Anda di halaman 1dari 7

Nama : Qonitatul ‘Ulya

Program Studi : Sosiologi


Mata Kuliah : Sosiologi Keluarga
Hari/Tanggal : Sabtu, 25 April 2020

A. Hak Perempuan Mewaris Berdasarkan Garis Keturunan Patrilineal di Indonesia

Sistem kekeluargaan pada masyarakat yang menganut system patrilineal,


menganut garis keturunan laki-laki dan merupakan generasi penerus orang tuanya
sedangkan anak perempuan bukan generasi orang tuanya.
Hukum waris di Indonesia sejak dahulu hingga saat ini masih beraneka ragam.
Masing-masing golongan penduduk sudah terbiasa untuk tunduk serta patuh terhadap
aturan-aturan yang berlaku dalam golongannya. Oleh karena itu hal-hal yang
berhubungan dengan kewarisan berkaitan erat dengan sistem kekeluargaan dan jauh
dekatnya hubungan antara keluarga orang perorangan. Dengan demikian jika salah satu
anggota keluarga meninggal, maka yang mempunyai hubungan darah paling dekat yang
lebih dahulu menjadi ahli warisnya, dengan melihat asal-usul dari hubungan tersebut.
R. Soepomo berpendapat bahwa Hukum Waris Adat memuat peraturan-
peraturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta
benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) pada turunannya.
Menurut Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa, hukum waris adat adalah
norma-noma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang
immateriil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya
serta yang sckaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.
Hukum waris adat adalah keseluruhan peraturan hukum dan petunjuk-petunjuk
adat, yang mengatur tentang peralihan maupun penerusan harta warisan dengan segala
akibatnya baik dilakukan semasa pewaris masih hidup maupun sudah meninggal dunia.
Hukum waris adat mempunyai keistimewaan tersendiri, karena harta warisan sudah
dapat dipindahkan, atau beralih maupun dioperasikan kepada penerimanya berdasarkan
hokum, pada waktu pewaris masih hidup dan umumnya ketika pewari sudah tua.
Persoalan waris tidak terlepas dari 3 unsur pokok yaitu:
1. Adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris (warisan), terdiri dari (Gambar 1)
2. Adanya pewaris
3. Adanya ahli waris
Tidak dapat dibagi ialah warisan yang mempunyai nilai magis religius
Harta Yang dapat dibagi seperti sawah, ladang, rumah, dll.
Pusaka

Harta yang dibawa ke pernikahan, terdapat dua pendapat yaitu;


1. tetap mjd hak suami atau istri
Harta Bawaan 2. setelah melampaui beberapa waktu menjadi milik bersama.

Harta yang diperoleh dalam perkawinan


Harta
Perkawinan

Hak yang didapat dari masyarakat, seperti sembahyang di tempat ibadah setiap agama masing-
masing.
Hak menggunankan kuburan, air sungai, memungut hasil hutan dll;

G
ambar 1. Detail bagian 1 (warisan)

B. Sistem Keturunan Patrilineal


Sistem Patrilineal merupakan sebuah sistem kekerabatan yang menarik garis dari
pihak Bapaknya saja. Hal ini mengakibatkan kedudukan pria tentunya lebih menonjol
pengaruhnya dibanding wanita dalam hal mewaris. Sistem patrilineal ini dianut oleh
beberapa suku, contohnya seperti suku Batak, Gayo, Nias, Karo, Papua, dan lain
sebagainya. Patrilineal merupakan sebuah adat masyarakat yang mengatur alur
keturunan berasal dari pihak Bapak.
Di dalam sistem patrilineal ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam
hukum waris sangat menonjol, contohnya yang ada pada masyarakat suku Batak dan
Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah
kawin dengan cara “kawin jujur” yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga
pihak suami, lalu ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang telah meninggal
tersebut. Dalam masyarakat Batak Karo, khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada
umumnya.
Berikut alasannya :
1. Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan dijual;
2. Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh
saudara dari suaminya yang telah meninggal;
3. Perempuan tidak mendapat warisan;
4. Perkataan "naki-naki" menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan,
dan lain-lain;
5. Pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukkan ketidaktahuan dan
sama sekali dangkal, sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusasteraan klasik,
kaum wanita tidak kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki.
SISTEM KEKERABATAN SUKU BANGSA KLUET DI ACEH SELATAN

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur


sosial. Kekerabatan adalah unitunit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang
memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan (genealogis). Anggota
kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek,
nenek, dan seterusnya. Masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan
lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Dilihat dari alur peran dan fungsi anggota keluarga dalam masyarakat, sistem
kekerabatan dapat dibedakan menjadi patrilineal dan matrilineal. Patrilineal adalah
suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan yang berasal dari pihak ayah.
Sebaliknya, matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan
yang berasal dari pihak ibu. Dalam hal ini, sistem kekerabatan yang dikaji lebih
difokuskan pada sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat suku bangsa Kluet.
Kluet adalah satu dari delapan suku bangsa yang ada di Provinsi Aceh. Mereka
termasuk suku bangsa minoritas yang tersebar di dua kecamatan: Kluet Timur dan Kluet
Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.
Kluet adalah suku bangsa yang unik, mengingat mereka memiliki budaya yang
berbeda dari suku bangsa yang lain. Komunitas mereka yang berada di lereng jajaran
pegunungan bukit barisan dan jauh dari pusat kota membuat mereka berkembang dalam
lingkungan yang alami dan lebih tahan dari dampak modernisasi. Namun mereka adalah
komunitas yang tidak maju karena mereka sangat peduli pada bidang pendidikan
sehingga generasinya menjadi generasi yang diperhitungkan dalam masyarakat yang
luas.
Berbeda dari masyarakat kebanyakan, masyarakat Kluet memiliki kebiasaan
yang berbeda dalam hal penyebutan dan pemanggilan kerabat tertentu. Dalam
masyarakat modern adalah hal yang lumrah menambahkan nama setelah panggilan,
misalnya Tante Ana, Bibi Aisyah, Paman Abdul, dan lain-lain di mana nama dijadikan
pembeda antara kerabat yang satu dengan lainnya yang berada pada tingkat yang sama.
Umpamanya ibu memiliki dua orang adik perempuan maka nama menjadi pembeda
panggilannya, yang seorang dipanggil Tante Santi dan yang satunya lagi dipanggil
Tante Lasti.
Namun, kebiasaan menambahkan nama adalah hal yang tabu bagi masyarakat
Kluet. Penambahan nama dipandang tidak sopan. Oleh karena itu, panggilan dibedakan
dengan urutannya, yaitu:
1. Saudara tertua : wak 4. Saudara keempat: aming
2. Saudara Kedua: ngah 5. Saudara kelima: apun
3. Saudara ketiga: alang
Kelima istilah ini dapat disandangkan pada istilah tertentu menurut
kebutuhan. Jika orang tersebut adalah saudara perempuan dapat ditambahkan
istilah mak, wak dan yuk. Hal ini menunjukkan bahwa adab kesopanan dalam
berkeluarga dan bermasyarakat di Kluet masih dijunjung tinggi.
Keluarga inti (nuclear family) biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak
mereka. Masyarakat kota seperti Banda Aceh cenderung pada bentuk keluarga ini di
mana satu rumah dihuni oleh satu keluarga inti saja. Bila ada yang berbeda, itu berarti
ada anggota keluarga di luar keluarga inti yang ditampung. Dalam suatu keluarga inti,
ayah dan ibu mempunyai peranan penting untuk mengasuh anak-anak sampai dewasa.
Peranan ini sudah menjadi tanggung jawab ayah dan ibu untuk memenuhi segala
kebutuhan keluarga seperti kebutuhan akan sandang pangan, kesehatan, dan pendidikan.
Tanggung jawab seorang ayah berupa pemberian nafkah kepada istri dan anak-anaknya
serta mendidik anaknya bila sudah besar untuk dapat mewarisi tanggung jawab keluarga
di kemudian hari. Sementara itu, tanggung jawab seorang ibu yaitu memenuhi
kebutuhan dalam rumah tangga adalah mempersiapkan makanan, mengasuh dan
merawat anak serta memelihara kebersihan rumah tangga.

Sistem Marga dalam Keluarga Inti Dilihat dari struktur garis keturunan dan
kekerabatan, masyarakat Kluet memiliki kesamaan dengan struktur garis keturunan dan
kekerabatan masyarakat Aceh pada umumnya, yaitu patrilineal yang mengikuti garis
ayah. Fakta ini dapat dibuktikan dengan penggunaan marga di belakang nama setiap
anak dari setiap keluarga. Marga yang disandang adalah mengikuti marga dari pihak
ayah/bapaknya. Karena pengelompokan masyarakat berdasarkan tempat tinggal, asal
keturunan dan sebagainya, berkembanglah sistem marga dalam masyarakat. Secara
garis besar ada 6 (enam) kelompok yang dinyatakan dengan marga, yaitu:
1. Marga Pelis 4. Marga Bencawan
2. Marga Pinim 5. Marga Caniago
3. Marga Seliyan 6. Marga Kerinci
Suku bangsa Kluet menganut bentuk sistem kekerabatan patrilineal dan
matrilineal. Dilihat dari sistem marga dan budaya perkawinan exogamy, yaitu
sistem perkawinan ke luar marga, dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya sistem
kekerabatan patrilineal dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Akan tetapi,
dilihat dari eksistensi keluarga luas serta peran dan fungsi niniak mamak yang
sangat penting dalam tatalaksana upacara adat juga menunjukkan bahwa mereka
juga menganut sistem kekerabatan matrilineal.

Pernikahan Kekerabatan Bani Kamsidin


Bani Kamsidin adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak
cucu/ keturunan Kamsidin. Bani Kamsidin asal usulnya terdiri dari ketiga anak
Kamsidin, yaitu Mujenib, Suki, dan Moh. Jailani yang melahirkan beberapa
keturunan dan saat ini sudah berada digenerasi kelima dari Kamsidin. Awalnya
Bani Kamsidin hanya bertempat tinggal di Desa Banjar Tabulu. Pada
perkembangan selanjutnya anak cucu atau keturunan Kamsidin tidak hanya
bertempat tinggal di Madura tetapi juga banyak yang migran. Ada yang migran
di Surabaya, Mojokerto, Pasuruan, dan Jember.
Bani Kamsidin merupakan suatu keluarga besar yang terdiri dari
beberapa keluarga yang melakukan pernikahan kekerabatan. Pernikahan
kekerabatan mulai dijalankan setelah Kamsidin dan Sardimah memberikan
pesan kepada anak-anaknya beserta menantu-menantunya untuk menikahkan
anak-anaknya secara kekerabatan atau anak dari anak-anaknya saling
dinikahkan. Pernikahan kekerabatan mulai dijalankan setelah Kamsidin dan
Sardimah memberikan pesan kepada anak-anaknya beserta menantu-
menantunya untuk menikahkan anak-anaknya secara kekerabatan atau anak dari
anak-anaknya saling dinikahkan. Sepeninggal Kamsidin pernikahan kekerabatan
selanjutnya dijalankan Sardimah dan anak-anaknya beserta
menantumenantunya. Oleh karena itu sampai saat ini Bani Kamsidin masih
melakukan dan mempertahankan pernikahan kekerabatan karena masih dijaga
secara turun temurun. Pada tahun 1974 pernikahan kekerabatan Bani Kamsidin
pertama kali dilakukan, yaitu pernikahan Mujella dan Muwilah. Pernikahan
yang sementara ini terakhir dilakukan adalah pernikahan Mushoffa dan Mujibah
pada tahun 2015.
Adapun motif-motif Bani Kamsidin melakukan pernikahan kekerabatan
sebagai berikut:
1. Motif Keyakinan Agama Bani Kamsidin melakukan pernikahan kekerabatan dan
dapat bertahan sampai sekarang karena adanya pesan Kamsidin dan Sardimah.
Alasan-alasan yang mendasari pesan mereka mengenai pernikahan kekerabatan
adalah faktor yang berasal dari dalam Bani Kamsidin sendiri. Oleh karena itu,
Bani Kamsidin terdorong untuk menjalankan pernikahan kekerabatan dan
mempertahankannya. Adapun Kamsidin dan Sardimah mengarahkan
keturunannya untuk menikah secara kekerabatan dilandasi dengan alasan-alasan
kehidupan beragama yang diyakini oleh Kamsidin dan Sardimah. Alasan-alasan
yang diyakini oleh keduanya adalah baik untuk keturunannya menurut mereka.

2. Motif Menjaga Keturunan Anak-anak dan menantu-menantu dari Kamsidin dan


Sardimah melanjutkan pernikahan kekerabatan dengan menjodohkan
anakanaknya dengan kerabat sendiri. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk
berusaha menjadi pemimpin yang baik untuk Bani Kamsidin seperti yang
dilakukan Kamsidin dan Sardimah. Harapan dari anak- anak dan menantu-
menantu Kamsidin dan Sardimah adalah pernikahan kekerabatan yang sudah ada
sejak tahun 1974 dilakukan dapat bertahan dan dilakukan secara turun temurun.
Oleh karena itu, mereka menurunkan atau meneruskan wasiat atau pesan
Kamsidin dan Sardimah kepada anak dan cucu mereka.

3. Motif Keutuhan Keluarga Kamsidin dan Sardimah memberi pesan atau wasiat
kepada keturunannya untuk melakukan pernikahan kekerabatan adalah demi
keutuhan Bani Kamsidin. Oleh karena itu, mereka memerintah keturunannya
untuk saling mencari satu sama lain agar tidak ada yang hilang dari Bani
Kamsidin dengan cara melakukan pernikahan kekerabatan.43 Pada dasarnya
Bani Kamsidin tidak mengetahui peristiwa apa yang melatarbelakangi Kamsidin
dan Sardimah sehingga memunculkan pernikahan kekerabatan pada
keturunannya. Namun demikian, dari perkembangan pernikahan kekerabatan
yang bermula dari tahun 1974, Bani Kamsidin dapat melihat bahwa Kamsidin
dan Sardimah memberikan perlindungan kepada keturunannya bahkan
sepeninggal mereka dengan melakukan perjodohan dan pernikahan kekerabatan
pada keturunannya.
Berikut syarat dari Kamsidin yang berisi lima larangan yaitu;
1. Larangan menikah dengan anak haram atau hasil hubungan intim di luar
nikah. Jika anak dari hubungan di luar nikah itu laki-laki, maka tujuh
keturunan ke bawah dari anak tersebut tidak boleh dinikahi oleh keturunan
Kamsidin. Jika anak dari hubungan di luar nikah itu perempuan, maka tiga
keturunan ke bawah dari anak tersebut tidak boleh dinikahi oleh keturunan
Kamsidin.
2. Larangan menikah dengan anak dari keluarga atau nenek moyangnya ada
yang melakukan bunuh diri.
3. Larangan menikah dengan anak dari keluarga atau nenek moyangnya ada
yang gila.
4. Larangan menikah dengan anak dari keluarga atau nenek moyangnya ada
yang memiliki penyakit lepra, bahkan termasuk keponakannya.
5. Larangan menikah dengan anak dari keluarga atau nenek moyangnya ada
yang memiliki penyakit ayan.
Pada dasarnya pernikahan kekerabatan Bani Kamsidin bermula dari
pesan Kamsidin dan Sardimah kepada anak-anaknya beserta menantu-
menantunya untuk menikahkan anak-anaknya secara kekerabatan atau anak dari
anak-anaknya saling dinikahkan. Pesan Kamsidin dan Sardimah tersebut
disampaikan secara turun temurun sampai sekarang. Bani Kamsidin melakukan
pernikahan kekerabatan pertama kali yaitu pada tahun 1974, yaitu pernikahan
Mujella (anak pertama Suki) dan Muwillah (anak ketiga Mujenib). Proses
pernikahan kekerabatan Bani Kamsidin yaitu nyabek ocak, serpang, certacer,
lamaran, ngalak sabek, akad nikah, resepsi pernikahan, ngirem, tongngebben,
dan main ke ponduk.
Perkembangan pernikahan kekerabatan yang dilakukan Bani Kamsidin
dari tahun 1974 sampai tahun 2015 dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu
periode inti Bani Kamsidin, periode penyatuan keluarga, dan peiode konflik.
Pernikahan kekerabatan yang telah dilakukan dari tahun 1974 sampai tahun
2015 oleh Bani Kamsidin, bukan merupakan waktu yang singkat. Mereka dapat
mempertahankan pernikahan kekerabatan karena adanya dorongan yang berasal
dari dalam dan luar Bani Kamsidin. Mulanya Bani Kamsidin melakukan
pernikahan kekerabatan atas dorongan keyakinan agama yang diyakini oleh
Kamsidin dan Sardimah yang diturunkan secara turun menurun dari anak-anak
dan menantu-menantunya.
Pada perkembangannya Bani Kamsidin melanjutkan pernikahan
kekerabatan adalah untuk menjaga keturunan dan keutuhan keluarga. Selain itu,
pernikahan kekerabatan memberikan dampak kepada Bani Kamsidin, meliputi
dampak hukum, sosial, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan psikologi.

Anda mungkin juga menyukai