Anda di halaman 1dari 90

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tax Reform merupkan suatu tonggak sejarah baru bagi situasi perpajakan

yang memberi penyegaran bagi sistem perpajakan Indonesia yang berlangsung

selama lebih dari tiga puluh tahun ini. Latar belakang reformasi pajak/pembaruan

perundang-undangan pajak dilakukan karena undang-undang yang berlaku saat

itu (tahun 1983 dan sebelumnya) dibuat di zaman Kolonial mempunyai landasan,

pemikiran, jiwa. Sasaran dan tujuan yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan

harkat, hakikat, dan jiwa kehidupan bangsa Indonesia yang telah merdeka dan

berdaulat.1

Dengan mengedepankan self assessment system sebagai sistem

pemungutan pajak nasional menggantikan official assessment system yang

digunakan sebagai mekanisme pemungutan pajak sebelumnya, maka seluruh

rangkaian aktivitas perpajakan nasional, berjalan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam aktifitas

perpajakan dengan menggunakan official assessment system, fiskus lebih

berperan aktif jika dibandingkan dengan Wajib Pajak yang lebih bersifat pasif.

Persoalan perpajakan yang tidak dapat dihindari dari berbagai aspek kehidupan

1
Erly Suandy, 2011, Hukum Pajak, Jakarta, Salemba Empat, hlm. 98
2

manusia, akhir-akhir ini semakin menjadi pembicaraan hangat baik di Lembaga

Negara (aparatur pemerintahan), maupun di kalangan masyarakat awam.

Di satu sisi, jiwa besar Wajib Pajak untuk melakukan kewajiban

perpajakan yang tidak selalu dijumpai dalam menjalankan tanggung jawab

membayar pajak, merupakan persoalan menahun yang hampir tidak pernah

tuntas. Di sisi lain, penerapan sef assessment system yang belum maksimal

membuka ruang bagi Fiskus untuk melakukan tindakan-tindakan di luar

kewenangan yang harus dilakukan, bahkan dapat sampai pada bertindak

melanggar peraturan perundang-undangan atau ketentuan yang berlaku, yang

berakibat pada pemberian sanksi.

Seruan taat pajak yang dijumpai pada hampir setiap jalan protokol,

bahkan di sudut-sudut jalan lorong, masih terpampang tulisan : “Sudahkah Anda

membayar pajak ?” atau “Sudahkah Anda melaksanakan kewajiban perpajakan

anda ?” dan berbagai seruan serupa terkait taat pajak, sudah tidak asing lagi bagi

semua lapisan masyarakat. Belakangan ini himbauan seperti itu kemudian

dikembangkan dengan kalimat-kalimat puitis seperti : “Pajak Anda, senyum

mereka”, yang biasanya disertai dengan gambar dua orang anak kecil dengan

senyuman yang maknanya seolah menunjuk pada harapan generasi penerus yang

sedang menyongsong masa depan cerah yang sementara menanti di depan.

Gambaran dimaksud tersirat di hati Wajib Pajak untuk menilai baik atau tidak

baik kewajiban perpajakan yang telah dilakukan sehingga orang lain (anak-anak)

dapat tersenyum. Papan reklame tersebut dibuat oleh Pemerintah cq. Direktorat
3

Jenderal Pajak dengan maksud menyadarkan seluruh masyarakat, khususnya

Wajib Pajak akan pentingnya membayar pajak sebagai suatu kewajiban

kenegaraan demi kelangsungan pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan

terus-menerus demi masa depan generasi penerus bangsa di masa mendatang.

Memang diakui bahwa pajak bagi beberpa orang tentu masih merupakan momok

yang menakutkan.2 Sifat memaksa dari pajak memang masih melatarbelakangi

rasa takut Wajib Pajak pada saat melakukan kewajiban pembayaran pajaknya, di

mana selurh rangkaiannya diatur dengan undang-undang. Mekanisme

pemungutan pajak dengan self assessment system, yang pada prinsipnya

menuntut Wajib Pajak untuk melakukan tanggung jawab yang lebih besar dalam

menjalankan kewajiban perpajakannya, yakni dengan beban menghitung,

memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajak sendiri, memang bukanlah

suatu hal yang mudah. Mekanisme seperti ini sebenarnya sudah tergolong

modern, sehingga harus didukung oleh Wajib Pajak dengan kemampuan atau

skill yang baik.

Sebagai unsur dari self assesment system yang merupakan mekanisme

pemungutan PPh menurut peraturan perundang-undangan tentang perpajakan

nasional, peranan SPT (Surat Pemberitahuan) tidak terpisahkan dengan

sistemnya. Berbagai permasalahan yang pada akhirnya menuntut upaya penataan

administrasi perpajakan yang dilakukan pemerintah secara langsung telah

mengalihkan perhatian semua unsur perpajakan kepada SPT sebagai jawaban


2
Richard Burton, 2009, Kajian Aktual Perpajakan, Jakarta, Salemba Ampat, hlm. 17.
4

tepat bagi kebutuhan data awal. Fungsi SPT sebagai sarana pelaporan dan

pertanggungjawaban Wajib Pajak sebagai bentuk menghitung dan

memperhitungkan utang pajak seperti yang ditetapkan dalam undang-undang

perpajakan ataupun fungsi lain yang bersifat istimewa yang lahir dalam praktek

perpajakan yang berlangsung.3

Menurut Soemitro4 : “Surat Pemberitahuan merupakan sarana yang

penting untuk menetapkan besarnya utang pajak dengan seksama. Karena Wajib

Pajak yang bersangkutan yang merupakan orang yang tahu data-datanya, maka

daripadanya diharapkan bantuan/kerjasama dengan memasukkan Surat

Pemberitahuan.” Selain itu perlu dipahami bahwa SPT hanya digunakan pada

satu jenis pajak saja, yaitu PPh. Dikemukakan oleh Saidi5 bahwa : “Surat

Pemberitahuan hanya dikenal dalam Pajak Penghasilan yang terdiri dari Surat

Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Surat Pemberitahuan

Tahunan Wajib Pajak Badan.”

Menurut Hutomo6 : “Untuk memastikan jumlah pajak yang terutang pada

Tahun Pajak, Wajib Pajak Wajib mengisi dan menyerahkan Surat Pemberitahuan

Tahunan. Menurut sistem self assessment, Wajib Pajak diWajibkan mengisi SPT

3
Heillen M. Y. Tita., 2013, Fungsi Surat Pemberitahuan dalam Pelaksanaan Self
Assessment System pada Pemungutan Pajak Penghasilan di Provinsi Maluku, Tesis, Yogyakarta,
Universitas Gadjah Mada, hlm. 6
4
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bnadung, Eresco, hlm. 42-43.
5
Muhammad Djafar Saidi, 2007, Pembaruan Hukum Pajak,Jakarta, Rajawali Press,
hlm.131
6
Y. B. Sigit Hutomo, 2009, Pajak Penghasilan, Konsep dan Aplikasi Berdasarkan Undang-
Undang No.36 Tahun 2008 Beserta Peraturan Pelaksanaannya, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya,
hlm. 237-237
5

sebagai bentuk menghitung, memperhitungkan dan melaporkan jumlah pajak

yang terutang.” Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa Surat Pemberitahuan

adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan

dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau harta dan kewajiban sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajkaan.7

Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat
Pemberitahuan atau SPT itu lazim dalam pajak-pajak langsung. Dalam
pajak tidak langsung pada umumnya tidak ada Surat Pemberitahuan yang
digunakan sebagai dasar untuk menghitung atau mengenakan pajak sebab
karena pajak itu langsung dihitung sendiri dan dibayar oleh Wajib Pajak
seperti Bea Meterai, Pajak Pertambahan Nilai dan sebagainya.8
Itu berarti yang melakukan kewajiban perpajakan, tidak hanya Orang

Pribadi tetapi juga Badan Hukum. Selain sebagai sarana pelaporan dan

pertanggungjawaban tentang penghitungan pajak, SPT juga dapat dipakai untuk

mengukur tingkat kejujuran Wajib Pajak dalam menjalankan kewajiban

perpajakan. Selain itu SPT juga digunakan oleh Fiskus sebagai sarana

pengawasan terhadap aktivitas perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Terkait pernyataan di atas, Hutomo9 mengemukakan bahwa : “Menurut self

assesment system, Wajib Pajak diWajibkan mengisi SPT Tahunan sebagai bentuk

menghitung, memperhitungkan dan melaporkan jumlah pajak yang terutang.

Sehubungan dengan fungsi SPT sebagai sarana untuk melaporkan jumlah pajak

7
Casvera, 2009, Perpajakan, Graha llmu, Yogyakarta, hlm. 7
8
Rochmat Soemitro, 1988, Asas dan Dasar Perpajakan1, Eresco, Bandung, hlm. 67
9
Y. B. Sigit Hutomo, Op., Cit, hlm. 237
6

yang terutang, maka SPT dapat dijadikan sebagai alat bukti surat apa bila pada

suatu saat terjadi sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan pejabat pajak.”

Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah sebagai


sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : 10
1. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri
dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalm 1
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
2. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek
pajak;
3. Harta dan kewajiban; dan/atau
4. Pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tentang pemotongan
atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 Masa
Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap dan jelas

tersebut Wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tempat

Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhka atau tempat lain yang ditetapkan oleh

Direktur Jenderal Pajak. Penandatanganan Surat Pemberitahuan dapat dilakukan

secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau

digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara

pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Banyak hal yang berhubungan dengan SPT yang harus dijalani oleh Wajib Pajak

sebagai suatu proses sebagai bagian dari kewajiban perpajakan yang harus

dilakukan, antara lain memiliki konsekwensi hukum terhadap Wajib Pajak yang

10
Casavera, op., cit, hlm. 8
7

melakukan kewajibannya dengan tidak benar (menyimpang), dan semuanya

diatur dengan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan yang berlaku.

Sebagai Negara Hukum, pelaksanaan peraturan perundang-undangan

yang menyimpang, tentunya berakibat pada sanksi yang dikenakan bagi siapa

saja yang melakukan penyimpangan itu. Dalam proses penyampaian SPT, sanksi

diterapkan bagi setiap Wajib Pajak yang dengan sengaja atau tidak dengan

sengaja melakukan kekeliruan terhadap SPT. Pada Angka 10 Ketentuan Umum

UU KUP, dalam Tatacara Pengisian SPT untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan

Angka 12 untuk Wajib Pajak Bandan, dikatakan bahwa pengisian SPT yang tidak

benar, tidak menyampaikan SPT, atau terlambat menyampaikan SPT, tergolong

dalam jenis kejahatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan akan dikenakan

sanksi berupa sanksi administrasi atau sanksi pidana.

Dua jenis sanksi tersebut sangat penting dipahami oleh setiap Wajib

Pajak, sehingga ketika terjadi pelanggaran pajak dengan objek SPT, maka si

Pelanggar (Wajib Pajak) sudah memahami jenis sanksi yang akan diterima untuk

kesalahan yang dilakukannya itu. Dari beberapa literature yang dibaca sebagai

tindakan pra penelitian bagi data awal, ternyata penulis buku Pajak atau yang

berkaitan dengan Pajak lebih banyak menguraikan tentang sanksi administrasi

yang diterima oleh pelaku pelanggaran pajak. Di samping itu, pemahaman Wajib

Pajak terkait alasan dan mekanisme untuk memastikan penerapan sanksi pajak

bagi si Pelanggar merupakan suatu masalah menarik untuk diteliti, sehingga

setiap Wajib Pajak akan lebih bertanggung jawab dalam melakukan kewajiban
8

perpajakannya, sehubungan dengan penyampaian SPT, karena itu yang dituntut

oleh self assessment system sebagai mekanisme pemungutan pajak nasional.

Wajib Pajak yang terbukti melakukan kejahatan di bidang perpajakan

sebagaimana diatur dalam ketentuan UU KUP dikenakan hukuman berdasarkan

jenis kejahatan yang dilakukannya. Sebenarnya, tidak boleh sama hukuman bagi

Wajib Pajak sebagaimana diatur pada Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41A,

Pasal 41B, dan Pasal 41C UU KUP. Hal ini didasarkan bahwa kejahatan yang

dilakukan oleh Wajib Pajak berada pada tingkat ketidaksamaan akibat hukum

yang ditimbulkan, walaupun yang menjadi korban dari kejahatan itu adalah

Negara.11 Kejahatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak berdasarkan Pasal 38 UU

KUP, untuk pertama kali dilakukannya tidak dikenakan sanksi pidana. Artinya,

hakim dapat menjatuhkan suatu jenis hukuman yang telah ditentukan terhadap

Wajib Pajak yang melakukan kejahatan berupa tidak menyampaikan Surat

Pemberitahuan atau pemalsuan Surat Pemberitahuan yang disampaikan. 12

Beranjak dari sajian beberapa literature yang telah dibaca sebagai langkah

awal, dan didukung dengan latar belakang pemikiran sebagaimana telah

diuraikan dalam bagian Latar Belakang masalah di atas, maka Penelitian ini

diberi Judul : “ANCAMAN PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP

KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN

TAHUNAN PAJAK”

11
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2011, Kejahatan di Bidang
Perpajakan, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 102
12
Ibid, hlm. 103
9

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada uraian Latar Belakang di atas, maka batasan masalah dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Apakah efektif ancaman penerapan

sanksi pidana terhadap Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan Surat

Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak ?”

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan, tentu memiliki tujuan tertentu. Mengacu

pada isu yang diangkat maka tujuan daripada penelitian ini adalah :

1. Mengkaji dan menganalisis efektivitas penerapan sanksi pidana terhadap

Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)

pajak.

2. Sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum

Universitas Pattimura.

D. Manfaat Penelitian

1. Ingin mengetahui efektivitas ancaman penerapan sanksi pidana terhadap

Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan Sura Pemberitahuan (SPT)

pajak.

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan konstibusi positif bagi

penegak hukum untuk menegakkan hukum pajak dalam hal memberikan

sanksi bagi Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan SPT dan bagi Wajib

Pajak, ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberi jaminan

hukum bagi penerapan atau pemberian sanksi adminsitrasi namun juga


10

sanksi pidana yang dapat sekaligus memberi efek jera, serta mengingatkan

Wajib Pajak agar lebih memperhatikan batas waktu penyampaian SPT dalam

menjalankan kewajiban perpajakannya sesuai tuntutan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

E. Kerangka Pemikiran Teoretis

Negara Hukum adalah konsep baku yang selalu saja mengalami

simplifikasi makna menjadi dalam Negara berlaku hukum. Padahal filosofi

Negara Hukum meliputi pengertian, ketika Negara melaksanakan kekuasaannya,

maka Negara tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis

terhadap Negara, maka kekuasaan Negara menjadi terkendali dan selanjutnya

menjadi Negara yang diselanggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau

tidak tertulis (konvensi).13

Dalam paradigma Negara hukum konstitusional, terdampak komitmen

yang disebut oleh Juan J. Linz dengan self-binding procedure, dalam system

serupa ini, pemerintah sangat terikat oleh tata cara penggunaan kekuasaan yang

diatur dalam Konsitutsi.14 Untuk memahami perkembangan konsep Negara

Hukum, secara secara empiris dapat dikatakan sebagai objek kajian yang tidak

terpisah dari perkembangan fungsi yudisial dalam melaksanakan pengujian

13
Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta, Pradnya Paramitha,
hlm.55
14
Juan J. Linz dan Alfred Stepen, 2001, Defining and Crafting Democratic Transition,
Constitutions, and Consolidation dalam Crafting Indonesian Democracy, Jakarta, Mizan Pustaka,
hlm.30
11

hukum secara formil.15 Melalui Konstruksi Negara Hukum serangkaian

penyimpagan-penyimpangan itu tidak dibenarkan. Sebab Konstitusi adalah

penjelmaan otentik dari seluruh keinginan rakyat, yang berakibat pada

penjelmaan tertinggi rakyat dalam Negara Hukum modern.16

Keadilan berasal dari kata dasar adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia

adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah.17 Untuk

memperoleh keadilan, pihak-pihak harus berproses berdasarkan ketentuan

perundang-undangan atau ketentuan lain yang berlaku. Lalu apa ‘keadilan” itu

bagi Plato ? Masih dalam Republic, Plato mengusahakan sebuah konsep

mengumumkan yang penulis kira paling awal [pertama] tentang keadilan yang

hingga hari ini bahkan telah mempengaruhi dan masih dianut oleh banyak tokoh-

tokoh besar hukum dunia, sebut saja antara lain Scholten dari Belanda. 18

Plato di sini mengkualifikasi keadilan ke dalam tiga hal :19

1. Suatu karakteristik atau “sifat” yang terberi secara alami dalam diri
tiap individu manusia;
2. Dalam keadaan ini, keadilan memungkinkan orang mengerjakan
pengkoordinasian [menata] serta memberi batasan [mengndalikan]
pada tingkat “emosi” mereka dalam usaha menyesuaikan diri dengan
lingkungan tempat ia bergaul; dengan demikian
3. Keadilan merupakan hal yang memungkinkan masyarakat manusia
menjalankan kodrat kemanusiaannya dalam caracara yang utuh dan
semestinya.

15
Sri Soemantri, 1997, Hak Menguji Material di Indonesia,Bandung, Alumni, hlm. 6-7.
16
Padmo Wahyono, 1986, Indonesia, Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta, Ghalia
Indonesia, hlm. 58
17
Eko Hadi Wiyono, 2007, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Jakarta, Akar Media, hlm. 10
18
Herman Bakkir, 2007, Filsafat Hukum, Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Bandung,
Refika Aditama, hlm. 177
19
Ibid
12

Keadilan merupakan “besaran-besaran” atau “aset-aset” [virtues] tertentu


yang akan membuat kondisi kemasyarakatan akan menjadi “selaras”
[mengharmonikan] dan “seimbang”. Keadilan yang dimaksud adalah
besaran yang bersumber dari dalam jiwa tiap-tiap masyarakat manusia itu
sendiri yang pada dirinya “tidak dapat dipahami” [dikriteriakan] atau
tidak dapat dieksplisitkan [dijabarkan] melalui argumentasi-argumentasi”
[dirasionalkan]. Kita tidak dapat berharap banyak dengan tercapainya
keadilan bila hanya mengandalkan kebijaksanaan dari para filsuf dalam
doktrin-doktrin mereka, sebab dalam memahami keadilan mereka kerap
kali terjebak dalam keadan di mana mereka memandang hukum hanyallah
sekedar mater-materi bertemperamen spiritual [mistik].20

Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan

didasarkan atas norma-norma yang objektif; jadi tidak subjektif apalagi

sewenang-wenang. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relative,

setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang

lainnya, kapan seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal

itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum di mana skala keadilan

diakui. Skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap

skala didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan

ketertiban umum dari masyarakat tersebut.21

Bagi banyak orang keadilan adalah prinsip umum, bahwa individu-

individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima.

Sebagian menyebutnya dengan istilah legas justice atau keadilan hukum yang

merujuk pada pelaksanaan hukum menurut prinsip-prinsip yang ditentukan

dalam Negara hukum. Ada pula istilah social justice atau keadilan social yang

20
Ibid
21
M. H. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral dan Keadilan, Jakarta, Kencana, hlm. 85
13

didefinisikan sebagai konsepsi-konsepsi sumum mengenai social firmness atau

keadilan social yang mungkin dapat dan mungkin tidak berselisih dengan

konsepsi keadilan individu atau keadilan secara umum.22

Peradilan biasa disebut sebagai suatu macam penegakan hukum pula, oleh

karena aktivitasnya juga tidak terlepas dari hukum yang telah dibuat dan

disediakan oleh badan pembuat hukum itu. Dengan demikian, maka baru sesudah

hukum itu dibuat kita bisa berbicara mengenai adanya dan berjalannya

peradilan.23 Peradialan menunjuk kepada proses mengadili, sedangkan

pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lembaga-

lembaga lain yang terlibat dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan

dan advocad. Hasil akhir dari proses peradialan tersebut berupa putusan

pengadilan, atau sering juga digunakan kata putusan hakim, oleh karena

hakimlah yang memimpin siding di pengadilan itu.

Bagi ilmu hukum, maka bagian penting dalam proses mengadili terjadi

pada saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara. Pada dasarnya yang

dilakukan oleh hakim adalah memeriksa kenyataan yang terjadi, serta

menghukuminya dengan peraturan yang berlaku. Pada waktu diputuskan tentang

bagaimana atau apa hukum yang berlaku untuk suatu kasus, maka pada waktu

itulah penegakan hukum mencapai puncaknya. Oleh Hans Kelsen, proses

22
Ibid, hlm. 85-86
23
Satjipto Rahardjo, Op., Cit. hlm. 181-182
14

penegakan hukum yang dijalankan oleh hakim demikian itu disebut sebagai

Konretisierung.24

Mengenai teori-teori pemidaan (dalam banyak literatur disebut dengan

teori hukum pidana/strafrecht-teorien) berhubungan langsung dengan pengertian

hukum pidana tersebut. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar

dari hak Negara dalam nejatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.25

Pertanyaan seperti mengapa, apa dasarnya dan untuk apa pidana yang telah

diancamkan itu dijatuhkan dan dijalankan, atau apakah alasannya bahwa Negara

dalam menjalankan fungsi menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan

cara melanggar kepentingan hukum dan hak orang pribadi orang, adalah

petanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi pokok bahasan dalam teori-teori

pemidaan ini.26 Akan tetapi, mengenai jawaban atas pertanyaan dasar hak itu

diberikan dan atau untuk kepentingan apa pidana perlu dijatuhkan, yang

merupakan pertanyaan mendasar dalam teori pemidanaan, terdapat berbagai

pendapat.

Sebagaimana yang terjadi di antara para ahli filsafat, diskusi yang serius

di antara ahli hukum pidana mengenai pemidanaan masih terus berlangsung.

Menganai konsep pemidanaan, disadari bahwa terdapat gap antara apa yang

disebut pemidanaan dan apa yang digunakan sekarang sebagai metode untuk

memaksakan kepatuhan. Sebagian ada yang berpandangan bahwa pemidanaan

24
Ibid, hlm. 183
25
Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Jakartan, Rajawali Press, hlm. 156
26
Ibid
15

adalah sebuah persoalan yang murni hukum (purely legal matter).27 D. J.

Mabbott28 misalnya, memandang seorang “penjahat” sebagai seseorang yang

telah melanggar suatu hukum, bukan orang jahat. Menurutnya, seorang yang

“tidak bersalah” adalah seorang yang belum melanggar suatu hukum, meskipun

dia bisa jadi merupakan orang jahat dan telah melanggar hukum-hukumlain.

Sebagai seorang retributivis, Mabbott memandang pemidanaan merupakan akibat

wajar yang disebabkan bukan dari hukum, tetapi dari pelanggaran hukum.

Artinya, jahat atau tidak jahat, bila seseorang telah bersalah melanggar hukum,

maka orang itu harus dipidana.Perlu kiranya disadari, bahwa penyusunan kata-

kata yang digunakan untuk pemidanaan merefleksikan banyak sekali istilah

sama. Perihal label tentang pemidanaan, sering terjadi penggunaan istilah yang

berbeda untuk maksud yang sama, seperti punishment, treatment, sanction dan

lain-lain.29

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Peter Mahmud Marzuki30 mengemukakan bahwa : “Penelitian Hukum

adalah proses untuk menemukan aturan hukum maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu yang dihadapai. ” Itu berarti penemuan hukum

butuh proses yang tentunya dilakan dengan suatu metode yang tepat, sehingga
27
M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Press,
hlm.68
28
Ibid, hlm. 69
29
Ibid
30
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan keempat, Jakartan, Prenada
Media, hlm. 22
16

dalam pelaksanaannya menjadi lebih terarah dan mudah dipahami. Metode

penelitian hukum adalah prosedur atau cara yang dilakukan dalam melakukan

penelitian hukum. Untuk memahami dengan jelas prosedur atau cara-cara

yang akan ditempuh dalam melakukan suatu peneitian huku, hal yang tidak

dapat ditinggalkan dan penting untuk mendapat perhatian dari seorang peneliti

hukum adalah memahami tujuan dari penelitian itu sendiri.

Dengan mengacu pada tujuan penelitian dan berdasarkan isu yang

akan diteliti, maka jenis penelitian ini adalah Penelitian Yuridis Normatif, di

mana dalam penelitian ini akan dilakukan kajian terhadap No. 28 Tahun 2007

tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP) khususnya

mengenai penerapan sanksi terhadap keterlambatan penyampaian SPT yang

dilakukan oleh Wajib Pajak, baik disengaja maupun tidak disengaja, yang

didukung dengan bahan-bahan pustaka lain yang relevan dengan isu hukum

yang akan diteliti.

2. Tipe Penelitian

Substansi penelitian yang menggunakan kacamata UU No. 28 Tahun

2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP) terkait

dengan isu penerapan sanksi pidana bagi Wajib Pajak yang dengan sengaja

atau tidak dengan sengaja terlambat menyampaikan SPT, akan dianalisa

dengan menggunakan konsep-konsep dan teori-teori yang telah ditentukan

sebagai pisau analisis bagi isu yang diteliti. Kemudian hasil analisa tersebut
17

dideskripsikan dengan tersistematis sehingga mudah dipahami. Dengan

demikian, maka tipe penelitian ini adalah deskriptif analitis.

3. Sumber Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer terdiri dari :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945;

2) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan

Tatacara Perpajakan;

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP);

4) Undang-undang Nomor 20 Tahun

5) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti Rancangan Undang-Undang (RUU),

Risalah Sidang, Hasil-hasil Penelitian, Hasil Seminar dan Karya Tulis dari

kalangan akademisi atau non akademisi.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan Hukum Tertier, yaitu : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus


18

Bahasa Inggris, Kamus Hukum, Ensiklopedia, Indeks, Terminologi

Hukum, dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan data yang diperoleh melalui studi terhadap

bahan-bahan pustaka. Untuk itu, peraturan perundang-undangan, buku-buku,

laporan penelitian, hasil seminar dikumpulkan melalui studi kepustakaan

untuk mencari reverensi yang relevan dengan isu yang diteliti, kemudian

dipelajari dan diinventarisir serta ditentukan referensi yang sesuai dengan isu.

Langkah berikutnya, semua bahan hukum yang telah dikumpulkan

selanjtnya dianalisis dan diidentifikasi secara kuantitatif. Terhadap fakta-fakta

hukum yang relevan, terkait dengan kajian penerapan sanksi pidana yang

diatur dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara

Perpajakan serta seluruh hasil analisis terhadap bahan hukum yang akan

dipakai dalam kajian isu hukum pada menelitian ini kemudian dideskripsikan

secara tersistematis agar menjadi lebih mudah dipahami.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari hasil penelitian ini terdiri dari empat

BAB, sebagai berikut : BAB I, PENDAHULUAN, memuat Latar Belakang,

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Konsep Teoretis,

Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan; BAB II, TINJAUAN PUSTAKA,

berisikan tinjauan umum dan pengertian-pengertian terkait dengan berbagai hal

yang berhubungan dengan substansi penulisan. BAB III, HASIL PENELITIAN


19

DAN PEMBAHASAN, yang berisi tentang Keterlambatan penyampaian SPT

sebagai bentuk pelanggaran Pajak,; ancaman Sanksi Pidana terhadap keterlabatan

menyampaiakn Surat Pemberitahuan; dan Hambatan dalam penerapan sanksi

pidana terhadap keterlambatan penyampaian Surt Pemberitahuan. BAB IV,

PENUTUP, yang memuat Kesimpulan sebagai rangkuman atas seluruh hasil

penelitian yang dilakukan dan Saran sebagai input positif dan dapat menjadi

bahan pertimbangan sekaligus bahan reverensi sebagai suatu rekomendasi bagi

pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.


20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian, Fungsi dan Jenis Pajak

1. Pengertian Pajak

Pajak sebagai suatu pungutan di Indonesia, telah mengalami suatu

perjalanan sejarah yang cukup panjang. Sejak bangsa Indonesia ada di zaman

kejayaan kerajaan-kerajaan besar dan kecil yang mencerminkan kemakmuran

bangsa di masa sebelum Indonesia merdeka, bentuk-bentuk pungutan itu sudah

terlihat, dengan tujuan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan

kelompok yang bersepakat untuk membangun suatu kebersamaan. Pungutan

yang pada awalnya masih berupa upeti yang diberikan oleh masyarakat kepada

penguasa (Raja) saat itu, merupakan cikal-bakal yag melahirkan punguta-

pungutan yang diperuntukan bagi pembiayaan kepentingan negara di zaman ini.

Pungutan yang dilakukan oleh penguasa terus berlangsung untuk

mendukung tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penguasa di zaman kejayaan,

hingga memasuki zaman penjajahan Bangsa Belanda terhadap Indonesia. Di

masa penjajahan, pungutan-pungutan itu tetap dilakukan untuk mendukung

kepentingan pembiayaan pihak penjajah dalam pembangunan dan juga untuk

kebutuhan perang. Dengan alasan untuk penataan administrasi yang baik,

pemerintah kolonial membentuk peraturan-peraturan yang mengakomodir

pungutan-pungutan yang dilakukan terhadap masyarakat Indonesia, seperti


21

misalnya : Ordonantie Pajak Perseroan tahun 1925; Aturan Bea meterai tahun

1932; Ordonantie Pajak Kekayaan tahun 1932; dan Ordonantie Pajak

Pendapatan tahun 1944.

Membahas tentang sejarah perpajakan berarti berbicara tentang apa itu


pajak dari segi histories, maka akan berbicara tentang tinjauan histories
timbulnya pungutan. Sejak adanya kelompok manusia yang disebut
masyarakat maka timbul adanya kepentingan bersama dari warga
masyarakat. Dengan adanya kepentingan bersama ini lalu pertanyaan
yang muncul adalah ”Dari mana biaya untuk menyelenggarakan
kepentingan bersama ini ?” Jawabnya bahwa biaya untuk
menyelenggarakan kepentingan bersama ini dipikul oleh warga
masyarakat, yaitu dengan memberikan in-natura (sebagaian tenaga,
waktu, ternak, atau sebagaian hasil panennya) demi terselenggaranya
kepentingan bersama tersebut.31

Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa : “Pajak dan atau

pungutan lain bagi kepentingan negara, diatur dengan undang-undang.” Itu

berarti bahwa secara konstitusional, Negara menjamin pungutan bagi

kepentingan Negara, termasuk pajak. Pernyataan tertulis dalam pasal 23 UUD

NRI Tahun 1945 telah memngamanatkan pengaturan tentang pelaksanaan

pungutan pajak bagi undang-undang. Undang-undang Nomor 28 tahun 2007

tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP), sebagai dasar

hukum pelaksanaan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 dalam kewajiban

perpajakan nasional.

31
Syumar, 2004, Hukum Pajak dan Pajak Indonesia, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya,
hlm.18
22

Pajak adalah iuran kepada Negara yang terutang oleh yang wajib

membayarnya (wajib pajak) berdasarkan undang-undang dengan tidak

mendapat prestasi (balas jasa) kembali secara langsung; tidak langsung : pajak-

pajak yang pada akhirnya dapat menaikkan harga karena ditanggung oleh

pembeli, pajak tersebut baru terutang jika terjadi hal-hal yang menyebabkan

terutang pajak; langsung : pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak

dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. 32

Perubahan UU KUP dari UU Nomor 6 Tahun 1983 menjadi UU Nomor

11 Tahun 1994, kemudian diubah kembali dengan UU Nomor 16 tahun 2000

dan terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 merupakan periodisasi yang

berlangsung sejak dilakukannya Reformasi Perpajakan (Tax Reform) di tahun

1983. Perubahan yang termuat dalam UU No. 28 Tahun 2007 dilakukan dengan

tujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada

Wajib Pajak, meningkatkan kapasitas dan penegakan hukum, serta

mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan

ketentuan material di bidang perpajakan.33

Soemarsaid Moertono dalam Bakhrudin Effendi, yang ditulis kembali

oleh Devano dan Rahayu, mengemukakan bahwa : ”Istilah pajak berasal dari

bahasa Jawa, yaitu ”ajeg” yang berarti pungutan teratur pada waktu tertentu.

32
Jonaedi Effendy, 2016, Kamus Istilah Hukum Populer, Jakarta, Kencana, hlm. 298
33
Heillen M. Y. Tita, 2013, Fungsi Surat Pemberitahuan dalam Penerapan Self Assessment
System pada Pemungutan Pajak Penghasilan di Provinsi Maluku, Tesis, Yogyakarta, Universitas
Gadjah Mada, hlm. 2
23

Pa-ajeg berarti pungutan teratur terhadap hasil bumi sebesar 40% dari yang

dihasilkan petani untuk diserahkan kepada Raja dan Pengurus Desa. Besar

kecilnya bagian yang diserahkan tersebut hanyalah berdasarkan adat kebiasaan

semata yang berkembang pada saat itu.” 34 Pemungutan pajak seperti ini

dilakukan berdasarkan ketentuan hukum adat.

Rochmat Soemitro35 mengemukakan bahwa : ”Pajak adalah gejala

masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak

ada masyarakat maka tidak akan ada pajak.” Selanjutnya Soemitro

mengemukakan pula bahwa : ”Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara

(peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah) berdasarkan

undang-undang (dapat dipaksa) dengan tidak mendapat jasa timbal (tegen

prestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk pembiayaan

pengeluaran umum (publiekeuitegeaven)”36

P. J. A. Adriani37 dalam bukunya Het Belastingrecht, memberikan

definisi bahwa : "Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan)

yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan

dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan

yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum

berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan".


34
Sony Devano – Siti Kurnia Rahayu, 2006, Perpajakan, Konsep Teori dan Isu, Jakarta,
Kencana, hlm. 21
35
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung, Eresco, hlm. 1
36
Rochmat Soemitro, 1977, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944,
Bandung-Jakarta, Eresco, hlm. 8
37
P. J. A. Adriani, 2012, Pengantar Hukum Pajak,, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 23
24

Sementara itu Smeeths, mendefinisikan bahwa :38 "Pajak adalah prestasi

pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat

dipaksakan, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal

individual, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah". Soeparman

Soemahamidjaja39 didalam disertasinya yang berjudul Pajak Berlandaskan

Asas Gotong Royong, mendefinisikan pajak sebagai : "Iuran wajib, berupa

uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma

hukum, guna menutup biaya produksi dari barang-barang dan jasa-jasa kolektif

dalam mencapai kesejahteraan umum".

Definisi tentang pajak yang juga telah disebutkan dengan jelas dalam

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam beberapa literatur, beberapa ahli ukum

Pajak juga memberikan definisi tentang pajak. Pajak oleh beberapa ahli Hukum

Pajak, dalam definisinya, memang memiliki kesamaan. Dari beberpa definisi

yang telah disebutkan di atas, maka pajak secara umum diartikan sebagai iuran

Negara yang wajib dibayar oleh warga Negara selaku penanggungnya, yang

dapat dipaksakan dengan menggunakan undang-undang atau peraturan

perundang-undangan tentang perpajakan, untuk pembayarannya tidak mendapat

prestasi kembali secara langsung, yang dikembalikan kepada warga Negara atau

masyarakat melalui kas Negara. Kata ‘”iuran” ini kemudia dalam UU KUP

38
Ibid, hlm. 23
39
Ibid, hlm. 24
25

Pasal 1 ayat (1) diistilahkan dengan “kontribusi”, sehingga lebih bermakna

positif dalam pengertian bahwa membayar pajak sebagai kewajiban warga

Negara terhadap Negara.

Kontribusi Wajib warga Negara dalam konteks ini atinya adalah setiap

Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Dalam UU KUP

dijelaskan bahwa walaupun pajak merupakan kontribusi seluruh warga Negara,

namun Wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif-lah

yang dikenakan kewajiban perpajakan.40

Dari definisi tentang pajak yang dikemukakan di atas, maka dapat

disimpulkan bawha terdapat 5 (lima) unsur pokok dalam definisi pajak, yaitu : 41

a. Iuran/pungutan;

b. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang;

c. Tidak menerima kontra prestasi;

d. Untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah.

2. Fungsi Pajak

Secara universal telah dijelaskan bahwa pajak merupakan income

terbesar bagi suatu Negara, untuk menunjang pembiayaan pengeluaran-

pengeluaran umum yang dilakukan oleh Negara, dengan tujuan unutk

mewujudkan kesejahtaraan rakyat. Dalam penerapannya, fungsi pajak dibagi

atas dua, yaitu : fungsi budgetair dan fungsi regulerent. Dilihat dari fungsi

40
Astrid Budiarto, 2016, Pedoman Prkatis Membayar Pajak, Yogyakarta, Genesis Learning,
hlm. 3
41
Adrian Sutedi, 2016, Hukum Pajak, Jakata, Sinar Grafika, hlm. 3
26

penting pajak tersebut, memang benar pernyataan yang dikemukakan oleh

Soemitro bahwa pajak merupakan roh Negara. Dengan demikian, Negara tanpa

didukung dengan adanya pembayaran pajak pada hakikatnya adalah mati.

Untuk menyukseskan program pemerintah melalui APBN yang sebagian

besar, lebih dari 80% berasal dari pajak, dituntut kerja keras seluruh jajaran

aparatur pajak untuk menyingsingkan lengan dan mulai memacu segenap

tenaga dan pikiran. Salah satu cara paling jitu adalah dengan melakukan

pemeriksaan sekaligus penyidikan sesuai ketentuan Pasal 29 jo Pasal 44

UUKUP. Begitu kuat dan hebatnya peranan pajak, sampai memberikan

kewenangan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) pajak untuk melakukan

penyidikan dibidang perpajakan.42

Dalam teori Negara, bahwa Negara melakukan fungsinya untuk


melayani kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi. Maka
kepentingan umum didahulukan atas kepentingan pribadi serta
golongan. dengan luasnya medan tanggung jawab negara membuat
ketentuan yang akan dijadikan pijakan untuk mengimbangi kepentingan-
kepentingan sosial kemanusiaan dan untuk memenuhinya, Negara
membuat ketentuan untuk mewajibkan warga Negara atas dasar
kedaulatan menanggung pembiayaan itu sesuai dengan kemampuan
Negara.

Fungsi budgetair disebut juga fungsi anggara, sedangkan fungsi

regulerent, disebut fungsi mengatur. Fungsi budgetair atau fungsi anggaran

pajak disebut juga fungsi utama atau fungsi fiscal (fiscal function), mengingat

pajak berfungsi sebagai alat untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya bagi

kas Negara berdasakan undang-undang perpajakan yang berlaku untuk


42
Richard Burton, Op., Cit, hlm. 129
27

membiayai pengeluaran rutin maupun pembangunan negara. Artinya pajak

berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai

pengeluaran-pengeluarannya.43 Contohnya hasil pemungutan pajak digunakan

untuk membiayai pembangunan jalan umum, jembatan, Rumah Sakit

Pemerintah dan lain-lain.

Fungsi regulerent yaitu fungsi pajak yang oleh pemerintah digunakan

sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam

bidang sosial dan ekonomi dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar

bidang keuangan. “Artinya, pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau

melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.” 44

Jika pemerintah mempunyai sasaran yaitu untuk meningkatkan dan

mendorong perkembangan koperasi di Indonesia, maka pajak juga dapat

dipergunakan sebagai alat untuk mencapai sasaran tersebut yaitu dengan cara

membebaskan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha yang diperoleh anggota

koperasi, sehubungan dengan transaksi yang dilakukan. Contoh yang

membuktikan fungsi regulerent pajak ada dua, yaitu pertama : Pajak yang

tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi

minuman keras; kedua : Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang

mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.

43
Mardiasmo, 2016, Perpajakan,Yogyakarta, ANDI, hlm. 4
44
Ibid
28

Dalam praktik bernegara, kedua fungsi pajak tersebut tidak mutlak

diterapkan secara bersamaan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan

makmur sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat, Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan kedua

pungsi ini dalam Negara, bergantung pada kemauan politik pemerintah yang

berkuasa saat itu. Dalam pengertian bahwa kehendak politik pemerintah untuk

menekan tidak terjadi kejahatan dalam masyarakat. Sementara dalam praktik

penyelenggaraan Negara, kedua fungsi tersebut diterapkan secara bersamaan

untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanat Aliena

keempat tersebut.45 Dengan demikian benar yang dikatakan oleh Rochmat

Soemitro bahwa pajak merupakan roh dari suatu Negara. Itu berarti bahwa

pajak harus tetap hidup dalam Negara sehingga dapat memberikan kehidupan

bagi Negara itu sendiri.

Dari definisi di atas, terlihat bahwa pajak harus berdasarkan undang-

undang, yang disusun dan dibahas bersama antara pemerintah dan DPR,

sehingga pajak merupakan ketentuan berdasarkan kehendak rakyat bukan

kehendak penguasa semata. Pembayar pajak tidak akan mendapat imbalan

langsung. Manfaat dari pajak akan dirasakan oleh seluruh masyarakat baik yang

membayar pajak maupun tidak membayar pajak. Tanpa pajak, suatu Negara

tidak dapat melakukan pembiayaan bagi pembangunan dan kepentingan umum

45
Muhammad Djafar Saidi, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta, Rajawali Persada,
hlm.33
29

lainnya. Negara akan terus berproses dan terlihat tetap hidup jika ada sumber

dana (salah satu sumber adalah pajak) untuk membiayai setiap kebutuhannya.

Artinya tanpa adanya pajak, tandanya bahwa Negara itu sudah mati.

Pajak memiliki sifat memaksa, yang dalam konteks perpajakan apabila

kewajiban perpajakan tidak terpenuhi dengan baik oleh Wajib Pajak yang telah

memenuhi syarat subjektif dan objektif. Wajib Pajak yang tidak melakukan

kewajiban perpajakan dengan baik dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan

perundang-undangan.

3. Jenis Pajak

Pajak di Indonesia meliputi beberapa jenis dan umumnya bisa dibedakan

berdasarkan pihak pemungut tau pengelolanya, juga bisa dibagi berdasarkan

pada karakter subjek pajak, objek pajak, cara pemungutan dan sebagainya. 46

Jenis pajak dapat dilihat dari lembaga yang melakukan pemungutan,

berdasarkanpajako pembayar pajak, berdasarkan objek pengenaan pajak.

Berdasarkan Lembaga pemungutnya, pajak dikategorikan dalam jenis

Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat merupakan pajak yang

pengelolaanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Lebih spesifik lagi, pajak pusat

mayoritas dikelola oleh Dirjen Pajak - Kementerian Keuangan. Dalam

pelaksanaannya, Pajak Pusat terdiri dari :47

46
Astrid Budiarto, Op., Cit., hlm. 6
47
Ibid, hlm. 7- 9
30

a. Pajak penghasilan (PPh), merupakan pajak yang dikenakan pada


badan atau orang pribadi atas penghasilan yang diperoleh pada satu
tahun pajak.
Menurut UU PPh setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapu.
Suatu tambahan ekonomis tersebut dapat berupa keuntungan usaha,
gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Penghasilan tersebut bisa berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia.
b. Pajak Pertambhan Nilai (PPN), atau yang biasa dikenal sebagai
PPN merupakan pajak yang dikenakan terhadap konsumsi barang
kena pajak maupun jasa kena pajak pada daerah wilayah Indonesia
(daerah pabean). Perusahan, orang pribadi ataupun pemerintah yang
mengonsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak akan dikenai
PPN. Pada dasarnya, tiap barang atau jasa kena pajak ataupun jasa
kena pajak kecuali undang-undang PPN menentukan lain.
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Beberapa barang
yang diklasifikasi sebagai barang mewah dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah. Selain PPnBM, barang-barang
tersebut juga dikenakan PPN atas konsumsi Barang Kena Pajak.
d. Bea Meterai, adalah pajak yang harus dibayar untuk pemanfaatan
dokumen. Dokumen-dokumen yang dimaksud misalnya surat
perjanjian, akta notaries, kuitansi pembayaran, atau surat berharga
yang memuat jumlah uang atau nominal dalam jumlah besar.

Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah


Daerah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Semua
administrasi yang berhubungan dengan pajak daerah dilakukan di
Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau
kantor sejenis yang dipayungi oleh pemerintah Daerah Setepat.
Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi
maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :
1) Pajak Provinsi :

a) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB);


b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB);
c) Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor;
d) Pajak Air Permukaan;
e) Pajak Rokok.

2) Pajak Kabupaten Kota :


31

a) Pajak Hotel;
b) Pajak Restoran;
c) Pajak Hiburan;
d) Pajak Reklame;
e) Pajak Penerangan Jalan;
f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Bartuan;
g) Pajak Parkir;
h) Pajak Air;
i) Pajak Sarang Burung Walet;
j) Pajak Bumi dan Bangunan sector Pedesaan dan Perkotaan (PBB
P2)
k) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
Berdasarkan Pembayarnya, pajak dapat dibagi menjadi 2 (dua)

kategori, yaitu : Pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung

adalah pajak yang ditanggung oleh wajib pajak sendiri, tidak dilimpahkan

atau dikuasakan kepada orang alain. Cntohnya PPh, PBB, Pajak Deviden,

Pajak Bunga Deposito, PKB, BBNKB. Sedangkan Pajak Tidak langsung

adalah pajak yang pembayarannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain.

Pihak lain disini adalah pihak yang menanggung beban pajak pihak yang

bertanggung jawab menghitung, membayar dan melaporkan pajak terutang

pada pihak yang berbeda. Contohnya pajak Penualan, PPN, Cukai, Pita

Rokok, Pajak Tontonan, Bea Meterai, Bea Masuk (Impor), dan Pajak

Ekspor.

Berdasarkan objek pengenaannya, pajak terbagi atas pajak subjektif

dan apajak objektif. Pajak subjektif merupakan pajak yang didasarkan atas

(orangnya), keadaan atau kondisi pajak bisa mempengaruhi jumlah

terutang pajak yang harus dibayar, seperti misalnya PPH. Sedangkan pajak
32

objektif adalah pajak yang pungutannya didasarkan pada objeknya.

Contohnya bea masuk, bea meterai, PKB, PBB, Pajak Impor dan

sebagainya.

B. Pidana dan Pemidanaan

Membahas tentang Pidana ada beberapa definisi yang memberi

pengertian tentang kata itu. Pidana adalah hukum Publik yang mengancam

perbuatan yang melanggar hukum dengan pidana atau hukuman. 48 Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pidana adalah kejahatan (tentang

pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya); Kriminal, perkara

kejahatan.49 Yan Pramadya Puspa,50 mendefinisikan kata pidana sebagai

hukuman. Demikian juga dengan Sudarsono51 yang mendefinisikan pidana

sebagai hukuman.

Sebagai Negara hukum, seluruh masyarakat Indonesia memiliki

kesetaraan dalam hukum dan wajib menjunjung hukum itu sesuai dengan amanat

yang tersurat dalam Konstitusi Negara kita, Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yang dalam tulisan ini selanjutnya disingkat

dengan UUD NRI Tahun 1945. Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa : “Segala

48
M. Soesilo, 2009, Kamus Hukum, disusun oleh M. Marwa dan Jimmy P, tt, Gama Press,
hlm.510
49
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, hlm. 871
50
Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum, Semarang, Aneka Ilmu, hlm. 672
51
Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 361
33

warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan

wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan

istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum

sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefinisikan

sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada

seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum pidana secara khusus

larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).52

Hukum Pidana memuat tentang aturan-aturan hukum yang mengingatkan


kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu pada suatu
suatu akibat berupa pidana. Sejalan dengan hal itu, setiap KUHP memuat
dua hal pokok. Pertama, memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan
orang yang diancam pidana, artinya memuat syarat-syarat harus dipenuhi
yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi disini seolah-
olah Negara menyatakan kepada umum dan penegakan hukum tentang
perbuatan-perbuatan apa yang dilarang oleh undang-undang pidana dan
siapa saja yang dapat dipidana. Kedua, KUHP menetapkan dan
mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang-orang yang
melakukan perbuatan dilarang itu.53

Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari

hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan

atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Penegakan hukum

berkaitan erat dengan kebijakan hukum pidana (panel policy) sebagai politik

52
Adami Chasawi, Op.Cit. hlm. 24
53
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana Horozon Baru Pasca Reformasi,
Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 5
34

kriminal yang dilakukan oleh pemerintah bersama aparat penegak hukum dalam

rangka mewujudkan keadilan.54 Dalam masyakat, sering dijumpai banyak sekali

orang-orang yang membutuhkan keadilan tetapi tidak sedikit juga yang

melakukan pelanggaran terhadap keadilan itu sendiri.

Salah satu bagian kecil yang diteliti dan diangkat dalam tulisan ini

misalnya, menjadi contoh konkrit praktek ketidakadilan yang dilakukan dalam

masayrakat, yakni masalah yang terjadi dalam rangkaian aktivitas perpajakan.

Ketika peraturan perundang-undangan tentang perpajakan mengatur tentang

batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan SPT, berbagai alasan menjadi

latar belakang hingga akhirnya masyarakat (Wajib Pajak) melanggar ketentuan

itu, dengan melakukan tindakan tidak menyampaiakan atau terlambat

menyampaikan SPT tersebut.

Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum penitensier yang berisi

tentang jenis pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di mana menjalankannya,

begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan

pidana.55 Pemidanaan diartikan sama dengan proses, atau cara atau perbuatan

memidana.56 Pemeriksaan (Acara) tindak pidana ringan, diatur di dalam Pasal

205 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 yang dipaksa dengan tindak pidana

ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling

lama 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak Rp.7.500 (tujuh ribu lima ratus

54
Ibid, hlm. 19
55
Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 23
56
Yan Pramadya Puspa, Op.,Ccit
35

rupiah) dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam perangkat II

bagian ini. Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, yaitu berupa

penderitaan. Perbedaannya dalah penderitaan pada tindakan lebih kecil atau

ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana.

Tindak pidana fiskal merupakan tindak pidana atau perbuatan yang

dilakukan Wajib Pajak yang oleh undang-undang diancam pidana, karena

melawan atau bertentangan dengan hukum, yang dapat merugikan masyarakat


57
dan negara dilakukan dibidang perpajakan (Rochmat Soemitro). Hukum

Pidana fiscal dapat dibagi menjadi tiga kemlompok, yaitu : 58

1. Peraturan Hukum Pidana mengenai pajak Langsung dan Pajak Peredaran

(PPe/PPN);

2. Peraturan Hukum Pidana Mengenai Bea Cukai;

3. Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/Semu/tidak sebenarnya.

Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana

(strfbaar feit) : tindak pidana), di samping bertujuan untuk kepastian hukum dan

dalam rangka membatasi kekuasaan Negara juga bertujuan untuk mencegah

(preventif) bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana. Tentang

pidana diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke-2, Pasal 10 sampai Pasal 43

57
Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati, Op. Cit., hlm. 2
58
Adrian Sutedi, hlm. Op., Cit. 223
36

yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa

peraturan, yaitu : 59

1. Reglemen Penjara (Stb 1917 No. 708) yang telah diubah dengan LN 1948 No.

77

2. Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Stb 1917 No. 749);

3. Reglemen Pendidikan Paksaan (Stb 1917 No. 741)

4. UU No. 20 Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan.

Penegakan hukum pidana menghendaki sangsi hukum, yaitu sangsi yang

terdiri atas derita khusus yang dipaksakan kepada si Bersalah. Derita kehilangan

nyawa (hukuman mati), derita kehilangah kebebasan (hukuman penjara dan

kurungan), derita kehilangan sebagian kekayaan (hukuman denda dan

perampasan), dan derita kehilangan kehormatan (pengumuman keputusan

hakim).60 Sanksi sebagai alat penegak hukum bisa juga terdiri atas kebatalan

perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum. Baik batal demi hukum (van

rechtwege) maupun batal setelah ini dinyatakan oleh hakim.61

Proses penegakan hukum baru dapat berlangsung setelah berakhirnya

proses pembuatan hukum. Tahap pembuatannya hukum masih harus disusul oleh

pelaksanaannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Inilah

59
Adami Chasawi, Op, Cit. hlm. 25
60
Ibid
61
Ibid
37

yang dimaksud dengan penegakan hkum.62 Dalam bahasa Indonesia dikenal

beberapa istilah di luar penegakan hukum tersebut, seperti “Penerapan Hukum”.

Tetapi tampaknya istilah penegakan hukum adalah yang paling sering digunakan

dan dengan demikain pada waktu-waktu mendatang istilah tersebut akan makin

mapan atau merupakan istilah yang dijadikan (coined).63

Sehubungan dengan pemidanaan atau cara memidana, perlu dipahami

tujuan dari penegakan hukum pidana terhadap Wajib Pajak yang malakukan

pelanggaran perpajakan. Penegakan hukum pidana dalam bidang pajak bertujuan

agar ketentuan hukum di bidang pajak dapat dijalankan sebagaimana mestinya

sehingga dapat mewujudkan keadialan, kepastian dan keseimbangan antara para

pihak yang terlibat didalamnya.

C. Sanksi Hukum dalam Bidang Perpajakan

Pemberian sanksi atau hukuman mempunyai empat latar belakang

filsafat, yaitu retribution, deterrence, incapatitation, rahabilitation. Retribution

sebagai falsafah tertua dengan semboyan an aye for an aye, yang berbasis balas

dendam; narapidan harus membayar utang mereka kepada masyarakat melalui

hukuman yang sesuai dengan kejahatannya. Deterrence yang bertujuan bahwa

pemberian hukuman berfungsi untuk menghalangi mereka yang berniat untuk

melakukan kejahatan (general deterrence) dan meyakinkan narapidana untuk

tidak berbuat perbuatan pidana lainnya (specific deterrence). Incapatitation,

62
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 181
63
Ibid
38

pemberian hukuman melalui penahanan atau membuat narapidana tidak berdaya,

bermaksud supaya narapidana diasingkan dari masyarakat sehingga mereka tidak

lagi merupakan ancaman atau bahaya bagi yang lainnya. Rahabilitation, berupa

mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam masyarakat melalui program

koreksi dan layanan.

Tindakan yang melanggar ketentuan, baik yang dilakukan oleh fiskus

maupun Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, maupun pihak ketiga, apabila

memanuhi kualifikasi tertentu, harus dikenakan sanksi.64 Pelanggaran hukum

pajak dalam penerapannya, diberikan 2 (dua) bentuk sanksi hukum, yaitu sanksi

administrasi dan sanksi pidana. Dalam rangka agar baik masyarakat Wajib Pajak

maupun aparatur perpajakan mematuhi kewajiban-kewajiban, sekaligus sebagai

perwujudan unsur pajak dapat dipaksakan sebagaimana didefinisikan maka

dituangkan ketentuan sanksi perpajakan, termasuk yang berkaitan dengan sanksi

bagi Wajib Pajak (PKP), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah (PPnBM).65

Selanjutnya kita lihat undang-undang pajak membagi sanksi bagi Wajib


Pajak atas dua macam yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Sanksi administrasi terdiri atas sanksi bunga, denda, dan kenaikan.
Sedangkan sanksi pidana terdiri atas pelanggaran dan kejahatan yang
diterapkan bagi Wajib Pajak yang melanggar ketentuan pidana pajak.
Dalam kaitan dengan masalah kealpaan dan kesengajaan sekalipun jelas
disebutkan dalam Paal 38 dan Pasal 39 UU KUP, namun dalam
praktiknya yang paling sering digunakan adalah Pasal 13 UU KUP. Ini
dapat dimengerti karena memang tujuan atau fungsi pajak yang utama

64
Y. Sri Pudyatmoko, 2007, Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Perpajakan,
Jakarta, Salemba Empat, hlm. 25
65
Adrian Sutedi, Op., Cit. hlm. 221
39

bukan untuk menghukum orang tetapi untuk mengumpulkn uang. Dengan


kata lain fungsi pajak lebih dominan pada fungsi anggaran. Apabila
dipandang perlu, Ditjen Pajak akan menerapkan ketentuan Pasal 38 dan
Pasal 39 UU KUP untuk kasus-kasus tertentu.66

Sanksi administrasi berupa denda, bunga kenaikan, serta sanksi pidana

yang meliputi sanksi pidana yang bersifat pelanggaran dan sanksi pidana yang

berupa kejahatan. Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap

pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi

administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak

merugikan Negara. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)

sebulan dikenakan terhadap Wajib Pajak yang membentulkan SPT, dikenakan

surat Ketetapan pajak Kurang Bayar (SKPKB), tudak melunasi utang pajak pada

saat jatub tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT mengurus atau

menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT. Adapun sanksi

administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan

terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan yang akibat

pelanggaran itu Negara dirugikan. Menurut ketentuan UU KUP, sanksi

administrasi adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus

dibayar Wajib Pajak dengan presentasi antara 50% - 100% dari jumlah pajak

yang tidak atau kurangg dibayar. 67

66
Richard Burton, Op. Cit, hlm. 117
67
Ibid hlm. 221-222
40

Persoalan kepastian hukum tersebut di atas juga berkaitan dengan

kepastian hukum pajak dalam konteks penerapan hukum administrasi yang di

atur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf ‘b’ UU KUP. Pasal tersebut juga menegaskan

bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar (SKPKB) apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka

waktu sebagaimana yang ditentukan dan telah ditegur secara tertulis tidak

disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.

Dengan ketentuan tersebut, dominasi pemerintah untuk mencari uang pajak bagi

pembangunan cenderung diutamakan dari pada aspek pidananya.68

Sanksi administrasi diperuntukkan bagi Wajib Pajak yang melakukan

pelanggaran hukum pajak yang bersifat administrasi. Sanksi administrasi tidak

tertuju pada fisik Wajib Pajak, malainkan hanya berupa penambahan jumlah pajak

yang terutang karena ada sanksi adminitrasi yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.

Sanksi adminitrasi terhitung pada saat dikenakan pada Wajib Pajak dengan jangka

waktu tertentu sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang Pajak.69 Jangka

waktu yang dimaksudkan dalam hal ini adalah jangka waktu yang ditentukan

sebagai jaminan kepastian hukum yang tidak boleh dilanggar baik oleh pejabat

pajak maupun Wajib Pajak yang terkena sanksi.

Pasal 1 angka (10) menjelaskan bahwa sanksi administrasi bukanlah pajak

yang terutang melainkan pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa

68
Ibid, 136-137
69
Muhammad Jafar Saidi, Op., Cit., hlm. 265
41

pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian taun pajak menurut undang-undang

perpajakan. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa sangsi administrasi

merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan utang pajak. Artinya ketika Wajib

Pajak melakukan kesalahan di bidang pajak yang berimbas pada penjatuhan sanksi

adminitrasi maka kewajiban Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang tidak atau

kurang bayar ditambah dengan sanksi administras.

Barang siapa karena kealpaannya :70

a. Tidak mengembalikan Surat Pemberitahuan, Objek Pajak kepada Direktorat

Jenderal Pajak;

b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Objke Pajak, tetapi isinya tidak benar atau

tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar,

Sehingga menimbulkan kerugian Negara, dipidana dengan pidana kurungan

selama-lamanua 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali

pajak terutang.

Brang siapa dengan sengaja :71

a. Tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak

kepada Direktorat Jenderal Pajak;

b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Objke Pajak, tetapi isinya tidak benar

atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar,

70
Casavera, Op.Cit., hlm. 243
71
Ibid
42

c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar;

d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;

e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang

diperlukan

Sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana selama-

lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak

yang terutang.

Terhadap bukan Wajib Pajak yang tidak memperlihatkan atau tidak

meminjamkan surat atau dokumen linnya atau tidak menunjukkan data atau tidak

menyampaikan keterangan yang diperlukan, dipidana dengan pidana kurungan

selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000.-

Ancaman pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak

pidana di bidang perpajakan belum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya

menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak

dibayarnya denda.72

72
Ibid
43

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan sebagai Bentuk

Pelanggaran Perpajakan

Pajak, bagi sebagian orang kata ini dapat memunculkan perasaan tidak

nyaman. Sekilas kata tersebut memang terasa menyeramkan, baik untuk kalangan

masyarakat kelas atas maupun kelas bawah. Tak sedikit yang berpikir, apa-apa

kena pajak, dimana-mana kena pajak, siapapun kena pajak. Dalam pemikiran

sebagaian besar orang di Indonesia, pajak memang terasa seperti uang yang

terpaksa harus mereka bayar pada kelompok preman agar tidak terjadi sesuatu

yang buruk. Oleh sebab itu, jika mungkin, mereka lebih suka tidak bayar pajak. 73

Pasal 3 ayat (1) UU KUP 2007 menyebutkan : “Setiap Wajib Pajak Wajib

mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap dan jelas dalam

bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata

uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Derektorat

Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain

yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” Selanjutnya Pasal 3 ayat (3) huruf

‘a’ menyebutkan bahwa batas waktu penyampaian SPT untuk SPT Masa, paling

lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak; Pasal 3 ayat (3) huruf ‘b’

73
Astrid Budiarto, 2016, Pedoman Prkatis Membayar Pajak, Yogyakarta, Genesis Learning,
hlm.1
44

menyebutkan bahwa untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi, paling

lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak dan Pasal 3 ayat (3) huruf ‘c’

menyebutkan bahwa untuk SPT Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan

setelah akhir Tahun Pajak. Selanjutnya dalam Pasal 3 yat (4) menyatakan

bahwa Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT PPh

sebagiaman dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara

menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada

Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan.

Untuk penyampaian SPT yang diatur dengan batas waktu tertentu

berdasarkan UU KUP sebagiaman disebutkan dalam Pasal 3 ayat (3). Meskipun

pada ayat (4)-nya yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan

permohonan untuk perpanjangan waktu penyampaian SPT, bukan jaminan bagi

Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT sesuai dengan batas waktu yang telah

ditentukan, namun kemungkinan untuk Wajib Pajak melakukan kesalahan atau

pelanggaran terhadap penyampaian SPT yang tidak sesuai dengan batas waktu

yang telah ditentukan UU KUP masih tetap ada. Peluang ini dapat terjadi karena

ada faktor yang mempengaruhi hal itu, yang tidak diatur dalam UU KUP, seperti

faktor keterlambatan menyampaikan SPT yang dapat mengerucut pada tindakan

tidak menyampaikan SPT. Berkaitan dengan itu, maka perlu dipahami arti

pentingnya fungsi SPT dalam suatu aktivitas perpajakan yang dilakukan pada

suatu Negara.
45

Fungsi SPT sendiri, bagi Wajib Pajak Penghasilan, yaitu sebagai sarana

untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang

sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau

melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak

atau Bagian Tahun Pajak;

b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;

c. Harta dan kewajiban; dan/atau

d. Pembayaran dan pemotongan atau pemungutan tentang pemotongan atau

pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), fungsi SPT adalah sebagai sarana

untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya

terutang dan untuk melaporkan tentang :

a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan

b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP

dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan

Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk

melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau

dipungut dan disetorkannya.


46

Pentingnya fungsi SPT bagi Wajib Pajak Penghasilan sebagaimana

dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa aktivitas perpajakan yang berlangsung

pada suatu Negara tidak akan berjalan dengan baik, tanpa didukung oleh SPT.

Dan untuk memperoleh SPT, ada prosedur yang harus dilalui oleh setiap Wajib

Pajak, yang diatur dalam UU KUP dengan mekanisme yang berdasar hukum

tetap. Dalam bagian sebelumnya, telah disebutkan bahwa untuk memperoleh

SPT, Wajib Pajak mengambil sendiri formulir SPT. Tempat dan cara

pengambilan SPT telah ditentukan, yaitu di Kantor Pelayanan Pajak (KPP),

Kantor Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Kantor Wilayah DJP,

Kantor Pusat DJP atau dapat diunduh di laman Dirjen Pajak di alamat :

http://www.pajak.go.id atau mencetak, menggandakan dan mengkopi bentuk dan

isi yang sama dengan aslinya. Setelah memperoleh formulir SPT, Wajib Pajak

wajib melakukan pengisian sesuai dengan ketentuan UU KUP. SPT harus

ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan jika ditandatangani oleh orang lain, bukan

Wajib Pajak, maka penyampaian SPT harus disertai dengan lampiran Surat

Kuasa Khusus. Untuk Wajib Pajak Badan, harus ditandatangani oleh pengurus

atau direksi. Hal ini untuk menjaga kemungkinan apabila terjadi pelanggaran

hukum di bidang perpajakan, dokumen-dokumen tersebut akan dipakai sebagai

alat bukti dokumen.

Everybody want to do something the best, merupakan suatu ungkapan dan

harapan hampir setiap orang untuk dapat melakukan sesuatu yang terbaik.
47

Ungkapan ini menjadi sedikit lemah karena menyadari adanya ungkapan lain,

yakni, “Nobody is perfect”. Berdasarkan ungkapan itu, adakalanya seseorang

melakukan sesuatu yang dalam pandangannya sudah selesai (sempurna, baik dan

benar) namun dalam kenyataannya banyak terdapat kelupaan atau kealpaan atau

kelalaian di sana sini.74 Terkait dengan tidak ada seorangpun yang sempurna,

dalam realita pada aktifitas perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, yang

tentunya tidak dapat di lepas pisahkan dari SPT sebagai satu kesatuan dalam

kewajiban perpajakan, di mana bukti ketidaksempurnaan itu dapat terjadi secara

tidak disengaja atau juga dapat disengaja. Menyangkut SPT, ketidaksempurnaan

itu digambarkan dalam bentuk kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh

Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan SPT. Kealpaan atau kesengajaan

merupakan sifat kemanusiaan manusia yang telah melekat pada masing-masing

individu sejak manusia diciptakan.

Pasal 13 ayat (1) huruf ‘b’ UU KUP menyebutkan bahwa apabila SPT

tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya

sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. Pasal 13A UU KUP menegaskan

bahwa bila Wajib Pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau

menyampaiakn SPT tetapi isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau

melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan

kerugian pada pendapatan Negara, tidak dikenai sangksi pidana apabila kealpaan
74
Richard Burton, Op., Cit, hlm. 108
48

tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib

melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi

administrasi berupa kenaikan 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang

kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar (SKPKB). Pasal 13 yang mengedepankan teguran tertulis dengan

Surat Ketetapan pajak (SKP), sementara Pasal 38 dan Pasal 39 yang

mengedepankan kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak

terkait dengan penyampaian SPT, merupakan kontradiktif pasal yang berkaitan

dengan penerapan sanksi pidana bagi si pelaku pelanggaran pajak.

Untuk penyampaian SPT yang diatur dengan batas waktu tertentu

berdasarkan UU KUP sebagiaman disebutkan dalam Pasal 3 ayat (3). Pada ayat

(4) UU KUP yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan

permohonan untuk perpanjangan waktu penyampaian SPT, bukan jaminan bagi

Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT sesuai dengan batas waktu yang telah

ditentukan. Kemungkinan untuk Wajib Pajak melakukan kesalahan atau

pelanggaran terhadap penyampaian SPT yang tidak sesuai dengan batas waktu

yang telah ditentukan dalam UU KUP masih dapat terjadi.

Kedudukan SPT dalam hukum pajak, sama dengan SKP dan SKPT.

Dalam hal penagihan pajak, SPT mempunyai kekuatan hukum sama dengan SKP

dan SKPT, menurut Pasal 18 UU KUP. Dengan kekuatan hukum mengikat dari

SPT, maka kewajiban penyampaian SPT merupakan tanggung jawab yang


49

dijalankan oleh seorang Wajib Pajak khususnya Wajib Pajak Penghasilan (PPh),

sebagai sarana pelaporan pajak yang wajib dilakukan. Seperti telah dekemukakan

dalam bagian umum angka 10 (sepuluh) dan angka 12 (dua belas) UU KUP,

bahwa keterlmbatan penyampaian SPT merupakan suatu pelanggaran yang harus

ditindak oleh pemerintah, dalam hal ini DJP.

Banyak kepentingan hukum dalam masyarakat yang dilindungi oleh

undang-undang, yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan

besar, yaitu :75

1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen);

2. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen);

3. Kepentingan hukum Negara (staatsbelangen).

Seperti apa yang diterangkan dalam Memorie van Teolichting (MvT),

pembedaan dan pengelompokkan tindak pidana menjadi kejahatan (misdrijven)

dan pelanggaran (overtredingen) didasarkan pada pemikiran bahwa :76

1) Pada kenyataannya dalam masyarakat ada sejumlah perbuatan-perbuatan yang

pada dasarnya sudah mengandung sifat terlarang (melawan hukum), yang

karenanya pada perbuatannya patut dijatuhi pidana walaupun kadang-kadang

perbuatan seperti itu tidak dinyatakan dalam UU.

75
Ibid
76
Adami Chasawi, 2005, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Jakarta, Rajawali Perss, hlm. 1
50

2) Di samping itu ada perbuatan-perbuatan yang baru mempunyai sifat terlarang

dan kepada perbuatannya diancam dengan pidana setelah perbuatan itu

dinyatakan dalam undang-undang.

Pemikiran yang demikain tergambar dan istilah rechtsdelicten untuk


kejahatan sebagaimana yang dimaksudkan pertama, dan wetsdelicten
untuk menyebut pelanggaran sebagaimana yang pada kenyataannya
kejahatan berupa tindak pidana yang lebih berat daripada pelanggaran.
Teranglah bahwa bagi kejahatan pada dasarnya sifat terlarangnya atau
tercelanya perbuatan itu adalah terletak pada masyarakat, sedangkan bagi
pelanggaran karena dimuatnya dalam undang-undang. 77

Dalam beberapa literatur, dan sebagaimana diatur dalam UU KUP Pasal

38, disebutkan bahwa setiap orang yang karena kealpaanya :

a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau


b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkap, atau melapirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dan
perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang pertama kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling banyak 1
(satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar paling
banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
bayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling
lama 1 (satu) tahun.

Selanjutnya Pasal 39 ayat (1) UU KUP menyebutkan bahwa setiap orang


yang dengan sengaja :

a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak


atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib
Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. Tidak menyampaikan Surat pemberitahuan;
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap;
77
Ibid, hlm. 2
51

e. Menolak untuk dilakuakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 29;
f. Memperlihatkan pembukauan pencatatan, atau dokumen lain yang
palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan
keadaan yang sebenarnya;
g. Tidak menyelanggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia,
tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau
dokumen lain;
h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil
pengelolaan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i. Tidak menyetorkan pajak yang tidak di potong atau dipungut sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Baik Pasal 38 ayat (1) huruf ‘a’ yang menyebutkan tindakan “tidak

menyampaikan SPT” sebagai bentuk kealpaan, maupun Pasal 39 ayat (1) huruf

‘c’ yang menyebutkan tindakan ”tidak menyampaikan SPT” sebagai unsur

kesengajaan, merupakan bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Dikatakan demikian karena kealpaan maupun kesengajaan sangat berpengaruh

pada kewajiban perpajakan yang dilakukan, sehingga dengan demikian, dalam

keadaan ini, Wajib Pajak telah menimbulkan kerugian pada Negara. Di satu sisi,

tindakan alpa atau sengaja terlambat dalam menyampaikan SPT, berarti Wajib

Pajak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Sementara di sisi lain, hal terkait dengan keterlambatan

menyampaikan SPT yang disebutkan dalam bagian umum UU KUP Angka 10

(sepuluh), yaitu untuk Wajib Pajak orang pribadi dan Angka 12 (dua belas) untuk
52

Wajib Pajak Badan, meskipun tidak banyak dibicarakan dalam berbagai literatur

tentang pajak atau perpajakan, namun dari sisi tertib administrasi, hal ini dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukan oleh

Wajib Pajak, dan oleh karena itu dapat menyebabkan kerugian bagi Negara,

sehingga terhadap pelakunya harus diberikan sanksi, termasuk sanksi Pidana.

Pasal 39 ayat (2) yang menyebutkan bahwa : pidana sebagaimana

dimaksud ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana

apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum

lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang

dijatuhkan. Pasal ini semakin memberi ketegasan bagi Wajib Pajak yang

terlambat menyampaikan SPT dikategorikan sebagai suatu pelanggaran di bidang

pajak. Dikatakan demikian karena dalam praktek perpajakan, keterlambatan

dalam penyampaian SPT baik dilakukan karena unsur kealpaan atau kesengajaan,

namun yang pasti, hal ini dapat saja dilakukan berulang-ulang oleh Wajib Pajak.

Tentang kelupaan, kealpaan dan kelalaian yang dilakukan, merupakan

sesuatu yang tidak hanya terjadi secara spontan (alamiah) tetapi juga dapat terjadi

karena sengaja dilakukan. Kesengajaan biasanya dilakukan untuk

menguntungkan pihak yang melakukannya. Itu berarti sudah tersirat itikad buruk

dari yang melakukan kesengajaan itu. Hukum memandang bahwa kelalaian atau

bahkan kesengajaan yang dilakukan seseorang, selama akibat yang


53

ditimbulkannya merugikan pihak lain, akan dikenakan tindakan/sanksi apakah itu

sanksi pidana atau sanksi administrasi.78

Memang diakui, sulit sekali menentukan bagaimana menjawab masalah

seperti di atas karena diperhadapkan dengan sifat kealpaan dan kesengajaan dari

Wajib Pajak yang perlu ditegaskan maknanya. Dalam penjelasan undang-undang

hanya disebutkan bahwa kualifikasi kealpaan adalah sengaja, lalai, tidak hati-hati

dan tidak memedulikan kewajibannya sehingga perbuatannya mengakibatkan

kerugian pada Negara.79 Sehubungan dengan itu, keterlambatan penyampaian

SPT yang terjadi karena kealpaan dalam pengertian sebagaimana disebutkan di

atas, maka keterlambatan itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atau

kejahatan, mengingat masalah penyampaian SPT itu sendiri dalam

pelaksanaannya, diatur dengan undang-undang. Jadi jika Wajib Pajak terlambat

menyampaikan SPT, atau SPT tidak disampaiakan tepat pada waktu yang telah

ditentukan, berati tindakan Wajib Pajak tersebut merupakan pelanggaran di

bidang perpajakan.

Dilihat dari pelaksanaannya, pajak memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi

budgetair (anggaran) dan fungsi regulerent (mengatur), di mana fungsi anggaran

yaitu sebagai alat untuk memasukkan uang secara optimal ke kas Negara dan

fungsi mengatur, yaitu sebagai alat untuk mengatur perekonomian negara. Selain

itu, pajak yang didefinisikan sebagai kontribusi wajib dari rakyat (Wajib Pajak)

78
Ibid
79
Richard Burton, Op., Cit, hlm. 116
54

ke kas Negara, dengan tidak mendapat kontra prestasi langsung dan tujuannya

untuk membiayai kepentingan umum, sebagaiana dikemukakan oleh para pakar

hukum pajak, memang merupakan sumber vital pendapatan Negara. Jadi

penyampaian SPT sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pemungutan

pajak, wajib diperhatikan oleh setiap Wajib Pajak. Masalah keterlambatan

menyampaikan SPT yang dilakukan baik itu disengaja atau tidak disengaja oleh

Wajib Pajak, merupakan suatu bentuk perbuatan melawan hukum atau

pelanggaran hukum di bidang perpajakan, dan oleh karena itu, Wajib Pajak yang

terlambat menyampaikan SPT harus diberikan sanksi hukum.

Selama berpuluh tahun, maka perbuatan melawan hukum itu selalu

ditafsirkan sebagai perbuatan yang bertntangan dengan undang-undang tertentu.

Tanpa adanya undang-undang yang dilanggar, tidak ada perbuatan melawan

hukum.80 Namun dalam masalah ini, ketika Wajib Pajak terlambat

menyampaikan SPT berarti perbuatan itu sudah melawan hukum.

Selain itu, persoalan pidana pajak lainnya yang menjadi kontradiktif atau

dilema dalam penerapannya yaitu adanya ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf ‘b’

dan huruf ‘c’ UU KUP mengenai kewajiban tidak disampaikannya SPT atau

disampaikan tetapi isinya tidak benar yang dapat menimbulkan kerugian pada

Negara, dapat dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda 4 (empat)

80
KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, 2010, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana
korupsi, Surabaya, Indonesia, Lawyer Club (ILC)., hlm. 59
55

kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 81 Saat ini secara

keseluruhan, kurang lebih 30% pemilik NPWP yang telah menyampaikan SPT.

Akan tetapi dari jumlah tersebut, tidak dapat dipastikan bahwa isi dari SPT yang

telah disampaiakan itu sudah benar atau tidak. Satu hal yang pasti, bahwa jika

Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban menyampaikan SPT, atau terlambat

menyampaikan SPT atau juga mengisi SPT tidak benar, maka pelakunya

terancam dipenjara, karena tindakan tersebut sudah tergolong sebagai tindak

pidana di bidang perpajakan.

B. Ancaman Sanksi Pidana terhadap Keterlambatan Menyampaikan SPT

Sanksi di bidang pajak ada dua macam, yaitu sanksi administrasi dan

sanksi pidana. Sanksi Administrasi sendiri dalam penerapannya ada 3 (tiga)

macam, yaitu denda administrasi, bunga dan kenaikan pajak. Denda administrasi

adalah suatu besaran nominal (bervariasi) yang ditentukan bagi Wajib Pajak yang

melakukan pelanggaran pajak, di mana nilai nominal dimaksud disesuaikan

dengan tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban formalnya

pada saat menyampaiakan SPT, seperti :82 adanya kekeliruan dalam penyampaian

SPT; adanya kelalaian pengisian faktur pajak; dan adanya keterlambatan

pembayaran pajak terutang.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga

atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

81
Richard Burton, Op., Cit, hlm. 136
82
Bambang Waluyo, 1984, Tindak Pidana Perpajakan, Jakarta, Salemba Empat, hlm. 84
56

Tatacara Perpajakan (UU KUP), Pasal 1 ayat (1), pajak didefinisikan sebagai

kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan

yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan

imbalan secara lagsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia (UUD NRI Tahun 1945), pada Pasal 23A menyebutkan bahwa “pajak

dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan

undang-undang.”

Makna kata kontribusi dalam UU KUP yang lebih bersifat positif, yakni

mengisyaratkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi bersama Negara

dalam membiayai pengeluaran umum Negara yang hasilnya juga akan dinikmati

oleh seluruh masyrakat. Amanat Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 memberikan

kewenangan secara atributif bagi undang-undang untuk mengatur secara hukum

hak-hak negara menyangkut pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa.

Dengan mekanisme yang diatur dengan undang-undang, maka dalam

menjalankan kewajibannya, masyrakat akan merasa bahwa membayar pajak

sebagai ‘kontribusi’ rakyat untuk Negara.

Surat Pemberitahuan (SPT) menurut Pasal 1 angka 10 Undang-undang

tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP) menyebutkan

bahwa : “Pengertian Surat Pemberitahuan atau yang disingkat dengan SPT

adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan

dan atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak dan/atau
57

harta dan kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.”83 Pengertian SPT menurut Soemitro84 adalah : “Dalam hukum

pajak, terdapat suatu sarana hukum yang menghubungkan antara Wajib Pajak

dengan pejabat pajak dalam rangka penegakkan Hukum Pajak. Sarana hukum

tersebut adalah Surat Pemberitahuan yang disediakan oleh pejabat pajak untuk

digunakan bagi Wajib Pajak melaporkan jumlah pajak yang terutang.”

Menurut Soemitro85 : “Surat Pemberitahuan merupakan sarana yang

penting untuk menetapkan besarnya utang pajak dengan seksama. Karena Wajib

Pajak yang bersangkutan yang merupakan orang yang tahu data-datanya maka

daripadanya diharapkan bantuan/kerjasama dengan memasukkan Surat

Pemberitahuan (SPT).” Selain itu perlu dipahami bahwa SPT hanya digunakan

pada satu jenis pajak saja, yaitu PPh. Dikemukakan oleh Saidi86 bahwa : “Surat

Pemberitahuan hanya dikenal dalam Pajak Penghasilan yang terdiri dari Surat

Pemberitahaun Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Surat Pemberitahuan

Tahunan Wajib Pajak Badan.”

Dalam perpajakan, ada dua jenis SPT, yaitu SPT Tahunan dan SPT Masa.

SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk satu tahun pajak atau bagian

tahun pajak. Surat ini oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan

83
Muhammad Rusjdi, 2007, Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, Jakarta, P.T.
Indeks, hlm. 6-09
84
Rochmat Soemitro, 1990, Asas-asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung, Refika Aditama,
hlm. 66
85
Rochmat Soemitro, 1992, Op., Cit. hlm. 42
86
Muhammad Jafar Saidi, Op., Cit, hlm. 131
58

penghitungan pajak terutang dalam satu tahun pajak.87 SPT Masa adalah Surat

Pemberitahuan untuk satu masa pajak. Surat ini oleh Wajib Pajak digunakan

untuk melaporkan penghitungan atau pembayaran pajak yang terutang dalam

suatu masa pajak pada suatu saat.88 Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun

kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama

dengan tahun kalender. Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1

Tahun pajak. Sedangkan Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar

bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang

terutang dalam suatu jangka waktu tertentu. Masa Pajak sama dengan 1 bulan

kalender atau jangka waktu lain yang ditentukan dengan Peraturan Menteri

Keuangan paling lama 3 bulan kalender.89

Sehubungan dengan pembedaan jenis SPT, Mardiasmo90 mengemukakan

bahwa : “Secara garis besar, SPT dibedakan menjadi dua, yaitu SPT Masa,

adalah Surat Pemberitahuan untu satu masa pajak dan SPT Tahunan adalah Surat

Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. SPT meliputi

SPT Tahunan Pajak Penghasilan dan SPT Masa yang terdiri dari SPT Masa Pajak

Penghasilan, SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dan SPT Masa Pajak bagi

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Sedangkan dalam praktek perpajakan, SPT

87
Indra Mahardika Putra, 2017, Perpajakan, Edisi Tax Amnesty, Yogyakarta, Quadrant,
hlm.53
88
Ibid, hlm. 53
89
Casavera, 2009, Perpajakan, Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 7
90
Mardiasmo, Op.,Cit.,hlm. 38-39
59

dapat berbentuk formulir kertas (hardcoppy) atau dapat juga berbentuk dokumen

elektronik.”

SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan

penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek

pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan.91 Sehubungan dengan ini, perlu diketahui

bahwa SPT Masa ini dipakai oleh pemotong atau pemungut pajak untuk

melaporkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan dalam setiap

masa.

SPT dalam praktek perpajakan merupakan kelangkapan administrasi

bagi kewajiban perpajakan yang berlangsung secara nasional di Indonesia. Pada

prosedur penyelesaian SPT, Wajib Pajak mengambil sendiri SPT di tempat yang

telah ditetapkan oleh Dirjen Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara

pengambilannya itu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Cara lain ini

seperti misalnya mengakses situs DJP untuk memperoleh formulir SPT tersebut.

Dalam Pasal 3 ayat (1) UU KUP dikatakan bahwa : ”Setiap Wajib Pajak

wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam

bahasa Indonesia, dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata

uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke Kantor Direktorat

Jendral Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
91
Mardiasmo, Op., Cit, hlm. 15
60

ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” 92 Sehubungan dengan itu, Soemitro93

mengungkapkan bahwa : “SPT merupakan sumber data yang diperlukan oleh

Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan besarnya utang pajak.”

Kedudukan Surat Pemberitahuan (SPT) dalam hukum pajak, sama dengan

Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Ketetapan Pajak Terutang (SKPT).

Dalam hal penagihan pajak, SPT mempunyai kekuatan hukum sama dengan SKP

dan SKPT, menurut Pasal 18 UU KUP. Dengan kekuatan hukum mengikat dari

SPT, maka kewajiban penyampaian SPT merupakan tanggung jawab yang

dijalankan oleh seorang Wajib Pajak khususnya Wajib Pajak Penghasilan (PPh),

sebagai sarana pelaporan pajak yang wajib dilakukan. Seperti telah dekemukakan

dalam bagian umum angka 10 (sepuluh) dan angka 12 (dua belas) UU KUP,

bahwa keterlambatan penyampaian SPT merupakan suatu pelanggaran yang

harus ditindak oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak.

Definisi pajak dan SPT serta uraian tentang peranan SPT dalam

kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak terkait dengan

aktifitas perpajakan yang dilakuakan oleh Wajib Pajak telah memberi gambaran

tentang pentingnya dukungan SPT bagi proses pemungutan pajak di suatu

Negara. Fungsi SPT sebagai sarana pelaporan pajak dan fungsi lain yang

berkaitan dengan dokumen dan surat-surat bahkan sampai pasa penghitungan

92
Rochmat Soemitro, 1990,Op.Cit. hlm. 66
93
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung, Eresco, hlm. 42-43
61

yang mencantumkan nominal pajak yang terutang ke kas Negara, sangat

membantu DJP dalam administrasi perpajakan.

Fungsi SPT sebagai sarana penghubung antara Wajib Pajak dan pejabat

pajak, dalam rangka penegakan hukum pajak, sebagaimana yang dikemukakan

oleh Mardiasmo, menggambarkan bahwa SPT dapat dijadikan sebagai alat bukti

dokumen jika suatu saat terjadi sengketa di bidang perpajakan. Sementara

Soemitro yang menegaskan bahwa SPT menjadi sumber kebenaran data penentu

besar utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak terhadap Negara, karena Wajib

Pajak-lah yang lebih memahami data-datanya sendiri. Itu berarti bahwa SPT turut

menentukan besarnya pemasukan keas Negara melalui sektor pajak.

Pasal 3 ayat (3) huruf ‘a’ menyebutkan bahwa batas waktu penyampaian

SPT untuk SPT Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;

Pasal 3 ayat (3) huruf ‘b’ menyebutkan bahwa untuk SPT Tahunan PPh Wajib

Pajak Orang Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak dan

Pasal 3 ayat (3) huruf ‘c’ menyebutkan bahwa untuk SPT Wajib Pajak Badan,

paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Selanjutnya dalam

Pasal 3 yat (4) menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka

waktu penyampaian SPT PPh sebagiaman dimaksud pada ayat (3) untuk paling

lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis

atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur
62

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.94 Itu berarti tata cara

mengajukan permohonan perpanjangan batas waktu atas keterlambatan

penyampaian SPT diatur dengan mekanisme tersendiri.

Bagi wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT dalam jangka waktu

yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3) atau sebagaimana yang ditentukan

dalam batas waktu perpanjangan penyampaian SPT yang diatur dalam Pasal 3

ayat (4), maka dapat dikenakan sanski berupa denda dan bunga yang diatur

dalam Pasal 7 ayat (1), yaitu : sebesar Rp. 1.000.000.- untuk keterlambatan

penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan dan denda sebesar Rp.

100.000.- untuk keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak

orang pribadi.

Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak membantu Wajib Pajak untuk dapat

melaporkan pajak Penghasilan (PPh) yang masih terutang dikenai sanksi pajak

atas kekurangan pajak yang belum dibayar. Sanksi pajak sebenarnya dapat

dikenakan sejak saat Wajib Pajak melaporkan pajak dengan SPT sebagai sarana

pelaporannya, membayar dan menyetorkan pajak. Sanksi pajak dapat berupa

sanksi denda, sanksi bunga, sanksi administrasi dan sanski pidana. Sanksi denda

juga diberlakukan bagi Wajib Pajak yang alpa menyerahkan SPT atau mengisi

SPT secara tidak benar atau tidak lengkap, yaitu didenda paling sedikit satu kali

jumlah pajak yang terutang kurang atau tidak dibayar, atau pidana kurungan

paling lama satu tahun (KUP Pasal 13A dan Pasal 38).
94
Loc. Cit, hlm.
63

Sanksi bunga dikenakan bagi Wajib Pajak yang telah melaksanakan

kewajiban (melaporkan) perpajakan, tetapi Wajib Pajak belum membayar

pajaknya dengan jumlah yang benar. Dalam hal ini Wajib Pajak, dengan

kemauan sendiri, dapat melakukan koreksi (pembetulan) atas SPT yang telah

disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis kepada Dirjen Pajak

sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.95 Bila proses pembetulan pajak

tersebut mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, sehingga Wajib Pajak

dikenakan sanksi 2% per bulan atas kekurangan pajak tersebut dan dihitung sejak

saat penyampaian SPT sampai dengan tanggal pembayaran.

Sehubungan dengan itu, Dirjen Pajak berhak melakukan pemeriksaan dan

berhak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam

jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, maka Wajib Pajak

harus menanggapi dengan baik SKPKB tersebut. Apabila SPT tidak disampaikan

dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah

ditegur secara tertulis, tetapi Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban itu, maka

Dirjen Pajak menerbitkan SKPKB. Wajib Pajak dikenakan sanksi bunga sebesar

50% bagi PPh yang kurang atau tidak dibayar dalam satu tahun pajak. Bagi

penghasilan yang kurang atau tidak dipotong, kurang atau tidak dipungut, kurang

atau tidak disetor dan dipotong atau dipungut tetapi tidak disetor, Wajib Pajak

dikenakan sanksi bunga sebesar 100%. Apabila Wajib Pajak melakukan tindak

pidana bidang pajak dan Dirjen Pajak menemukan adanya kurang bayar yang
95
Y. B. Sigit Hutomo, Op., Cit, , hlm. 265
64

terjadi lebih dari lima tahun sebelumnya, maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan

SKPKB dengan disertai sanksi 48% dari jumlah pajak yang kurang atau tidak

dibayar tersebut.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU

PPh) memberilakukan sanksi kenaikan tarif pajak bagi Wajib Pajak yang tidak

memiliki NPWP. Sanksi ini bertujuan untuk menertibkan Wajib Pajak dalam

membayar pajak. Sanksi kenaikan tarif pajak ini beragam, yakni tergantung pada

penghasilan. Pada kenyataanya, di Indonesia, banyak Wajib Pajak Penghasilan

yang tidak melakukan kewajibannya untuk membayar pajak dengan baik.

Disamping itu, Wajib Pajak juga tidak tertib administrasi karena tidak memiliki

NPWP dan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, kealpaan dan

kesengajaan untuk melakukan keterlambatan dalam menyampaikan SPT bukan

hal yang baru bagi Wajib Pajak.

Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP yang memperoleh penghasilan

dari pekerjaan atau kegiatan usaha dikenakan kenaikan 4 kali lipat dari tarip

normal (lapisan pertama) menurut UU PPh Pasal 17. Bagi Wajib Pajak tanpa

NPWP yang memperoleh penghasilan modal (berupa bunga, sewa, royalty)

dikenakan kenaikan 100% dari tarip normal. Sementara apabila Dirjen Pajak

menemukan data baru terkait dengan masalah kurang bayar pajak, maka atas

kurang bayar tersebut, Dirjen Pajak menerbitkan SKPKB dengan disertai sanksi

administrasi kenaikan 100% dari kekurangan pajak tersebut (Pasal 5 UU KUP,

2007).
65

Sanksi kenaikan tarif juga dapat dikenakan bagi Wajib Pajak yang telah

mempunyai NPWP dan telah menyerahkan SPT tetapi pajak yang terutang dalam

SPT tersebut tidak benar. Jika Wajib Pajak melakukan koreksi pada waktu Dirjen

Pajak melakukan pemeriksaan tetapi sebelum SKP diterbitkan, maka Wajib

Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri

tentang ketidakbenaran dalam pengisian SPT. Adanya koreksi ini, Wajib Pajak

dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak yag

kurang dibayar.

Dari semua sanksi yang dikenakan bagi Wajib Pajak atas kejahatan atau

pelanggaran yang dilakukan, sanksi yang paling berat adalah sanksi pidana.

Secara umum, sanksi pidana dalam perpajakan diberikan pada Wajib Pajak yang

menyelundupkan atau menghindari pajak (melakukan tindak pidana pajak),

setiap orang dan juga pejabat pajak yang lalai dalam melakukan kewajibannya.

Dengan demikian, sanksi pidana ini diberlakukan secara adil kepada siapapun

yang menghalangi pemenuhan atau pemeriksaan dan penyidikan pajak.

Penerapan sanksi ringan sejenis sanksi administrasi terhadap suatu

pelanggaran, tentu tidak akan mampu memberikan efek jera bagi setiap pelaku

palanggaran. Demikian penerapan sanksi pajak yang pada umumnya lebih

ditekankan pada sanksi Administrasi memang dari segi efektifnya terasa lebih

ringan jika dibandingkan dengan sanksi pidana. Oleh karena itu, untuk melihat

seberapa besarnya nilai efektif sanksi tersebut untuk memberi efek jera bagi setiap

pelaku pelanggaran pajak, khususnya terhadp keterlambatan menyampaikan SPT,


66

memang membutuhkan perhatian yang lebih serius dari pihah-pihak terkait, baik

itu Fiscus maupun Wajib Pajak. Oleh karena itu, uraian yang lebih rinci untuk

menguatkan kedudukan sanksi pidana bagi suatu pelanggaran pajak jenis ini,

diharapkan menjadi pembelajaran sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku

pelanggaran itu sehingga kedepannya tidak melakukan hal yang sama.

Melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan

berarti melakukan kejahatan atau pelanggaran di bidang pajak. Kejahatan yang

berdimensi luas berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan dilakukan oleh orang-

orang tertentu sebagai “public fugure”, sering kali menjadi suatu wacana atau

pembicaraan yang menarik perhatian masayarakat, kapan dan dimanapun berada.

Dampak kejahatan ini tidak hanya diukur dari masalah kerugian ekonomi saja,

tetapi juga menyangkut pada persoalan stabilitas sosial, politik, keamanan dan

pertahanan suatu bangsa dan Negara maju atau berkembang dengan merosotnya

kehidupan ekonomi dan mentalitas moral masayarakat atau bangsa tersebut. 96

Tindak pidana sebagai salah satu sinonim dari istilah strafbaarfeit atau

‘delik’ banyak dipakai dalam perundang-undangan Indonesia, termasuk undang-

undang tentang perpajakan nasional. Mengapa tindak pidana harus sebagai salah

satu sinonim ‘delik’ ? sebab istilah ‘delik’ banyak diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia oleh para ahli, seperti dengan istilah perbuatan pidana ataupun

peristiwa pidana.97 Dalam mengetengahkan perihal tindak pidana perpajakan ini,

96
Ibid, hlm. 63-64
97
Ibid., hlm. 95
67

undang-undang perpajakan nasional membagi tindak pidana yang dilakukan oleh

wajib pajak dalam 2 (dua) jenis, yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak

pidana kejahatan.

Pelanggaran dalam ajaran hukum pidana sering dipadankan sebagai


kejahatan yang ringan, dalam hal ini terlihat ada kesamaan dengan
pelanggaran di bidang perpajakan. Mengapa ? Karena, ancama pidana
bagi pelaku pelanggaran perpajakan lebih ringan bila dibandingkan
dengan pelaku kejahatan. Ancaman pidana yang dapat dikenakan
terhadap Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran kewajiban perpajakan
adalah pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun atau denda sebesar dua
kali jumlah pajak yang terhutang. Bahkan, terhadap Wajib Pajak ini dapat
hanya dikenai sanksi menyangkut tindakan administrasi belaka (Pasal 7
UU KUP). Wajib Pajak dianggap melakukan tindakan pidana
pelanggaran kewajiban perpajakan apabila perbuatan (pelanggaran) itu
dilakukan bukan dengan suatu kesengajaan, melainkan hanya karena
alpha/lalai. Di sini unsur ‘kesalahan’ adalah alpa atau lalai.98

Pasal 38 ayat (1) huruf ‘a’ dan Pasal 39 ayat (1) huruf ‘c’ UU KUP yang

menegasakan bahwa kualifikasi kealpaan adalah tidak sengaja, tidak hati-hati,

dan tidak mempedulikan kewajibannya, sehingga perbuatannya mengakibatkan

kerugian bagi Negara. Berdasarkan amanat pasal-pasal di atas, maka kualifikasi

pelanggaran dalam pajak tentang kata ‘barang siapa’ dalam hal ini adalah :

Jika pelanggaran merupakan kejahatan yang ringan maka kejahatan dapat


dipadankan sebagai pelanggaran yang berat. Disebut pelanggaran berat
karena ancaman pidananya memang jauh lebih berat dibandingkan
dengan pelanggaran. Ancaman pidana untuk pelaku kejahatan ini adalah
pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan atau denda setinggi-
tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang kurang atau
tidak dibayar. Masih ada ketentuan lagi bagi pelaku pengulangan
kejahatan (residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan
belum lewat satu tahun. Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (2) UU KUP dilipatkan dua apabila seseorang melakukan
lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat satu tahun,
98
Ibid., hlm. 96
68

terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara


yang dijatuhkan.99

Perbedaan pokok antara pelaku pelanggaran dengan kejahatan di sini

adalah ada atau tidaknya niat untuk melakukan pelanggaran. Jika secara nyata

mempunyai niat untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakan maka termasuk

kejahatan, lebih-lebih bila dilakukan berkali-kali, maka pelakunya dapat disebut

residivis. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana

di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun sejak selesai menjalani sebagian

atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana lebih berat ialah

dua kali lipat dari ancaman pidana sebelumnya.

Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah

ditentukan atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT, dikenai sanksi

administrasi berupa denda sebesar :100

a. Rp. 500.000.00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa Pajak Pertambahan

Nilai;

b. Rp. 1.000.000.00 (satu juta rupiah) untuk SPT Masa lainnya;

c. Rp. 1.000.000.00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan

Wajib Pajak Badan;

d. Rp. 100.000.00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan

Wajib Pajak orang pribadi.

99
Ibid .,hlm. 97-98
100
Ibid, hlm. 40
69

UU KUP menyebutkan bahwa : “Apabila Surat Pemberitahuan tidak

disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu sebagaimana

dimaksud Pasal 13 ayat (1) huruf ‘b’ dikenakan sanksi berupa denda administrasi

sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, yang

ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Pasal 3 ayat

(1) menyebutkan bahwa penyampaian SPT : untuk Surat Pemberitahuan Masa,

selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak; untuk Suarat

Pemberitahuan Tahunan, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun

Pajak. Sanksi bunga, adalah bentuk sanksi administrasi berupa pembayaran

bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, oleh Wajib Pajak yang pembayaran

pajaknya tidak sesuai dengan ketentuan atau keterlambatan dibayarkan

berdasarkan pengaturan dalam UU KUP.

Rasa keadilan penerapan sanksi pidana pasti menjadi perhatian banyak

pihak. Jika satu orang dikenakan sanksi pidana sementara satu orang hanya

dikenakan sanksi administrasi plus denda, terasa kurang pas. Rasa keadilan

dalam masyarakat (Wajib Pajak) harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah

khususya dalam penerapan sanksi pidana pajak. Dipahami bahwa sedikit agak

sulit menilai rasa keadilan dalam masyarakat. 101

Dalam perspektif Negara hukum, asas nullum dilictum nulla poena sine

praevia lege poenali atau asas legalitas merupakan hal yang tidak dapat

dielakkan, namun secara historis dapat dijelaskan bahwa tumbuh dan


101
Richard Burton, Op., Cit, hlm. 138
70

berkembangnya asas legalitas atau Princile of Legality sebagai asas dasar dalam

hukum pidana pada sebagian besar sistem peradilan pidana muncul pada Abad

Pencerahan atau Zaman Aufklarung, yaitu Abad ke-15 yang didominan oleh

pandangan realisme.102

Berlakunya asas legalitas memberi sifat perlindungan kepada masyarakat,


perundang-undangan pidana menyediakan konsesi melindungi rakyat dari
pelaksanaan keuasaan yang tanpa batas dari pemerintah atau kekuasaan
Negara. Tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang. Ini
merupakan fungsi melindungi dari asas legalitas. Disamping fungsi itu
asas legalitas juga memiliki fungsi instrumental. Seorang pakar hukum
pidana Jerman antara tahun 1775 – 1833, Anselm von Feuerbach,
sehubungan dengan kedua fungsi merupakan asas legalitas secara mantap
dalam bahasa latin : Nullum crimen, nulla poena sine praevia lege
poenali. Prinsip tersebut berarti tidak ada perbuatan pidnana, tidak ada
pidana tanpa kekuatan undang-undang lebih dahulu. Semboyan ini
kemudia populer di dalam KUHP Negara-negara dengan Sistem Eropa
Kontinental atau civil law system yang menganut konsep kodifikasi
hukum pidana.103

Peralihan kekayaan dari sektor swasta (orang pribadi dan/atau badan),

dengan berdasarkan undang-undang sebagai alat paksa, memang bukanlah suatu

hal yang sederhana. Dalam perkembangannya ternyata Wajib Pajak melakukan

tindak pidana yang olehnya harus diberikan sanksi, maka penerapan sanksi yang

dilakukan dengan baik dan benar berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku, merupakan solusi yang pada akhirnya melahirkan rasa

keadilan bagi pelaku pelanggaran dimaksud.

Banyaknya kasus tindak pidana sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh Menteri

Keuangan sesuai amanat Pasal 44B UU KUP untuk merealisasikan penerimaan

102
KPHA. Tjandra Srijaya, Op., Cit, hlm. 69.
103
Ibid
71

Negara. Terkait dengan asas legalitas sebagai wacana penegakan keadilan,

Bambang Poernomo104 mengetengahkan empat sifat dari asas legalitas, yaitu asas

legaitas hukum pidana yang mendasarkan titik berat pada :

a. Perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum

(rechzekerheid en rechtsgelijheid) terhadap penguasa agar tidak sewenang-

wenang.

b. Dasar dan tujuan pemidanaan, agar dengan sanksi pidana itu, hukum pidana

bermanfaan bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui

lebih dalam rumusan peraturan yang memuat tentang perbuatan pidana dan

ancaman pidananya.

c. Dua unsur yang sama pentingnya, yaitu bahwa yang diatur oleh hukum

pidana tidak hanya memuat ketentuan tetang perbuatan pidana saja agar

orang mau menghindarai perbuatan itu, tetapi juga harus diatur mengenai

ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam

menjatuhkan pidana.

d. Perlindungan hukum lebih utama kepada Negara dan masyarakat daripada

kepentingan individu, dengan pokok pikiran tertentu pada “a crime is a

socially dangerous act of commission or ommmission as prescribed in

criminal law”.

104
Bambang Poernomo, disitir oleh KPHA Tjandra Sridjaja Prajonggo, hlm. 75
72

Pada ajaran ini asas legalitas diberikan ciri, bukan perlindungan individu, akan

tetapi kepada Negara dan masyarakat, bukan kejahatan yang ditetapkan oleh

undang-undang saja, tetapi menurut ketentuan hukum berdasarkan ukuran

membahayakan masyarakat. Karena itu tidak mungkin ada perbuatan jahat yang

timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Akan tetapi,

kepastian hukum atas suatu undang-undang seharusnya mencerminkan rasa

keadilan di dalam masyarakat.

Dalam struktur kenegaraan modern, maka penegakan hukum itu

dijalankan oleh komponen eksekutif dan dilaksanakan oleh birokrasi dari

eksekutif tersebut, sehingga sering disebut juga birikrasi penegakan hukum.

Sejak Negara itu mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan dalam

masyarakat, maka memang campur tangan hukum juga makin intensif, seperti

dalam bidang-bidang kesehatan, perumahan, produksi dan pendidikan. Tipe

Negara yang demikian itu dikenal sebagai welfare state. Eksekutif dengan

birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang

tercantum dalam (peraturan) hukum yang menangani bidang-bidang tersebut.105

Wirjono Prodjodikoro (1981) pernah mengemukakan bahwa tujuan dari

hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan. Ditambahkan beliau bahwa

kalaupun ada beberapa sarjana yang berpendapat bahwa tujuan hukum pidana

ialah untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan atau

tujuan untuk mendidik (memperbaiki) orang yang sudah melakukan kejahatan,


105
Satjipto Rahardjo, Op., Cit.
73

tujuan tersebut pada dasarnya hanya tujuan sekunder. Tujuan primernya adalah

tetap untuk memenuhi rasa keadilan. 106

Telah diuraikan sebelumnya bahwa tidak ada perbuatan pidana, tidak ada

pidana tanpa kekuatan undang-undang lebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut di

atas, dapat ditegaskan bahwa tujuan dari asas legalitas, yaitu memperkuat

kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, efektifnya

deterrent function dari sanksi pidana, tercegahnya penyalahgunaan kekuasaan,

dan kokohnya penerapan prinsip rule of law.107

Tata hukum Indonesia, utamanya meletakkan asas legalitas dalam Pasal 1

ayat (1) KUHP. Kemudian dalam pasangannya asas ini mensratkan terikatnya

hakim pada undang-undang. Dalam hal pelanggaran pajak akibat keterlambatan

penyampaian SPT, hal yang ingin dikaji lebih jauh adalah penekanan perbuatan

atau tindak pidana tetapi juga pada sanksi pidananya. Dengan demikian, ancaman

sanksi pidana terhadap pelanggaran tersebut menjadi lebih jelas.

Berbicara tentang komponen system penerapan hukum meliputi tiga


komponen utama, yaitu, komponen hukum yang akan diterapkan,
institusi yang akan menerapkannya, dan personil dari institusi
penyelenggara ini umumnya meliputi lembaga-lembaga administrastif
dan lembaga-lembaga yudisial, seperti polisi, jaksa, hakim dan berbagai
institusi yang berfungsi menyelenggarakan hukum secara administrastif
pada jajaran eksekutif.108 Penerapan hukum hakikatnya adalah
penyelenggaraan pengaturan hubungan hukum setiap kesatuan hukum
dalam suatu masyarakat hukum. Pengaturan ini meliputi aspek

106
Richard Burton, op., Cit, hlm. 138
107
KPHA Tjandra Srijaya Prajonggo, Op., Cit., hlm. 69
108
H. Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung,
Mandar Maju, hlm. 165
74

pencegahan pelanggaran hukum (regulation aspec) dan penyelesaian


sengketa hukum (settlement of dispute)-nya, termasuk pemulihan
kondisi atas kerugian akibat pelanggaran itu (reparation or
compensation).109
Pada bagian A di atas telah diuraikan bahwa undang-undang pajak

menegaskan adanya tindak pidana pajak baik berupa kealpaan maupun

kesengajaan. Menjadi perhatian penting dalam hal ini adalah ayat yang

menegaskan hal tidak disampaikanya SPT atau disampaikan tetapi isinya tidak

benar dan tidak lengkap, memberikan keterangan atau data yang tidak sesuai

dengan keadaan yang sebenarnya, maka perbuatannya diancam sanksi pidana. 110

Dalam Pasal 39 ayat (2) UU KUP tersirat ancaman pidana yang diberikan kepada

Wajib Pajak yang melakukan kembali tindak pidana di bidang perpajakan

sebelum lampau waktu 1 (satu) tahun sejak yang bersangkutan usai menjalani

hukuman pidana penjara sebagian atau seluruhnya dengan sanksi lebih berat,

yaitu 2 (dua) laki lipat dari ancaman pidana yang diatur.

Dalam menerapkan sanksi pidana dengan menggunakan undang-undang

pajak maupun udang-undang korupsi, diharapkan efektifi ancamannya dapat

dicapai. Artinya Ancaman hukuman di bidang perpajakan dapat dicapai dan

Wajib Pajak mau melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar yang pada

akhirnya berpengaruh terhadap peningktan pendapat Negara dari sektor pajak.

Bila Wajib Pajak sudah mengetahui bahwa kaidah hukum pajak bertujuan agar

109
Ibid, hlm. 166
110
Richard Burton, Op., Cit, hlm. 115
75

Wajib Pajak menjadi patuh, maka ancaman hukuman pajak yang dapat diterima

tersebut menjadi lebih baik dalam penerapannya.

Upaya mencantumkan sanksi-sansi yang akan diterima oleh setiap pelaku

pelanggaran pajak (pidana pajak) termasuk pelanggaran yang timbul akibat

keterlambatan penyampaian SPT. Sanksi yang memiliki nilai negatif bertujuan

untuk menekan terjadinya kejahatan atau pelanggaran di bidang perpajakan.

Dengan menerapkan sangsi pidana yang memberikan efek jera bagi pelaku

tindak pidana pajak dalam bentuk keterlambatan penyampaian SPT dibandingkan

sanksi administrasi, maka efektivitas sanksi pidana di bidang perpajakan

diharapkan akan menghasilkan suatu kekuatan tersendiri sebagai penagkal

tindakan-tindakan pidana pajak berikutnya.

Jika sanksi pidana selalu menjadi tujuan, bisa merupakan kerugian bagi

fiskus, karena proses pembuktian unsur kealpaan dan kerugian bagi fiskus cukup

sulit dan memerlukan waktu lama.111 Selain itu, apa yang dijelaskan Pasal 38

hurf ‘a’ dan Pasal 39 huruf ‘c’ terlihat belum jelas betul karena tidak

menyebutkan alasan-alasan dengan tepat. Alasan pertama, jika diterapkan, pihak

Ditjen Pajak harus dapat membuktikan adanya unsur kealpaan dan kesengajaan

yang dilakukan Wajib Pajak ini cukup sulit, karena kita tidak bisa mengetahui isi

hati atau bathin seseorang. Kedua, proses pembuktian perlu waktu lama, karena

turut campurnya hakim dalam proses perkara.112

111
Ibid, hlm. 116
112
Ibid, hlm. 116
76

Sebenarnya tindakan Wajib Pajak yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat

(1) huruf ‘a’ dan Pasal 39 ayat (1) huruf ‘c’ dapat ditindak berdarakan ketentuan

KUHP. Misalnya, Wajib Pajak dengan sengaja menyampaikan keterangan yang

isinya tidak benar (palsu atau dipalsukan). Menurut Pasal 242 KUHP Wajib

Pajak diancam pidana penjara 7 (tujuh) tahun. Sedangkan sanksi pidana Pasal 39

UU KUP hanya diancam paling lama 6 tahun. Untuk kasus yang sama, tampak

undang-undang pajak menerapkan sanksi lebih ringan dibandingkan ketentuan

KUHP. Dalam kaitan dengan masalah kealpaan dan kesengajaan, sekalipun jelas

disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1) huruf ‘a’ dan Pasal 39 yat (1) huruf ‘c’ UU

KUP, namun dalam praktiknya yang paling sering digunakan adalah Pasal 13 UU

KUP.113

Adapun sanksi pidana pajak mencakup : 114

1. Wajib Pajak dengan sengaja tidak menyampaiakan SPT atau


menyampaikan SPT tidak benar atau tidak lengkap dipidana
kurungan paling lama 1 tahun;
2. Setiap orang dengan sengaja tidak melakukan kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU KUP 2007 dipidana paling
singkat 6 bulan kurungan dan paling lama 6 tahun;
3. Pidana sebagaimana diatur pad butir 2 menjadi 2 kali sanksi pidana
bila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan
sebelum satu tahun, terhitung sejak selesai menjalani pidana penjara
yang dijatuhkan;
4. Setiap orang yang melakukan tindak pidana menyalahgunakan
NPWP, atau menyampaikan SPT dengan tidak benar atau tidak
lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dikenakan
pidana paling singkat enam bulan kurungan dan paling lama dua
tahun;

113
Ibid, hlm. 117
114
Y. B. Sigit Hutomo, Op., Cit, hlm. 268
77

5. Pejabat pajak yang alpa tidak melakukan kewajiban merahasiakan


informasi, dikenakan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda
paling banyak Rp. 25 juta;
6. Pejabat pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban
pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UU KUP 2007
dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp. 50
juta.
7. Setiap orang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit
penyelidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana penjara
paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 75 juta;
8. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan
informasi perpajakan yang diperlukan Dirjen Pajak, dipidana
kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 1 milyar;
9. Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya
kewajiban pejabat dan pihak lain, dipidana kurungan 10 bulan dan
denda paling banyak Rp. 800 juta;
10. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan
informasi yang diminta oleh Dirjen Pajak dipidana kurungan paling
lama 10 bulan dan denda paling banyak Rp. 800 juta;
11. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan data dan informasi
perpajakan sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana
kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling tinggi Rp. 500 juta.

Dengan demikian, harapan dan tujuan akhir dari upaya pemerintah untuk

menjalankan fungsi budgetair dan regulered pajak bagi Negara, sekaligus

sebagai proses normalisasi arus perekonomian Negara menjadi terwujud. Hal ini

tentunya didukung dengan efek jera yang turut berpengaruh pula terhadap

tanggung jawab Wajib Pajak sebagai warga Negara yang taat pajak.

Jika ditarik benang merah terhadap ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan yang mengatur tentang sanksi terhadap pelanggaran yang

dilakukan oleh Wajib Pajak untuk keterlambatan menyamaikan SPT sebagai

kesengajaan atau kealpaan yang disinggung dalam Ketentuan Umum UU KUP

angka 10 dan angka 12 maka dapat ditegaskan bahwa terlambat menyampaikan


78

SPT adalah bentuk pelanggaran terhadap ketentuan peraturn perundang-

undangan tentang perpajakan, namun sayangnya dalam UU KUP, tidak diatur

lebih lanjut tentang keterlambatan penyampaian SPT tersebut.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa kealpaan itu adalah lalai,

sengaja, maka apabila sikap ini tidak ditekan dengan sanksi pidan untuk memberi

efek jera bagi pelakunya, berarti kemungkinan pelaku akan mengulangi

perbuatan yang sama, sangat besar. Dalam bukunya, Pudyatmoko115

menyebutkan bahwa agar ketentuan hukum dapat berlaku sebagaimana mestinya,

diperlukan tidak hanya upaya penegakan melainkan juga pencegahan supaya

pelanggaran atau kejahatan tersebut tidak terjadi.

Merujuk pada fungsi pajak yang sangat penting untuk mendukung

kelancaran perputaran roda pemerintahan khususnya dalam rangka membiayai

kebutuhan-kebutuhan umum Negara, maka pencegakan terhadap terjadinya

pelanggaran dan kejahatan dibidang pajak seharusnya dilakukan secara sistematis

dan terpadu dengan harapan agar sistem tersebut menghindarkan terjadinya

kejahatan atau pelanggaran. Upaya penegakan hukum diharapkan dapat

menimbulkan dampak tertentu. Bagi Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran

dengan cara terlambat menyampaikan SPT dan terbukti bersalah, penegakan

hukum pidana diharapkan dapat memberikan dampak jera sehingga yang

bersangkutan tidak mengulangi tindakan yang sama di masa mendatang.

115
Y. Sri Pudyatmoko, 2007, Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak.,Jakarta,
Salemba Empat, hlm. 25
79

Mengingat pemungutan pajak sebagai bentuk kontribusi rakyat kepada

pemerintah melalui penyetoran ke kas Negara, maka penegakan hukum pidana

diharapkan menjadi bagian dari pemahaman dan pendidikan hukum agar tidak

melakukan tindakan yang serupa, sekaligus membangun kepercayaan masyarakat

bahwa ketentuan yang ada harus dipatuhi. Untuk tercapainya tujuan tersebut,

penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan tanpa pandang bulu. Selain itu

sanksi yang diterapkan sebagai instrument penegakan hendaknya setimpal

dengan pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukan oleh pihak yang

bersangkutan.

Dalam masalah ini, tindakan Wajib Pajak yang sengaja terlambat

menyampaikan SPT mengerucut pada tindakan tidak menyampaikan SPT, dan

tindakan ini berpeluang terjadi berulang-ulang. Tindakan Wajib Pajak yang

sengaja tidak menyampaikan SPT apabila tidak ditindak dengan tegas, maka

Wajib Pajak tidak merasa tindakan itu sebaga sesuatu yang dapat merugikan

Negara, karena dapat dianggap suatu hal yang biasa, bahkan dapat menjadi

kebiasaan setiap tahunnya. Padahal jika terjadi hal yang demikian, maka dari sisi

penataan administrasi Negara telah dirugikan tetapi juga dari sisi pendapatan,

karena SPT yang disampaikan-pun belum tentu isinya benar, seperti yang telah

dijelaskan pada bagian atau Bab sebelumnya. Jadi jika si pelanggar tidak ditindak

dengan sanksi pidana yang langsung memberikan efek jera, maka kemungkinan

kesalahan yang merugikan Negara itu dapat dilakukan berulang-ulang.


80

C. Hambatan dalam Penerapan Sanksi Pidana terhadap keterlambatan

Penyampaian SPT

Penegakan hukum administrasi merupakan salah satu penegakan hukum

yang paling banyak dilakukan dalam bidang pajak. Hal ini dapat dipahami karena

sering kali sanksi administrasi diterapkan pada pelaku pelanggaran-pelanggaran

yang dianggap relative ringan. Penegakan hukum administrasi dianggap relative

lebih mudah untuk diterapkan. Hal ini disebabkan karena selain prosedurnya,

yang tidak terlalu rumit, pelanggaran yang dilakukan juga relative lebih mudah

untuk dipastikan. Dengan demikian, penegakan hukum administrative terlihat

sedeehana.116

Dalam bidang hukum, pelanggaran-pelanggaran tertentu yang dianggap

masih tergolong sebagai bukan pelanggaran berat sering kali dikenakan

konsekuensi hukumnya yang setimpal pula. Contohnya seorang Wajib Pajak

yang lupa untuk membayar pajaknya. Hal semacam ini sampai pada batasya

dapat dipahami, karena setiap orang mempunyai perhatian yang berbeda-beda

termasuk dalam hal pemenuhan kewajiban pajaknya. Demikian pula ketika

seseirang lupa untuk mengisi dan mengembalikan SP yang seharusnya diisi

dengan lengkap, jelas dan benar, kemudian dikembalikan.117

116
Ibid, hlm. 17
117
Ibid
81

Dilihat dari fungsinya, SPT merupakan dokumen penting dan utama

selain dokumen-dokumen pelengkap lainnya dalam membantu administrasi

perpajakan yang berlangsung pada suatu Negara. Penyampaian SPT adalah

kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan

Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau Wajib Pajak Bada dikukuhkan. Jadi jika

SPT tidak disampaikan atau terlambat disampaikan sesuai dengan waktu yang

telah ditetapkan berdasarkan undang-undang, maka sangat berpengaruh pada

penataan administrasi perpajakan.

Sesuai dengan system self assessment yang lebih memberikan tanggung

jawab aktif kepada Wajib Pajak, maka faktor yang sangat penting dan

menentukan adalah Wajib Pajak. Artinya keberhasilan dan kegagalan di bidang

pajak sangat ditentukan oleh Wajib Pajak. System self assessment sebagai

mekanisme pemungutan pajak yang berlaku secara nasional, dalam

pelaksanaannya membutuhkan kemampuan, pengetahuan, kejujuran kedisiplinan

serta kesadaran yang tinggi dari Wajib Pajak.

Meskipun aturan hukum jelas mengatur tentang sanksi-sanksi yang dapat

diterapkan terhadap pelanggaran atau kejahatan di bidang perpajakan, seperti

yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP, dalam pelaksaannya masih

tetap ada saja hambatan. Hambatan yang besar adalah hambatan dalam

penerapan sanksi pidana.


82

Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT, berarti Wajib Pajak

melakukan pelanggaran perpajakan. Terlambat bisa baik sengaja maupun tidak

disengaja, dapat bermuara pada tidak menyampaikan SPT, dan hal ini dapat

terjadi berulang-ulang. Itu berarti terhadap tindakan ini, Wajib Pajak melakukan

pelanggaran dan oleh karena itu harus dikenakan sanksi termasuk sanksi pidana.

Hambatan yang dihadapi dalam penerapan sanksi pidana terhadap

keterlambatan penyampaian SPT adalah tidak adanya jaminan kepastian hukum

yang tegas. Dalam Ketentuan Umum UU KUP angka 10 dan angka 12 telah

nyatakan bahwa terlambat menyampaikan SPT adalah pelanggaran, sedangkan

tentang terlambat menyampaikan SPT sebagai suatu pelanggaran tidak diatur

lebih lanjut dalam UU KUP tersebut.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa selama ini terhadap

pelanggaran hukum pajak lebih banyak diselesaikan dengan penerapan sanksi

administrasi, maka dapat dikatakan bahwa rasa nyaman pelaku pelanggaran atau

pelaku kejahatan terhadap sanksi tersebut sudah melekat pada diri si pelaku

pelanggran atau pelaku kejahatan tersebut. Dengan keadaan ini maka Wajib

Pajak yang melakukan keterlambatan dalam menyampaikan SPT tetap merasa

bahwa akibat yang akan diterima dari apa yang dilakukan, meskipun itu

merugikan Negara, tetapi kemungkinan besar sanksi yang akan diterimanya

hanyalah sanski administrasi saja, dan dari pengalaman fakta yang didapat

dilapangan, sanksi ini tidak berat dan dapat ditanggung oleh Wajib Pajak.
83

Hambatan lain yang dihadapi dalam penegakan sanksi pidana adalah

lemahnya pengawasan dari aparatur perpajakan terhadap kewajiban perpajakan

yang dilakukan oleh Wajib Pajak, termasuk hal menyangkut penyampaian SPT.

Rendahkan pemahaman Wajib Pajak terhadap tanggung jawab perpajakannya

yang jika tidak dilakukan dengan baik, dapat berakibat pada penerimaan sanksi,

juga turut berpengaruh terhadap penegakan hukum piada di bidang perpajakan.

Selain itu, masalah tempat domisili dan tempat kedudukan dari Wajib Pajak juga

sangat menentukan bagi proses penegakan sanksi pidana dan akibat-akibatnya

bagi si pelaku keterlambatan penyampaian SPT. Hal ini berkaitan dengan akses

Wajib Pajak terhadap Kantor Pelayanan Pajak, dalam seluruh eksistensi aktifitas

perpajakan yang harus dilakukannya.


84

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Wajib Pajak yang terbukti melakukan kesalahan, dengan terlambat

menyampaikan SPT, maka ancaman penegakan hukum pidana efektif dapat

memberikan dampak jera. Dengan sanksi pidana, yang bersangkutan tidak lagi

mengulangi perbuatannya yang dapat merugikan Negara. Angka 10 dan Angka

12 Bagian Umum UU KUP menegaskan bahwa terlambat menyampaikan SPT

merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Dalam Pasal 38 huruf

‘a’ dan pasal 39 huruf ‘c’ menegaskan bahwa terhadap keterlambatan

penyampaian SPT Wajib Pajak harus dikenakan sanksi pidana. Pelanggaran ini

dapat terjadi berulang-ulang sehingga dapat mengerucut pada tindkaan tidak

menyampaikan SPT. Alasan penting diterapkan sanksi pidana bagi tindakan

Wajib Pajak yang terlambat menyampaiakan SPT adalah kemungkinan

mengulang kesalahan ini sangat besar, sehingga ancaman penegakan sanksi

administrasi saja tidak memberi efek jera bagi si pelaku (Wajib Pajak).

Dalam penegakan hukum pidana di bidang perpajakan, terkait dengan

kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan terlambat

menyampaikan SPT, aparatur perpajakan juga mengalami hambatan-hambatan

seperti kekuatan hukum untuk mendukung penerapan sanksi pidana terhadap


85

Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan SPT, masih sangat lemah, karena

belum diatur lebih lanjut dalam UU KUP.

Selain itu, pengawasan yang dilakukan oleh aparatur perpajakan terhadap

sanksi pidana yang diterima dan akibat-akibatnya masih sangat lemah. Hambatan

lain ialah masalah akses Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib

Pajak terdaftar atau dikukuhkan, juga sangat berpengaruh terhadap sanksi pidana

yang diterima oleh Wajib Pajak yang melakukan kesalahan ini.

B. Saran

Perlu pengaturan yang lebih tegas dalam UU KUP terkait dengan masalah

terlambat menyampaikan SPT sebagai suatu pelanggaran yang dapat dilakukan

berulang-ulang, sehingga pelakunya harus diancam dengan sanski pidana yang

dapat memberi efek jera terhadap Wajib Pajak yang melakukannya. Penegasan

yang dimaksudkan di sini adalah perlu merefisi kembali UU KUP yang mengatur

tentang keterlambatan menyampaiakan SPT, dengan memperhatikan pasal 38

Selain itu, aparatur perpajakan perlu melakukan pengawasan berkaitan dengan

kewenangan untuk memastikan bahwa terlambat menyampaikan SPT yang

dilakukan oleh Wajib Pajak adalah suatu pelanggaran hukum sehingga harus

dikenakan sanksi pidana yang memberikan efek jera. Pengawasan pemerintah itu

juga sekaligus dapat mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi dalam

penegakan sanksi pidana bagi wajib Pajak yang melakukan pelanggaran akibat

terlambat menyampaikan SPT.


86

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Adriani, P. J. A. 2012, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Press, Jakarta;


Bakkir, Herman, 2007, Filsafat Hukum, Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika
Aditama, Bandung;
Budiarto, Astrid, 2016, Pedoman Prkatis Membayar Pajak, Genesis Learning,
Yogyakarta;
Burton, Richard, 2009, Kajian Aktual Perpajakan, Salemba Ampat, Jakarta;
Casvera, 2009, Perpajakan, Graha llmu, Yogyakarta;
Chazawi, Adami, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakartan
Chasawi, Adami, 2005, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Rajawali Perss, Jakarta;
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta,
H, Lili Rasjidi, dan I. B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar
Maju, Bandung,
Hutomo, Y. B. Sigit, 2009, Pajak Penghasilan, Konsep dan AplikasiBerdasarkan
Undang-Undang No.36 Tahun 2008 Beserta Peraturan
Pelaksanaannya, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta;
Jonaedi Effendy, 2016, Kamus Istilah Hukum Populer, Kencana, Jakarta;
Linz, Juan J. dan Alfred Stepen, 2001, Defining and Crafting Democratic Transition,
Constitutins, and Consolidation dalam Crafting Indonesian
Democracy, Mizan Pustaka, Jakarta;
Mardiasmo, 2016, Perpajakan, ANDI, Yogyakarta,
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan keempat, Prenada Media,
Jakarta;
Prajonggo, KPHA. Tjandra Sridjaja, 2010, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak
Pidana korupsi, Indonesia Lawyer Club (ILC)., Surabaya;
Pramadya Puspa, Yan, 1977, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang;
87

Putra, Indra Mahardika, 2017, Perpajakan, Edisi Tax Amnesty, Quadrant,


Yogyakarta,
Rusjdi, Muhammad, 2007, Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, P.T. Indeks,
Jakarta,
Saidi, Muhammad Djafar, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, Rajawali Press; Jakarta;
Santoso, M. H. Agus, 2012, Hukum, Moral dan Keadilan, Kencana, Jakarta;
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung;
Sholehuddin, M, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta;
Soemantri, Sri, 1987, Hak Menguji Material di Indonesia, Alumni, Bandung
Soemitro, Rochmat, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung;
------------------1988, Asas dan Dasar Perpajakan1, Eresco, Bandung,
------------------1997, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944,
Bandung-Jakarta, Eresco,
------------------1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung;
------------------1990, Asas-asas dan Dasar Perpajakan 2, Refika Aditama, Bandung;
Soesilo, M, 2009, Kamus Hukum, disusun oleh M. Marwa dan Jimmy P, Gama Press,
tt
Sri Pudyatmoko, Y, 2007, Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang
Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta;
Suandy, Erly, 2011, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta;
Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
Sulistia, Teguh dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana Horozon Baru Pasca
Reformasi, Rajawali Pers, Jakarta;
Sutedi, Adrian 2016, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakata;
Syahrizal, Ahmad, 2009, Peraddilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif,
Pradnya Paramitha, Jakarta;
88

Syumar, 2004, Hukum Pajak dan Pajak Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta,
Wahyono, Padmo, 1986, Indonesia, Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta;
Waluyo, Bambang , 1984, Tindak Pidana Perpajakan,
Wiyono, Eko Hadi, 2007, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Akar Media, Jakarta;

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tatacara
Perpajakan;
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korumpsi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

KARYA ILMIAH :
Tita, Heillen M. Y., 2013, Fungsi Surat Pemberitahuan dalam Pelaksanaan Self
Assessment System pada Pemungutan Pajak Penghasilan di Provinsi
Maluku, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta;

WEBSIDE
http://www.pajak.go.id
89

ABSTRAK

DION RENALDI NEITE, NIM. : 2014-21-556N, “ANCAMAN PENJATUHAN


SANKSI PIDANA TERHADAP KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK”, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Pattimura Ambon,2017 dibimbing oleh D. J. A. Hehanussa, dan
H. M. Y. Tita, SH., MH

Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara


Perpajakan (UU KUP) pada bagian Ketentuan Umum, Angka 10 dan Angka 12
menegaskan bahwa terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan
pelanggaran terhadap hukum pajak. Pasal 38 huruf ‘a’ dan Pasal 39 huruf ‘c’
menyatakan bahwa sanksi pidana diberikan bagi Wajib Pajak yang tidak
menyampaikan SPT. Dalam pelaksanaannya, kekuatan hukum dari penetapan
masalah keterlambatan menyampaikan SPT masih sangat lemah karena tidak diatur
lebih lanjut dalam UU KUP. Dengan demikian meskipun pelanggaran tersebut
dilakukan berulang sehingga merugikan Negara, namun ancaman penjatuhan sanksi
hanya sebatas sanksi administrasi saja. Sedangkan sanksi pidana yang dapat member
efek jera, tidak dapat diterapkan dengan baik.

Metode yang digunakan adalah jenis Yuridis normatif, dengan tipe penelitian
deskriptif analitis, dan kerangka pemikiran teoretis digunakan sebagai pisau analisis
terhadap isu hukum yang diteliti.

Hasil penelitian ini mengarah pada penguatan masalah keterlambatan penyampaian


SPT sebagai suatu pelanggaran hukum pajak yang dapat diancam dengan sanksi
pidana, serta penerapan sanksi pidana yang dapat memberi efek jera bagi Wajib Pajak
yang terlambat menyampaikan SPT dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam
penerapan sanksi pidana bagi Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran tersebut.
90

Keywors : Sanksi Pidana, Surat Pemberitahuan

Anda mungkin juga menyukai