dan informal yang mengatur interaksi
antara actor yang berbeda. Untuk actor-aktor pembangunan yang berusaha
memengaruhi kebijakan, konteks politik menjadi berarti karena dapat
menentukan kelayakan, kesesuaian dan keefektifan dari tindakan-tindakan
mereka.

3) Konteks ekonomi dalam pengembangan kebijakan

Aspek ekonomi adalah komponen yang penting untukk dipertimbangkan


dalam membuat kebijakan kesehatan. Sebagai salah satu pilar kehidupan
manusia, aspek ekonomi sangat memengaruhi proses kebijakan kesehatan yang
dampaknya menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Memberi perhatian pada
konteks ekonomi dapat membantu untuk memahami dinamika kehidupan
ekonomi masyarakat, pemerintahan, dan kekuatan pasar internasional yang
berpengaruh pada perencanaan kebijakan, pembangunan dan implementasi
kebijakan kesehatan.
Di negara-negara berkembang, kondisi perekonomian seperti kurs mata
uang, konsumsi makanan, banyakanya pengangguran dan sebagainya sangat
memengaruhi konsumsi kesehatan masyarakat secara signifikan. Sumber daya
yang terbatas juga mengakibatkan banyaknya program kesehatan yang gagal
dijalankan atau tidak berhasil mencapai tujuannya, seperti terbatasnya akses
terhadap pelayanan kesehatan. Masalah akses pelayanan kesehatan ini tidak
hanya secara geografis seperti yang dialami masyarakat di pelosok daerah yang
sulit menjangkau pelayanan kesehatan di pusat kota, namun pula dapat diartikan
dalam konteks keterjangkauan dan kemampuan masyarakat miskin mengakses
pelayanan karena terbatasnya dana. Konsekuensi dari kondisi ini adalah gap
harapan hidup dan kematia antarkelompok menjadi besar.
Dalam pembangunan kesehatan, faktor ekonomi memengaruhi
lingkungan kebijakan kesehatan, dan aliran sumber daya. Terjadinya krisis
ekonomi pada tahun 1998, menyebabkan jumlah penduduk miskin di Indonesia
semakin bertambah, yaitu mencapai 40% dari jumlah penduduk 28,5 % di
antaranya tinggal di daerah urban dan 71,5 % tinggal di pedesaan, data tersebut
memperlihatkan banyaknya penduduk kota dan desa menjadi miskin. Kondisi
ekonomi dan social dapat menyebabkan kemampuan membayar penduduk
terhadap pelayanan kesehatan turun drastis.
Padahal, sifat uncertainty ketidakpastian dalam pelayanan di bidang
kesehatan sama sekali tidak melihat kemampuan ekonomi rakyat karena tidak
seorang pun akan tahu kapan ia akan butuh pelayanan rumah sakit dan berapa
biaya yang akan ia keluarkan.

4) Konteks sosial dan budaya dalam pengembangan kebijakan

Telah banyak riset yang melaporkan adanya korelasi antara kesehatan


dan kebudayaan, baik secara positif maupun negatif. Termasuk pula kebudayaan
atau gaya hidup serta sikap masyarkat untuk mau berpartisispasi dalam proses
kebijakan kesehatan. Perilaku konsumtif dan kejahatan korupsi di masyarakat
Negara berkembang diyakini pula berpengaruh terhadap efektivitas
pengembangan kebijakan kesehatan. Beberapa organisasi seperti Bank Dunia,
Internasional Monetary Fund (IMF), dan lembaga transparansi internasional telah
menyoroti korupsi dan dampaknya terhadap kebijakan di negara-negara
berkembang. Masalah sosial dan budaya masyarakat serta pemerintah pada
akhirnya memengaruhi keberpihakan pada aspek kesehatan dalam penentuan
keputusan ataupun kebijakan. Dengan kata lain, konteks sosial dan budaya
secara langsung atau tidak memengaruhi kebijakan kesehatan di suatu negara.
Komponen yang terkait dengan konteks sosial dan budaya dalam
kebijakan kesehatan adalah : pendidikan, letak geografis, pekerjaam, hubungan
antar-masyarakat, gender, agama, etnis, adat-istiadat, norma sosial, dan norma
budaya. Karena kebijakan kesehatan sangat terkait dengan masyarakat yang
merupakan target sasaran kebijakan kesehatan, maka aspek sosial tidak dapat
dilepaskan dari kebijakan kesehatan.
Berbagai permasalahan dalam sektor kesehatan tidak selalu dapat
ditangani dengan baik karena kurangnya pendekatan sosial dan budaya dalam
kebijakan kesehatan. Sebagai contoh kasus kematian ibu melahirkan, salah satu
penyebabnya adalah keterlambatan mengambil keputussan dalam merujuk ibu
bersalin ke fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini sering kali berhubungan
dengan faktor budaya dalam beberapa kelompok masyarakat kita dimana wanita
belum memiliki kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan termasuk
keputusan yang berkaitan dengan kesehatan bahkan keselamatannya sendiri.
Selain itu, permasalahan kekurangan gizi pada ibu hamil juga disebabkan oleh
pemahaman dan nilai-nilai tentang posisi diri dan kurangnya pengetahuan gizi
yang menyebabkan wanitas mengorbankan kebutuhan kesehatannya untuk
kesehatan anggota keluarga lainnya.
Kearifan lokal masyarakat setempat dapat diubah dengan pendekatan
persuasif seperti yang dilakukan oleh bidan-bidan di daerah terpencil. Sebagai
contoh dapat dilihat dari peningkatan peran ketua adat dan Bajaran di Kabupaten
Badung Bali dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Kepala
adat dan Banjaran dalam masyarakat Bandung memiliki pengaruh kuat dalam
masyarakat dan mampu menggerakkan masyarakat. Selain itu adalah
keberadaan dokter obsetri ginekolog sosial yang melakukan pendekatan sosial
dalam menangani kasus ibu hamil dengan risiko tinggi. Demikian contoh
pemanfaatan pengaruh bupati untuk mengubah kebiasaan masyarakat
menggunakan jasa dukun bayi dalam melayani persalinan dan beralih ke fasilitas
kesehatan.
KEBIJAKAN POLITIK

Mahasiswa mampu menganalisis tentang


a. Kekuasaan dan proses kebijakan : teori tentang kekuasaan dan penerapannya
dalam pengambilan keputusan dan dalam pengembangan kebijakan
b. Power and politics in health care services

Mahasiswa mampu menganalisis Kebijakan Politik itu Penting ?


1. Alur Kebijakan Kesehatan.
2. Faktor Konteks
3. Nilai dan Kedudukan Kesehatan
4. Kebijakan Publik
5. Kebijakan Kesehatan
6. Sistem dan Komponen Kebijakan kesehatan

Mengapa Kebijakan Politik itu penting ?

Di banyak negara, sektor kesehatan merupakan bagian terpenting dari


perekonomian. Beberapa melihat sebagai hal yang menyerap sejumlah besar
sumber daya nasional untuk membayar banyak petugas kesehatan. Yang lain
melihatnya sebagai penggerak ekonomi, melalui inovasi dan investasi dalam
teknologi bio-medis atau produksi dan penjualan farmasi, atau melalui jaminan
penduduk yang sehat, ekonomis, dan produktif.

Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan adalah


penting agar dimungkinkan untuk mengatasi beberapa masalah
kesehatankebijakan kesehatan merupakan panduan untuk menentukan teknologi
apa yang tepat untuk mengembangkan bidang kesehatan, bagaimana mengatur
pelayanan kesehatan dan mengatur keuangan, atau obat apa yang akan tersedia
secara bebas.

Kebijakan sering dianggap sebagai keputusan yang diambil oleh orang-


orang yang bertanggung jawab untuk diberikan bidang kebijakan - mungkin
dalam kesehatan atau lingkungan, pendidikan atau dalam perdagangan. Orang
yang membuat kebijakan yang disebut sebagai pembuat kebijakan. Kebijakan
dapat dilakukan di berbagai tingkatan - di pemerintah pusat atau daerah, di
sebuah perusahaan multinasional atau lokal bisnis, di sekolah atau rumah
sakit.Mereka juga kadang-kadang disebut sebagai elit kebijakan - Kelompok
tertentu pengambil keputusan yang memiliki posisi tinggi dalam suatu organisasi,
dan memiliki akses istimewa kepada anggota lain atas organisasi yang sama.

Misalnya, elit kebijakan pemerintah dapat mencakup anggota Perdana


Menteri Kabinet, semuanya akan dapat menghubungi dan bertemu atas eksekutif
dari sebuah perusahaan multinasional atau lembaga internasional, seperti
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kebijakan publik mengacu pada kebijakan
pemerintah. Misalnya, Thomas Dye (2001) mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah pemerintah memilih untuk melakukan atau tidak melakukan. Dia
berpendapat bahwa Kegagalan untuk memutuskan atau bertindak pada isu
tertentu juga merupakan kebijakan.

Ada banyak cara untuk mendefinisikan kebijakan. Thomas Dye


mendefinisikan bahwa kebijakan publik merupakan apa yang pemerintah
lakukan, atau tidak lakukan, kontras dengan asumsi lebih formal bahwa semua
kebijakan yang dibuat untuk mencapai sasaran atau maksud tertentu. Kebijakan
kesehatan dapat mencakup kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan.
Dalam buku ini kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkul program aksi
(dan tidak bertindak) yang mempengaruhi lembaga, organisasi, pelayanan dan
pengaturan pendanaan kesehatan. Ini termasuk kebijakan yang dibuat di sektor
publik (pemerintah) serta kebijakan di sektor swasta.

Menurut (Walt 1994) kebijakan kesehatan identik dengan politik dan


penawaran eksplisit dengan yang mempengaruhi pembuatan kebijakan,
bagaimana mereka mempunyai pengaruh itu, dan dalam kondisi apa. Buku ini
mengambil pandangan terakhir dari kebijakan kesehatan, dan menempatkannya
dalam Kerangka yang menggabungkan politik. Politik tidak dapat dipisahkan dari
kebijakan kesehatan. Jika Anda menerapkan epidemiologi, ekonomi, biologi atau
lainnya profesional atau pengetahuan teknis untuk kehidupan sehari-hari, politik
akan mempengaruhi Anda.Merancang kerangka kerja untuk menggabungkan
politik ke dalam kebijakan kesehatan perlu melampaui titik di mana banyak analis
kebijakan kesehatan. Misalnya, pada 1990-an pembiayaan pelayanan
kesehatan, mengajukan pertanyaan seperti:

1. Manakah kebijakan yang lebih baik - pengenalan biaya pengguna atau sistem
asuransi?

2. Apakah pelayanan kesehatan masyarakat harus dikontrakkan kepada sektor


swasta?Cleaning services di rumah sakit? bank darah?

3. Instrumen kebijakan yang diperlukan untuk melakukan perubahan besar


sepertiini? Legislasi? Peraturan? Insentif?

Anderson (1975) mengatakan kebijakan adalah 'purposive tindakan yang


diikuti oleh aktor atau mengatur aktor dalam menangani masalahatau masalah yang
menjadi perhatian. Tapi ini tampaknya membuat kebijakan yang 'dimaksudkan' yaitu
tindakan, sedangkan banyak berpendapat bahwa kebijakan yang kadang-kadang
tidak diinginkan hasil dari banyak keputusan yang berbeda dibuat dari waktu ke
waktu. Kebijakan dapat dinyatakan dalam seluruh rangkaian instrumen: praktek,
laporan, peraturan dan undang-undang.

1) Alur Kebijakan Kesehatan


Segitiga Kebijakan kesehatan adalah pendekatan yang sangat sederhana
untuk antar-hubungan yang satu kompleks, dan dapat memberikan kesan bahwa
empat faktor dapat dipertimbangkan secara terpisah.Segitiga kebijakan ini
berguna untuk membantu berpikir sistematis tentang semua faktor yang mungkin
mempengaruhi kebijakan, seperti peta yang menunjukkan jalan utama tetapi
belum memiliki kontur, sungai, hutan, jalan dan tempat tinggal.
Pada kenyataannya, pelaku dipengaruhi (sebagai individu atau anggota
kelompok atau organisasi) oleh konteks dimana mereka tinggal dan bekerja;
konteks dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ketidakstabilan atau
ideologi,sejarah dan budaya; dan proses pembuatan kebijakan.
2) Aktor Pembuat Kebijakan
Aktor dapat digunakan untuk menunjukkan individu (seorang negarawan
tertentu - Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, misalnya), organisasi
seperti Bank Dunia atau perusahaan multinasional seperti Shell, atau bahkan
negara atau pemerintah. Individu tidak dapat dipisahkan dari organisasi di mana
mereka bekerja dan setiap organisasi atau kelompok terdiri dari banyak orang
yang berbeda, tidak semua dari mereka berbicara dengan satu suara, nilai dan
keyakinan yang mungkin berbeda.

3) Faktor Konteks
Konteks mengacu faktor sistemik - politik, ekonomi dan sosial, baik
nasional maupun internasional - yang mungkin memiliki efek pada kebijakan
kesehatan. Ada banyak cara untuk mengkategorikan faktor tersebut, tetapi salah
satu cara yang berguna disediakan oleh (Leichter (1979).
Faktor-faktor situasional adalah kondisi kurang lebih transient, tidak kekal,
atau istimewa yang dapat berdampak pada kebijakan (misalnya perang,
kekeringan).Faktor struktural adalah elemen yang relatif tidak berubah dari
masyarakat. Mereka mungkin termasuk sistem politik, dan sejauh mana itu
terbuka atau tertutup dan peluang bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi
dalam diskusi kebijakan dan keputusan; faktor struktural juga dapat mencakup
jenis ekonomi dan basis kerja. faktor struktural lain yang akan mempengaruhi
kebijakan kesehatan masyarakat akan menyertakan fitur demografi atau
kemajuan teknologi. Misalnya, negara-negara dengan populasi penuaan memiliki
rumah sakit dan obat biaya tinggi untuk orang tua, sebagai kebutuhan mereka
meningkat dengan usia.

4) Nilai dan Kedudukan Kesehatan


Keadaan sehat didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Sedunia / World
Health Organization (WHO) pada 1946 sebagai keadaan sejahtera dari aspek
fisik, mental, dan social, dan tidak hanya terbebasnya seseorang dari penyakit
ataupun kecacatan. Definisi ini menjadi landasan keyakinan bahwa upaya setiap
individu untuk memperoleh kesehatan adalah hak asasi manusia sebagaimana
tertuang dalam salah satu bagian The Universal Declaration of Human Right
(UNO-1948), sebagai berikut
Everyone has the right to a standard of living adequate for health and
well-being of himself and his family, including food, clothing, housing and medical
care necessary social services, and the right to security in the even of
unemployment , sickness, disability, widowhood, old age or other lack of
livelihood in circumstances beyond his control.
Arti penting “Kesehatan bagi semua” secara tegas dinyatakan oleh
sejumlah besar bangsa yang tergabung dalam WHO di Alma Ata tahun 1978,
dengan ikrar Health for All by 2000. Pernyataan yang kemudian dikenal sebagai
Deklarasi Alma Ata itu juga mentapkan peayanan kesehatan primer (primary
health care) sebagai sebuah strategi kesehatan internasional.Dokumen yang
dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 1978. Pasal V
menyebutkan :
“Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk kesehatan rakyatnya yang
bias dipenuhi hanya dengan adanya ketetapan mengenai ukuran-ukuran yang
cukup dalam hal kesehatan dan sosial" Penting dan kritisnya bidang kesehatan
ini antara lain fakta-fakta :
1. Kebijakan kesehatan tumbuh dengan cepat, dan termasuk dalam wilayah
yang sering menjadi bahan perdebatan.
2. Selama lebih dari 20 tahun terakhir, pembahasan kebijakan kesehatan
berkembang pesat dalam berbagai literatur akademik, demikian pula
dengan area lain terkait kesehatan dan pengobatan dalam konteks ilmu
sosial. Kebijakan kesehatan bahkan tidak hanya dibahas oleh kalangan
akademisi maupun professional kesehatan dan medis, tapi juga oleh para
politisi, kelompok masyarakat, serta media dan umum. Pelayanan
kesehatan semakin berkembang sejalan dengan pertumbuhan atau
perkembangan kehidupan sosial yang semakin kompleks dan penuh
ketidakpastian. Situasi tersebut bahkan dimanfaatkan sebagai bahasan
penting dalam perdebatan politik (the basis of important policy debates).
3. Pada negara-negara industri, biaya pelayanan kesehatan sudah
meningkat sekitar 10 persen dari aktivitas ekonomi keseluruhan. Negara-
negara nonindustri lainnya juga memperlihatkan gambaran serupa.
4. Aspek penting pembiayaankesehatan yang mengkokohkan posisi
strategis sektor kesehatan telah sejak lama diketahui. Bahkan di tahun
1990 saja, pengeluaran untuk kesehatan secara global diestimasikan
telah mencapai sekitar 1.700 triliun dolar, atau sekitar 8 persen dari
keseluruhan pendapatan. Pada negara-negara industry, biaya kesehatan
sudah meningkat hingga lebih besar dari 10 persen GDP (Gross
Domestik Product), dengan kata lain,perhitungan biaya untuk pelayanan
kesehatan sekitar 10 persen dari keseluruhan aktivitas ekonomi.
Pengeluaran untuk kesehatan terus meningkat, seiring dengan
peningkatan usia harapan hidup dan bertambahnya populasi orang
tua/usia lanjut. Kemajuan teknologi medis memberikan lebih banyak
alternatif diagnostik dan klinik sehingga semakin banyak cara untuk
menghabiskan uang dalam sektor pelayanan kesehatan serta untuk
perusahaan obat dan peralatan medis.
5. Sektor kesehatan sudah menjadi bagian dari industri yang memberikan
lapangan pekerjaan luas. Ungkapan bahwa kesehatan adalah area yang
padat karya menunjukkan bahwa banyak orang yang bekerja dalam
sektor kesehatan. Contohnya di Amerika Serikat, pada tahun 1910
terdapat profesi dokter, farmasi, perawat dan dokter gigi; dalam 1,3
persen dari seluruh orang yang bekerja, berada dalam ruang lingkup kerja
di sektor kesehatan. Saat ini terdapat 700 kategori pekerjaan dalam sektor
pelayanan kesehatan, dan lebih dari 5 persen dari pekerja berada dalam
sektor kesehatan. Hal ini menyebabkan sektor kesehatan sebagai industri
individual terbesar yang memberi pekerjaan di sana (Amerika Serikat)
juga negara-negara Eropa sehingga organisasi pelayanan kesehatan atau
industri kesehatan disebut-sebut sebagai industri individual terbesar yang
memberi pekerjaan (the largest single industrial employer) (Barker, 1996)
5) Kebijakan Publik
Kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan yang dimaksud
untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu, atau
untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan yang
berwenang dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan
pembangunan bangsa.
Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari
pemerintahan, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan,
dan keamanan (militer), serta-serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih,
listrik) (Suharto, 2005). Beberapa konsep kunci yang dapat digunakan untuk
memahami kebijakan publik sebagaimana yang dikemukakan oleh Young dan
Quinn dalam Dye (1975), dalam Winarno (2007) antara lain:
a. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh
badan pemerintah dan perwakilan lembaga pemerintah yang memiliki
kewenangan hukum, politis, dan finansial untuk melakukannya.
b. Kebijakan publik merupakan sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan
masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespons masalah
atau kebutuhan konkret yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu,
pada umunya kebijakan publik merupakan tindakan kolektif untuk
memecahkan masalah social.
c. Merupakan seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan.
Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal,
melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat
untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak.
d. Juga merupakan sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.

Pengertian kebijakan publik di atas juga selaras dengan batasan yang


dikemukakan oleh Knoepfel et all (2007) dalam Solichin (2012); yaitu: “A series
of decision or activities resulting from structured and recurrent interactions
between different actors, both public and private, who are involved in various
different ways in the emergence, identification, and resolution of problem defined
politically as a public issues (serangkaian tindakan atau keputusan sebagai
akibat dari interaksi terstruktur dan berulang di antara berbagai aktor, pihak
publik/pemerintah, swasta privat yang terlibat berbagai cara merepons,
mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang secara politik didefinisikan
sebagai masalah publik).
Dari uraian di atas terlihat bahwa pengertian kebijakan publik bisa cukup luas.
Namun demikian, penulis coba menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah
suatu arahan untuk melakuan atau tidak melakukan tindakan tertentu sehingga
menggerakkan seluruh sektor atau perangkat pemerintahan dan menciptakan
perubahan pada kehidupan yang terkena dampak dari kebijakan tersebut. Dalam
buku ini, pembuat kebijakan difokuskan pada pemerintah sebagai pembuat
kebijakan secara formal dan legal di Indonesia. Pada kesimpulannya, kebijakan
publik adalah suatu “guide for action”, yang berarti suatu pedoman untuk
melakukan suatu kegiatan atau aksi dalam upaya mencapai tujuan tertentu.
Membicarakan tentang kebijakan publik berarti membicarakan semua kebijakan
yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk bidang kesehatan yang
tidak luput dari kehidupan masyarakat.

6) Kebijakan Kesehatan
Secara sederhana, kebijakan kesehatan dipahami persis sebagai
kebijakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Urgensi kebijakan
kesehatan sebagai bagian kebijakan publik semakin menguat mengingat
karakteristik unit yang ada pada sector kesehatan sebagai berikut.
a. Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang
banyak dan kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain,
kesehatan menjadi hak dasar setiap individu yang membutuhkannya
secara adil dan setara. Artinya, setiap individu tanpa terkecuali berhak
mendapatkan akses dan pelayanan kesehatan yang layak apa pun
kondisi dan status finansialnya.
b. Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi
“masyarakat-tenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola
paternalistik. Artinya masyarakat, atau dalam hal ini pasien, tidak memiliki
posisi tawar yang baik, bahkan hamper tanpa daya tawar ataupun daya
pilih.
c. Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan
pelayanan kesehatan sama sekali tidak berkait tidak berkait dengan
kemampuan ekonomi rakyat. Siapa pun ia baik dari kalangan berpunya
maupun miskin papa ketika jatuh sakit tentu akan membutuhkan
pelayanan kesehatan. Ditambah lagi, seorang tidak akan pernah tahu
kapan ia akan sakit dan berapa biaya yang akan ia keluarkan. Di sinilah
pemerintah harus berperan untuk menjamin setiap warga nerga
mendapatkan pelayanan kesehatan ketika membutuhkan, terutama bagi
masyarakat miskin. Kewajiban ini tentu bukan hal yang ringan dengan
mengingat ungkapan seorang ahli ekonomi social dan kesehatan Gunnar
Myrdal.
d. Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya ekternalitas, yaitu
keuntungn yang dinikmati atau kerugian yang diderita oleh sebagian
masyarakat karena tindakan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal
kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas positif atau negatif. Sebagai
contoh, jika di suatu lingkungan rukun warga sebagian besar masyarakat
tidak menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang Aides
aiepty, maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai sebagian
masyarakat tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok
masyarakat lain yang telah menerapkan perilaku hidup bersih.

Dengan karakterisktik kesehatan tersebut, pemerintah wajib berperan


membuat kebijakan mengenai sektor kesehatan dengan tujuan meningkatkan
derajat kesehatan bagi setiap warga negara. Secara lebih rinci WHO
membedakan peran negara dan pemerintah sebagai pelasana di bidang
kesehatan, yaitu sebagai pengarah (stewardship atau oversight), regulator
(yang melaksanakan kegiatan regulasi, ibaratnya fungsi sebagai wasit), dan
yang dikenakan regulasi (pemain). Fungsi stewardship atau oversight ini
terdiri dari tiga aspek utama:

a. Menetapkan, melaksanakan, dan memantau aturan main dalam


sistem kesehatan.
b. Menjamin keseimbangan antara berbagai pelaku utama (key player)
dalam sektor kesehatan (terutama pembayar, penyedia pelayanan,
dan pasien).
c. Menetapkan perencanaan strategik bagi seluruh sistem kesehatan.

Karena begitu strategis dan pentingnya sektor kesehatan, World Health


Organization (WHO) menetapkan delapan elemen yang harus tercakup
dan menentukan kualitas dari sebuah kebijakan kesehatan, yaitu:

a. Pendekatan holistik, kesehatan sebaiknya didefinisikan sebagai


sesuatu yang dinamis dan lengkap dari dimensi fisik, mental, sosial
danspiritual. Artinya, pendekatan dalam kebijakan kesehatan tidak
dapat semata-mata mengandalkan upaya kuratif, tetapi harus lebih
mempertimbangkan upaya promotif, dan rehabilitative.
b. Partisipatori, partisipasi masyarakat akan meningkatkan efisiensi
dan efektifitas kebijakan, karena melaui partisipasi masyarakat
dapat dibangun collective action (aksi bersama masyarakat) yang
akan menjadi kekuatan pendorong dalam pengimplementasian
kebijakan dan penyelesaian masalah.
c. Kebijakan publik yang sehat, yaitu setiap kebijakan harus
diarahkan untuk mendukung terciptanya pembangunan kesehatan
yang kondusif dan berorientasi kepada masyarakat.
d. Ekuitas, yaitu harus terdapat distribusi yang merata dari layanan
kesehatan. Ini berarti negara wajib menjamin pelayanan kesehatan
setiap warga negara tanpa memandang status ekonomi maupun
status ekonomi maupun status sosialnya karena kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan merupakan peran Negara yang
paling minimal dalam melindungi warga negaranya.
e. Efisiensi, yaitu layanan kesehatan harus berorientasi proaktif
dengan mengoptimalkan biaya dan teknologi.
f. Kualitas, artinya pemerintah harus menyediakan pelayanan
kesehatan yang berkualitas bagi seluruh warga negara. Di samping
itu, dalam menghadapi persaingan pasar bebas dan menekan
pengaruh globalisasi dalam sektor kesehatan, pemerintah perlu
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan setara dengan
pelayanan kesehatan bertaraf internasional.
g. Pemberdayaan masyarakat, terutama pada daerah terpencil, dan
daerah perbatasan untuk mengoptimalkan kapasitas sumber daya
yang dimiliki. Pemberdayaan ini dilakukan dengan mengoptimalkan
social capital.
h. Self-reliant, kebijakan kesehatan yang ditetapkan sebisa mungkin
dapat memenuhi keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan
kapasitas kesehatan di wilayah sendiri. Pengembangan teknologi
dan riset bertujuan untuk membantu memberdayakan masyarakat
dan otoritas nasional dalam mencapai standar kesehatan yang
ditetapkan di masing-masing negara.
7) Sistem dan Komponen Kebijakan
Sistem adlaah serangkaian bagian yang saling berhubungan dan
bergantung dan diatur dalam aturan tertentu untuk menghasilkan satu kesatuan.
Contohnya, sistem kesehatan yang di dalamnya terdapat bagian yang saling
berhubungan seperti tenaga kesehatan,infrastruktur kesehatan, pembiayaan, dan
sebagainya. Untuk membuat sebuah kebijakan, adalah penting terlebih dahulu
memahami apa dan siapa saja yang terlibat dalam sistem serta siapa saja yang
dipengaruhi maupun memengaruhi sistem tersebut. Menurut Dunn (1994), sistem
kebijakan (policy system) mencakup hubungan timbal balik dari tiga usur, yaitu
kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Hubungan timbal
balik antara ketiga komponen sistem kebijakan tersebut digambarkan dalam
gambar berikut ini.
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sebagai sebuah
sistem, kebijakan merupakan suatu rangkaian dari beberapa komponen
yang saling terkait, dan bukan komponen yang berdiri sendiri. Segitiga
sistem kebijakan menjelaskan adanya actor kebijakan yang memengaruhi
dan dipengaruhi oleh kebijakan publik. Kesemuanya juga tidak lupu dari
pengaruh lingkungan kebijakan. Ketiga komponen tersebut selanjutnya
dikenal sebagai sistem kebijakan, yaitu tatanan kelembagaan yang
berperan dalam penyelenggaraan kebijakan publik yang mengakomodasi
aspek teknis, sosiopolitik mau interaksi antara unsur kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai