Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

LINGKUNGAN DAN KONTEKS KEBIJAKAN KESEHATAN


diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Kesehatan

Disusun Oleh:

Revina Nadya

Gema Vikossa

Fauzul Abadi

Dosen Pembimbing: Dr. Budi Hartono, SE.,MARS.,ACC

PROGRAM MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
JAKARTA
2018
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Segitiga Kebijakan Kesehatan .................................................................. 4
1.2. Lingkungan Kebijakan .............................................................................. 5
1.2.1. Lingkungan Politik ............................................................................. 5
1.2.2. Lingkungan Sosial .............................................................................. 5
1.2.3. Lingkungan Administrasi .................................................................. 5
1.2.4. Lingkungan Ekonomi ......................................................................... 5
1.2.5. Lingkungan Demografis ..................................................................... 6
1.2.6. Lingkungan Geografis ........................................................................ 6
1.2.7. Lingkungan Budaya ........................................................................... 6
1.2.8. Lingkungan dalam Membentuk Konteks Kebijakan ...................... 6
1.3. Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan Kesehatan ......... 7
1.3.1. Faktor Situasional ............................................................................... 8
1.3.2. Faktor struktural ................................................................................ 8
1.3.3. Faktor Budaya..................................................................................... 9
1.3.4. Faktor Internasional (exogenous)...................................................... 9
1.3.5. Faktor Konteks yang Mempengaruhi Kebijakan Kesehatan ....... 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18
PENDAHULUAN

Sistem kesehatan menurut WHO adalah semua kegiatan yang tujuan


utamanya untuk meningkatkan, mengembalikan dan memelihara kesehatan. Sistem
kesehatan merupakan sistem yang kompleks, terbentuk dari sekian faktor seperti
aspek sosial, politik, SDM, dan seterusnya. Sistem kesehatan erat kaitannya dengan
kebijakan kesehatan. Salah satu fungsi dari sistem kesehatan adalah regulasi
(stewardship). "Pelembagaan" atau institusionalisasi sektor kesehatan berada pada
sebuah sistem terbuka yang disebut sistem kesehatan. Oleh karena itu, sistem
kesehatan tidak berdiri sendiri dalam menjalankan perannya. Dukungan dari
lingkungannya, seperti lembaga legislatif, masyarakat, atau organisasi pemerintah
pada sektor lainnya sangat diperlukan, termasuk pula konteks sosial, budaya, politik
dan faktor lainnya.

Kebijakan kesehatan merupakan segala sesuatu yang mempengaruhi faktor


– faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat; dan bagi seorang dokter kebijakan merupakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt, 1994). Kebijakan kesehatan
menurut WHO merujuk pada keputusan, rencana, dan tindakan yang dilakukan
untuk meningkatkan target pelayanan kesehatan yang spesifik. Sebuah kebijakan
yang jelas dapat mendefinisikan sebuah visi untuk masa depan untuk mewujudkan
pencapaian dan tujuan jangka pendek dan menengah. Kebijakan kesehatan yang
jelas pun memberikan arah pandang dan garis besar atas prioritas dan peran yang
diharapkan dari berbagai kelompok; selain membangun konsensus serta
memberikan kejelasan "informasi" bagi masyarakat. WHO telah mengidentifikasi
empat tantangan spesifik dalam menerapkan sistem perspektif dan bagaimana
perspektif ini dapat diubah menjadi kesempatan untuk menguatkan sistem
kesehatan, dimana salah satunya adalah dengan mengharmonisasikan kebijakan,
menerapkan prioritas dan perspektif pada pemberi dan pembuat kebijakan.

Kebijakan kesehatan menjadi penting disebabkan antara lain sektor


kesehatan merupakan bagian dari ekonomi. Jelasnya sektor kesehatan ibarat suatu

1
sponge yang mengabsorpsi banyak anggaran belanja negara untuk membayar
sumber daya kesehatan. Ada yang mengatakan bahwa kebijakan kesehatan
merupakan driver dari ekonomi, itu disebabkan karena adanya inovasi dan investasi
dalam bidang teknologi kesehatan, baik itu bio-medical maupun produksi, termasuk
usaha dagang yang ada pada bidang farmasi. Namun yang lebih penting lagi adalah
keputusan kebijakan kesehatan melibatkan persoalan hidup dan mati manusia
(Buse, Mays & Walt, 2005).

Kebijakan-kebijakan kesehatan dibuat oleh pemerintah dan swasta.


Kebijakan merupakan produk pemerintah, walaupun pelayanan kesehatan
cenderung dilakukan secara swasta, dikontrakkan atau melalui suatu kemitraan,
kebijakannya disiapkan oleh pemerintah di mana keputusannya
mempertimbangkan juga aspek politik (Buse, May & Walt, 2005). Jelasnya
kebijakan kesehatan adalah kebijakan publik yang merupakan tanggung jawab
pemerintah dan swasta. Sedangkan tugas untuk menformulasi dan implementasi
kebijakan kesehatan dalam satu negara merupakan tanggung jawab Departemen
Kesehatan (WHO, 2000).

Tujuan dari kebijakan kesehatan adalah untuk menyediakan pola


pencegahan, pelayanan yang terfokus pada pemeliharaan kesehatan, pengobatan
penyakit dan perlindungan terhadap kaum rentan. Kebijakan kesehatan juga peduli
terhadap dampak dari lingkungan dan sosial ekonomi terhadap kesehatan.
Kebijakan kesehatan dapat bertujuan banyak terhadap masyarakat (Massie, 2009).
Kebijakan kesehatan berpihak pada hal-hal yang dianggap penting dalam suatu
institusi dan masyarakat, bertujuan jangka panjang untuk mencapai sasaran,
menyediakan rekomendasi yang praktis untuk keputusan-keputusan penting
(WHO, 2000).

Para ahli kebijakan kesehatan membagi kebijakan ke dalam empat


komponen yaitu konten, proses, konteks dan aktor (Frenk J. 1993; Buse, Walt and
Gilson, 1994; May & Walt, 2005). Empat komponen tersebut dimasukkan dalam
segitiga analisis kesehatan serta pendekatan yang sangat disederhanakan untuk satu

2
set kompleks dalam antar-hubungan, dan dapat memberikan kesan bahwa empat
faktor dapat dipertimbangkan secara terpisah (Buse, Mays & Walt, 2005).

Konteks kebijakan adalah lingkungan atau setting di mana kebijakan itu


dibuat dan diiplementasikan ( Kitson, Ahmed, Harvey, Seers, Thompson, 1996 ).
Faktor-faktor yang berada di dalamnya antara lain politik, ekonomi, sosial dan
kultur di mana hal-hal tersebut sangat berpengaruh terhadap formulasi dari proses
kebijakan (Walt, 1994). Ada banyak lagi bentuk yang dikategorikan ke dalam
konteks kebijakan yaitu peran tingkat pusat yang dominan, dukungan birokrasi dan
pengaruh aktor-aktor international juga turut berperan.

Makalah ini akan membahas mengenai lingkungan dan konteks politik,


ekononomi, sosial budaya pada kebijakan kesehatan

3
1.1.Segitiga Kebijakan Kesehatan

Proses pengembangan dan implementasi kebijakan kesehatan dipengaruhi


oleh berbagai konteks atau faktor serta lingkungan dari kebijakan tersebut berada.
Para aktor atau pelaku kebijakan yang terlibat juga tak lepas dari pengaruh konteks
dan lingkungan yang mempengaruhi nilai-nilai, pilihan atau kepentingannya.
Dengan demikian, lingkungan dan konteks yang menyertai kebijakan kesehatan
menjadi unsur yang selalu dipertimbangkan dalam menilai atau mrnganalisis
kebijakan kesehatan (Ayuningtyas, 2014).
Dalam segitiga sistem kebijakan yang dikembangkan Dun (1994), unsur
lingkungan menjadi satu unsur diantara unsur segitiga lainnya: aktor kebijakan dan
konten kebijakan yang saling memengaruhi. Dalam terminologi segitiga kebijakan
kesehatan yang dikembangkan Walt dan Gilson (1994) aspek lingkungan dimaknai
sebagai konteks (Ayuningtyas, 2014). Kedua istilah tersebut memiliki peran yang
hampir sama, yaitu memberi pengaruh dalam sistem dan kebijakan kesehatan, akan
tetapi berbeda dalam hal penggunaan atau cara pandangnya di dalam suatu analisis
kebijakan kesehatan. Untuk memudahkan pemahaman antara kedua istilah tersebut
maka digambarkan dalam bagan berikut :

4
1.2. Lingkungan Kebijakan

Kelembagaan sektor kesehatan berada pada sebuah sistem yang terbuka yang
disebut sistem pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, sektor kesehatan tidak
berdiri sendiri dalam menjalankan kebijakannya. Dukungan dari lingkungannya,
seperti dukungan lembaga legislatif, masyarakat, atau organisasi pemerintah pada
sektor lainnya sangat diperlukan. Berdasarkan jenisnya, lingkungan kebijakan
dapat dikelompokkan menjadi:
1.2.1. Lingkungan Politik

Proses dan struktur politik turut serta memengaruhi instrument dan proses
kebijakan kesehatan. Lingkungan politik terbagi atas suprastruktur politik dan
infrastruktur politik. Suprastruktur politik terdiri dari eksekutif, legislatif, dan
judikatif, sedangkan lingkungan infrastruktur politik terdiri dari kelompok-
kelompok yang memiliki kepentingan secara langsung atau tidak langsung terhadap
kebijakan, yang kemudian bisa saja menjadi kelompok penekan perubahan
kebijakan.
1.2.2. Lingkungan Sosial

Faktor-faktor sosial, seperti struktur sosial, kondisi sosial, dan interaksi sosial
memengaruhi instrument dan proses kebijakan kesehatan.
1.2.3. Lingkungan Administrasi

Sistem birokrasi yang memengaruhi instrument dan proses kebijakan kesehatan.


Dalam hal ini seluruh kegiatan pemerintah yang diselenggarakan baik secara
internal maupun yang berkaitan dengan interaksinya dengan masyarakat dalam
memberikan pelayanan publik.
1.2.4. Lingkungan Ekonomi

Lingkungan kebijakan yang berkaitan dengan kondisi perekonomian dan faktor-


faktor produksi (modal dan sumber daya lainnya) memengaruhi instrument dan
proses kebijakan kesehatan.

5
1.2.5. Lingkungan Demografis

Lingkungan kondisi dan struktur demografi sebuah wilayah yang memengaruhi


instrument dan proses kebijakan kesehatan.

1.2.6. Lingkungan Geografis

Lingkungan kebijakan yang dibatasi oleh batas-batas geografis wilayah yang


memengaruhi instrument dan proses kebijakan kesehatan.
1.2.7. Lingkungan Budaya

Unsur-unsur budaya seperti nilai, etika, dan tradisi yang berkembang dalam
masyarakat yang memengaruhi instrument dan proses kebijakan kesehatan.

1.2.8. Lingkungan dalam Membentuk Konteks Kebijakan

Setiap jenis lingkungan yang disebutkan di atas memiliki pengaruh yang besar,
terutama dalam membentuk konteks kebijakan. Pengaruh yang diberikan berbeda-
beda tergantung dengan seberapa besar permasalahan kebijakan itu berkaitan
dengan setiap jenis lingkungan. Seringkali kebijakan kesehatan terhambat oleh
faktor-faktor lingkungan seperti lingkungan politik, kondisi geografis seperti
ketersediaan alam yang kurang mendukung, perubahan iklim yang sangat ekstrim,
atau masalah budaya seperti pemahaman gender dalam pembangunan kesehatan.

Contohnya, dalam penanganan kasus anemia pada ibu hamil setelah dirunut
ternyata kondisi anemia tersebut merupakan akumulasi dari anemia yang diderita
sejak masa kanak-kanak dan remaja. Contoh lain, setelah dirunut ternyata perlakuan
antara anak perempuan dengan anak lelaki pada berbagai daerah termasuk dalam
pola asuh dan pola pemberian makanan yang menjadi permasalahan. Berdasarkan
kenyataan tersebut pendekatan kebijakan yang digunakan harus menyentuh
perubahan pemahaman berbasis gender terhadap pola asuh, pola didik, dan pola
pemberian makanan kepada masyarakat kelompok sasaran. Selain itu, instrument
kebijakan yang dibuat harus melibatkan partisipasi dari kelompok masyarakat

6
1.3.Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan Kesehatan

Formulasi dan kebijakan tidak ada lepas dari konteks sosial,politik, dan
ekonomi yang memengaruhi kebijakan yang dikembangkan serta bagaimana
kebijakan-kebijakan tersebut dalam implementasinya. Faktor kontekstual dapat
menjadi kekuatan pendorong bagi pengembangan kebijakan di berbagai tingkat
(internasional,nasional dan lokal),dan sebaliknya. Pembuatan kebijakan sering kali
berlangsung dalam proses panjang dan memakan waktu yang lama. Sesudah proses
itupun, kebijakan itu masih harus diimplementasikan kebijakan harus berproses
melewati yang tak terelekan dari struktur pemerintahan ,kondisi ekonomi dan
lingkungan sosial. Pada berbagai level, termasuk tingkat operasional dan cara
bertugas (Bhuyan et al., 2010).
Oleh karena itu pembahasan tentang konteks politik,ekonomi, sosial dan budaya
yang memengaruhi pengembangan kebijakan menjadi penting untuk dipahami oleh
semua pengguna kebijakan. Pengertian konteks mengacu pada berbagai aspek
relevan di dunia yang terpengaruh terhadap tindakan dan pilihan kebijakan.
Konteks memilik makna tersendiri bagi kebijakan untuk berbagai yang saling
terkait. Pertama, konteks membentuk kemungkinan perubahan – missal,terjadinya
reformasi kebijakan. Kedua,konteks membentuk posisi dan perspektif organisasi-
organisasi dengan kepentingan dalam reformasi terjadi. Keriga, konteks
membentuk keefektifan atau kesesuain dari tindakan-tindakan yang berbeda. Dalam
bebrapa konteks ,suatu kebijkan akan menjadi lebih efektif untuk bertindak dengan
jalan tertentu; di konteks lain,bertindak dengan cara yang sama belum tentu akan
efektif (Nash et al.,2006).
Konteks mengacu ke faktor sistematis – politk, ekonomi dan social,
national dan internasional – yang mungkin memiliki pengaruh pada kebijakan
kesehatan. Ada banyak cara untuk mengelompokkan fakto-faktor tersebut, tetapi
Leichter (1979) memaparkan cara yang cukup bermanfaat (Buse, Mays & Walt,
2005):

7
1.3.1. Faktor Situasional

Merupakan kondisi yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak
pada kebijakan (contoh: perang, kekeringan). Hal-hal tersebut sering dikenal
sebagai ‘focusing event’. Event ini bersifat satu kejadian saja, seperti: terjadinya
gempa yang menyebabkan perubahan dalam aturan bangunan rumah sakit, atau
terlalu lama perhatian publik akan suatu masalah baru.
Contoh: terjadinya wabah HIV/AIDS (yang menyita waktu lama untuk
diakui sebagai wabah internasional) memicu ditemukannya pengobatan baru dan
kebijakan pengawasan pada TBC karena adanya kaitan diantara kedua penyakit
tersebut – orang-orang pengidap HIV positif lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, dan TBC dapat dipicu oleh HIV.

1.3.2. Faktor struktural


Merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah. Faktor ini
meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem tersebut dan kesempatan
bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan
kebijakan; faktor struktural meliputi pula jenis ekonomi dan dasar untuk tenaga
kerja. Contoh, pada saat gaji perawat rendah, atau terlalu sedikit pekerjaan yang
tersedia untuk tenaga yang sudah terlatih, negara tersebut dapat mengalami
perpindahan tenaga professional ini ke sektor di masyarakat yang masih
kekurangan.
Faktor struktural lain yang akan mempengaruhi kebijakan kesehatan suatu
masyarakat adalah kondisi demografi atau kemajuan teknologi. Contoh, negara
dengan populasi lansia yang tinggi memiliki lebih banyak rumah sakit dan obat-
obatan bagi para lansianya, karena kebutuhan mereka akan meningkat seiring
bertambahnya usia. Perubahan teknologi menambah jumlah wanita melahirkan
dengan sesar dibanyak negara. Diantara alasan-alasan tersebut terdapat peningkatan
ketergantungan profesi kepada teknologi maju yang menyebabkan keengganan para
dokter dan bidan untuk mengambil resiko dan ketakutan akan adanya tuntutan. Dan
tentu saja, kekayaan nasional suatu negara akan berpengaruh kuat tehadap jenis
layanan kesehatan yang dapat diupayakan.

8
1.3.3. Faktor Budaya
Faktor budaya dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam
masyarakat dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk
bertanya atau menantang pejabat tinggi atau pejabat senior. Kedudukan sebagai
minoritas atau perbedaan bahasa dapat menyebabkan kelompok tertentu memiliki
informasi yang tidak memadai tentang hak-hak mereka, atau menerima layanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Di beberapa negara dimana
para wanita tidak dapat dengan mudah mengunjungi fasilitas kesehatan (karena
harus ditemani oleh suami) atau dimana terdapat stigma tentang suatu penyakit
(missal: TBC atau HIV), pihak yang berwenang harus mengembangkan sistem
kunjungan rumah atau kunjungan pintu ke pintu.

Faktor agama dapat pula sangat mempengaruhi kebijakan, seperti yang


ditunjukkan oleh ketidak-konsistennya President George W. Bush pada awal tahun
2000-an dalam hal aturan sexual dengan meningkatnya pemakaian kontrasepsi atau
akses ke pengguguran kandungan. Hal tersebut mempengaruhi kebijakan di
Amerika dan negara lain, dimana LSM layanan kesehatan reproduksi sangat
dibatasi atau dana dari pemerintah Amerika dikurangi apabila mereka gagal
melaksanakan keyakinan tradisi budaya President Bush.

1.3.4. Faktor Internasional (exogenous)

Faktor internasional menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar


negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam
kesehatan (lihat Bab 8). Meskipun banyak masalah kesehatan berhubungan dengan
pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu memerlukan kerjasama organisasi
tingkat nasional, regional atau multilateral. Contoh, pemberantasan polio telah
dilaksanakan hampir di seluruh dunia melalui gerakan nasional atau regional,
kadang dengan bantuan badan internasional seperti WHO. Namun, meskipun satu
daerah telah berhasil mengimunisasi polio seluruh balitanya dan tetap

9
mempertahankan cakupannya, virus polio tetap bisa masuk ke daerah tersebut
dibawa oleh orang-orang yang tidak diimunisasi yang masuk lewat perbatasan.
1.3.5. Faktor Konteks yang Mempengaruhi Kebijakan Kesehatan

Seluruh faktor tersebut merupakan faktor yang kompleks, dan tergantung


pada waktu dan tempat. Contoh, pada abad 19, Inggris mengeluarkan kebijakan
kesehatan mengenai penyakit menular seksual diseluruh Kerajaan Inggris Raya.
Berdasar asumsi kolonial yang dominan, meskipun melihat bagaimana suku dan
jenis kelamin diterapkan dalam masyarakat Inggris, tetap mempertimbangkan
kebijakan yang mencerminkan prasangka dan asumsi kekuasaan penjajah, daripada
kebijakan yang sesuai dengan budaya setempat. Levine (2003) menggambarkan
keadaan di India, pekerja seks wanita harus mendaftarkan diri kepada pihak
kepolisian sebagai pekerja prostitusi, suatu kebijakan yang didasarkan pada
kepercayaan Inggris bahwa prostitusi tidak membawa tabu atau stigma tertentu di
India. Kepolisian kolonial yang mengurusi prostitusi mengharuskan rumah-rumah
pelacuran untuk mendaftar kepada pihak berwenang setempat. Asumsi bahwa
pemilik rumah pelacuran kejam dan tidak mengakui kebebasan para pekerjanya
menyebabkan pihak colonial yang berwenang memaksakan suatu pendaftaran yang
mewajibkan pemilik rumah pelacuran bertanggung jawab untuk memeriksakan
pekerja mereka. Di Inggris sendiri, rumah pelacuran illegal dan kebijakan mengenai
pekerja seks wanita yang ada adalah yang khusus mengurusi mereka “yang
berkeliaran di jalan”.

Contoh menarik bagaimana konteks mempengaruhi kebijakan dipaparkan


oleh Shiffman dan rekannya (2002). Mereka membandingkan hak reproduksi di
Serbia dan Croatia, dimana, setelah pemerintahan federal Yugoslavia terpecah,
pemerintah menganjurkan para wanitanya untuk memiliki lebih banyak anak.
Penulis berpendapat bahwa kebijakan yang mendukung kelahiran disebabkan oleh
keyakinan para elit dikedua negara bahwa ketahanan nasional sedang diujung
tanduk. Keyakinan para elit ini disebabkan oleh beberapa faktor: salah satunya
adalah pergeseran dari filosofi sosialis mengenai emansipasi wanita ke ideologi
yang lebih nasionalis. Faktor yang lain adalah perbandingan yang dibuat oleh

10
kalangan elit antara tingkat kesuburan yang rendah diantara suku Serb di Serbia dan
suku Croats di Croatia, dengan tingkat kesuburan yang lebih tinggi di kelompok
suku lain yang terdapat di dua negara.

Untuk memperjelas pemahaman tentang konteks, berikut merupakan pertanyaan


yang mungkin dapat diajukan berkait dengan implementasi kebijakan pada aktor
kebijakan :
 Bagaimana faktor politik pada tingkat lokal dan nasional seperti arah
kebijakan dengan kebijakan tingkat lokal dan nasional lain yang
relevan,perubahan dalam pemerintahan,dan prioritas yang berbeda pada
tingkat lokal dan nasional memengaruhi implementasi kebijakan
 Bagaimana faktor sosial pada tingkat lokal dan nasional,seperti norma
gender dan kepercayaan (budaya)-memengaruhi implementasi kebijakan.
 Bagaimana faktor ekonomi pada tingkat lokal dan nasional, seperti
kemiskinan dan mekanisme bantuan global ,memengaruhi implementasi
kebijakan.

Untuk memahami bagaimana kebijakan kesehatan berubah atau tidak,dibutuhkan


kemampuan untuk mengkaji konteks dimana kebijakan tersebut di buat dan menilai
sejauh mana jenis-jenis konteks tersebut dapat memengaruhi kebijakan yang
dihasilkan. Yaitu terdiri dari (Ayuningtyas, 2014):

a. Konteks Politik Kebijakan

Berikut pernyataan para ahli tentang konteks politik dalam kebijakan.

1) Wringht Milss (1956) Dalam Bukunya,the power elite mengatakan semua


kebijakan besar dan penting ditentukan oleh sekelompok elite individu,yang
memiliki kedudukan yang sangat kuat.

2) Tomas Eye dan Harmon Ziegler Dalam The Ironi Of Demoucrasi Dalam Winarno
(2007).Memberikan suatau ringkasan pemikiran tentang elite,bahwa kebijakan
publik tidak merekplesikan tuntutan massa tetapi nilai-nilai elite yang berlaku .

11
3) Gill Walte (1994),Meyakini bahwa kebijakan kesehatan disatu negara
sesungguhnya merefleksikan sistem politik yang berlaku di negara tersebut

4) Charlotte Gray (1998),Berpendapat bahwa sekian waktu,menjelang


dilangsungkannya pemilihan atau pada saat kampanye maka upaya perbaikan
sistem kesehatan,pelayanan kesehatan gratis bermutu,penjamnan obat seperti
menjadi mantra yang selalu di denggungkan oleh para kandididat atau juga
pemegang kekuasaan yang inggin melanjutkan dan memoertahaka kekuasaanya.
Namun jangan heran jika selepas musim pemiliu,keehatan kembali menjadi sekedar
sehelai kartu poker dimeja perjudian politik.

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan yang antara lain
berwujud proses pembuatan keputusan. Terminologi politik kerap dimaknai atau
disama artikan dengan kebijakan,dalam bahasa portugis (Walt 1994 ) Atau Prancis
(Iain Crintsen,2009). Jadi, dapat dikatakan bahwa hubungan definisi antara politik
dengan kebijakan publik sebagai hubungan dua yang saling berkaitan, yaitu sebagai
proses perumusan dan implentasi kebijakan publik yang berlangsung dalam sebuah
sistem politik. Penulis mencoba menyimpulkan bahwa sesungguhnya politik
menjadi bagian dari kebijakan publik dan menyertai proses penetapan dan
implentasi kebijakan publik.

Pemerintah adalah organisasi memiliki kekuasaan untuk memberikan dan


menetapkan kebijakan, hukum serta undang-undang diwilayah tertentu,serta
berkaitan dengan pengambilan keputusan yang terdiri dari serangkaian proses dan
sistem manajement atau kepemimpinan. Definisi lain secara resmi dirilis oleh
World Bank Bahwa pemerintah adalah institusi, sruktur dan kewenangan yang
berkerja sama untuk mengalokasikan sumber daya dan berkoordinasi untuk
mengontrol kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Politik maupun pemerintah
sama-sama berbicara tentang kekuasaan dan kewenangan negara. Politik
melibatkan serangkain proses dimana sekelompok orang dengan opini berbeda
berupaya mencapai keputusan yang kolektif yang di wajibkan berlaku pada setiap
anggota kelompok lain dan dilegitimasikan dalam bentuk kebijakan. Sementara itu,

12
pemerintahan adalah proses pengelolaan administratif kewenangan negara yang
merupakan elemen pelaksaan dan pengaturan kewenangan tersebut.

Akan sangat naif jika berpikiran bahwa pengembangan kebijakan selalu


berlangsung dengan tegas dan rasional. Kerap kali kebijakan di bentuk atas dasar
kompromi dan berbagai perilaku politik maupun pemerintah (Yeser Dan
Wieser,1996).Dengan demikian menjadi jelas Bahwa pengembangan kebijakan
dalam prosesnya tidak hanya berdasarkan pemikiran secara rasional ataupun hasil
pengelolaan administratif,melainkan seringkali bersifat politis serta memilki
keterkaitan dengan politik,kekuasaan,dan sisitem politik.Salah satu contoh
pengaruh politik pada kebijakan kesehatan dapat dilihat pada undang-undang No32
Thn 2004 Tentang Desentralisasi.dalam UU tersebut,Kesehatan dijadikan sebagai
salah satu kewenangan yang didesentralisasikan. Tujuan dari desentralisasi
kesehatan menurut UU tersebut adalah agar pelayanan kesehatan menjadi lebih
efisien dan efektif,menciptakan pelayanan ke masyarakat yang lebih baik (aspiratif
akomodatif Dan Responsif,) meningkatkan peluang partisipasi dan demokrtisasi di
sektrok kesehatan.

Dalam praktiknya, posisi strategis kesehatan menjadikannya syarat dan muatan


politik.kekuasaan politik terkonsentrasi di ibu kota dan kota-kota besar lainnya jauh
meninggalkan wilayah indonesia bagian timur,misalnya termanifestasi disektor
kesehatan.beberapa provinsi yang memiliki tinggat AKB tinggi Seperti NTB
memilki rasio Fasilitas pelayanan dan tenaga kesehatan Per 100,000 Penduduk yang
lebih rendah dibandingkan wilayah yang memilki tinggkat AKB yang rendah serta
sosial ekonomi yang lebih baik (Ayunintyas 2011).

Pelayanan kesehatan seringkali komuditas pada pertarungan politik,termasuk


digunakan menarik suara pemilih (Ayunintyas 2011).penarikkan buku
Bertajub Saatnya Dunia Berubah! Ditulis Menteri Kesehatan Periode 2004-2009
Sity Padilah Supari yang mencoba menguat konstilasi AS dan organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) Dalam pengembangan senjata biologi dan virus flu burung tak
berapalama buku tersebut beredar,mendadak ditarik dari peredaran dengan alasan
kesalahan tulis dan cetak.

13
Konteks politik mengacu pada aspek-aspek politik dan lingkungan yang
relevan terhadap tindakan yang dilakukan oleh kekuasaan. Ini termasuk aspek-
aspek,seperti pembagian kekuasaan berbagai organisasi yang terlibat serta
kepentingan mereka, dan peraturan formal dan informal yang mengatur antara aktor
yang berbeda. Untuk aktor-aktor pembangunan yang berusaha memengaruhi
kebijakan, konteks politik menjadi berarti karena dapat menentukan kelayakan,
kesesuaian, dan keefektifan dari tindakan-tindakan mereka.

Program Research and Policy in Development (RAPID) dari ODI bertujuan


untuk meningkatkan pemakaian atau pemanfaatan riset dan bukti-bukti factual
dalam kebijakan yang senantiasa berkembang. Program ini juga mendorong
pemanfaatan riset, rekomendasi, dan debat dalam praktik kebijakan. Sebagai bagian
dari program kerja, RAPID berusaha untuk memahami lebih baik hubungan antara
riset dan kebijakan. Salah satu kunci yang ditemukan yang merupakan factor krusial
dalam membentuk interaksi ini – yang menunjukan sejauh mana bukti berbasi
penelitian bias member umpan pada proses kebijakan. Kepentingan RAPID adalah
kepraktisan dan didasarkan pada pandangan bahwa dengan pemahaman konteks
politik yang lebih baik- dan kemudian meresponnya dengan tepat - maka dapat
memungkinkan untuk memaksimalkan kesempatan dalam memengaruhi kebijakan.
Untuk RAPID, konteks politik dan dampaknya pada hubungan riset-politik dapat
dipahami dalam lima faktor kelompok sebagai berikut:

a) konteks politik makro: pemerintahan, masyarakat sipil, dan kebebasan politik.

b) Konteks politik spesifik dari formulasi kebijakan dalam proses kebijakan spesifik

c) Menentukan momem-momen emas dalam proses kebijakan.

d) Cara berpikir para pembuat kebijakan.

b. Konteks Ekonomi dalam Pengembangan Kebijakan

Aspek ekonomi adalah komponen yang peting untuk dipertimbangkan dalam


membuat kebijakan kesehatan. Sebagai salah satu pilar kehidupan manusia, aspek
ekonomi sangat memengaruhi proses kebijakan kesehatan yang dampaknya

14
menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Memberi perhatian pada konteks ekonomi
dapat membantu untuk memahami dinamika kehidupan ekonomi masyarakat,
pemerintahan, dan kekuatan pasar internasional yang berpengaruh pada
perencanaan kebijakan, pembangunan, dan implementasi kebijakan kesehatan.

Di Negara-negara berkembang, kondisi perekonomian seperti kurs uang,


konsumsi makanan, banyaknya pengangguran dan sebagainya sangat memengaruhi
konsumsi kesehatan masyarakat secara signifikan. Sumber daya yang terbatas juga
mengakibatkan banyaknya program kesehatan yang gagal dijalankan atau tidak
berhasil mencapai tujuaannya, seperti terbatasnya akses terhadap pelayanan
kesehatan. Masalah akses pelayanan kesehatan ini tidak hanya secara geografis
seperti yang dialami masyarakat pelosok daerah yang sulit menjangkau pelayanan
kesehatan di pusat kota, namun pula dapat diartikan dalam konteks keterjangkauan
dan kemampuan masyarakat miskin mengakses pelayanan karena terbatasnya dana.
Konsekuensi dari kondisi ini adalah gap harapan hidup dan kematian
antarkelompok menjadi besar.

Dalam pembangunan kesehatan, faktor ekonomi memengaruhi lingkungan


kebijakan kesehatan, dan aliran sumber daya. Terjadinya krisis ekonomi pada tahun
1998, menyebabkan jumlah penduduk miskin di Indonesia semakin bertambah,
yaitu mencapai 40% dari jumlah penduduk; 28,5% di antaranya tinggal di daerah
urban dan 71,5% tinggal di pedesaan, data tersebut memperlihatkan banyaknya
penduduk kota dan desa menjadi miskin. Kondisi ekonomi dan sosial dapat
menyebabkan kemampuan membayar (daya beli) penduduk terhadap pelayanan
kesehatan turun drastis.

Padahal, sifat uncertainty atau ketidakpastian dalam pelayanan di bidang


kesehatan sama sekali tidak melihat kemampuan ekonomi rakyat karena tidak
seorang pun akan butuh pelayanan rumah sakit dan berapa biaya yang akan ia
keluarkan.

15
c. Konteks Sosial dan Budaya dalam Pengembangan Kebijakan

Telah banya riset yang melaporkan adanya kolerasi antara kesehatan dan
kebudayaan, baik secara positif maupun negatif. Termasuk pula kebudayaan atau
gaya hidup serta sikap masyarakat untuk mau berpartisipasi dalam proses kebijakan
kesehatan. Perilaku konsumtif dan kejahatan korupsi di masyarakat Negara
berkembang diyakini pula berpengaruh terhadap efektivitas pengembangan
kebijakan kesehatan. Beberapa organisasi seperti Bank Dunia, International
Monetary Fund (IMF), dan lembaga trasnparan internasioanal telah menyoroti
korupsi dan dampaknya terhadap proses kebijakan di Negara-negara berkembang
(Khan et al., 2006). Masalah sosial dan budaya masyarakat serta pemerintah pada
akhirnya memengaruhi keterpihakan pada aspek kesehatan dalam penentuan
keputusan ataupun kebijakan. Dengan kata lain, konteks sosial dan budaya secara
langsung atau tidak memengaruhi kebijakan kesehatan di suatu Negara.

Komponen yang terkait dengan konteks sosial dan budaya dalam kebijakan
kesehatan adalah: pendidikan, letak geografis, pekerjaan, hubungan antar
masyarakat, gender, agama, etnis, adat istiadat, norma sosial, dan norma budaya.
Karena kebijakan kesehatan sangat terkait dengan masyarakat yang merupakan
target sasaran kebijakan kesehatan, maka aspek sosial tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan kesehatan.

Berbagai permasalahan dalam sektor kesehatan tidak selalu dapat ditangani


dengan baik karena kurangnnya pendekatan sosial dan budaya dalam kebijakan
kesehatan. Sebagai contoh kasus kematian ibu melahirkan, salah satu penyebanya
adalah keterlambatan mengambil keputusan dalam merujuk ibu bersalin ke fasilitas
pelayanan kesehatan. Hal ini seringkali berhubungan dengan faktor budaya dalam
beberapa kelompok masyarakat kita dimana wanita belum memiliki kesetaraan
dalam proses pengambilan keputusan termasuk keputusan yang berkaitan dengan
kesehatan bahkan keselamatan sendiri. Selain itu, permasalahan kekurangan gizi
pada ibu hamil juga disebabkan oleh pemahaman dan nilai-nilai tentang posisi diri
dan kurangnya pengetahuan gizi yang menyebabkan wanita mengorbankan
kebutuhan kesehatannya untuk kesehatan anggota keluarganya.

16
Kearifan lokal masyarakat setempat dapat diubah dengan pendekatan persuasif
seperti yang dilakukan oleh bidan-bidan di daerah terpencil. Sebagai contoh dapat
dilihat dari peningkatan peran ketua adat dan Banjaran di kabupaten Badung Bali
dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Kepala adat dan Banjaran
dalam masyarakat badung memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat dan mampu
menggerakan masyarakat. Selain itu adlah keberadaan dokter obsteri ginekolog
sosial yang melakukan pendekatan sosial dalam menangani kasus ibu hamil dengan
resiko tinggi. Demikan contoh pengaruh bupati untuk mengubah kebiasaan
masyarakat menggunakan jasa dukun bayi dalam melayani persalinan dan beralih
ke fasilitas kesehatan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas Dumilah.2014. Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktik. Jakarta:


PT. RAJA GRAFINDO PERSADA.
Bhuyan A, Jorgensen A, Sharma S. Taking the Pulse of Policy: The Policy
Implementation Assessment Tool. Health Policy Initiative. 2010.
Buse, K. Mays, N. Walt, G. 2005. Making Health Policy. Open University Press;
New York
Walt, G, 1994, Health Policy: An Introduction to Process and Power,
Johannesburg, Witmwatersrand University Press.
Walt, G; Shiffman, J; Schneider, H; Murray, SF; Brugha, R; Gilson, L (2008)
’Doing’ health policy analysis: methodological and conceptual reflections
and challenges. Health policy and planning, 23 (5). pp. 308-17.
Downloaded from: http://researchonline.lshtm.ac.uk/7369/
World Health Organization. Systems thinking for health systems strengthening.
Alliance for Health Policy and Systems Research, WHO, 2009.
World Health Organization The concept of stewardship in health policy, WHO,
2000.

18

Anda mungkin juga menyukai