Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah
45 tahun dan lebih dari 50 tahun merupakan trauma kapitis. Trauma kepala
merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan
fisik dan mental yang kompleks defisit kognitif psikis intelektual dan lain-lain
yang dapat bersifat sementara ataupun menetap.1
Pada trauma kapitis perlu diperhatikan adanya perubahan kesadaran
setelah trauma. Kesadaran dapat dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). Atas dasar nilai tersebut trauma kapitis dapat diklasifikasikan menjadi
trauma kapitis minimal ringan sedang dan berat. Klasifikasi trauma kapitis
selain bedasarkan (GCS) juga dari gambaran klinis dan hasil CT - scan otak.1
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian,
terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian
disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma
berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan
kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit.1
Di Indonesia tidak terdapat data nasional mengenai trauma kepala. Pada
tahun 2005 di RSCM terdapat 434 pasien trauma kepala ringan 315 pasien
trauma kepala sedang dan 28 pasien trauma kepala berat. Di Rumah Sakit
Siloam pada tahun 2005 terdapat 347 kasus trauma kepala. Di Rumah Sakit
Atma Jaya pada tahun 2007 jumlah pasien trauma kepala mencapai 125 orang
dari 256 pasien rawat inap bagian saraf.1
Salah satu cara untuk mengurangi kematian adalah tindakan bedah. Di
Amerika setiap tahunnya terdapat 100.000 pasien yang memerlukan tindakan
operasi sebagai penatalaksanaan post -traumatic intracranial hematoma. Di
lain pihak tidak semua trauma kepala memerlukan perawatan di rumah sakit
pencitraan dengan CT-scan ataupun tindakan pembedahan. Terdapat indikasi
tertentu untuk dilakukan tindakan-tindakan tersebut. 1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Trauma kapitis (trauma kepala) adalah trauma mekanik terhadap kepala
baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis, yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
temporer maupun permanen.2
Pada trauma kapitis perlu diperhatikan adanya perubahan kesadaran
setelah trauma. Kesadaran dapat dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). Atas dasar nilai tersebut trauma kapitis dapat diklasifikasikan menjadi
trauma kapitis minimal ringan sedang dan berat. Klasifikasi trauma kapitis
selain bedasarkan (GCS) juga dari gambaran klinis dan hasil CT - scan otak.1

2.2 Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian,
terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian
disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma
berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan
kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat
terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah
pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3
hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita2.
Di Indonesia tidak terdapat data nasional mengenai trauma kepala. Pada
tahun 2005 di RSCM terdapat 434 pasien trauma kepala ringan 315 pasien
trauma kepala sedang dan 28 pasien trauma kepala berat. Di Rumah Sakit
Siloam pada tahun 2005 terdapat 347 kasus trauma kepala. Di Rumah Sakit
Atma Jaya pada tahun 2007 jumlah pasien trauma kepala mencapai 125 orang
dari 256 pasien rawat inap bagian saraf.1
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu
lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013

2
hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari
25,9 persen menjadi 47,7 persen.3

2.3 Klasifikasi
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2015) cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.2
A. Berdasarkan Beratnya Cedera
Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan
secara klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka.
Kondisi klinis dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai
menggunakan Glasgow Coma 9 Scale (GCS), merupakan skala universal
untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis yang
menyebabkan penurunan kesadaran. Glasgow Coma Scale (GCS)
dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada 1974 dan saat ini digunakan
secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak2
Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar
15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid
dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya
minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Test Skor
Eye Opening (E)
Spontaneous 4
Open to voice 3
Open to pain 2
None 1
Best Motor Response (M)
Follow commands 6
Localizing to painful stimuli 5
Flexion-withdraw to painful stimuli 4

3
Flexor / Decorticate posturing to painful stimuli 3
Extensor / Decerebrate posturing to painful stimuli 2
None 1
Best Verbal Response (V)
Oriented conversation 5
Confused / disoriented conversation 4
Inappropriate words 3
Incomprehensible sound 2
None 1

Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai


GCS 9- 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14- 15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi
keparahan dari cedera kepala yaitu:4
Cedera Kepala Ringan
Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatic < 24 jam
GCS 13 -15
Cedera Kepala Sedang
Kehilangan kesadaran > 20 menit dan < 36 jam
Amnesia post traumatic > 24 jam dan < 7 hari
GCS 9-12
Cedera Kepala Berat
Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatic > 7 hari
GCS 3-8

B. Berdasarkan Mekanisme Cedera


Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada
hewan coba, kadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan
otak. Pada tahun 1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional
dengan gel pada tengkorak manusia, dan 3 tahun kemudian, fenomena ini

4
direkam pada tengkorak monyet yang digantikan dengan plastik
transparan. Perkembangan teknologi memungkinkan dengan Computed
Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
mempelajari efek linier dan angular akselerasi pada otak pasien percobaan.
Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat
memperkirakan dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama
diantaranya kekuatan cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional,
translational, atau angular), dan besar serta lamanya dampak tersebut
berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala bergerak setelah suatu
gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau perlambatan
kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak.
Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien
dengan cedera kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala (Goldsmith,
1966); benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup,
beban impulsif memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak fisik
yang signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan
kekuatan bertahap.
Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti
memar dan patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi
mengakibatkan cedera fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma
(SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi dan deselerasi lebih cenderung
mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga Diffuse Axonal
Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus 8 menyebabkan cedera pada
permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam.5
Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan
rotasi, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena
sifat biomekanis kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan
defleksi kepala dan leher bagian tengah atau tulang belakang leher bagian
bawah (sebagai pusat pergerakan).

5
Gambar 2.1. Diffuse Injury - Akselerasi dan Deselerasi

C. Berdasarkan Morfologi
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area
terjadinya trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari
dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka.
Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang
masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord
Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila
suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga
menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka
adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater.6
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas:7
1. Laserasi Kulit Kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul
atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda
tajam lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila
terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi
kulit kepala sering di dapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala
terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim SCALP yaitu
skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue dan
percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat

6
jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap
tulang. Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan
ini.
2. Fraktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis
fraktur dibagi menjadi:
a. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan
tulang kepala.
b. Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang
kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-
sutura belum menyatu dengan erat.
c. Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada
tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna
terjadi jika tabula eksterna segmen tulang yang impresi masuk
hingga berada di bawah tabula interna segmen tulang yang sehat.
e. Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak.
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan
racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior, atau ottorhea
dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa media.
3. Luka memar (kontusio)

7
Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke
jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna
merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan
pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti
pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat
di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio
dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang
disebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan
penekanan hingga dapat mengubah tingkat kesadaran7
4. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka
ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai
pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak
ujung-ujung saraf yang rusak.
5. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,
tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata
lain intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera8.

2.4 Patofisiologi
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua
yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan
oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan
sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera
kepala menjadi dua5:
1. Cedera Otak Primer
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan
mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek,
memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk
kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat
dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak,

8
yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan
dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus.
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh
darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal
Injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan
epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang
dapat dilihat pada CT scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri,
perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering
terdapat perfusi iskemik baik fokal maupun global.
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure
(ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan
mikrovaskular pada fase lanjut (late phase), terjadi vasospasme. Keadaan
setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:
a. Fase awal (fase1, segera, dengan hipoperfusi),
b. Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia)
c. Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi
aliran darah.
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional
Cerebral Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti
iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi respon terhadap
bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP).
Secara anatomis cedera kepala primer dapat dikelompokkan menjadi
cedera fokal dan difus.9
Focal Injuries Diffuse Injuries
Contusion Concusion
Fracture Diffuse axonal injury
Coup Moderate
Countercoup Severe
Herniation
Intermediate
Gliding

9
Hematoma
Epidural
Subdural
Intracerebral
Tabel 2.3. Klasifikasi Cedera Fokal dan Difus

A. Cedera Otak Fokal


Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan
traumatik Intrakranial hematoma.10
1. Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan
bengkak pada subpial, merupakan cedera yang paling sering
terjadi. Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem
mengalami kontusio serebri
Depreitere et al melaporkan bahwa 15 kasus kontusio serebri
paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian dan cedera olahraga
Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi
dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak
dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada
kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa
adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. 10
Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi
perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri
sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural,
perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid. 10
Pada daerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah
inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami
pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik.
Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai perikontusional

10
zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga
terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal ini disebabkan oleh
kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone
sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan
Mean Arterial Pressure (MAP) atau peningkatan tekanan
intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga
7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko
terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari. 10

Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala


yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak
serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi
yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala. Oleh karena
itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga
menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens
retikularis difus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input
aferen sehingga kesadaran hilang selama blokade reversibel
berlangsung.10
Kontusio serebri dapat dibagi berdasarkan mekanisme, lokasi
anatomi, atau cedera yang berdekatan. Misalnya, fraktur kontusio
akibat dari cedera kontak langsung dan terjadi segera disebelahnya
dengan fraktur tulang tengkorak. Coup merujuk kepada trauma
yang terjadi di lokasi dampak dengan tidak adanya patah tulang,
sedangkan contrecoup adalah sisi yang berlawanan dengan titik
dampak. Gliding adalah perdarahan fokal melibatkan korteks dan

11
white matter yang berdekatan dari margin superior dari hemisfer
serebri; terjadi karena mekanisme rotasi daripada tenaga kontak.
Intermediary adalah lesi yang mempengaruhi struktur otak dalam,
seperti korpus calosum, ganglia basal, hipotalamus, dan batang
otak. Herniasi dapat terjadi di daerah medial lobus temporal pada
tepi tentorial (yaitu, uncal herniasi) atau di mana tonsil serebelum
menghubungi foramen magnum (yaitu, tonsillar herniasi). 10

Gambar 2.3. Herniasi intrakranial

2. Traumatik Intrakranial
Hematom Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang
merupakan target terapi yang potensial dari intervensi bedah
(sebagai lawan paling memar). Lebih sering terjadi pada pasien
dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma
intrakranial dibedakan oleh lokasi relatif terhadap meninges:
epidural, subdural, dan intracerebral. 10
a. Epidural Hematoma (EDH).
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater.
EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid
interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit
neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil
ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit
kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

12
b. Subdural Hematoma (SDH).
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan
arachnoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi
atas 3 bagian yaitu:
 Perdarahan subdural akut
SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural
yang terjadi akut (0-2 hari). Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan
kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan
kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral
pupil. Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan
cedera otak besar dan cedera batang otak.
 Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari
setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri
yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
 Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil
memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian
menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara
pelanpelan ia meluas, bisanya terjadi lebih dari 14 hari.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau
beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi
penurunan reaksi pupil dan motorik.
c. Intracerebral Hematoma (ICH). Intracerebral Hematoma
adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat di dalam parenkim otak. ICH bukan disebabkan oleh
benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi
disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma
yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak

13
lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah
kortikal dan subkortikal.
d. Subarahnoid Hematoma (SAH) Traumatik.
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu
akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid.

B. Cedera Otak Difus


Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera
kepala dan merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar
otak ringan sampai koma menetap pasca cedera.10
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi
dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya
parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.
Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan
subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di
parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak
disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi
sebagai cedera kepala difus. 10
Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala
difus dikelompokkan menjadi: 10
1. Benturan (concussion) serebri
Benturan adalah bentuk paling ringan dari cedera difus dan
dianggap karena gaya rotasional akselerasi kepala dengan tidak adanya
kontak mekanik yang signifikan. Dalam bentuk klasik, penderita
benturan mengalami kehilangan kesadaran sementara dan cepat kembali
ke keadaan normal kewaspadaan. Meskipun, gegar otak ini tidak
berbahaya seperti yang diduga sebelumnya, tetapi benturan berulang
sering mengakibatkan gangguan neurologis permanen. Patofisiologi
benturan kurang dipahami dan mungkin karena gangguan kesadaran
dari lesi batang otak dan diencephalon. 10

14
Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan benturan otak
sering memiliki keterlibatan cedera otak difus, dan lesi batang otak jauh
20 lebih jarang. Cedera otak difus menggambarkan keadaan odema
sitotoksik meskipun gambaran CT scan normal dan GCS 15.
2. Cedera akson difus (Difuse axonal injury)
Difus Axonal Injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut
subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti
profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut
yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura)
mengalami kerusakan. DAI merupakan istilah yang kurang tepat, sebab
ini bukan merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera
yang terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang mengalami
percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang
panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu. 10
Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia
adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson dari batang otak,
parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus callosum dan
gray-white matter junction dari korteks serebri. Pada DAI ringan dan
sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan radiologi
baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan mikroskopis akan
dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus.
Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan
rotasional dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan
oleh perbedaan densitas dari jaringan otak yaitu jaringan white matter
lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat otak mengalami rotasi
akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih
rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dengan
densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang menyebabkan 21
robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan
white matter.

15
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada
cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer
robekkan akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada
fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan
pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang
terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang juga memicu influks
kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya
calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan
kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam
akson yang membengkak.
Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan
ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas,
penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah vegetative
state.

2. Cedera Otak Sekunder


Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer
yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh
neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi
bakteri. Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular
meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid. Perburukan
mekanis awal sebagai akibat cedera kepala berefek pada perubahan
jaringan yang mencederai neuron, glia, axon dan pembuluh darah.10
Cedera ini akan di ikuti oleh fase lanjut, yang di mediasi jalur
biologis intraselular dan ekstraseluler yang dapat muncul dalam menit,
jam, maupun hari, bahkan minggu setelah cedera kepala primer. 10
Selama fase ini, banyak pasien mengalami cedera kepala sekunder
yang dipengaruhi hipoksia, hipotensi, odema serebri, dan akibat
peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK). Faktor sekunder inilah yang akan
memperberat 22 cedera kepala primer dan berpengaruh pada outcome
pasien (Czosnyka dkk, 1996). Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera
otak yang terjadi akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak,

16
hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai segera
setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma.
Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain
kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal,
pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS), infeksi
dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema
otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala
menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak
irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya
akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan
menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. 10
Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses
biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan
seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera.
Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh
beberapa proses dan faktor dibawah ini: 10
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas
a. Perdarahan intrakranial (hematom epidural/ subdural/ intraserebral).
b. Edema serebral.
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh :
a. Penurunan tekanan perfusi serebral.
b. Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
c. Hiperpireksia dan infeksi.
d. Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
e. Vasospasme serebri dan kejang
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan
aktivasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma.
Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit,

17
terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam
30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati.
Bila penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi waktu ini,
antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear,
makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel PMN dalam
proses fagositosis (Riahi, 2006). Inflamasi, yang merupakan respon dasar
terhadap trauma sangat berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada
tahap awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada
endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion
Molecules-1 (ICAM-1).11
Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan
merusak/merugikan karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi.
Selain itu, neutrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau
mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa ini
akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai
peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera otak. 11
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan
istilah nine deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi
(hipovolemia, gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi
nafas), hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon
stres), hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan
hemostasis (Cohadon, 1995). Beratnya cedera primer karena lokasinya
memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder.11

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Cedera kepala mengacu cedera pada struktur intrakranial berikut trauma
fisik pada kepala. Istilah Cedera kepala mengacu pada luka yang mencakup
struktur baik intrakranial dan ekstrakranial, termasuk kulit kepala dan
tengkorak. Kemajuan teknologi pencitraan medis telah mengakibatkan
kemajuan beberapa modalitas pencitraan baru untuk evaluasi cedera kepala.
Sementara kemajuan dalam pencitraan medis telah meningkatkan deteksi dini

18
dan informasi prognostik yang berguna. Pemilihan diagnostik yang tepat di
antara berbagai teknik pencitraan yang tersedia, diantaranya: 11
1. Konvensional radiografi (X-ray)
Patah tulang tengkorak, bahkan tanpa gejala klinis, merupakan
penanda risiko independent untuk lesi intracranial.Namun, film tengkorak
terutama digunakan untuk identifikasi patah tulang tengkorak dan tidak
untuk evaluasi dari patologi intrakranial. Bahkan, radiografi konvensional
adalah prediktor yang buruk patologi intrakranial dan tidak boleh
dilakukan untuk mengevaluasi cedera kepala.12
Pada cedera kepala ringan, x-ray tengkorak jarang menunjukkan
temuan yang signifikan, sedangkan pada cedera kepala berat tidak adanya
kelainan pada x-ray tengkorak tidak menyingkirkan cedera intrakranial
utama. X-ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada. Indikasi
pemeriksaan x-ray pada cedera kepala, diantaranya:12
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Tanda neurologis fokal
4. Cedera SCALP
5. Dugaan cedera penetrating
6. Cairan serebrospinal dari darah ataupun telinga
7. Deformitas tengkorak tampak atau teraba
8. Kesulitan penilaian (dalam pengaruh alkohol, obat, epilepsi, atau
anak-anak)
9. GCS 12 dengan riwayat trauma multipel yang langsung dan
keras.

2. Computed Tomography Scanner (CT Scan)


Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap
pasien dengan cedera kepala, dan merupakan modalitas pilihan karena
cepat, digunakan secara luas, dan akurat dalam mendeteksi patah tulang
tengkorak dan lesi intrakranial. CT scan dapat memberikan gambaran
cepat dan akurat lokasi perdarahan, efek penekanan, dan komplikasi yang

19
mengancam serta apabila membutuhkan intervensi pembedahan segera.
Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya gambaran
abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala. Jika tidak ada CT
scan kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X-0ray foto kepala
untuk melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah.12
Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti
berikut:12
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak.
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral. Perdarahan
subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma.

2.6 Diagnosa dan Penatalaksanaan


Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk
mengetahui adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala,
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting
yang harus ditanyakan adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi
tanda vital dan sistem organ.13
Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis,
selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup
pemeriksaan fungsi batang otak, saraf 13 kranial, fungsi motorik, fungsi
sensorik, dan reflek.13

20
Tatalaksana Cedera Kepala
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah
sakit untuk observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat
kesadaran, fraktur kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan
dapat ditangani hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan atau
menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana
spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak
ruang.
b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan
pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi
bedah segera dengan debridement luka dan menaikkan fragmen tulang
untuk mencegah infeksi lanjut pada meningen dan otak.

2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi
hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran.14

2.7 Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala:
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala
berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia,
hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.

21
2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid
dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil
dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah
diperlukan bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang
awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama,
fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.
4. Hematom subdural kronik.
5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi
dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi
akibat cedera vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).

22
BAB III
KESIMPULAN

1. Trauma kapitis (trauma kepala) adalah trauma mekanik terhadap kepala


baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis, yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
temporer maupun permanen.
2. Klasifikasi cedera kepala, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera,
dan morfologi.
3. Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk
mengetahui adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala,
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang
4. Penatalaksaan trauma kepala dilakukan dengan intervensi bedah dan
medikamentosa.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Atmadja, A. S. (2016). Indikasi Pembedahan pada Trauma
Kapitis. Cermin Dunia Kedokteran, 43(1), 29-33.
2. Advanced Trauma Life Support (ATLS) for Doctors. (2015).8th Edition.
3. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes RI.
4. Brain Injury Association of America. (2006). Types of Brain Injury.
http://www.biausa.org/pages/type of brain injury. html. [Accessed 21
Maret 2020].
5. Youmans: Neurological surgery. 6th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011, p.3424-51.
6. Sastrodiningrat, A.G., 2007. Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam
Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat. Universitas Sumatera Utara
7. Pascual, J.L., et al. (2008). Injury to the brain. In : Flint LF et al, editor .
Trauma : Contemporary Principles and Therapy. Philadelphia: Lippincot.
p 276-88.
8. Arief Mansjoer (2010), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta :
Media Aesculapius
9.  Teasdale, G. 1995. Mechanism of cerebral concussion, countion and other
effect of head injury.
10.  WINN, H. R. 2017. Neurological Surgery, Saunders
11. Hergenroeder G., Zhao J., Clifton G.L, Moore A. (2010) Serum
ceruloplasmin and copper are early biomarkers for traumatic brain injury
associated elevated intracranial pressure. J Neurosci Res 88:1719-26
12. Adams, V (2012). Principles of Neurology. 9th Ed. USA: The McGraw-
Hill Companies
13. Sjamsuhidayat. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
14. Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes: Neurology. Jakarta: Erlangga

24

Anda mungkin juga menyukai