2. Ajaran-ajaran yang termuat dalam Al-Qur'an adalah kalam Allah yang terakhir untuk
memberikan petunjuk dan bimbingan yang benar kepada umat manusia. Maka dari itu
jagalah kitab Al-Qur'an agar tidak dikotori oleh tangan-tangan yang hendak mengotori
kesuciannya, hendak mengubah kemurniannya, hendak mengganti isi yang.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Al-Qur'an adalah kitab yang mulia. Tidak akan
dihinggapi oleh kebatilan (kepalsuan), baik dari depan atau pun dari belakangnya. …” (QS.
Fushshilat: 41-42)
Dalam firman yang lain, “Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkan peringatan (Al-Qur'an)
dan sesungguhnya Kami pasti melindunginya (dari kepalsuan).” (QS. Al-Hijr: 9)
3. Kitab Suci Al-Qur'an yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala akan kekekalannya, tidak mungkin
pada suatu hari nanti akan terjadi bahwa suatu ilmu pengetahuan akan mencapai titik hakikat
yang bertentangan dengan hakikat yang tercantum di dalam ayat Al-Qur'an. Sebabnya tidak
lain karena Al-Qur'an adalah firman Allah Ta'ala, sedang keadaan yang terjadi di dalam alam
semesta ini semuanya merupakan karya Allah Ta'ala pula. Dalam hal ini baiklah kita ambil
firman-Nya, “Akan Kami (Allah) perlihatkan kepada mereka kelak bukti-bukti kekuasaan
Kami disegenap penjuru dunia ini dan bahkan pada diri mereka sendiri, sampai jelas
kepada mereka bahwa Al-Qur'an adalah benar. Belum cukupkah bahwa Tuhanmu Maha
Menyaksikan segala sesuatu?”(QS. Fushshilat: 53)
4. Allah Swt. berkehendak supaya kalimat-Nya disiarkan dan disampaikan kepada semua akal
pikiran dan pendengaran, sehingga menjadi suatu kenyataan dan perbuatan. Kehendak
semacam ini tidak mungkin berhasil, kecuali jika kalimat-kalimat itu sendiri benar-benar
mudah diingat, dihafal serta dipahami. Oleh karena itu Al-Qur'an sengaja diturunkan oleh
Allah Ta'ala dengan suatu gaya bahasa yang istimewa, mudah, tidak sukar bagi siapa pun
untuk memahaminya dan tidak sukar pula mengamalkannya, asal disertai dengan keikhlasan
hati dan kemauan yang kuat.
Allah Swt. berfirman, “Sungguh Kami (Allah) telah membuat mudah pada Al-Qur'an
untuk diingat dan dipahami. Tetapi adakah orang yang mengambil pelajaran?”(QS. Al-
Qamar:17).
Al-qur’an memiliki nama-nama lain, diantaranya :
Tulisan-tulisan firman Allah (Kitab Allah) zaman dahulu dibuat menjadi 2 jenis, yaitu bisa
berupa shuhuf dan mushaf pada zaman sebelum Nabi saw. Dan zaman setelah Nabi saw.
Yang pertama Kata shuhuf pula terdapat di surah al-A'laa(87); 19: "(yaitu) Kitab-
kitab Ibrahim dan Musa."
Kedua kalimat itu berasal dari akar kalimat yang sama yaitu, "sahafa" (menulis). Shuhuf
(tunggal: sahifa) berarti sepenggal kalimat yang ditulis dalam material seperti kertas,
kulit, dan media lain. Sedangkan mushaf (jamak: masahif) berarti kumpulan-kumpulan
shuhuf, yang dibundel menjadi satu.
Dalam sejarah penulisan teks Qur'an, shuhuf akhirnya dikumpulkan pada masa Abu Bakar.
Dalam shuhuf tersebut susunan tiap ayat di dalam surah telah tepat, tetapi lembaran-
lembaran yang ada belumlah tersusun dengan rapi, tidak dibundel menjadi satu isi.
Kalimat mushaf pada masa Utsman bin Affan. tiap ayat di dalam surah telah disusun dengan
rapi. Saat ini umat Islam juga menyebut setiap duplikat Qur'an memiliki keteraturan tiap ayat
dan surah disebut mushaf.
Yang kedua, Shuhuf yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada para rasul, tetapi tidak
wajib disampaikan atau diajarkan kepada manusia. Beberapa nabi yang dikatakan
memiliki shuhuf adalah:
1. Adam - 10 shuhuf
2. Syits - 60 shuhuf, (pendapat lain mengatakan 50 shuhuf)
3. Khanukh - 30 shuhuf
4. Ibrahim - 30 shuhuf (10 shuhuf)
5. Musa - 10 shuhuf
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia
ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih
kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya
ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa."
(Al-A’la (87):14)
"Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? dan
lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?" (An-Najm (53):36-37)
Mushaf
Beberapa shuhuf yang telah dicatat dari firman Allah kemudian dijadikan satu yang memiliki
nama bermacam-macam, yang telah diberikan kepada para rasul-Nya. Di antaranya adalah:
Taurat (Torah)
Taurat adalah tulisan berbahasa Ibrani, berisikan syariat (hukum) dan kepercayaan yang
benar dan diturunkan melalui Musa, pada kira-kira abad 12 sebelum masehi. Isi pokok Taurat
adalah 10 firman Allah bagi bangsa Israel. Selain itu, Taurat berisikan tentang sejarah nabi-nabi
terdahulu hingga Musa dan kumpulan hukum.
"Allah telah menurunkan kitab kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang
terdahulu dari padanya, lagi menurunkan Taurat dan Injil." (Ali 'Imran (3):3)
Zabur (Mazmur)
Zabur berisi mazmur (nyanyian pujian bagi Allah) yang dibawakan melalui Daud yang
berbahasa Qibti, pada kira-kira abad ke-10 sebelum masehi. Kitab ini tidak mengandung
syariat, karena Daud diperintahkan untuk meneruskan syariat yang telah dibawa oleh Musa.
"...dan kami telah memberi kitab zabur kepada Nabi Dawud." (—An-Nisa' 4:163)
Injil
"...dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan 'Isa putera Maryam,
membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat, dan Kami telah memberikan kepadanya
Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan
membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat, dan menjadi petunjuk serta
pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa." (Al-Ma'idah 5:46)
Semua kitab turun pada bulan Ramadan
Berdasarkan hadits shahih dari Imam Ahmad, kesemua kitab-kitab suci tersebut turun
pada bulan Ramadan, shuhuf Ibrahim turun pada malam pertama bulan Ramadan, Taurat turun
pada hari ke-6 bulan Ramadan dan Injil pada hari ke-13 dari Ramadan. Al-Qur’an diturunkan
pada bulan Ramadan, Firman Allah SWT.:
"Bulan Ramadan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan atas petunjuk itu, serta pemisah antara haq dan batil." (Al-Baqarah 2:185)
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata.
Sering terdengar sesetengah orang Melayu menyatakan bahawa jumlah ayat al-Qur'an adalah 6,666.
Angka itu manis diucap, mudah diingat, dan sedap didengar.
ambil sebuah calculator dan sebuah kitab al-Qur'an. hitunglah Mulai dari surah Fatihah yang
jumlah ayat 7. Kemudian pergi ke hujung surah 2 (al-Baqarah) terdiri 286 ayat. Teruskanlah, surah
demi surah, hingga ke hujung surah terakhir, iaitu surah yang ke-114.
Surah:
91-95 ( 15 + 21 + 11 + 8 + 8 ) = 63
96-100 ( 19 + 5 + 8 + 8 + 11 ) = 51
101-105 ( 11 + 8 + 3 + 9 + 5 ) = 36
106-110 ( 4 + 7 + 3 + 6 + 3 ) = 23
111-114 ( 5 + 4 + 5 + 6 ) = 20
-----------------------------------------------------------
Maka bilangan ayat di dalam al-Qur'an adalah 6,236, bukan 6,666, seperti yang diajar ulama
palsu. Tiap-tiap surah, Kecuali surah 9 (At-Taubah), dimulai dengan "Bismillah."
Bismillah di surah 1 (Al-Fatihah), adalah bagian dari ayat. Dengan demikian kalimat Bismillah
didalam surat-surat al-Qur’an berjumlah 112.
Andaikata bilangan 112 itu ditambah kepada jumlah besar 6,236 tadi, maka ia menjadi 6,348,
bukan sebanyak 6,666 yang keramat itu. Perbedaan bilangan ayat di antara dua jumlah tersebut
(6,236 dan 6,348) dengan 6,666 adalah 430 dan 318 masing-masing. Perbedaannya besar. Di
manakah pula tersimpannya ayat-ayat yang berlebihan itu?
Jumlah surat dalam al-Qur’an menurut pendapat yang kuat adalah 6.236 ayat, 114 surat (91
Makkiyah dan 23 Madaniyah), 13 tahun di mekkah dan 10 tahun di madinah, 74.437 kalimat, dan
325.345 huruf
2. Segi Kualitas.
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 2 (dua) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah
dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah,
dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
1. Ibadah Mahdah, Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa,
zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan Vertikal
manusia dengan tuhannya.
2. Ibadah Ghoiru Mahdah, Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan
(muamalah), yaitu hubungan Horizontal Hamba dengan Hamba.
B. Hadits.
Sumber hukum kedua umat Islam adalah Sunnah yaitu perkataan, perbuatan maupun
pengakuan Nabi Muhammad SAW, karena di salah satu firman Allah menyebutkan “Barang
siapa yang mentaatinya sesungguhnya ia telah mentaati-KU” dan “Jika berlainan pendapat
maka kembalikanlah ke kepada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (Sunnah). Karena tingginya bahasa
Al-qur’an itu sendiri tidak bisa diartikan seperti bahasa manusia umumnya karena bakal banyak
persimpangan, karena sesungguhnya bahasa yang diucapkan Tuhan lebih tinggi maknanya
berbeda yang dipikirkan manusia.
Dalil tentang Hadits, :
1. Perintah iman kepada rasul beserta iman kepada allah. Firman Allah; An-Nisa : 136
يأيهاالّذينءامنواءمنواباهلل ورسوله والكتب الّذى نزل على رسوله والكتب الّذى انزل من قبل
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yang Alllah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya”
2. Kewajiban taat pada rasul karena menyambut perintah Allah. Firman Allah; (Surat An-Nisa’ : 64)
Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, meelainkan untuk ditaati seizing Allah.
3. Perintah taat kepada rasul secara kusus. Firman Allah; Al-Hasyr : 7
وماءاتكم الرّسول فخذوه ومانهكم عنه فانتهوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah”.
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al
Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah
SWT didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana
ditetapkan dalam firmannya : Artinya “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
2. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat
umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah
rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat,
tidak memaparkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh
rasullah SAW dalam haditsnya.
Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi.
Firman Allah: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana
yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang
boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
ِ فَ ْال َكبِ ُد َوالطِّ َح: َواَ َّماال َّد َما ِن,ُت َو ْال َج َراد
ال ( رواه ابن ُ ْ ْالحُو: َان
ِ فَا َّما ْال َم ْيتَت,ان ْ َّاُ ِحل
ِ ت لَنَا َم ْيتَتَا ِن َو َد َم
)الماجه و الحاكم
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam
bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…”
(HR Ibnu Majjah).
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara
menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya
dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
ٍ ر اِنَا ِء اَ َح ِد ُك ْم اِ َذا َولِ َغ فِ ْي ِه ْال َك ْلبُ اَ ْن يُ ْغ ِس َل َس ْب َع َمرَّاŒُ ْ رواه مسلم و ( طُهُوl حمد وlبو داود
ِ ت اَوْ لَ ِه َّن بِالتُّ َرا
ب
)و البيهقى
“Menyucikan bejanamu yang dijilat anjing adalah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali
salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)”.
1. Hadits Shahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah
suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu
kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan
kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat
hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits
shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan
derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau
hasan yang tidak dipenuhi.
4. Hadits maudlu’, hadits yang sama sekali bukan dari Nabi saw./ hadits palsu.
Kebanyakan masalah Ushul dalilnya adalah qath’i, sedangkan kebanyakan masalah furu’
dalilnya tidak qath’i. Tetapi ada juga masalah furu’ yang dalilnya qoth’i sehingga semua ulama
menyepakatinya dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut, contohnya :
Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.
Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina
ghoiru mukhson (belum pernah menikah).
Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.
Hukum potong tangan bagi pencuri.
Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan dusta.
Hukum potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis.
(perampok, penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb).
C. Ijtihad
Latar Belakang
Dewasa ini, kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang
bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan
konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan
fungsi hukum biasa.
Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam
mencurahkan pikiran. Menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap
tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Oleh karena
itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara
terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat
melalui metode tertentu.
jtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang
tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal
pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum
yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini
berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal,
ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu
akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan
hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al Qur’an, Rasul bertanya
lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab,
“Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan
ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan
pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal,
tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Syarat-syarat melakukan ijtihad (mujtahid) sebagai berikut:
1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an
dan hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اب فَلَهُ اَ َج َرا ِن َو اِ َذا َح َك َم َواجْ تَهَ َد ثُ َّم اَ ْخطَأ َ فَلَهُ اَجْ ٌر ( رواه البخارى و مسلم
َ صَ َاِ َذا َح َك َم ْال َحا ِك َم فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم ا
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata
hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam
memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia
memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi
juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan
kelapangan bagi umat manusia. Rasulullah SAW bersabda:
ْ ِف اُ َّمت
…)ي َرحْ َمةٌ (رواه نصر المقدس ِ َاِ ْختِال
”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Berpegang kepada
hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah
SWT: Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasulnya serta ulil amri
diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Para Ulama sepakat yang dimaksud ummahat (para ibu) pada ayat di atas mencakup ibu
kandung dan nenek. Sedangkan kata banat (anak-anak wanita) mencakup anak perempuan
kandung dan cucu perempuan (Satria Effendi, 2008: 128). Lebih jelas lagi hasil ijma’ tentang
masalah di atas sebagaimana penjelasan dalam terjemah Al-Qur’an dijelaskan bahwa maksud
ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak
perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga
yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu, menurut Jumhur Ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaannya. (Soenarjo, dkk., 2006: 106).
Ijma’ terbagi 2 (dua), yaitu ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Ijma’ sharih adalah
kesepakatan Ulama dengan penyampaian persetujuan secara jelas terhadap hukum suatu
peristiwa/kejadian dengan memberikan pendapat masing-masing secara tegas tentang hukum
sesuatu tersebut. Sedangkan ijma’ sukuti adalah kesepakatan Ulama dengan penyampaian
persetujuan sebagiannya secara jelas dan sebagian Ulama lainnya memberikan persetujuan
tidak secara jelas terhadap hukum suatu peristiwa/kejadian tersebut. Secara tidak jelas
memberikan persetujuan seperti diamnya (tidak berpendapatnya) para Ulama terhadap suatu
keputusan hukum yang tengah dibahas/disepakati. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 62).
Untuk ijma’ sharih secara umum para Ulama telah menyepakatinya menjadi sumber
hukum Islam. Sedangkan untuk ijma’ sukuti berbeda-beda. Menurut madzhab Syafi’iyah dan
sebagian kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan hukum karena
diamnya sebagian ulama tersebut belum tentu merupakan terhadap hukum yang diputuskan.
Tetapi menurut Hanafian dan Hanabilah bahwa ijma’ sukuti dapat dijadikan landasan hukum
dengan alasan bahwa tidak mungkin sebagaian ulama tersebut hanya diam bila hal yang
diputuskan tersebut bertentangan dengan pendapatnya. Jadi diamnya itu dapat diartikan setuju.
(Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 63-64 dan Satria Effendi, 2008: 129).
Contoh lain:
sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-qur’an.
Pengumpulan dan pembukuan Al-qur’an sejak pemerintahan Abu Bakar tetapi idenya
berasal dari Umar bin Khatab
Penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan ru’yatul hilal.
b. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada kedudukan
hukumnya dengan masalah lama yang pernah ada karena alasan yang sama. Qiyas menurut
bahasa berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan di
antara keduanya. (Satria Effendi, 2008: 130). Sedangkan menurut Ahli Ushul
Fiqh, qiyas adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum,
sebab sama dalam ‘illat hukumnya. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 65).
kekuatan qiyas sebagai hujjah, pernah ditegaskan oleh Khalifah Umar bin Khatab
dalam pesannya kepada Abu Musa Al-Asy’ariy, beliau pernah berkata: “...kemudian
pahamilah terhadap apa yang aku sampaikan kepadamu dalam menghadapi permasalahan
yang tidak memiliki nash Al-Qur’an dan sunnah, lalu carilah perbandingan masalah-masalah
itu. Pahamilah beberapa metode menetapkan hukum kemudian yakinlah bahwa pendapatmu
lebih dicintai Allah dan lebih mendekati kebenaran”. Begitu juga Ali bin Abi Thalib pernah
berkata: “Kebenaran dapt diketahui dengan membandingkan suatu masalah dengan masalah
lain, menurut orang-orang yang berakal”. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 73-74).
Dengan demikian jelaslah bahwa kehujjahan qiyas sebagai salah satu sumber hukum
Islam kedudukannya kuat. Hal tersebut didukung oleh dalil-dalil sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas.
Secara operasional qiyas mempunyai rukun. Para Ulama menjelaskan
bahwa qiyas dianggap sah jika rukunnya lengkap. Rukun (unsur) qiyas, yaitu:al-ashal , al-
far’u, al-hukm al-ashal iy, al-‘illah. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003:77). Lebih lanjut
dijelaskan unsur qiyas tersebut, yaitu:
o Al-Ashal , yaitu kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash. Disebut juga al-maqiys
‘alaih, al-mahmul ‘alaih dan al-musabah bih (yang digunakan sebagai ukuran,
pembanding atau yang dipakai untuk menyamakan).
o Al-far’u, yaitu kejadian yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash dan kejadian
tersebut disamakan hukumnya dengan al-ashal . Disebut juga al-maqiys, al-
mahmul dan al-musabah (yang diukuran, dibandingkan atau disamakan).
o Al-hukm al-ashliy, yaitu hukum Syara’ yang dibawa oleh nash dalam masalah ashal .
Tujuannya adalah menjadi hukum dasar bagi masalah baru.
o Al- ‘illah (‘illat ), yaitu alasan yang dijadikan dasar hukum ashal , yang berdasarkan
adanya illah itu pada masalah baru, maka masalah baru itu disamakan hukumnya dengan
hukum masalah ashal.
Supaya lebih jelas lagi beberapa contoh qiyas, di antaranya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Contoh Qiyas :
Setiap minuman yang memabukkan contohnya mensen, sabu-sabu dan lain-lain disamakan
dengan khamar, ilatnya sama-sama memabukkan.
Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan dengan harta dewasa. Menurut syafe’i
karena sama-sama dapat tumbuh dan berkembang, dan dapat menolong fakir miskin.
Berkata dengan nada tinggi kepada ortu disamakan dengan membentak dan ah, karena
ilatnya sama-sama menyakiti dengan ucapan.
4. Istishab,
yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil,
sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut. ISTISHAB yaitu kepada
pengekalan hukum yang terdahulu selagi belum terdapat dalil yang mengubah hukum tersebut.
Istishab merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula dan juga
mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai dengan ada dalil yang menetapkan atas
perbedaannya. (Syafe’i, 1999: 127)
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yng tidak tetap. Telah dijleaskan
tentang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat
kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang
hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.
Istishablah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolaknya dengan
kematiannya serta warisan harta bendanya juga perceraian pernikahannya. Tetapi hal itu
bukanlah hujjah untuk menetqpkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan
menurut istishab yaitu adalah hidup yang diasarkan pada pengakuan.
Contoh: 1. Orang yang hilang. 2. Keraguan bilangan rakaat solat.
5. Istidlal,
yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al
Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan
masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan
sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh
Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits.
6. Al ‘Urf,
ialah urusan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya.
‘URF : kebiasaan yang diamalkan oleh sebagian besar masyarakat dalam bentuk perbuatan
atau percakapan & diterima sebagai asas hukum selama ia tidak bertentangan dengan syarak.
Pendapat lain ; “ sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Secara terminologi kata
„urf mangandung makna: (adat istiadat) Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya
dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal
dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain.
SYARAT-SYARAT „URF Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat di jadikan
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara‟ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1.
„urf itu ( baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan ), berlaku secara
umum. Artinya, “ „urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan
keberlakuannya di anut oleh mayoritas masyarakat tersebut. 2. „urf itu telah memasyarakat ketika persoalan
yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih
dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. 3. „urf itu tidak bertentangan dengan yang di
ungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah
menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam membeli es, di sepakati oleh pembeli
dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli kerumahnya. Sekalipun „urf
menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang kerumah pembeli, tetapi karena dalam
akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri kerumahnya,
maka „urf itu tidak berlaku lagi. 4.„urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum
yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan. „urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara‟, karena
kehujjahan „urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
‘Urf.
1. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi
(dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan
maka ia akan berdosa
2. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau
ditinggalkan mendapat pahala,
4. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak
berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala
5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau
dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyudin, Udin. (2013). Islamic Education and Moral Values 1. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Djalil, H. A. Basiq (2010). Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana.
Ilmy, Bachrul (2012). Pendidikan Agama Islam untuk Kelas X SMK. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Abdul Karim Zaidan, (1985). Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh. Beirut: Muassasat Al-Risalah
Abdul Wahhab Khalaf, (2003). Ilmu Ushul Fiqh. Penerjemah Faiz El-Muttaqin, Cet. I. Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Syeikh Muhammad Al-Khudari Bik, (1988). Ushul Al-Fiqh. Beirut: Dar Al-Fikr
Basiq Djalil, (2010). Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Muhammad Abu Zahrah, (1958). Ushul Al-Fiqh. Mesir: Daar Al-Fikr Al-’Arabi.
Satria Effendi, M. Zein, (2008). Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Soernarjo, (2006). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI.
Wahhab Al-Zuhaili, (1969). Al-Wasit fi Ushul al-Fiqh. Cet. II. Damaskus: Al-Matba’ah Al-Islamiyah.
1. TALFIQ • Talfiq ialah mencampur aduk antara dua mazhab dalam satu qadhiyyah (perkara).
Contoh: 1. wudhu’ & sembahyang.