Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Bencana


UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis”. Sementara Asian Disaster Preparedness Center (ADPC)
mendefinisikan bencana dalam formulasi “The serious disruption of the functioning of
society, causing widespread human, material or environmental losses, which exceed the
ability of the affected communities to cope using their own resources” (Abarquez & Murshed,
2004).
Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:
 Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard).
 Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi
dari masyarakat.
 Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat
untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang
mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi
hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri
peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi
peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana.
2.2 Tanah Longsor
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan
rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng.
Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam
tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang
berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya
akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.
1. Substansi & Jenis Tanah Longsor
 Bencana longsor dapat dibagi menjadi 3 substansi:
- Longsor Geologi: rock (batuan)
- Longsor Geoteknik/ mekanika tanah: soil (tanah)
- Longsor Hidraulik
 Ada beberapa jenis longsor, meliputi (Dikau dkk., 1997):
- Jatuh/ Runtuh (Fall).
- Tumbang (Topple.)
- Gelincir (Slide).
- Penyebaran (spreading).
- Aliran (flow).
- Kompleks atau gabungan.
2. Proses Terjadinya Tanah Longsor
Berikut adalah proses terjadinya longsor yang sering terjadi di beberapa wilayah di
Indonesia :
Proses Meresapnya Air ke Tanah – Proses pertama terjadinya tanah longsor adalah
proses resapan air hujan ke dalam tanah. Dimana peristiwa meresapnya air ini nantinya akan
mempengaruhi beban dalam tanah yang nantinya tanah akan berada diambang batas maksimal
dalam menampung air. Perubahan Tekstur Tanah – Yang dimaksud disini adalah apabila air
yang secara terus menerus menerjang tanah sampai suatu ketika dapat menembus ke bagian
tanah yang kedap air serta berperan sebagai bidang penggelincir maka tanah akan menjadi
licin. Tanah yang licin inilah nantinya akan akan mengalami pergerakan yang amat cepat
menuju ke bawah apabila hujan deras terjadi. Tanah Mengalami Pelapukan – Tanah yang
berada di permukaan akan mengalami pelapukan, begitu juga struktur lapisan tanah yang
berada di bawahnya begitu sampai dasar dari tanah. Pada peristiwa pelapukan inilah yang
nantinya akan menyebakan tanah bergerak mengikuti lereng dan kemudian keluar lereng
sehingga terjadilah tanah longsor.
3. Penyebab Tanah Longsor
Ada banyak faktor teknis yang menyebabkan terjadinya longsor baik faktor-faktor alam
maupun faktor akibat tindakan manusia, diantaranya (Richardson et al., 1990:
- Parameter hidraulik
- Karakteristik material dasar dan tebing sungai
- Karakteristik tebing
- Aliran di dalam (subsurface flows)
- Gelombang angina
- Faktor-faktor biologis
- Kehidupan binatang
- Faktor-faktor oleh manusia (man-induced factors)
4. Peristiwa Longsor pada CAT dan Non-CAT
 Cekungan Air Tanah (CAT) atau groundwater basin yang didefinisikan sebagai suatu
wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis
seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Sehingga
dapat dikatakan bahwa CAT adalah batas teknis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk air
tanah.
 Daerah Bukan CAT (Non-CAT) adalah wilayah yang tidak dibatasi oleh batas
hidrogeologis dan tidak atau bukan tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung serta tidak memiliki satu
kesatuan sistem akuifer.
5. Mitigasi Lonsor
Pencegahan
• menghindari atau mengurangi penebangan pohon yang tidak terkendali;
• penanaman vegetasi tanaman dengan perakaran yang dalam dan kuat;
• mengalirkan air genangan yang berada diatas lokasi yang rawan
longsor;
• menutup ttanah retak searah kontur dan atau yang membentuk tapal
kuda;
• daerah rawan longsor dilengkapi bangunan mekanik/teknik sipil;
Tahapan Mitigasi Bencana Tanah Longsor
pemetaan  penyelidikan  pemeriksaan  pemantauan  sosialisasi  pemeriksaan
bencana longsor
Upaya Mengurangi Longsor
• Menghindari pembangunan pemukiman di daerah dibawah lereng yang rawan terjadi
tanah longsor.
• Mengurangi tingkat keterjangan lereng dengan pengolahan lahan terasering di
kawasan lereng
• Menjaga drainese lereng yang baik untuk menghindarkan air mengalir dari dalam
lereng keluar lereng

2.3 Gunung Meletus


Gunung meletus merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma di dalam perut
bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Magma adalah cairan pijar yang
terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni diperkirakan lebih dari
1.000 °C. Cairan magma yang keluar dari dalam bumi disebut lava. Suhu lava yang
dikeluarkan bisa mencapai 700-1.200 °C. Letusan gunung berapi yang membawa batu dan
abu dapat menyembur sampai sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya bisa
membanjiri sampai sejauh radius 90 km. Tidak semua gunung berapi sering meletus. Gunung
berapi yang sering meletus disebut gunung berapi aktif.
1. Ciri – ciri Gunung Akan Meletus :
Gunung berapi yang akan meletus dapat diketahui melalui beberapa tanda, antara lain :
- Suhu di sekitar gunung naik.
- Mata air menjadi kering
- Sering mengeluarkan suara gemuruh, kadang disertai getaran (gempa)
- Tumbuhan di sekitar gunung layu
- Binatang di sekitar gunung bermigrasi
2. Hasil Letusan Gunung Berapi
Berikut adalah hasil dari letusan gunung berapi, antara lain :
 Gas vulkanik
Gas yang dikeluarkan gunung berapi pada saat meletus. Gas tersebut antara lain Karbon
monoksida (CO), Karbon dioksida (CO2), Hidrogen Sulfida (H2S), Sulfur dioksida (S02),
dan Nitrogen (NO2) yang dapat membahayakan manusia.
 Lava dan aliran pasir serta batu panas
Lava adalah cairan magma dengan suhu tinggi yang mengalir dari dalam Bumi ke
permukaan melalui kawah. Lava encer akan mengalir mengikuti aliran sungai sedangkan lava
kental akan membeku dekat dengan sumbernya. Lava yang membeku akan membentuk
bermacam-macam batuan.
 Lahar
Lahar adalah lava yang telah bercampur dengan batuan, air, dan material lainnya. Lahar
sangat berbahaya bagi penduduk di lereng gunung berapi.
 Hujan Abu
Yakni material yang sangat halus yang disemburkan ke udara saat terjadi letusan. Karena
sangat halus, abu letusan dapat terbawa angin dan dirasakan sampai ratusan kilometer
jauhnya. Abu letusan ini bisa menganggu pernapasan.
 Awan panas
Yakni hasil letusan yang mengalir bergulung seperti awan. Di dalam gulungan ini terdapat
batuan pijar yang panas dan material vulkanik padat dengan suhu lebih besar dari 600 °C.
Awan panas dapat mengakibatkan luka bakar pada tubuh yang terbuka seperti kepala, lengan,
leher atau kaki dan juga dapat menyebabkan sesak napas.
3. Antispisai dan Evakuasi Bahaya Gunung Meletus
Persiapan Dalam Menghadapi Letusan Gunung Berapi
- Mengenali daerah setempat dalam menentukan tempat yang aman untuk mengungsi.
- Membuat perencanaan penanganan bencana.
- Mempersiapkan pengungsian jika diperlukan.
- Mempersiapkan kebutuhan dasar
Jika Terjadi Letusan Gunung Berapi
- Hindari daerah rawan bencana seperti lereng gunung, lembah dan daerah aliran lahar.
- Ditempat terbuka, lindungi diri dari abu letusan dan awan panas. Persiapkan diri untuk
kemungkinan bencana susulan.
- Kenakan pakaian yang bisa melindungi tubuh seperti: baju lengan panjang, celana
panjang, topi dan lainnya.
- Jangan memakai lensa kontak.
- Pakai masker atau kain untuk menutupi mulut dan hidung
- Saat turunnya awan panas usahakan untuk menutup wajah dengan kedua belah tangan.
Setelah Terjadi Letusan Gunung Berapi
- Jauhi wilayah yang terkena hujan abu
- Bersihkan atap dari timbunan abu. Karena beratnya, bisa merusak atau meruntuhkan atap
bangunan.
- Hindari mengendarai mobil di daerah yang terkena hujan abu sebab bisa merusak mesin
4. Mitigasi Bencana Gunung Berapi
Upaya memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda akibat letusan gunung
berapi, tindakan yang perlu dilakukan :
- Pemantauan, aktivitas gunung api dipantau selama 24 jam menggunakan alat pencatat
gempa (seismograf). Data harian hasil pemantauan dilaporkan ke kantor Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) di Bandung dengan menggunakan
radio komunikasi SSB. Petugas pos pengamatan Gunung berapi menyampaikan laporan
bulanan ke pemda setempat.
- Tanggap Darurat, tindakan yang dilakukan oleh DVMBG ketika terjadi peningkatan
aktivitas gunung berapi, antara lain mengevaluasi laporan dan data, membentuk tim
Tanggap Darurat, mengirimkan tim ke lokasi, melakukan pemeriksaan secara terpadu.
- Pemetaan, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung berapi dapat menjelaskan jenis dan sifat
bahaya gunung berapi, daerah rawan bencana, arah penyelamatan diri, lokasi pengungsian,
dan pos penanggulangan bencana.
- Penyelidikan gunung berapi menggunakan metoda Geologi, Geofisika, dan Geokimia.
Hasil penyelidikan ditampilkan dalam bentuk buku, peta dan dokumen lainya.
- Sosialisasi, petugas melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta masyarakat
terutama yang tinggal di sekitar gunung berapi. Bentuk sosialisasi dapat berupa
pengiriman informasi kepada Pemda dan penyuluhan langsung kepada masyarakat.
2.4 Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk membangun masyarakat agar mereka
memiliki inisiatif melakukan aktivitas sosial agar mereka bisa membenahi situasi dan kondisi
mereka sendiri.
Menurut Fahrudin, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan
memandirikan masyarakat melalui 3 cara, diantaranya:
A. Enabling, menciptakan situasi yang memungkinkan lahirnya potensi masyarakat untuk
berkembang.
B. Empowering, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat dengan
meningkatkan kapasitas mereka.
C. Protecting, membangun sistem perlindungan untuk masyarakat yang sedang
dikembangnkan.
 Tujuan pemberdayaan masyarakat
Menurut penulis buku Pemberdayaan Masyarakat : Dalam Perspektif Kebijakan
Publik yaitu Prof. Dr. Ir. Totok Mardikanto, pemberdayaan masyarakat memiliki 6
tujuan.
A. Perbaikan kelembagaan (Better Institution): Kegiatan atau tindakan yang
dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat diharapkan bisa memperbaiki
kelembagaan di wilayah pemberdayaan.
B. Perbaikan Usaha (Better Business): Dengan adanya perbaikan pendidikan atau
semangat untuk belajar, perbaikan aksesibilitas atau keterjangkauan, serta
perbaikan kelembagaan diharapkan dapat memperbaiki usaha yang dijalankan.
C. Perbaikan Pendapatan (Better Income): Adanya aktivitas dalam rangka
perbaikan bisnis atau usaha di area binaan maka diharapkan dapat juga
meningkatkan pendapatan masyarakat binaan.
D. Perbaikan Lingkungan (Better Environment): Adanya usaha untuk memperbaiki
pendapatan maka diharapkan masyarakat juga bisa memperbaiki lingkungan. Karena
kerusakan lingkungan seringkali disebabkan oleh kemiskinan.

E. Perbaikan Kehidupan (Better Living) : Ketika pendapatan dan lingkungan sudah


membaik maka diharapkan pola hidup masyarakat juga membaik.

F. Perbaikan Masyarakat (Better Community): Pada akhirnya diharapkan terjadi


perbaikan secara keseluruhan di setiap elemen masyarakat.

 Prinsip

Dalam pemberdayaan masyarakat terdapat empat prinsip yang berfungsi agar


pemberdayaan yang dilakukan dapat sukses.

Keempat prinsip tersebut, diantaranya:


1) Kesetaraan: Ini adalah prinsip utama yang harus dipegang. Pada prinsip ini ada
keseteraan dan kesejajaran kedudukan antara masyarakat dengan lembaga yang
melakukan program-program pemberdayaan masyarakat.

2) Partisipasi: Program yang dapat menstimulasi kemandirian masyarakat adalah


program yang bersifat partisipatif.

3) Kemandirian: Prinisip ini adalah menghargai dan mengedepankan kemampuan


masyarakat daripada bantuan pihak lain. Dalam prinsip ini tidak melihat orang
miskin sebagai objek yang tidak mampu tetapi sebagai subjek yang memiliki
kemampuan sedikit.

4) Berkelanjutan: Pada dasarnya program pemberdayaan harus memiliki tujuan yang


berkelanjutan. Ia harus secara perlahan memberikan masyarakat peran yang
dominan terhadap pemberdayaan bukan lagi pendamping yang berperan dominan.

 Tahapan
Setidaknya ada tujuh tahapan untuk melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
1. Persiapan
Pada tahap ini ada dua hal yang harus dilakukan yaitu penyiapan petugas/sdm dan
penyediaan lapangan.

Penyiapan petugas dapat dilakukan oleh community worker. Kemudian penyediaan


lapangan yang pada dasarnya diusahakan dilakukan secara non-direktif.

2. Pengkajian (assesment)
Ini merupakan tahap dalam penilaian suatu daerah yang akan dibina. Tahap ini dilakukan
dengan tujuan mengidentifikasi masalah yang diperlukan dalam daerah yang akan dibina.

3. Perencanaan Alternatif Program


Tahap selanjutnya adalah bahwa pihak yang akan melakukan pemberdayaan melibatkan
masyarakat untuk berpikir masalah yang mereka hadapi dan mencari solusinya.

4. Formalisasi Rencana Aksi


Pihak yang akan melakukan pemberdayaan membentuk kelompok dan melakukan
rancangan program-program apa saja yang akan dilaksanakan guna memecahkan
masalah.
5. Pelaksanaan Program
Ini masuk ke dalam tahap eksekusi. Program-program yang sudah dirancang mulai
dieksekusi alias diterapkan pada masyarakat yang diberdayakan.

6. Evaluasi
Usai melaksanakan program, tentu ada saja kesalahan yang terjadi. Hal tersebutlah yang
kemudian menjadi evaluasi agar program ke depannya bisa lebih baik lagi.
Dalam tahap evaluasi juga sebaiknya melibatkan warga untuk melakukan pengawasan
terhadap program yang berjalan.

7. Terminasi
Tahap terakhir dalam pemberdayaan masyarakat adalah terminasi. Tahap ini adalah tahap
dimana pihak yang memberdayakan melakukan pemutusan hubungan secara formal
dengan masyarakat yang dibina.

2.5 Pemberdayaan Masyarakat Pada Masyarakat Pegunungan


1) Pelestarian Hutan dan Lingkungan
Ancaman kerusakan hutan dari hari ke hari semakin meningkat, sebagian besar
kerusakan hutan adalah karena adanya pembukaan lahan baru yang tidak mengikuti
kaidah ekologi atau lingkungan. Banyak sekali hutan dirusak hanya untuk
kepentingan tertentu dari individu maupun kelompok atau institusi tanpa ada
pertimbangan untuk pelestariannya. Adanya pengembangan wilayah pemukiman, atau
daerah pemekaran yang membutuhkan lahan baru untuk pembangunan daerahnya
akan mengakibatkan dibukanya hutan. Akibat dari semuanya ini akan merusak
keseimbangan ekosistem lingkungan, hutan yang sudah banyak rusak akan memberi
pengaruh buruk pada lingkungan.
Jika hutan kita menjadi gundul atau terbakar, sehingga lingkungan hidup kita rusak,
siapa biang keladinya? Penduduk miskin di hutan-hutan dan sekitar hutan menebang
hutan negara untuk memperoleh penghasilan untuk makan. Tetapi kayu- kayu yang
diperolehnya ditampung calo-calo untuk dijual, dan kemudian dijual lagi untuk
ekspor, yang semuanya “demi keuntungan”. Siapa yang paling bersalah dalam proses
perusakan lingkungan ini? (Mubyarto, 2004)
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber
daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh
di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan
manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah
segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya,
bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti
tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri). Lingkungan,
di Indonesia sering juga disebut “lingkungan hidup“. Misalnya dalam
Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain (Wikipedia Ensiklopidia Bebas Indonesia, 2009).
Dengan pemahaman lingkungan hidup diatas, maka upaya pelestarian lingkungan
hidup adalah upaya pelestarian komponen-komponen lingkungan hidup beserta fungsi
yang melekat dan interaksi yang terjadi diantara komponen tersebut. Adanya
perbedaan fungsi antara komponen dan pemanfaatan dalam pembangunan, maka
pelestarian tidak dipahami sebagai pemanfaatan yang dibatasi. Namun pelestarian
hendaknya dipahami sebagai pemanfaatan yang memperhatikan fungsi masing-
masing komponen dan interaksi antar komponen lingkungan hidup dan pada
akhirnya, diharapkan pelestarian lingkungan hidup akan memberikan jaminan
eksistensi masing-masing komponen lingkungan hidup.
Dengan adanya jaminan eksistensi, lingkungan hidup yang lestari dapat diwujudkan.
Upaya pelestarian lingkungan hidup yang telah dilakukan oleh banyak pihak selama
ini menunjukan banyak keberhasilan dan tidak sedikit yang mengalami hambatan
dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam masing-masing aspek. Upaya-upaya
tersebut lebih terlihat sebagai gerakan yang berdiri sendiri di masing- masing lokasi,
kasus dan aspek lingkungan yang dihadapi. Selain itu, upaya pelestarian yang telah
dilaksanakan kurang dirasakan manfaat /kegunaan baik secara jangka menengah
maupun jangka panjang, hal ini terjadi karena kurangnya kepedulian dan
pengetahuan serta informasi yang jelas dan menyeluruh tentang manfaat
pelestarian hutan bagi aspek kehidupan yang lainnya dan bagi lingkungan secara luas.
Melestarikan hutan berarti melestarikan lingkungan hidup, karena dengan
menyelamatkan hutan berarti juga menyelamatkan semua komponen kehidupan.
Jika kita mengetahui mengenai sesuatu mengenai potensi alam dan faktor-faktor
yang membatasi kita dapat menentukan penggunaan terbaik. Ekosistem-ekosistem
baru yang berkembang yang diciptakan manusia, seperti pertanian padang rumput,
gurun pasir yang diairi, penyimpanan-penyimpanan air, pertanian tropika akan
bertahan untuk jangka waktu lama hanya jika keseimbangan-keseimbangan material
dan energi tercapai antara komponen-komponen biotik dan fisik. Karena itu penting
sekali untuk melestarikan hutan.
Melakukan pelestarian hutan sama dengan menyelamatkan ekosistem dari hutan itu
sendiri, ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu
tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan itu
terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi
antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen mempunyai
fungsi atau relung, selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan
bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem itupun terjaga. Keteraturan
ekosistem menunjukkan ekosistem tersebut ada dalam suatu keseimbangan tertentu.
Keseimbangan itu tidak bersifat statis malainkan dinamis, ia selalu berubah-ubah,
kadang-kadang perubahan itu besar dan kadang-kadang kecil. Perubahan itu dapat
terjadi secara alamiah maupun sebagai perbuatan manusia (Soemarwoto, 2000).
Pada kenyataannya unsur-unsur yang ada dalam lingkungan hidup tidak bisa berdiri
sendiri, melainkan harus terintegrasi dengan komponen lain yang berkaitan dalam
suatu sistem. Pelestarian dan menyelamatkan hutan, berarti menyelamatkan
lingkungan, hutan yang mempunyai multi fungsi akan menyelamatkan semua
komponen kehidupan di bumi ini bila manusia mau melestrikannya. Penting kiranya
melestarikan hutan dengan melihat peran strategis masyarakat yang ada di sekitar
kawasan untuk terlibat di dalamnya baik dalam proses perencanaan, pengelolaan
hingga mekanisme pasar terkait dengan hasil-hasil hutan. Jika strategi ini dilakukan
hutan akan membawa manfaat yang sangat besar bagi lingkungan, masyaakat dan
secara global hutan memberikan kontribusi bagi paru-paru dunia dan dapat
mengurangi pemanasan suhu bumi, yang pada akhirnya bisa mencegah kekeringan
saat kemarau dan mencegah banjir dan longsor saat musim hujan.
2) Model Pemberdayaan Masyarakat Pasca Erupsi Gunung Merapi
Tlogole-le adalah desa di Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia.
Desa ini terletak dekat dari puncak Gunung Merapi dan berada pada zona
berbahaya (berjarak 4 km dari puncak) dengan kondisi daerah berada di dataran
tinggi berbatasan langsung dengan Gunung Merapi dan berjarak kurang lebih 4 km
dari puncak Gunung Merapi. Desa Tlogolele mempunyai luas wilayah 463.1376 Ha
dibagi menjadi 4 Dusun, 8 Dukuh, 5 RW dan 19 RT. Karena lokasi wilayah di
lereng gunung maka banyak diantara waraga yang bekerja sebagai petani dan
buruh tani di lading/tegalan (Sumber: Data Demografi Desa Tlogolele 2012).
Hasil dari identifikasi dan analisis permasalahan serta potensi sumber daya di
lokasi penelitian berdasarkan proses wawancara, FGD dan obervasi terhadap
masyarakat pascaerupsi Gunung Merapi, yaitu masyarakat lebih menekankan pada
kebutuhan program pemberdayaan secara komprehensif, mulai dari kegiatan
penyuluhan, pelatihan dan pendampingan sebagai suatu kesatuan. Hal tersebut
berguna untuk pemulihan (recovery) usaha-usaha ekonomi masyarakat yang dulu
telah terbentuk dan menjadi mata pencaharian. Sebagaimana dalam hasil penelitian
Andrayani (2011: 47) yang salah satunya membahas kebutuhan awal untuk
pemenuhan ekonomi bagi masyarakat Merapi antara lain menghidupkan kembali
usaha lama yang tidak memerlukan pembenahan fisik terlebih dahulu, aktifitas
perdagangan di pasar tradisional, pemberian benih, pemberian modal atau kredit
lunak, alat produksi, pakan ternak, pendampingan UMKM sampai kepada pe-
masaran hasil produksi, menciptakan mata pencaharian baru dan atau memanfaatkan
material yang ada. Revitalisasi kelompok tani maupun koperasi sebagai sentra
pemulihan, pemberdayaan dan terwujudnya kemandirian desa di sekitar lereng
Merapi perlu dilakukan.
Maka dalam penelitian ini terdapat tahapan hasil penelitian berupa, identifikasi
masalah dan potensi yang ada di masyarakat. Tahapan berikutnya menganalisis dan
mencari solusi kongkrit, kemudian tahapan pembuatan model pemberdayaan.
Rangkaian tahapan hasil penelitian ini merupa- kan hasil dari, oleh dan untuk
masyarakat pascaerupsi di lokasi penelitian Gunung Merapi. Mengggunakan metode
Participatory Rural Apprasial (PRA) sebagai istilah dalam pendekatan penelitian
yang meng- gunakan metode partisipatif dengan me- nekankan kepada pengetahuan
lokal dan kemampuan masyarakat untuk membuat penilaian sendiri, menganalisis
sendiri, dan merencanakan sendiri apa yang dibutuh- kan. PRA memfasilitasi
proses saling berba- gi informasi (information sharing), analisis dan aktifitas antar
stakeholders.
Menurut Syahyuti (2006: 143) PRA intinya adalah “...to enable development
practiotioners, goverment official, and local people to work together to plan context
ap- propriate programs” (Syahyuti, 2006: 143).
Hal tersebut diperkuat oleh konsep dari Nair dan White (2004: 176) tentang
model pembaharuan budaya dalam proses pembangunan yang memperhatikan
sensitifitas, menghormati keberagaman dan ber- sifat toleran yang difahami melalui
dialog untuk menilai kebutuhan serta mereflek- sikan proses aksi. Rangkaianya
adalah:
(1) Tahapan mendiagnosa proses, dengan mengartikulasi kebutuhan,
mengidentifikasi, menginventarisir, membuat peta alternatif menuju pada tahap
selanjutnya;
(2) Tahapan proses penelitian partisiatif, di awali dengan memilih beberapa
alternatif, merancang penelitian, mengumpulkan data, dan menganalisis data
menuju tahapan berikutnya;
(3) Tahapan proses aksi, yang di mulai dengan melanjutkan tindakan, mem-
perhitungkan, merefleksikan dan memikirkan konsep.
Maka berdasarkan hal tersebut, hasil penelitian di masyarakat pascaerupsi Gunung
Merapi di keempat lokasi, adalah sebagai berikut:
Model Pemberdayaan di Desa Tlogolele
Pertama, Identitikasi masalah, yaitu:
(1) Masyarakat belum maksimal dalam
memanfaatkan akses jaringan internet untuk pemasaran, promosi, menjalin akses
kerjasama atau kemitraan. Padahal sudah
terdapat fasilitas jaringan internet di kantor desa;
(2) Kegiatan pendampingan hanya dilakukan pada proses produksi, tetapi belum
sampai ke proses pemasaran pascaproduksi;
(3) Kelompok siaga bencana masih kurang siap dan mampu untuk menangani
bencana yang lebih besar seperti dalam menyediakan tempat penampungan evakuasi;
(4) Peternakan sapi yang belum maksimal dalam proses penggemukan dan
pembuatan pupuk organik;
(5) Kurangnya kesadaran petani untuk melakukan budi daya pertanian
organik, sehingga masih memiliki ketergantungan pada pupuk kimia (non organik);
(6)Terdapat kesulitan untuk memenuhi kebu-
tuhan bibit sayuran dan pupuk;
(7) Peternak dan pasar belum terintegrasi, sehingga harga daging ditentukan oleh
tengkulak;
(8) Masih rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hal ini diindikasikan
dengan masih besarnya jumlah lulusan sekolah dasar, dikarenakan masyarakat masih
mengangap keberlanjutan pendidikan hanya menjadi beban ekonomi keluarga dan
masih adanya budaya pernikahan pada usaha dini;
(9) Masalah pada fasilitas umum pasca bencana adalah air bersih, jalan umum, jalur
evakuasi, jembatan dan jaringan irigasi yang masih dalam keadaan rusak; (10)
Belum ada sertifikasi untuk tanaman organik, sehingga hasil tanaman organik ketika
dipasarkan dihargai sama dengan yang hasil non organik;
(11) Terdapat sebagian dari masyarakat yang masih belum sadar bahaya bencana
merapi, sehingga kembali lagi ke zona (wilayah) tempat tinggalnya yang
dikatagorikan bahaya. Karena merasa kesulitan be- radaptasi dan kehilangan tempat
pencaha- rian jika tinggal di tempat evakuasi (wilayah baru);
(12) Masyarakat menilai bantuan dan pendampingan baik dari LSM dan
pemerintahan masih belum selesai, karena kurang- nya pada tahap pendampingan;
(13) Belum bisa memanfaatkan hasil pertanian menjadi bahan olahan makanan,
terbukti belum ada kelompok usaha olahan makanan;
(14) Belum berkembang lembaga ekonomi bersa- ma seperti koperasi untuk
membantu hasil produksi dan pemasaran dari perternakan serta pertanian.
Kedua, Potensi yang teridentifikasi yaitu:
(1) Adanya potensi dan minat dari masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas
jaringan internet yang tersedia di desa;
(2) Terdapat potensi yang cukup besar di bidang peternakan seperti sapi, kambing
dan ikan lele;
(3) Potensi besar dibidang pertanian seperti sayur mayur organik dan tembakau;
(4) Sudah terbentuknya kelom- pok tani dan kelompok siaga bencana yang sudah
diberikan pelatihan serta memiliki pengalaman menangani bencana baik ska- la
kecil maupun besar. Kemudian memiliki semangat dan kepedulian yang tinggi dari
masyarakat terhadap tanggap bencana;
(5) Ada tempat relokasi untuk hunian tetap yang telah disediakan oleh pemerintah
bagi masyarakat yang daerahnya terkena benca- na erupsi gunung merapi;
(6) Masyarakat masih memiliki semangat untuk menerima dan bekerjasama dengan
pihak luar seperti untuk kegiatan penyuluhan, pelatihan, ban- tuan dan
pendampingan;
(7) Sudah terdapat kelompok simpan pinjam yang diasumsikan oleh masyarakat
sebagai lembaga koperasi yang belum diformalkan atau belum ada ijin pendirian
secara resmi.
Ketiga, Analisis dan solusinya:
(1) Perlu ada pelatihan internet bagi perang- kat desa, kelompok usaha dan
kelompok siaga bencana;
(2) Perlu perbaikan fasilitas jaringan telekomunikasi serta internet;
(3) Memerlukan pelatihan dan pendampin- gan peternakan sapi dan pertanian
sayur mayur organik;
(4) Mengintegrasikan hasil peternakan dan hasil pertanian mulai dari proses
produksi sampai pemasaran;
(5) Bagi kelompok siaga bencana memerlukan pelatihan lanjutan secara periodik
untuk mengantisipasi terjadinya bencana yang tidak terduga;
(6) Memerlukan penyuluhan, pendekatan dan pendampingan yang lebih
komprehensif, mulai dari aspek psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya terhadap
masyarakat yang masih menolak untuk direlokasi;
(7) Mengusulkan perbaikan fasilitas umum seperti air bersih, jalan dan irigasi kepada
pihak pemerintah;
(8) Memerlukan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan untuk pembentukan
koperasi yang berbadan hukum sebagai lembaga ekonomi bersama bagi kelompok
usaha masyarakat.

Windiani, 2010. Strategi pemberdayaan maysarakat di kawasan hutas sebagai langkah


antisipatif dalam penanganan bencana banjir dan tanah longsor di kabupaten trenggalek.
Vol 3, no. 1. Jurnal sosial humaniora

Masrukin, dkk, 2013. Model pemberdayaan masyarakat pascaerupsi gunung merapi di jawa
tengah dan yogyakarta. Vol. 2, no. 5. Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas jendral
soedirman

BPBD Tanjung. Jenis Bencana Gunung Meletus. Diakses pada tanggal 12 Desember 2020.
Pada https://bpbd.tanjungbalaikota.go.id/jenis-bencana/gunung-meletus/

Qazwa.id. Pemberdayaan Masyarakat. Diakses pada tanggal 12 Desember 2020. Pada


https://qazwa.id/blog/pemberdayaan-masyarakat/

Bpsdm. Pengertian, Definisi, dan Jenis Tanah Longsor. Diakses pada tanggal 12 Desember
2020. Pada bpsdm.pu.go.id

Academia.edu . Makalah Konsep Dasar Manajemen Bencana . Diakses pada tanggal 12


Desember 2020. Pada
https://www.academia.edu/36574695/MAKALAH_KONSEP_DASAR_MANAJEMEN_BENCANA
?auto=download

Anda mungkin juga menyukai