Anda di halaman 1dari 6

A.

TEORI YANG MENDUKUNG DALAM PEMUNGUTAN PAJAK


1. Teori Asuransi
Dalam teori asuransi ini dijelaskan bahwa negara wajib melindungi
keselamatan warga negaranya baik keselamatan jiwa maupun harta benda beserta hak-
haknya. Maka dari itu warga negara harus membayar pajak sebagai premi asuransi.
Namum teori asuransi mendapat pertentangan dengan alasan sebagai berikut :
1. Jika timbul kerugian, tidak ada pergantian langsung dari negara. Hal
ini berbeda ketika individu mengikuti asuransi. Ketika mengikuti asuransi maka
individu akan mendapatkan ganti rugi dari pihak asuransi ketika terjadi kerugian.
2. Antara pembayaran jumlah pajak dan jasa yang diberikan oleh negara
tidak terdapat hubungan langsung. Hal ini dapat dilihat ketika wajib pajak
membayar pajak maka wajib pajak tidak langsung mendapatkan secara langsung
jasa timbal dari pemerintah. Akan tetapi, jasa timbal yang diterima wajib pajak
berbentuk ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai, jalan yang bagus, dan
lain sebagainya.
Namun Teori ini tidak sesuai lagi dan sekarang tidak ada penghalang. Tidak
sesuai dengan kenyataan.
Contohnya : jika orang dibunuh maka negara tidak akan mengganti kerugian seperti
halnya dalam asuransi. Lagi pula tidak ada hubungan langsung antara pembayaran
pajak dan nilai badan manusia.
2. Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan
harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembahagian beban pajak
yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Teori ini didasarkan kepada
kepentingan warga masyarakat terhadap manfaat yang telah diberikan oleh negara.
Sehingga bagi warga masyarakat yang menghendaki kepentingan yang lebih besar
terhadap misalnya perlindungan akan harta bendanya maka mereka  pun harus
membayar pajak lebih besar kepada negara dibandingkan dengan warga negara yang
memiliki lebih sedikit kepentingan terhadap negara. Pada Teori Kepentingan Keadilan
belum terwujud untuk setiap warga masyarakatnya, karena masih dikacaukan dengan
Restribusi (didasarkan pada kepentingan yang  lebih besar)
contohnya : Belum tentu orang yang memiliki harta benda yang lebih banyak dengan
sendirinya memiliki kepentingan perlindungan yang lebih besar dari Negara.
Sedangkan orang miskin justru mengharapkan perhatian atau manfaat yang lebih
besar dari negara misalnya : Jaminan Kesehatan, Jampersal dan lain-lain.
3. Teori Daya Pikul
Yang mendasar dari teori ini ialah berdasarkan asas keadilan, yaitu setiap
seseorang atau orang yang dikenakkan pajak harus sama beratnya atau sama
tanggunganya. menurut teori  daya pikul, Pajak yang harus dibayar oleh  seseorang 
sesuai dengan besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh
orang tersebut sesuai takaran dari masing-masing individu. Jadi tekanan semua pajak
harus sesuai dengan daya pikul, si wajib pajak dengan memperhatikan pada besarnya
penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja si wajib pajak tersebut.
Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu:
 Unsur objektif, de ngan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki
oleh seseorang.
 Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus
di penuhi.
Contoh: Tuan Ahmad mempunyai penghasilan/bulan senilai Rp 10 juta dengan
status menikah dengan mempunyai 3 orang anak sedangkan Tuan Bagas mempunyai
penghasila/bulan sama senilai Rp 10 juta tapi starusnya masih bujangan. Jadi secara
objektif PPh untuk Tuan Ahmad sama besarnya dengan Tuan Bagas, karena
mempunyai penghasilan yang sama besarnya. Tapi secara subjektif PPh untuk Tuan A
lebih kecil dari pada Tuan B, karena kebutuhan materiil yang harus dipenuhi Tuan A
lebih besar.
Kelemahan dari teori ini adalah sulitnya menentukan secara tepat daya pikul
seseorang, karena akan berbeda dan selalu berubah-ubah. Teori daya pikul ini
diterapkan dalam pajak penghasilan, dimana wajib pajak baru dikenakkan pajak
penghasilan bila memperoleh penghasilan melebihi penghasilan tidak kena pajak
(PTKP).
4. Teori Daya Beli
Teori ini menjelaskan bahwa pemungutan pajak dilakukan Negara lebih
ditekankan pada fungsi mengatur dan memelihara kepentingan masyarakat. Teori ini
berkaitan dengan kemampuan warga negara dalam melakukan transaksi dengan pihak
lain.
Contohnya : PPNBM (Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah) dikenakan
kepada barang yang memiliki nilai lebih atau mewah , tidak semua orang dapat
membeli barang yang mewah.
5. Teori Bakti
Teori ini menjelaskan bahwa setiap negara memiliki hak mutlak untuk memungut
pajak, maka dari itu teori bakti ini disebut juga teori daya mutlak. Dan warga negara
pun menyadari bahwa mereka memiliki kewajiban untuk membayar pajak agar
pemerintahan negara menjadi lancar.
Contohnya : negara memiliki hak untuk mengambil dan memungut pajak kepada
masrakat dan jika masyarakat menbayar pajak maka pembangunan di indonesai akan
berjalan dengan baik sehingga masyaratkat pun sejahtera.

B. SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK


a. Syarat Keadilan 
Pemungutan pajak harus berlandaskan keadilan, baik dalam peraturan
perundang-undangan maupun dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Landasan
keadilan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai keadilan bagi
masyarakat. Contoh dari adil yang dimaksud antara lain:

 Wajib pajak memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh undang-undang.
 Setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak haruslah
menyetorkan pajaknya.
 Adanya sanksi untuk pelanggaran-pelanggaran pajak yang terjadi.
b. Syarat Yuridis 
Pemungutan pajak selalu didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Salah
satu undang-undang yang mengatur pemungutan pajak adalah Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dengan adanya
pengaturan dalam bentuk undang-undang, pemerintah memberikan jaminan hukum
bagi terlaksananya aktivitas pemungutan pajak.
c. Syarat Ekonomis 
Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu aktivitas perekonomian yang
dapat mengakibatkan kelesuan perekonomian nasional.
Contohnya : pemungutan pajak tidak boleh mengganggu aktivitas produksi ataupun
perdagangan yang sedang berlangsung.
d. Syarat Finansial 
Pemungutan pajak harus dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga hasil
yang diperoleh maksimal. Efisien maksudnya pemungutan pajak harus dilakukan
dengan mudah, tepat sasaran, tepat waktu dan biaya minimal. Efektif artinya
pemungutan pajak harus membawa hasil sesuai perhitungan yang telah dilakukan.
Dalam syarat ini, biaya pemungutan pajak harus lebih kecil daripada pemasukan pajak
yang diterima kas negara.
e. Syarat Sederhana
Sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah dimengerti wajib pajak.
Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan membantu wajib pajak dalam
melaporkan pajak mereka dan mendorong masyarakat memenuhi kewajiban
perpajakan. Dengan demikian, pemasukan negara dari pajak akan semakin meningkat.
C. SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
1. Self Assessment System
Self Assessment System ini merupakan sebuah sistem pemungutan pajak yang
membebankan penentuan besaran pajaknya yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak
secara mandiri. Dapat dikatakan juga, wajib pajak berperan aktif untuk menghitung
sekaligus membayar dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) atau melalui sistem administrasi online dari pemerintah. Disini pemerintah
memiliki peran dalam sistem pemungutannya yaitu sebagai pengawas dari para wajib
pajak. Sistem ini biasanya diterapkan pada jenis pajak pusat Namun, sistem ini
memiliki kekurangan yaitu wajib pajak harus menghitung sendiri besaran pajak
terutang yang perlu dibayarkan, karenanya wajib pajak juga biasanya akan berusaha
menyetorkan pajak serendah mungkin. Kekurangan inilah juga yang membuat banyak
membuat laporan palsu atas pelaporan kekayaan yang dimilikinya.
Contoh dari sistem ini adalah jenis pajak PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh
(Pajak Penghasilan). Sistem ini sudah diterapkan dan mulai diberlakukan setelah masa
reformasi pajak di tahun 1983. Sistem ini juga berlaku hingga hari ini. Dimana pajak
akan disetor langsung oleh pemungut pajak.
2. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang satu ini berbeda dengan Self Assessment System,
pada sistem pemungutan pajak ini pemungutan pajak yang membebankan wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang pada petugas perpajakan sebagai
pemungut pajak kepada seorang wajib pajak. Pada sistem ini, para wajib pajak
bersikap lebih pasif dan nilai pajak terutangnya akan diketahui setelah dikeluarkan
surat ketetapannya oleh petugas perpajakan.
Contoh dari sistem ini adalah Pajak Bumi Bangunan (PBB), wajib pajak tidak
perlu lagi menghitung besaran pajaknya, mereka hanya tinggal melakukan
pembayaran sesuai dengan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang
dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
3. Withholding System
Sistem pemungutan pajak ini, besaran pajaknya dihitung oleh pihak ketiga. Pihak
ketiga yang dimaksud ini bukan wajib pajak dan juga bukan petugas pajak. Jenis
pajak yang menggunakan withholding system ini adalah PPh pasal 21, PPh pasal 22,
PPh pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN. Biasanya yang digunakan sebagai
bukti atas pelunasannya adalah bukti potong atau bukti pungut dalam withholding
system ini. Tetapi beberapa kasus ada yang menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
Bukti potongan itu nantinya dilampirkan dengan SPT Tahunan dari wajib pajak yang
bersangkutan.
Contohnya : pemotongan penghasilan karyawan yang dilakukan oleh seorang
bendahara sebuah instansi atau HRD dalam sebuah perusahaan. Jadi, karyawan
tersebut tidak lagi perlu mengurus pajak untuk membayarkan pajak miliknya. Namun
pihak ketiga lah yang akan menghitungnya.
D. PPh Mr. Joko
 Penghasilan bersih (Rp)
Penghasilan Bruto/tahun = 100.000.000
(-) biaya jabatan 100.000.000 x 0,05 = (5000.000)
(-) iuran pensiun 2000.000 x 12 = (24.000.000)

Penghasilan neto setahun = 71.000.000


 PTKP K/1 ( PTKP = pribadi, istri, anak) (Rp)
54.000.000 + 4.500.000 + 4.500.000 = 63.000.000
 Perhitungan PKP (Rp)
PH neto setahun – PTKP = 71.000.000 – 63000.000
= 8000.000

 Hitungan PPh (PKP x %PPh)


PKP < Rp 50.000.000 maka pajak yang dibayarkan 5% dari PKP, jadi :
= Rp 8.000.000 x 5%
= Rp 400.000
Maka PPh yang harus di bayarkan Mr.joko sebesar Rp. 400.000
E. PPh Mr. Burhan
Penghasilan/bln = 2.500.000
Penghasilan/tahun 2.500.000 x 12 = 30.000.000
Berdasarkan Bab v pasal 9Peraturan Direktur Jendral Pajak (PER) Nomor PER-
16/PJ/2016, dasar pengenaan dan pemotongan pasal PPh 21 pegawai tidak tetap dengan
enghasilan perbulan melewati Rp 4.500.000 atau Rp. 54.000.000 pertahun dari kasus di
atas Mr. Burhan hanya berpenghasilan Rp. 2.500.000 dan dalam setahun penghasilan Mr.
Burhan Rp. 30.000.000. Jadi dari kasus di atas Mr. Burhan tidak dikenakan PPh 21.

Anda mungkin juga menyukai