Anda di halaman 1dari 11

Pernikahan : Hubungan Tanpa Peran

Pernikahan adalah sebuah petualangan, seperti sebuah perjalanan ke suatu negara baru
yang dimana begitu mengasyikkan dan menyenangkan. Seperti sebuah perjalanan pasti ada
saat nya dimana kita akan kembali ke tempat kita, begitu juga pernikahan ketika kita mulai
terjaga dan mulai saling memikirkan setelah menikah kita akan berbuat apa? bagaimana kita
menjaga pernikahan ini dan bagaimana kita bisa melalui nya seumur hidup. Salah satu dari
tantangan pertama yang dihadapi pasangan yang sudah menikah adalah pengertian timbal
balik akan harapan dan peran didalam pernikahan. Suami istri perlu menangani bersama
mekanika pengambilan keputusan di dalam keluarga dan mengutarakan dengan jelas
harapan mereka satu sama lain. Bagaimana keputusan akan dibuat dan siapa yang akan
membuatnya? apa peran "suami"? apa peran "istri". Kebanyakan pasangan memasuki
pernikahan dengan beberapa prasangka sehubungan dengan peran. Prasangka mengenai
peran dalam pernikahan tidak selalu benar. Mengapa? Salah satu alasan adalah prasangka
tersebut kadang-kadang didasarkan pada kebiasaan / ide budaya yang sudah ketinggalan
zaman. Satu alasan lain, prasangka ini sering gagal mempertimbangkan karunia, talenta atau
kemampuan individual yang tidak harus di dasarkan pada jenis kelamin. Pernikahan yang
sukses bergantung sebagian pada pengertian yang benar mengenai peran.

Persepsi mengenai peran dalam pernikahan, setidaknya dalam budaya barat, umumnya
timbul dari salah satu dari empat sumber yang lazim : tradisi, orang tua, masyarakat dan
gereja.

Masing-masing sumber ini mempunyai pengaruh yang kuat atas cara suami dan istri
memandang diri mereka dan memandang satu sama lain.

Tradisi.
Tradisi tidak lah selalu buruk, kadang-kadang tradisi penting untuk mempertahankan
stabilitas dan ketertiban. Namun, pada saat yang sama kita perlu mengenali bahwa hanya
karena sesuatu itu tradisional tidak berarti itu selalu benar. Tradisi dapat dibangun diatas
kesalahan sama mudah nya seperti di atas kebenaran. Suami dan istri harus hati-hati
mendefinisikan peran yang didasarkan semata-mata pada tradisi.

Orang Tua.
Barangkali persepsi peran yang paling berpengaruh dalam pernikahan adalah persepsi yang
kedua pasangan pelajari dari orang tua mereka. Orang tua sebenarnya adalah saluran utama
untuk meneruskan konsep peran tradisional ke generasi berikutnya. Kebanyakan anak
tumbuh menjadi seperti orang tua mereka. Seperti hal nya dengan tradisi, teladan orang tua
dari peran dalam pernikahan harus dievaluasi dengan cermat karena mereka mungkin salah.
Hanya karena meraka orang tua kita, belum tentu mereka 100% benar.
Masyarakat.
Budaya populer adalah sumber penting lain untuk mendefinisikan peran dalam pernikahan.
Ini berbeda dengan tradisi karena sementara tradisi tinggal tetap selama bergenerasi,
evolusi sosial terus menciptakan kebiasaan dan kecenderungan baru. Hal ini harus disikapi
dengan bijak dan hati-hati karena fokus kita sebagai umat Tuhan adalah Firman Tuhan
sebagai standar dan sumber pengetahuan kita bukan nilai-nilai duniawi yang seperti nya
masuk akal dan dimasukkan ke dalam pernikahan mereka karena jika nilai-nilai duniawi yang
dimasukkan maka biasanya kesulitan yang akan mereka hadapi didalam pernikahan.

Gereja.
Gereja adalah salah satu dari pembentuk utama persepsi peran dalam pernikahan didalam
budaya barat. Walaupun ini adalah fungsi yang semestinya bagi Gereja, pada kenyataan nya
ada banyak ajaran tradisional gereja berhubungan dengan peran dalam pernikahan dan
sifatnya negatif khusunya yang berhubungan dengan perempuan. Sebagai contoh adalah
penundukan kepada suami oleh istri adalah hal yang mutlak tanpa memikirkan apa yang
dialami oleh sang istri. Banyak dari ajaran tradisional mengenai penundukan diri didasarkan
pada kesalahpahaman atas Alkitab yang telah menimbulkan akibat yang merusak dalam
kehidupan dan hubugan banyak perempuan.

 Berhubungan dengan Kasih

Jika sumber tradisional untuk persepsi peran dalam pernikahan tidak selalu benar atau
relevan, apa yang harus diperbuat? kemana pasangan yang sudah menikah dapat berpaling
untuk menemukan standar yang dapat diandalkan? apakah ada "panduan kerja" untuk
pernikahan yang sukses? Ya ada. Dalam hal ini kita harus mengacu kepada Alkitab dimana
Allah yang berFirman dan mengajarkan kepada kita umat-Nya.

Efesus 5 : 22 - 33

Jika kita mengacu kepada ayat Firman Tuhan ini maka, didalam ayat-ayat ini tidak
menyebutkan tentang "peran" yang spesifik dan tetap bagi suami dan istri, tetapi memang
mengidentifikasi prinsip-prinsip tertentu yang harus menjadi panduan dalam hubungan
mereka : penundukan diri, kasih, dan rasa hormat. Jelaslah bahwa Rasul Paulus memberi
penekanan pada sikap dan perilaku suami bahwa mereka harus mengasihi istri mereka
"sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya."

Fokus pada suami ini penting setidaknya karena 2 alasan :


1. Menurut rancangan Allah suami adalah "kepala istri" dan pemimpin rohani di rumah.
Sikap dan perilakunya akan menentukan sifat rohani untuk rumah tangga dan
mempengaruhi secara mendalam kesejahteraan umum dan rohani istrinya.

2. Kurang jelas bagi pengertian sosial zaman modern. Selama abad pertama, ketika Paulus
menulis perkataan ini, perempuan masyarakan Yahudi dan Roma dianggap sebagai warga
kelas dua dan hanya mempunyai sedikit hak. Istri dipandang sebagai harta milik suami.
Panggilan Paulus kepada para suami untuk mengasihi istri mereka, khususnya dengan cara
pengorbanan diri seperti Kristus mengasihi Gereja-Nya adalah konsep yang baru secara
radikal, bahkan revolusioner dalam implikasinya.

Kasih penuh pengorbanan adalah bentuk penundukan diri. Paulus berbicara tentang kasih
yang akan mengangkat istri ke "status setara" sebagai pribadi dimata suaminya.

Jadi Peran suami dalam pernikahan adalah mengasihi istrinya dengan penuh pengorbanan
dan penyerahan diri dan peran istri adalah tunduk kepada suaminya seperti kepada Tuhan
dan rasa hormat kepada suaminya. "Peran" ini timbal balik. Suami mana pun yang benar-
benar setia melakukan bagiannya akan memudahkan istirnya mengerjakan bagiannya.
Begitu pula istri mana pun yang mempunyai suami yang mengasihi dia dengan cara ini tidak
akan mengalami kesulitan untuk menghormati suaminya atau tunduk pada
kepemimpinannya. Kemudia pada tingkat yang paling dasar, suami dan istri harus
berhubungan satu sama lain dengan kasih dan penundukan diri timbal balik ketimbang
dengan seperangkat peran yang sudah didefisinikan sebelum apapun sumbernya.

 Berhubungan tanpa peran.

Pada hakikatnya, pernikahan adalah hubungan tanpa peran. Tidak mungkin ada jalan lain
apabila pernikahan benar-benar didasarkan pada kasih yang siap berkorban. Kasih yang rela
berkorban adalah kasih tanpa syarat - kasih tanpa alasan. Kasih sejati tidak mempunyai
alasan ; terjadi begitu saja. Kasih tanpa syarat tetap mengasihi lepas dari perilaku atau
"kelayakan untuk dicintai" dari orang yang dikasihi, dan entah mereka membalas kasih itu
atau tidak. Perjanjian baru mengidentifikasi kasih jenis ini dengan kata (Yunani) agape. Inilah
jenis kasih atau cinta yang Allah perlihatkan kepada ras manusia yang berdosa, jenis kasih
yang Yesus Kristus perlihatkan ketika Ia bersedia mati di kayu salib untuk ras yang berdosa
itu. Allah tidak memerlukan alasan untuk mengasihi kita, Ia mengasihi kita karena kasih
adalah sifat-Nya. Kasih-Nya kepada kita tidak bergantung pada apakah kita "mengubah
hidup kita menjadi lebih baik", "membereskan perbuatan kita", atau membalas kasih-Nya.
Agape tidak mengajukan tuntutan, tidak mengharapkan dan tidak meminta jaminan. Tuhan
menjamin bahwa Ia kaan mengasihi kita tanpa menghiraukan apakah kita membalas kasih-
Nya atau tidak.
Kasih Kristus adalah kasih tanpa peran yang didasarkan pada respons ketimbang harapan.
Kasih-Nya adalah undangan terbuka tanpa syarat, Agape tidak mempunyai alasan. Kasih
yang mencari alasan adalah kasih bersyarat. Persyaratan menimbulkan harapan, harapan
yang dimaksud adalah pekerjaan, fungsi , atau aktivitas rutin sehari-hari yang suami dan istri
otomatis harapkan satu sama lain untuk dikerjakan karena ini adalah "peran"mereka,
seperti mencuci piring, memasak , membersihkan tempat tidur, memandikan anak-anak
dlsbnya. Tanpa dihindari harapan menimbulkan kekecewaan , kekecewaan menimbulkan
perdebatan, yang membuat tegang hubungan yang kemudian membahayakan persekutuan.

Kasih dalam pernikahan diharapkan seperti kasih Yesus bagi Gereja-Nya : tanpa syarat, mau
berkorban, dan tanpa harapan atau jaminan. Peran yang sudah ditetapkan akan
menimbulkan harapan dan harapan menyiratkan jaminan. Hasil dari semua ini adalah Kasih
tanpa alsan adalah kasih tanpa harapan. Jika tidak ada harapan maka tidak ada peran tetap.
Pernikahan pun menjadi hubungan yang didasarkan pada respons terhadap kebutuhan
ketimbang mengikuti prasangka yang kaku. Jika suami dan istri tidak mempunyai harapan
peran yang kaku terhadap satu sama lain, maka tidak akan ada yang kecewa.

 Tanggung jawab sementara bukan peran permanen.

Hubungan tanpa peran didalam pernikahan tidak berarti bahwa tak seorang pun berbuat
apa pun atau bahwa pasangan bersangkutan mengambil pendekatan acak atau
sembarangan terhadap kehidupan rumah tangga mereka. Hubungan tanpa peran tetap
sebenarnya berarti bahwa masing-masing pasangan akan bersepons sesuai kebutuhan,
kemampuan dan kesempatan. Suatu peran adalah tanggung jawab sementara yang
didasarkan pada kemampuan orang yang berespon. Itulah sebabnya mungkin lebih baik
mengacu pada tugas pernikahan sebagai tanggung jawab ketimbang peran. Apapun
kebutuhannya, siapapun yang sanggup dan mempunyai waktu, dialah yang bertanggung
jawab. berhubungan tanpa peran tetap adalah hasil pertumbuhan alamiah dari pernikahan
yang didasarkan pada agape dan dimana suami dan istri benar-benar merupakan pasangan
setara. Agape berusaha melayani dan bukan dilayani. Agape tidak mencari peran ; Agape
berespons terhadap kebutuhan.

Jadi apa peran suami dalam pernikahan? ia adalah kepala rumah tangga, pemimpin rohani
yang bertanggung jawab atas arah rohani dalam keluarga. ia harus mengasihi istrinya
dengan cara yang sama seperti Kristus mengasihi jemaat, siap berkorban dan tanpa syarat.

Apa peran istri? ia harus menghormati suaminya dan tunduk pada kepemimpinannya.
Dalam urusan praktis kehidupan rumah tangga, mereka berdua harus berespons sesuai
kebutuhan, kemampuan , dan kesediaan mereka.
Masalah Penundukan Diri

Pasangan manusia pertama menikmati pernikahan dimana mereka adalah pasangan yang
setara, berbagi hak yang setara dan tanggung jawab yang setara. Mereka berjalan dalam
persekutuan yang terbuka dan berkesinambungan satu dengan yang lain dan dengan Allah.
Pernikahan antara orang percaya dapat dan harus dicirikan dengan hubungan tanpa peran
dimana, baik suami maupun istri adalah pasangan yang setara. Namun , ini menimbulkan
pertanyaan yang wajar tentang bagaimana mendamaikan konsep alkitabiah mengenai
kemitraan setara dalam pernikahan dengan konsep yang sama alkitabiahnya mengenai
seorang istri yang tunduk kepada suaminya.

 Suami Harus Bertindak Seperti Yesus.

Kita sudah melihat bahwa kasih timbal balik, penundukan diri, dan menghormati harus
mencirikan hubungan suami/istri dalam pernikahan yang alkitabiah.

Efesus 5 : 21 - 33

Perintah pertama Paulus berhubungan dengan penundukan diri timbal balik :


"Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain didalam takut akan Kristus". Semua yang
Paulus katakan didalam ayat-ayat ini ada dalam konteks saling menundukkan. Paulus
membandingkan suami dengan Kristus, istri harus menghormati dan tunduk kepada suami
mereka "seperti kepada Tuhan". Suami adalah "kepala istri seperti Kristus adalah kepala
jemaat". Suami harus mengasihi istri mereka "seperti Kristus telah mengasihi jemaat dan
telat menyerahkan diri-Nya baginya". Dalam setiap hal, suami harus memandang kepada
Kristus sebagai teladan perilakunya sendiri. Dalam istilah praktis, ini berarti bahwa suami
layak dan berhak mengharapkan penundukan diri dan hormat dari istrinya sejauh ia hidup
dan bertindak seperti Yesus terhadap istrinya. Suami layak mendapatkan penundukan diri
dari istrinya selama ia bertindak seperti Tuhan. Jika ia tidak bertindak seperti Tuhan, ia tidak
berhak mengharapkan istrinya tunduk kepadanya "seperti kepada Tuhan".

Bagaimana Yesus membuat jemaat-Nya tunduk kepada Dia? Yesus memenangkan kasih,
rasa hormat, dan penundukan diri dari jemaat-Nya melalui penundukan diri-Nya sendiri
kepada jemaat-Nya dengan kasih yang penuh pengorbanan. Dengan bebas dan rela Ia
menyerahkan nyawa-Nya demi jemaatn-Nya, dengan darah-Nya Ia membasuh jemaat-Nya
dari dosa dan kesalahan dan menjadikan-Nya kudus, tanpa kesalahan, dan tanpa noda atau
cacat. Melalui Roh-Nya Yesus menguatkan dan menopang jemaat-Nya, selalu mengasihinya
dan memperlihatkan belas kasihan kepadanya selalu mengampuninya dan memperlihatkan
belas kasihan kepadanya, selalu mengampuni, dan selalu memenuhi kebutuhannya menurut
kekayaan dalam kemuliaan-Nya.
Yesus adalah teladan sempurna. Jika suami ingin belajar bagaimana memenangkan kasih,
rasa hormat, dan penundukan diri dari istri mereka, mereka perlu melihat bagaimana Yesus
memperlakukan gereja-Nya dan mengikuti pola-Nya.

 Kebanyakan Suami Sudah Gagal.

Kebanyakan suami tidak layak mendapatkan penundukan diri dari istrinya. Dalam hal
mengasihi istri mereka seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya, kebanyakan suami telah gagal.
Kegagalan ini biasanya selalu menyangkut dengan dosa, dan dosa ini adalah cacat yang
menghambat suami memenuhi teladan Kristus. Banyak suami yang tenggelam didalam
kegagalan mereka, mereka malu dan tidak berani menghadapi dunia dan takut jika dunia
tahu kegagalan mereka, mereka akan lari ke kekasih gelap mereka, mereka kan lari kepada
minum-minuman keras, mereka akan menyalahkan istri akan kegagalan mereka, mereka
malu jika pernikahan mereka gagal karena mereka, mereka mencari rasa aman yang palsu
pada pribadi atau lingkungan yang akan meneguhkan kepriaan mereka tanpa mengungkit
kekurangan mereka. Mereka lebih suka menikmati kehangatan gambar diri yang palsu
ketimbang menghadapi kebenaran tentang diri mereka.

 Suami Harus Memikul Tanggung Jawab Mereka.

Suami diharap kah bertindak seperti Kristus, tetapi hanya sedikit suami yang melakukannya.
Tentu saja tak seorang pun sempurna ; tidak ada suami yang dapat dengan sempurna
meneladani perilaku Kristus. Masalah sebenarnya adalah mereka tidak tahu apa yang harus
diperbuat dan mereka selama ini bersembunyi dari diri mereka yang sebenarnya untuk
waktu yang begitu lama sehingga walaupun sadar mereka perlu berubah, mereka tidak tahu
caranya.

Suami yang serius mau mengikuti teladan Yesus dalam berhubungan dengan istri mereka
harus bersedia memikul tanggung jawab mereka. Mereka harus bersedia menerima
tanggung jawab atas tindakan mereka tanpa menyangkalnya, bersembunyi darinya atau
melemparkan kesalahan kepada orang lain, khususnya istri mereka.

Salah satu masalah terbesar dalam pernikahan dan kehidupan keluarga sekarang ini adalah
banyak suami yang secara efektif melepaskan kepemimpinannya entah karena kelalaian
atau ketidaktahuan. Seorang istri lebih banyak di gereja dibandingkan dengan suaminya dan
hal ini sangat lah berbahaya karena bagaimana mungkin suami mengajarkan apa yang tidak
ia ketahui? Bagaimana mungkin ia meneladani bagi keluarganya suatu gaya hidup yang
sama sekali tidak diketahui? Apabila lebih banyak suami setia dalam mengasihi istri mereka
seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya dan memenuhi tanggung jawab mereka sebagai
kepala keluarga, maka hanya akan ada sedikit masalah atau kekacauan mengenai masalah
istri yang menundukkan diri.
Suami Harus Merayu Istri Mereka Seperti Kristus Merayu Jemaat-Nya

Sebagaimana Paulus membandingkan suami dengan Kristus, ia membandingkan istri dengan


jemaat. istri harus tunduk kepada suami seperti jemaat tunduk kepada Kristus. Pada saat
yang sama, suami harus mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat. Keduanya adalah
tindakan timbal balik ; Ketika suami mengasihi istrinya dengan siap berkorban, istrinya
tunduk kepadanya.

Suami harus memenangkan penundukan diri dari istri dengan menjadikan diri mereka layak
mendapatkannya. Mereka melakukan ini dengan belajar mengasihi istri mereka seperti
Kristus mengasihi jemaat-Nya. Yesus memenangkan kita dengan merayu kita.

Pertama ia memperlihatkan diri-Nya kepada kita dengan satu dan lain cara dan berebut hati
kita dengan kasih-Nya. Lalu, ia dengan lembut menarik kita kepada-Nya, ia mengulurkan
undangan terbuka kepada kita untuk datang kepada-Nya, diampuni dari dosa kita, dan
menerima kasih karunia kehidupan yang kekal. Begitu kita sudah mengerti betapa besar Ia
mengasihi kita dan betapa besar yang sudah Ia perbuat bagi kita, kita sadar bahwa kita gila
kalau tidak mengikuti Dia. Saat itulah sebagai respons terhadap panggilan-Nya yang lembut,
kita memutuskan dengan kehendak kita yang bebas untuk datang kepada Dia.

Suami harus bisa merayu istrinya, selalu memberi penghormatan dan penghargaan tertinggi
sebagai pribadi, Ayomi dengan doa dan lindungilah dia, perlalukan dia dengan kebaikan,
perhatian dan belas kasihan. Jangan takut memperlihatkan kasih sayang yang lembut,
ingatlah untuk melakukan hal-hal kecil yang penuh perhatian, belikan dia bunga, ajak dia
makan malam direstauran yang bagus dan beri dia kejutan dengan kencan akhir pekan
berdua saja. Dalam perkataan dalam perbuatan dan dalam semua cara lain yang mungkin
dilakukan, biarlah dia tahu bahwa ia dikasihi, dihargai dan dihormati diatas semua yang lain.

 Penundukan Diri Istri dengan Rela

Suami adalah "kepala" istri bukan "bos" nya, ia juga bukan bos dari keluarganya. Disinilah
begitu banyak suami salah paham. Perbedaannya mungkin tipis, tetapi Kristus memimpin
jemaat-Nya, ia tidak memerintah jemaat-Nya dengan tangan besi. Kristus memerintah
Kerajaan-Nya dan ia memimpin jemaat-Nya dengan mengasihi dan menghargai jemaat-Nya
dan Jemaat-Nya tunduk kepada-Nya dengan bebas dan rela. Bagaimanakah jemaat tunduk
kepada Kristus, Tuhannya? Dengan bebas dan rela, karena kasih. Kualitas itu harus pula
mencirikan penundukan diri istri kepada suaminya.
Penundukan diri secara paksa bukanlah penundukan diri yang sebenarnya melainkan
penaklukan. Penundukan diri selalu dipilih secara bebas dan diberikan dengan rela.
Walaupun penundukan diri diperintahkan bagi istri, ketaatannya bersifat sukarela, Ia berhak
untuk memilih. Jika istri lalai melakukan penundukan, ia bertanggung jawab kepada
suaminya sebesar tanggung jawabnya kepada Tuhan dan kelalaian untuk tunduk kepada
kepemimpinan suaminya adalah dosa. Penundukan diri berarti bahwa istri mengakui
kepemimpinan suaminya sebagai pemimpin dan penuntun rohani bagi keluarganya. Tunduk
berarti mengakui, meneguhkan, dan mendukung tanggung jawab yang diberikan Allah
kepada suaminya atas seluruh kepemimpinan keluarga. Penundukan diri istri yang alkitabiah
kepada suaminya adalah penundukan posisi bukan pribadi. Ini adalah penundukan diri yang
bebas dan rela dari yang setara dengan yang setara demi ketertiban, stabilitas, dan ketaatan
pada rancangan Allah.

Menguasai Seni Berkomunikasi

Diantara keluhan-keluhan yang paling sering didengar oleh para konselor pernikahan adalah
pernyataan seperti, istriku benar-benar tidak mengerti diriku atau suamiku tidak pernah
mendengarkan aku. Sebagian besar pernikahan yang goyah sekarang karena
ketidakmampuan pasang untuk berkomunikasi satu sama lain.

Komunikasi adalah seni yang harus dipelajari, keterampilan yang harus dikuasai. Ini tidak
terjadi dengan sendirinya, bahkan didalam pernikahan. Banyak pasangan yang
menghabiskan banyak waktu berbicara kepada satu sama lain, tetapi sedikit sekali waktu
untuk benar-benar berbicara dengan satu sama lain. Hanya karena berbicara bukan berarti
mereka berkomunikasi. Komunikasi paling baik dipelajari dalam lingkungan yang terbuka,
jujur, dan tidak bersifat konfrontasi. Mustahil mendapatkan hubungan yang sehat tanpa
komunikasi, ini berlaku bagi siapa saja baik hubungan dengan manusia atau hubungan
dengan Allah.

 Memahami komunikasi

Sebagian dari masalah dengan komunikasi dalam pernikahan berakar dari kenyataan bahwa
banyak pasangan bingung mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan berkomunikasi.
Komunikasi yang murni memerlukan berbicara dan mengerti.

Berbicara mengacu pada saran apapun yang digunakan untuk mengekspresikan gagaran, ide
atau perasaan entah melalui suara, gerak isyarat, bahasa tubuh atau ekspresi wajah.
Mengerti melibatkan tidak hanya mendengarkan apa yang diucapkan, tetapi juga
menafsirkan apa yang diucapkan menurut maksud si pembicara.
komunikasi antara laki-laki dan perempuan atau suami dan istri di perumit dengan
kenyataan bahwa laki-laki dan perempuan berbicara dengan cara yang berbeda, menangkap
segalanya dengan cara yang berbeda dan berespons dengan cara yang berbeda pula. Pada
umumnya laki-laki adalah pemikir yang logis dan perempuan adalah perasa yang emosional.
Laki-laki mengatakan apa yang mereka pikirkan sementara perempuan mengatakan apa
yang mereka rasakan. Karena perbedaan ini lah makanya diperlukan kunci untuk
berkomunikasi dengan baik yaitu pengertian. Komunikasi adalah proses yang melaluinya
informasi dipertukarkan antar individu atau antar kelompok yang memanfaatkan sistem
simbol, tanda atau perilaku yang lazim. Oleh sebab itu jika kunci bagi komunikasi adalah
pengertian, maka kunci bagi pengertian adalah mendengarkan.

 Dengarkanlah!

Dalam masyarakat sekarang ini yang bergerak cepat dan penuh dengar stres, mendengarkan
telah menjadi sebuah seni yang hilang. Kelalaian untuk mendengarkan adalah salah satu dari
masalah yang paling sering berkaitan dengan komunikasi. Begitu sering kita cenderung
berkata-kata sebelum kita mendengarkan. Kita dapat menghindari banyak sakit hati,
kesalahpahaman, dan rasa malu apabila kita mau benar-benar belajar mendengarkan
sebelum kita berbicara.

Epictetus seorang filsuf Yunani abad pertama berkata "kita mempunyai 2 telinga dan 1
mulut supaya kita dapat mendengarkan 2 kali lebih banyak daripada kita berbicara".
Mendengarkan memerlukan lebih dari sekedar mendengar atau memahami apa yang
dikatakan seseorang. Semua yang kita dengar melewati saringan kepercayaan dan
pengalaman kita dan juga pengetahuan serta kesan dari si pembicara. Mendengarkan
dengan baik perlu menjangkau melampaui saringan kita untuk mendengar apa yang orang
lain benar-benar katakan, bukan hanya dengan perkataan mereka, tetapi juga dengan nada
suara, ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka.

Satu masalah lain yang berkaitan dengan mendengarkan adalah ketika kita lebih peduli
dengan kata-kata kita sendiri ketimbang dengan kata-kata lawan pembicara. Sebagian dari
seni mendengarkan adalah belajar memberi lawan bicara perhatian kita yang sepenuhnya,
menaruh minat tulus akan apa yang ia katakan dengan keinginan jujur untuk mengerti. Jika
komunikasi adalah tujuan kita, kita perlu berfokus lebih banyak pada perkataan, ide dan
nilai-nilai dari lawan bicara kita ketimbang perkataan, ide dan nilai-nilai kita sendiri. Tidak
ada di dunia ini yang memberkati seseorang ketimbang mempunyai seseorang yang
mendengarkan - benar-benar mendengarkan dirinya.

Mendengarkan yang benar dan efektif mensyaratkan kita melibatkan seluruh indra kita.
Agar komunikasi yang murni berlangsung, kita harus belajar mendengarkan dengan cermat,
melibatkan tubuh, pikiran, intelektual, emosi, mata, telinga, singkatnya semuanya. Kita
perlu mendengarkan lebih dahulu dan mengesampingkan pikiran dan perkataan serta
agenda kita sendiri cukup lama untuk mendengar dan mengerti lawan bicara. Ini
membentuk saluran yang bersih untuk berlangsungnya komunikasi dua arah yang
sebenarnya.

 Komunikasi Holistik

Komunikasi muka dengan muka yang efektif selalu bersifat holistik, yang melibatkan semua
indra dan keterlibatan penuh tubuh, intelektual, dan energi mental. Komunikasi adalah
pertukaran informasi sebuah pesan antar individu dengan cara demikian rupa untuk
menghasilkan pengertian timbal balik. Masalah timbil antara suami dan istri ketika tidak ada
hubungan antara apa yang mereka ucapkan kepada satu sama lain dan bagaimana mereka
mengucapkannya.

Karena alasan ini hendaklah pasangan suami istri mengingat nasehat Yakobus "hendaklah
cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah".
(Yak 1 : 19)

 Lima Tingkat Komunikasi

Kebanyakan hubungan tidak pernah melangkah melampaui interaksi yang dangkal. Namun
hubungan yang langgeng melangkah lebih dalam. Orang berinteraksi biasanya pada satu
atau lebih dari lima tingkat yang berbeda dalam komunikas, tiap tingkat lebih dalam dan
lebih intim ketimbang yang sebelumnya.

A. Tingkat pertama adalah percakapan biasa.


B. Tingkat kedua adalah ketika kita melibatkan laporan fakta tentang orang lain.
C. Tingkat ketiga adalah dimana komunikasi yang sebenarnya terjadi pertama kali
karena kita mulai mengekspresikan ide, pendapat atau keputusan kita dengan niat
spesifik untuk didengar dan dimengerti oleh orang lain.
D. Tingkat keempat adalah ketika kita merasa cukup aman dan intim untuk mulai
membagikan emosi kita.
E. Tingkat kelima adalah tingkat komunikasi emosional dan pribadi yang lengkap, yang
dicirikan dengan keterbukaan dan kejujuran mutlak.
Keberhasilan dan kepuasan jangka panjang dalam pernikahan sangat bergantung pada
cakupan dan kedalaman suami dan istri mengembangkan seni komunikasi mereka.
Pernikahan adalah perjalanan petualangan seumur hidup dengan kejutan dan tantangan
pada setiap belokan. Belajar berkomunikasi secara efektif juga merupakan perjalanan
seumur hidup.

Refleksi diri :

1. Hubungan suami istri haruslah lebih kepada saling pengertian dan saling melengkapi satu
sama lain, tidak ada tugas istri, tugas suami. Baik suami atau istri dapat dan saling didalam
keluarga sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis dan saling didalam keluarga.

2. Ketika tidak terjadi penundukan istri terhadap suami maka harusnya suami intropeksi diri
jangan langsung menyalahkan istri tetapi mencoba utk berubah dan jika sudah berubah
tetapi istri masih tidak bisa menghormati maka haruslah Agape itu yang keluar yaitu kasih
tanpa syarat.

3. Suami istri itu harus bisa berkomunikasi dan bisa untuk saling mengerti dan bisa
memahami. Suami istri harus bisa saling mendengarkan sehingga komunikasi itu bisa
berjalan baik. Berbicara bukan berarti kita berkomunikasi, komunikasi artinya saling bukan
hanya diri sendiri yang berbicara. Suami harus lebih banyak mendengarkan dan istri juga
harus lebih banyak untuk berdiam diri sehingga masing-masing bisa menahan diri sehingga
komunikasi itu bisa tercipta dan terjalin dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai