Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak manusia tercipta, aktivitas berpikir itu ada dan berkembang, manusia berfilsafat,
mempunyai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, kemudian terus meningkat seiring dengan
tantangan perkembangan zaman. Dalam kehidupan modern ini, filsafat bisa diartikan sebagai
ilmu yang berupaya memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan ruang lingkungan
pandangan dan pengalaman umat manusia. Perkembangan dan perubahan zaman ke zaman
memiliki corak dan ciri yang berbeda, kondisi ini cenderung memacu manusia untuk selalu
berfikir mencari nilai kebenaran itu namun, karena ada perbedaan cara pandang dalam
menafsirkan kebenaran tersebut, maka belum ada kesepakatan mengenai hakikat dan difinisi
filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pikir bangsa Yunani dan umat manusia dari
pandangan mitosentris menjadi logosentris.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian dari Rasionalisme
2. Menjelaskan pengertian dari Empirisme
3. Menjelaskan pengertian dari Kritisme
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Rasionalisme b
2. Untuk mengetahui pengertian Empirisme
3. Untuk mengetahui pengertian Kritisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rasionalisme
Rasio dalam bahasa inggris “reason”; dan dalam bahasa latin “ratio” yang berarti
berhubungan dengan pemikiran. Dalam bahasa Yunani terdapat 3 istilah yang secara garis
besarnya mempunyai arti yang sama, yakni : Phronesis, Nous, dan Logos. Secara umunm rasio
dimengerti sebagai kemampuan untuk melakukan; abtraksi, memahami, menghubungkan,
merefleksikan, memperhatikan kesamaan-kesamaan, dan perbedaan-perbedaan dan sebagainya.
[1]
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah
alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalisme suatu
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Sebenarnya sejarah rasionalisme itu sudah
sangat tua sekali. Thales ( 624-546 M ) telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya.
Lalu dengan sangat nyata dilanjutkan oleh kaum sofis dan para penentangnya ( Seocrates,
Plato dan Aristoteles ).
Rasionalisme muncul ketika filsafat skolastik mempunyai peran yang otoritas atas
pemikiran yang berlangsung lama dari tahun 400-1500 M sekitar seribu tahun. Dan yang menjadi
tokoh utama dari rasionalisme modern/bapak filsafat modern ini yaitu Rene Descartes.
1. Rene Descartes ( 1596-1650 M )
Rene Descartes merupakan filosof Prancis yang digelari “Bapak Filsafat modern”. Beliau
adalah peletak dasar aliran rasionalisme. Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai
oleh filsafat Descartes. Kata “modern” menunjukkan filsafat yang memiliki corak yang amat
berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak
utamanya yaitu dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno. Ia berpendapat
bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercayai adalah akal. Ia tidak puas dengan filsafat
scholastik karena dilihatnya sebagai saling bertentangan dan tidak ada kepastian. Adapun
sebabnya karena tidak ada metode berpikir yang pasti.
Sekarang Descartes telah menemukan dasar(basis) bagi filsafatnya. Basis itu bukan
filsafat Plato, bukan filsafat Abad Pertengahan, bukan agama atau lainnya. Fondasi itu ialah aku
yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas di jadikan dasar filsafat karna aku yang
berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak di ragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Di sini
kelihatanlah sifat subjektif, individualistis, humanis dalam filsafat Descartes. Sifat-sifat inilah
nantinya yang mendorong perkembangan filsafat pada Abad Modern.
Metafisika mempunyai jalur yang panjang sejak Yunani melintasi Abad Pertengahan,
barulah kepada Descartes. Oleh karna itu kita tidak usah heran menemukan bahwa konsep sentral
dalam metafisika Descartes adalah substansi dan definisi yang sesungguhnya sudah ada pada
Aristoteles. Jika dalam pengertian descartes itu disebut cogito, sedangkan dalam pemikiran
spinoza itu disebut konsep substansi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara descartes dengan
spinoza, hanya yang berbeda dalam pemakaian kata yang dipakai.
Substansi menurutnya adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui
dirinya sendiri. Dengan pengertian bahwasanya substansi itu sesuatu kenyataan yang mandiri
tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Dalam pandangannya bahwasanya Tuhan itu
adalah substansi yang mandiri tidak terikat oleh apa pun, tidak seperti manusia yang terikat oleh
ruang dan waktu, dan substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau
tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain (causi sui: penyebab dirinya sendiri).
Spinoza menolak akan apa yang diungkapkan oleh descates mengenai 3 substansi
bawaan.[3] spinoza berpendapat bahwasanya hanya ada satu substansi, dan substansi itu adalah
Allah. Dan masih menurutnya, bahwa substansi itu bersifat individual sekaligus menjadi hakikat
segala sesuatu yang tampak individual.
B. Empirisme
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan
mengecilkan peranan akal. Istilah Empirisme diambil dari bahasa Yunani
yaitu emperia yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai tokohnya adalah Francis
Bacon, Thomas Hobbes, John Locker, dan David Hume. Karena adanya kemajuan ilmu
pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat mulai
merosot. Hal itu terjadi karena filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada
sisi lain ilmu pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indra
(empiri) dan empirilah satu-satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan
nama Empirisme.
1. Francis Bacon ( 1210-1292 M )
Dari muda Bacon sudah mempunyai minat terhadap filsafat. Akan tetapi waktu
dewasa ia menjabat pangkat-pangkat tinggi dikerjakan inggris kemudian diangkat dalam
golongan bangsawan. Setelah berhenti dari jabatannya yang tinggi. Barulah ia mulai
menuliskan filsafatnya.
Pendapatnya adalah bahwa ilmu filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang
sifatnya umum. Menurutnya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang akibat-akibat
atau tentang gejala-gejala yang doperoleh. Sasaran filsafat adalah fakta, yaitu untuk
mencari sebab-sebabnya. Segala yang ditentukan oleh sebab, sedangkan prosesnya
sesuai dengan hukum ilmu pasti/ ilmu alam.
Apa saja yang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman.
Adapun yang bersentuhan dengan indra kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal
tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang tetap-substansi-itu
tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acap kalinya, sehingga kita
menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal, tetapi sebetulnya tidak ada
substansi itu hanya anggapan, khayal, sebenarnya tidak ada.
Maka Kant akan menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi serta akan
diterangkan, apa sebabnya pengetahuan budi ini mungkin. Itulah sebabnya aliran ini
disebut kriticisme. Akhirnya, Kant mengakui peranan budi dan keharusan empiri, kemudian
dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada budi
(rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (emperisme) budi metode
berpikirnya disebut metode kritik. Untuk itu filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu
pengetahuan alam. Isaac Newton ( 1642-1727 ) memberikan dasar berfikir yang induksi
yaitu pemikiran yang titik bertolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-
dasar yang sifatnya umum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketiga aliran besar ini (rasionalisme, empirisme dan kritisme) telah cukup untuk
menjadikan filsafat modern membingungkan orang modern. Rasionalisme dan kritisme
mengatakan bahwa roh yang hakikat sedangkan empirisme mengatakan benda-benda
yang hakikat dan roh tidak ada. Akibatnya para sains dan agama sudah jelas : sains
dicurigai (terutama pada hume) dan agama diragukan.
Keadaan ini mungkin lebih parah ketimbang kebingungan orang pada zaman
Socrates karena filsafat sofisme. Keadaan inilah yang di hadapi oleh kant, seperti Socrates
menghadapi sofisme Yunani 2000 tahun yang lalu. Cara kant menyelesaikan soal ini pada
dasarnya sama dengan cara Socrates pada tempo hari. Ia menyatakan bahwa akal ada
daerahnya dan hati (iman) ada daerahnya.
Bila akal memasuki daerah hati maka ia akan hilang dalam paralogisme. Sains dan
agama sama-sama dapat di pegang, sama-sama di perlukan. Skeptis terhadap sains amat
berbahaya, keraguan kepada agama sama juga berbahayanya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini terdapat kekurangan. Oleh karena itu kepada para
pembaca, khususnya kepada dosen pembimbing untuk mengkritik makalah ini yang bersifat
konstruktif, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Cetakan keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Muslih, Mohammad. 2008. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Pradigma dan
Kerangka Teori Ilmu pengetahuan, cetakan kelima. Yogyakarta: Belukar.
Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum : akal dan hati sejak thales sampai capra, Cetakan
kedua belas, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Syadali, Ahmad. H. Drs, et. At. 1997, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.
Achmadi Asmoro. 1995, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
https://djangka.com/2012/06/26/filsafat-rasionalismeempirismekritisme.html diakses pada 14
Oktober 2014.
http://armawanpena.wordpress.com/2013/10/25/filsafat-rasionalisme-empirisme-kritisme-kant-
positivisme-pragmatisme-burhani-dan-irfani.html diakses pada 16 Oktober 2014.