Anda di halaman 1dari 6

Eksposisi 1 Korintus 13:13

Saya yakin kita semua pasti tertarik untuk mengetahui siapa atau apa yang paling besar. Banyak orang
menyukai catatan-catatan yang spektakuler di dalam Guinness Book of Record, misalnya orang terkaya
di dunia, orang yang tertinggi, orang yang terpendek, orang yang terkuat, dan seterusnya. Banyak orang
mencari tahu siapa yang terbesar. Beberapa majalah yang terkenal juga secara berkala merilis orang-
orang yang paling berpengaruh di dunia ini. Semua penggemar sepakbola pasti suka dengan persaingan
antara Messi dan Ronaldo. Lebih jauh, apakah kita juga ingin tahu apa yang terbesar dalam kekristenan?
Itulah yang akan kita bahas dalam artikel ini berdasarkan 1 Kor. 13:13.

Seperti yang sudah diterangkan dalam artikel-artikel sebelumnya, di pasal 13 Paulus sedang menjelaskan
keutamaan kasih dibandingkan karunia-karunia rohani. Tidak seperti jemaat Korintus yang menekankan
karunia rohani tertentu sampai melupakan kasih kepada sesama, Paulus menandaskan bahwa kasih
berada di atas karunia-karunia rohani dalam hal kepentingan atau keutamaan. Tanpa kasih, semua
karunia rohani tidak akan ada artinya (13:1-3). Semua karunia rohani akan berhenti, tetapi kasih akan
selalu ada sampai kekekalan (13:8-12).

1 Korintus 13:13 adalah sebuah ayat yang tampaknya sangat sederhana sekali. Tetapi hari ini saya akan
membahas ayat ini melalui tiga pertanyaan. Dengan kata lain, ayat ini akan diselidiki untuk menjawab
tiga pertanyaan. Pertama, mengapa Paulus membandingkan kasih dengan iman dan pengharapan?
Kedua, mengapa Paulus meyakini bahwa kasih lebih besar daripada iman dan pengharapan? Ketiga,
apakah iman dan pengharapan juga kekal seperti kasih? Maksud dari pertanyaan yang ketiga adalah
apakah di surga kelak tetap ada iman dan pengharapan? Pertanyaan ini perlu diajukan karena kita sudah
membahas kekekalan kasih di beberapa artikel sebelumnya.

Hal-hal yang esensial dalam kekristenan

Pertama, mengapa Paulus membandingkan kasih dengan iman dan pengharapan? Kalau kita membaca
dengan sekilas ayat 13, maka mungkin kita mengira bagian ini adalah konklusi. Di satu sisi, ayat ini
memang memainkan peranan sebagai konklusi. Konklusi tidak memerlukan ide baru untuk disampaikan
kembali. Semua yang disampaikan pada akhirnya diikat menjadi satu dalam sebuah konklusi. Sebagai
konklusi, ayat ini sekadar mengulang apa yang sudah dijelaskan di ayat 1-12.

Tetapi di sisi lain, ayat ini tidak hanya berperan sebagai sebuah konklusi. Ayat ini juga berfungsi sebagai
klimaks dalam pembahasan di ayat 13. Sebagai klimaks, ayat ini menambahkan penekanan baru pada
keseluruhan argumen di pasal 13. Ada ide-ide baru yang sebelumnya tidak ada namun sekarang
dimunculkan oleh Paulus. Pemunculan tiga kata benda di ayat ini -- iman, pengharapan, dan kasih --
sekilas agak mengejutkan. Kata "pengharapan" selama ini tidak muncul di pasal 13. Walaupun kata
"iman" sudah muncul di ayat 2b, tetapi "iman" di sana jelas mengarah pada karunia iman (bdk. 12:9a).
Atau dengan kata lain, pengertian iman di ayat 2b berbeda dengan pengertian iman di ayat 13. Iman di
ayat 13 berarti iman kepada Tuhan Yesus yang dimiliki oleh semua orang Kristen. Karunia iman di ayat
2b hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang dikaruniai Tuhan secara khusus, pada waktu yang
khusus, dan untuk tujuan yang khusus.

Berarti Paulus bukan hanya mengambil kesimpulan, tetapi ia menarik lebih jauh pembahasannya.
Dengan kata lain, Paulus ingin memberikan sebuah klimaks yang luar biasa indah. Mengapa Paulus perlu
menyinggung tentang iman, pengharapan, dan kasih di ujung pembahasannya di pasal 13?
Sebelumnya, Paulus membandingkan kasih dengan karunia-karunia rohani. Gagasannya adalah bahwa
kasih lebih besar ketimbang karunia-karunia rohani yang sifatnya hanya sementara. Karunia roh akan
berhenti, tetapi kasih akan terus ada sampai pada kekekalan sehingga kasih lebih utama daripada
karunia roh. Persoalannya, Paulus tidak berhenti pada perbandingan antara kasih dan karunia roh. Dia
melangkah lebih jauh lagi. Kasih dibandingkan dengan iman dan pengharapan.

Dia perlu membandingkan kasih dengan iman dan pengharapan karena iman dan pengharapan
merupakan hal-hal yang esensial/mendasar bagi kekristenan. Inilah hal-hal yang tidak boleh tidak ada di
dalam kekristenan. Kekristenan akan musnah jika salah satunya diambil. Kita mungkin bisa
membayangkan kekristenan yang tanpa diwarnai karunia rohani, kesehatan, kekayaan, bahkan bahasa
roh, tetapi kita tidak mungkin bisa memikirkan kekristenan yang tanpa iman, pengharapan, dan kasih.

Sulit untuk membayangkan ada orang Kristen yang tidak beriman kepada Tuhan Yesus. Walaupun ada
orang yang mungkin terlalu berani menyatakannya, tetapi kita juga pasti berani untuk menyangkalinya.
Tidak ada orang yang mengaku Kristen tetapi tidak punya iman. Semua orang yang mengakui dirinya
Kristen dengan benar seharusnya memiliki iman kepada Yesus Kristus. Karena justru iman kepada Yesus
Kristuslah yang menjadikan dia sebagai seorang Kristen.

Sekarang, apakah mungkin kita mendapatkan seorang Kristen yang tanpa pengharapan? Bukankah
dengan kita beriman maka kita diselamatkan? Kita memiliki harta yang tidak tergantikan, yaitu hidup
kekal di dalam Kristus Yesus. Kita adalah anak-anak Allah yang dipelihara oleh-Nya. Dengan demikian
seharusnya kita menjadi orang-orang yang berpengharapan.

Orang Kristen juga harus mengasihi. Banyak orang Kristen mengagumi kasih Allah yang besar dan pada
saat yang sama tidak mengasihi orang lain. Lebih jauh, kita yang seringkali tidak mengasihi orang lain
adalah kita yang berkata, "Ya Tuhan, kasih-Mu sungguh berlimpah. Engkau mencurahkan kasih-Mu lebih
dari cukup." Kita tidak mau mengampuni. Kita tidak berbelaskasihan. Kita tidak memperhatikan
perasaan orang lain. Adalah sebuah hal yang berkontradiksi jika kekristenan kehilangan kasih (Yoh.
13:35). Kita bisa saja memuji kasih Tuhan dengan luar biasa, tetapi hal itu akan percuma jika kita tidak
mau berbagi kasih dengan sesama.

Ketidakterpisahan antara iman, pengharapan, dan kasih dapat dilihat dengan jelas dari fakta bahwa
ketiganya berkali-kali muncul secara bersamaan dalam Perjanjian Baru (misalnya Rom. 5:1-5; Gal. 5:5-6;
Kol. 1:4-5; 1 Tes. 1:3; 5:8; Ef. 4:2-5; Tit. 2:2; Ibr. 6:10-12; 10:22-24; 1 Pet. 1:3-9). Hal-hal ini bisa dilihat
jika kita membaca Perjanjian Baru dengan teliti. Dalam beberapa teks, bukan hanya tiga kata benda itu
muncul berkali-kali, tetapi juga dua atau tiga kata ini bahkan secara eksplisit muncul dalam bagian yang
sama. Sebagai contoh, Ibrani 11:1 berkata: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan
dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat". Dari sini terlihat bahwa iman dan pengharapan
mustahil untuk dipisahkan. Semuanya itu adalah hal yang sangat penting di dalam kekristenan. Mereka
adalah esensi kekristenan.

Dengan menyertakan iman dan pengharapan dalam diskusinya, Paulus sedang memasukkan ide baru
sebagai penekanan atau klimaks bagi seluruh pembahasan di pasal 13. Kasih bukan hanya lebih utama
daripada karunia-karunia rohani. Kasih bahkan lebih utama daripada hal-hal lain yang juga sama-sama
esensial dalam kekristenan. Walaupun iman, pengharapan, dan kasih sangat berkaitan erat, ketiganya
masih dapat dibedakan dari sisi kepentingan.
Kasih tetap yang terbesar daripada esensi-esensi yang lain. Kalau memang esensi-esensi tersebut kalah
dengan kasih, apalagi berkat Tuhan. Berkat Tuhan tidak lebih penting daripada kasih kita kepada orang
lain. Tuhan memberikan berkat kepada kita supaya kita berbagi untuk orang lain. Yang terpenting di
dalam kekristenan bukanlah how much you have, tetapi how much you give. Bukan masalah kita
berkelimpahan, tetapi bagaimana kita memiliki pengaruh yang besar, itulah yang lebih penting. Orang
Kristen tidak dinilai berdasarkan berkat Tuhan. Kita dinilai berdasarkan kasih kepada orang lain. Betapa
luar biasanya kasih bagi orang-orang Kristen!

Hubungan antara iman, pengharapan, dan kasih sangat kompleks. Hal ini tidak mengagetkan, karena
masing-masing kata mengandung arti yang luas. Misalnya, kata "iman" (pistis) bisa merujuk pada ajaran
kekristenan (Kol. 2:6-7), keyakinan terhadap sesuatu (Kol. 2:12; Yak. 2:1), salah satu jenis karunia rohani
(1 Kor. 12:9a; 13:2b), maupun kesetiaan (Gal. 5:22). Arti mana yang tepat harus ditentukan oleh konteks
pemunculan kata tersebut.

Di 1 Korintus 13:13 Paulus tampaknya sedang memikirkan keterkaitan secara umum dan mendasar.
Iman adalah titik awal dan dasar dari keberadaan kita sekarang. Pengharapan adalah sesuatu yang masih
ada di depan, tetapi pasti kita akan dapatkan dari Allah. Kasih selalu ada di tiap titik. Keselamatan rohani
kita -- dari awal sampai akhir -- tidak mungkin dipisahkan dari iman, pengharapan, dan kasih.

Saya akan memberikan contoh bagaimana iman, pengharapan, dan kasih tidak terpisahkan dalam
kehidupan kita. Tidak hanya dalam hal keselamatan rohani secara umum, kemutlakan iman,
pengharapan, dan kasih juga terlihat pada situasi-situasi khusus tertentu dalam kehidupan orang
percaya. Contoh yang paling jelas adalah ketika menghadapi penderitaan (Rom. 5:1-8). Iman merupakan
jalan masuk menuju kehidupan yang penuh dengan damai sejahtera dan pengharapan (Rom. 5:1-2),
walaupun di tengah penderitaan hidup (Rom. 5:3-4). Pengharapan kepada Allah tidak mungkin gagal,
karena Allah sudah lebih dahulu mencurahkan kasih-Nya ke dalam hati kita (Rom. 5:5-8). Karena itu,
penderitaan bukan hanya tidak meruntuhkan iman dan pengharapan; penderitaan justru akan
menguatkan pengharapan orang percaya (Rom. 5:3-4). Ketika kita menghadapi penderitaan, maka iman,
pengharapan, dan kasih tetap tidak terpisahkan.

Dengan iman, kita masuk dalam dimensi yang baru. Dimensi yang penuh kasih karunia dan damai
sejahtera. Pada saat kita mulai masuk dalam dimensi yang baru, kita sekaligus diberi jaminan
pengharapan untuk menerima kemuliaan Allah di ujung jalan sana. Di antara sekarang sampai nanti,
perjalanan kita tidak mudah. Kita mungkin saja mengalami penderitaan yang luar biasa. Tetapi dalam
penderitaan itu, Allah tidak tinggal diam. Pengharapan kita dalam penderitaan tidak akan gagal karena
kasih Allah telah dicurahkan oleh Roh Kudus di dalam hati kita. Pada saat kita masih berdosa, Kristus
mati memberikan nyawa-Nya bagi kita. Ini adalah ungkapan kasih yang paling besar.

Kita akan menjadi orang yang kurang ajar dan kurang bersyukur jika kita meragukan kasih dan kebaikan
Allah pada saat mengalami penderitaan. Yesus sudah mati di kayu salib bagi kita. Kasih yang objektif di
kayu salib itu telah dilakukan secara subjektif dalam hati kita oleh Roh Kudus. Iman, pengharapan, dan
kasih adalah hal-hal esensial yang tidak bisa terpisahkan. Di mana pun fase hidup kita sebagai orang
Kristen, kita pasti akan selalu bergelut dengan iman, pengharapan, dan kasih.

Kalau kita tidak beriman, kita tidak mungkin berdoa, bahkan kita tidak layak untuk berdoa. Yesuslah
yang menjadi mediator/jaminan/perantara pada saat kita berdoa kepada Bapa. Kita tidak bisa berdoa
dan tidak layak untuk berdoa jika kita tidak beriman kepada Yesus Kristus. Dengan kata lain, iman
berperan di dalam doa. Kalau kita tidak berharap kepada Allah, untuk apa kita berdoa? Berdoa bukanlah
memberitahu Tuhan apa persoalan kita. Kalau berdoa hanya dipahami sebatas memberitahu Tuhan apa
persoalan kita, maka kita tidak perlu berdoa sebab Tuhan sudah tahu. Doa adalah ekspresi bahwa kita
bersandar dan berharap kepada Tuhan. Kita berdoa juga karena kita ingin mengasihi Tuhan melalui
hidup ini. Dengan kata lain, kehidupan kekristenan tidak mungkin dipisahkan dari iman, pengharapan,
dan kasih.

Paulus sudah menjelaskan bahwa kasih lebih besar daripada karunia roh. Saat ini Paulus memberikan
gagasan baru bahwa kasih lebih besar daripada hal-hal yang sama-sama esensial (iman dan
pengharapan). Inilah kebesaran kasih yang sejati. Betapa besarnya kasih. Ia lebih besar dibandingkan
esensi-esensi lain di dalam kekristenan.

Alasan di balik keutamaan kasih

Saat ini kita masuk dalam bagian yang kedua. Mengapa kasih lebih besar daripada iman dan
pengharapan? Ketiganya sama-sama merupakan esensi kekristenan. Sama-sama tidak terpisahkan
dalam kekristenan. 1 Korintus 13:13 secara jelas/eksplisit menyatakan keutamaan kasih: kasih adalah
yang terbesar di antara hal-hal esensial dalam kekristenan (13:13b). Tetapi yang tidak jelas adalah alasan
di balik pernyataan itu. Mengapa ada satu yang lebih besar daripada yang lain? Apakah Paulus
memberikan alasan mengapa kasih lebih besar dibandingkan iman dan pengharapan? Saya tidak
menemukan penjelasannya sama sekali.

Ketidakadaan penjelasan tentang alasan di balik keutamaan kasih daripada iman dan pengharapan
menyiratkan bahwa alasan tersebut sudah sedemikian jelas. Paulus merasa tidak perlu memberi
keterangan apa pun tentang hal ini. Kita bisa tahu alasan di balik keutamaan kasih justru karena Paulus
tidak merasa perlu menjelaskannya. Ia mungkin memikirkan ucapan Tuhan Yesus yang sangat terkenal
tentang kasih kepada Allah dan manusia sebagai perintah yang terbesar (Mat. 22:37-40). Bukankah
sangat mungkin semua orang Kristen pada gereja mula-mula sudah paham dan sudah mengenal
perintah Yesus tersebut?

Walaupun demikian, sebuah pertanyaan lain tetap membutuhkan jawaban: mengapa perlu dikontraskan
dengan iman dan pengharapan? Ada penjelasan lain yang lebih sesuai. Pertama, sesuai dengan konteks
1 Korintus 12-14 yang sedang membahas tentang karunia roh dan bagaimana menggunakannya,
keutamaan kasih sebaiknya dikaitkan dengan manfaatnya bagi orang lain. Iman dan pengharapan
membawa berkat-berkat rohani secara pribadi, tetapi kasih menyalurkan berkat-berkat itu kepada orang
lain.

Karena itu sangat disayangkan jika ada orang yang mengaku memiliki iman dan pengharapan yang besar,
tetapi tidak memiliki kasih yang besar. Kalau di gereja terlihat romantis dengan Tuhan, tetapi tidak
pernah bermurah hati kepada orang lain.

Kedua, alasan lainnya adalah secara teologis, yaitu berhubungan dengan kasih sebagai refleksi esensial
dari karakter/sifat Allah. Iman dan pengharapan tidak berkaitan dengan sifat Allah. Iman dan
pengharapan tidak berkaitan dengan hakikat Allah secara langsung. Alkitab menandaskan bahwa "Allah
adalah kasih" (1 Yoh. 4:16), tetapi kita sulit membayangkan Alkitab mengatakan: "Allah adalah iman"
(Allah tidak mungkin beriman pada sesuatu di luar diri-Nya) atau "Allah adalah pengharapan" (Allah
tidak perlu berharap pada yang lain, karena Ia sendiri yang menetapkan segala sesuatu).
Kekekalan iman, pengharapan, dan kasih

Saat ini kita masuk dalam bagian yang ketiga. Apakah iman dan pengharapan juga kekal seperti kasih?
Beberapa teolog mengalami kesulitan untuk membayangkan bahwa iman dan pengharapan tetap ada di
surga. Apakah kita perlu beriman dan berharap di surga? (bdk. Ibr. 11:1). Secara umum, cara berpikir
teologis mendorong kita untuk berpendapat bahwa di surga tidak ada iman dan pengharapan.

Dalam teks Yunani, 1 Korintus 13:13a dimulai dengan "nyni de menei", yang secara hurufiah dapat
diterjemahkan "tetapi/dan sekarang tinggal" (NIV/ESV/KJV). Walaupun frasa ini terlihat sederhana,
namun sebenarnya tidaklah demikian. Kata "sekarang" (nyni) maupun "tinggal" (menei) telah ditafsirkan
secara beragam oleh para penafsir.

Tentang "sekarang", ada dua kemungkinan untuk memahami kata ini. Sebagai kata keterangan
temporal, "sekarang" bisa merujuk pada zaman sekarang sebagai kontras terhadap kekekalan (bdk.
13:8-12). Sehingga ditafsirkan bahwa kasih adalah satu-satunya yang kekal di antara ketiganya. Tetapi
saya kurang setuju dengan penafsiran di atas karena kata "sekarang" dalam teks Yunani adalah kata
keterangan logikal. "Sekarang" merujuk pada poin baru dalam argumen Paulus (LAI:TB "demikianlah").
Di antara dua alternatif ini, pilihan pertama tampaknya tidak cocok dengan konteks. Yang tinggal di
zaman sekarang bukan hanya hal-hal esensial dalam kekristenan (iman, pengharapan, dan kasih), tetapi
juga karunia-karunia rohani (nubuat, bahasa roh, dan pengetahuan).

Tentang "tinggal", ada dua cara memahami bentuk present tense "menei" di bagian ini. "Tinggal" bisa
berarti "sedang tinggal sekarang ini" atau "terus-menerus tinggal". Pilihan pertama mengasumsikan
bahwa di periode berikutnya iman dan pengharapan akan berhenti. Hal ini secara tata bahasa kurang
tepat, karena kata kerja "menei" juga berlaku untuk (memayungi) kasih, sedangkan kasih akan selalu ada
(13:8-12). Pilihan kedua juga memberi kesulitan karena kita sukar membayangkan iman dan
pengharapan akan terus ada sampai kekekalan. Bukankah sesuatu yang sudah dilihat dan diterima
bukan lagi iman dan pengharapan (Rom. 8:24; Ibr. 11:1)?

Solusi yang paling tepat adalah mengambil alternatif kedua, tetapi sekaligus memperjelas apa arti
"terus-menerus tinggal". Jika kita membaca 1 Korintus 13:8-12 dengan teliti, kita akan menemukan
bahwa dalam taraf tertentu beberapa aspek kekristenan yang ada sekarang juga memiliki kontinuitas
sampai kekekalan. Sebagai contoh, ucapan Paulus di ayat 12b ("Sekarang aku hanya mengenal dengan
tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal")
menyiratkan bahwa pengetahuannya di kekekalan masih berkaitan dengan pengetahuannya yang benar
sekarang di muka bumi. Yang berhenti hanyalah sarana mencapai pengetahuan itu (misalnya melalui
pembacaan Alkitab, karunia pengetahuan, maupun nubuat), tetapi isinya (iman, pengharapan, dan
kasih) tetap ada sampai selama-lamanya.

Dengan cara yang sama kita dapat memahami bahwa iman, pengharapan, dan kasih sebenarnya tetap
ada selama-lamanya sampai kekekalan, tetapi dalam arti yang lebih baik. Sarana untuk menumbuhkan
iman yang ada di dunia ini sudah tidak ada lagi di sana. Dalam dunia ini, iman, pengharapan, dan kasih
kita selalu berada dalam tantangan dan ketegangan, bahkan ujian dan penderitaan. Dalam kekekalan
nanti, ketiganya akan dipraktikkan dalam kenikmatan belaka. Kita tidak perlu ditantang untuk
menunjukkan semuanya itu. Kita menikmati, bukan menantikan pengharapan kita. Dengan sukarela,
sukacita, dan kekudusan, kita akan menikmati iman, pengharapan, dan kasih kita.
Sebagai aplikasi dari artikel ini, saya rindu menantang kita semua untuk menunjukkan sesuatu yang
terbesar dari yang kita miliki: yaitu kasih. Banggalah kalau kita menjadi pribadi yang mengasihi. Tidak
ada gunanya jika kita hanya memiliki karunia-karunia rohani yang terlihat spektakuler, tetapi tanpa
punya hati yang mengasihi orang lain. Kiranya Roh Kudus bekerja dalam hati kita; membuat kita
mengasihi sesama. Tolonglah orang lain yang mungkin sedang dalam kesusahan atau tekanan. Lepaskan
pengampunan untuk setiap kesalahan dan luka apapun yang ditimbulkan orang lain dalam hidup kita.
Allah sudah mengampuni dosa kita yang jauh lebih besar daripada kesalahan orang lain kepada kita.

Kalau kita mau jujur di hadapan Tuhan, kita adalah orang-orang yang gagal untuk menunjukkan yang
terbesar di dalam kekristenan: yaitu kasih. Kita hanya bisa mengaku menikmati kasih Allah yang
berkelimpahan, tetapi kita gagal membagikannya kepada orang lain. Kita gagal dalam memberi belas
kasihan. Kita gagal dalam membagikan apa yang kita miliki. Kita gagal mengampuni. Kita gagal untuk
peka terhadap perasaan orang lain. Tapi biarlah hari ini melalui firman Tuhan, kita ditegur dan
diubahkan Tuhan. Kita diberi kekuatan yang baru untuk mengasihi orang lain. Mungkin selama ini kita
lebih bangga untuk menikmati hal-hal lain daripada mengasihi orang lain. Kita lebih bangga ketika
diberkati oleh Tuhan. Kiranya kita menyadari bahwa yang terbesar di dalam kekristenan adalah kasih.

Yesus Kristus sudah merendahkan diri-Nya begitu rupa menjadi manusia. Dia mau peduli dengan orang
lain, menanggung penderitaan orang-orang berdosa. Dia sudah menunjukkan bukti kasih yang terbesar:
mati secara terhina di atas kayu salib untuk orang-orang berdosa.

Anda mungkin juga menyukai