Anda di halaman 1dari 23

Aplikasi Analytical Spectral Device (ASD) pada Pemetaan

Ubahan Projek Seruyung, Kalimantan Timur, Indonesia

REFERAT

Oleh:

Extivonus Kiki Fransiskus

12012060
Makalah ini adalah makalah referat yang bertujuan untuk latihan presentasi yang bersumber
dari

Atmasari Rura, Priyo Widekso, Arif Purnomo, Jesse Umbal, 2011, Application of an
Analytical Spectral Device (ASD) in Alteration Mapping of the Seruyung Project, East
Kalimantan, Indonesia, Majalah Geologi Indonesia, v.26, no.3 (Desember 2011), pp. 155-171

sehingga buah pikiran yang dituangkan dalam makalah ini hampir seluruhnya adalah buah
pikiran dari sumber

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan akan sumber daya mineral terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Selain memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, mineral merupakan komoditi
penunjang pendapatan negara yang cukup besar. Eksplorasi sumber daya mineral terus
berkembang dan menuntut setiap pelaku usaha pertambangan bersaing untuk mendapatkan
cadangan yang sesuai dengan perkiraan ekonomi. Setiap pelaku usaha akan
memperhitungkan setiap tahap dalam penambangan agar menghasilkan profit, termasuk di
dalamnya adalah tahap eksplorasi.
Eksplorasi memegang peranan penting dalam cikal bakal pemanfaatan sumber daya
mineral. Dari tahap inilah kita mampu mengetahui daerah mana yang akan menjadi daerah
produksi. Maka dari itu, tingkat akurasi data menjadi kunci penentu dalam suatu usaha
pertambangan. Data geologi yang didapat akan digunakan untuk mengetahui karakteristik
dari daerah prospek yang akan dimanfaatkan kedepannya. Selain itu data geologi sangat
penting untuk menentukan metode penambangan apa yang cocok dan sesuai dengan
kondisi geologi daerah prospek. Maka dari itu, perlunya suatu kuantifikasi data geologi
sehingga dapat diketahui dimana batas-batas daerah prospek dan kandungan mineral yang
terkandung dalamnya. Pemetaan geologi tentunya menjadi semakin akurat bila dilengkapi
dengan data-data penunjang lainnya sehingga tingkat kesalahan terhadap data geologi
dapat ditekan.
Dewasa ini, pemetaan dan studi karakteristik daerah ubahan telah berkembang pada
tahap yang selangkah lebih maju. Penggunaan peralatan dan pemanfaatan perangkat lunak
menjadi alat pendukung untuk mengetahui sifat, jenis, dan letak daerah prospek. Oleh
karena itu, penulis akan membahas karakteristik daerah ubahan pada Projek Seruyung
dengan salah satu metode pemetaan daerah ubahan menggunakan Analytical Spectral
Device (ASD TerraSpec).

1
2.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, muncul
persoalan yaitu,
1. Apakah karakteristik daerah ubahan Projek Seruyung?
2. Bagaimana penggunaan Analytical Spectral Device (ASD) pada pemetaan
daerah ubahan Projek Seruyung?

3.1 Ruang Lingkup Kajian


Kajian yang akan dibahas untuk menjawab rumusan masalah pada makalah ini
melingkupi penjelasan mengenai geologi regional daerah Serayung, prinsip kerja
Analytical Spectral Device (ASD), prosedur pengukuran dan pengolahan data, dan
karakteristik endapan mineral pada daerah penelitian.

4.1 Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan makalah ini antara lain :
1. Mengetahui karakteristik daerah ubahan pada Projek Seruyung.
2. Memahami penggunaan Analytical Spectral Device (ASD) pada pemetaan
daerah ubahan Projek Seruyung?

5.1 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menyusun makalah ini adalah
metode studi literatur, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai sumber
tertulis. Literatur utama yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah makalah
yang berjudul Application of an Analytical Spectral Device (ASD) in Alteration Mapping
of the Serayung Project, Kalimantan Timur, Indonesia yang disusun oleh Atmasari Rura,
Priyo WIdekso, dan Jesse Umbal pada tahun 2011. Makalah Atmasari Rura, Priyo
WIdekso, dan Jesse Umbal tersebut diambil dari jurnal Majalah Geologi Indonesia V6
No3. Selain itu, penyusunan makalah ini juga dilengkapi dengan data dan literatur yang
diperoleh dari internet, jurnal geologi, dan buku-buku geologi yang saling menunjang satu
sama lainnya.

2
6.1 Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terbagi menjadi lima bab dengan pembahasan seperti berikut :
BAB I Bab ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup
kajian, tujuan, metode pengumpulan data, dan sistematika pembahasan.
BAB II Bab ini memaparkan fisiografi daerah penelitian, tatanan tektonik daerah
penelitian, dan tatanan stratigrafi daerah penelitian
BAB III Bab ini menjelaskan proses ubahan hidrotermal dan aplikasi Analytical Spectral
Device (ASD TerraSpec)
BAB IV Bab ini merupakan analisis dan pembahasan terhadap data- data dan hasil
penelitian.
BAB V Bab ini berisi kesimpulan terhadap hasil penelitian.

3
BAB II

GEOLOGI REGIONAL

2.1 Fisiografi Daerah Penelitian


Projek Seruyung terletak di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara
(dahulu bagian dari Provinsi Kalimantan Timur). Secara geografis daerah Seruyung
terletak pada 114°-116° BT dan 1° 21’ - 4° 10’ LU. Bagian barat Kabupaten Malinau
berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Bagian selatan berbatasan dengan
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat. Sedangkan bagian timur dan
utara bernatasan dengan Kabupaten Berau dan Kabupaten Nunukan.

Letak Daerah Seruyung

Gambar 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan dan Lokasi Daerah Seruyung (Bakhtiar, 2006).

Secara fisiografi daerah penelitian terletak di Cekungan Tarakan yang terletak di


bagian timurlaut dari Pulau Kalimantan. Cekungan Tarakan dibatasi oleh Tinggian
Sekatak-Berau, Tinggian Semporna pada bagian utara cekungan, dan Selat Makasar yang
membatasi bagian timur dan tenggara dari. Karakteristik dari cekungan ini adalah dominasi
dari batuan sedimen klastik yang memiliki ukuran halus hingga kasar.

4
2.2 Tatanan Tektonik Daerah Penelitian
Daerah Serayung yang merupakan bagian dari Cekungan Tarakan, terpisahkan dari
Cekungan Kutai oleh Tinggian Mangkalihat. Pada bagian barat dibatasi oleh Tinggian
Sekatak-Berau, dan pada batas bagian utara dibatasi oleh Tinggian Semporna.

Sejarah tektonik Cekungan Tarakan dimulai dari terjadinya pemekaran Selat


Makasar yang memisahkan Sulawesi dari Kalimantan pada Eosen Tengah (Lentini dan
Darman, 1996, dalam Satyana, 1998). Daerah penelitian terletak di bagian baratdaya dari
busur vulkanik Tawau di Malaysia hingga Tawi-tawi-Sulu di Filipina. Busur vulkanik ini
berkaitan dengan subduksi pada lempeng Filipina pada Miosen.

Letak Daerah Seruyung

Gambar 2.2 Kerangka tektonik Kalimantan dan daerah sekitarnya (Satyana, 1998)

Aktivitas magmatik pada bagian timurlaut Pulau Kalimantan terlihat jelas pada
Neogen. Subduksi lempeng Proto China yang berarah selatan pada kala Miosen Tengah
hingga Miosen Akhir menghasilkan magmatisme pada daerah Semporna dan Semenanjung
Dent. Subduksi pada awalnya didahului oleh terjadinya kolisi sekitar Miosen Akhir yang
menghasilkan batuan granit pada Gunung Kinabalu (Setijadji, Basuki N.I, 2010). Batuan
tertua Daerah Seruyung adalah sekuen batuan sedimen berumur Pra-Tersier hingga
Paleogen yang mengalami intrusi pada masa Kenozoikum, seumur dengan hampir
Tinggian di Kalimantan Tengah. Fasa termuda dari aktivitas magmatic di Kalimantan
adalah aliran lava basaltic yang terjadi pada kala Plio-Pleistosen yang nampak pada
Cekungan Tarakan yaitu Kunak basalt pada Semporna dan Semenanjung Dent.

5
2.2 Tatanan Stratigrafi Daerah Penelitian
Cekungan Tarakan terendapkan di atas basement berumur Pra-Tersier. Cekungan
Tarakan terbagi atas beberapa sub-cekungan antara lain Sub-cekungan Tidung, Sub-
cekungan Berau, Sub-cekungan Tarakan, dan Sub-cekungan Muara. Batas-batas antar sub-
cekungan tidak nampak jelas , beberapa diantaranya dibatasi oleh sumbu lipatan atau zona
sesar.

Letak Daerah Seruyung

Gambar 2.3 Letak sub-cekungan yang ada di Cekungan Tarakan (Satyana, 1998)

Stratigrafi Cekungan Tarakan terdiri dari :

1. Formasi Benggara
Formasi Benggara tersusun dari perselingan batulempung, batulanau, serpih
dan sisipan tuf. Batuan pada formasi ini berumur Pra-Tersier dan memiliki
banyak gores-garis dan urat kuarsa. Formasi ini ditemukan di Sub-cekungan
Tidung.

6
2. Formasi Sembakung
Adanya proses transgresi pada umur Eosen Tengah menyebabkan formasi
Sembakung terendapkan diatas Formasi Danau. Formasi yang berumur
Eosen ini tersusun atas perselingan batupasir, batugamping, batulempung,
batulanau, serpih dan batugamping foraminifera.
3. Formasi Jelai
Formasi Jelai berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal dapat ditemukan di
bagian barat dari Sub-cekungan Tidung. Lithologi penyusun dari formasi
ini adalah breksi vulkanik. Breksi ini terdiri dari fragmen batuan beku
bersifat basa dengan batulanau tufan sebagai matriksnya.
4. Formasi Naintupo
Formasi yang terletak di Sub-Cekungan Muara memiliki litologi serpih
akibat adanya kontak antara Formasi Tabalar dan Formasi Birang (yang
hampir sama dengan Formasi Naintupo). Selain itu kehadiran serpih juga
diakibatkan adanya siklus regresi-transgresi pada Miosen Tengah-
Pleistosen.
5. Formasi Meliat
Formasi ini diendapkan pada awal Miosen tengah dengan litologi penyusun
adalah dominasi batupasir berukuran halus hingga kasar dengan fragmen
kuarsa.
6. Formasi Tabul

Formasi ini tersusun atas perselingan antara lumpur, batugamping,


batulempung, batubara, dan batupasir. Seluruh potensi hidrokarbon pada
Cekungan Tarakan tersebar di formasi Meliat dan Formasi Tabul.
Hidokarbon dihasilkan dari serpih yang mengandung karbon dan batubara
(Satyana, 1998).

7. Formasi Sinjin
Formasi Sinjin terdiri dari perselingan tuf, breksi tuf, aglomertat, dan lava
piroksen
8. Formasi Sajau
Formasi Sajau disebut juga Formasi Tarakan berumur Miosen Akhir hingga
Pliosen, terdiri dari batupasir, serpih, dan lapisan batubara dan terendapkan
pada lingkungan pengendapan delta

7
Gambar 2.4 Kolom Stratigrafi daerah Tarakan dan Sebatik (Hidayat S, 1995)

8
FORAM-ZONE
PLANKTONIK
Chrono-Stratigraphy Lithostratigraphy Global Relative Change of
Coastal Onlap
M.Yrs System Series Barito Kutai Tarakan (Vail et al., 1977)
W E W EW E Landward Basinward
N 23 0.8
Quarternary Pleistocene Handil Dua Attaka Bunyu N 22
1.65 1.65
N 21 3.0
cene
Plio-

E L

3.50 N 20
Sepinggan Lst 4.2
N 19

TB 3
Kampung Baru Tarakan N 18
5.20 5.5
Dahor N 17
Late
NEOGENE

Domaring N 16

Balikpapan
Tabul N 15

Group
10.20 N 14 10.20 10.2
Meruat Meliat
Middle

N 13
Miocene

N 12 12.5
Meliat Ss
Warukin N 11

TB 2
13.8
Latih N 10
N9
15.5
Pulau Balang N8
16.20 16.5
Naintupo N7
Bebulu N6
Early

Tubalor
Klinjau

20.00
N5 20.00 21.0
T E R T I A R Y

22.0

TB 1
N4

25.20 25.5
Late

26.5
Oligocene

P 22
Pamaluan
Berai Mesaloi 28.4
Marah
P 21
30.00 30.00 30.0
Early

P 20
P 19

TA 4
33.0
Seilor
Atan Beds
PALEOGENE

P 18
36.00 36.0
P 17
Late

37.0
P 16
38.0
Sulau P 15
39.40 39.40 39.4
P 14

?
Eocene

P 13
Middle

Sembakung

TA 3
Boh Beds P 12 42.5
? ? ?
? P 11
44.0

Tanjung
P 10
48.5
49.00 ? P9 49.00
Early

Keham Halo P8
TA 2
P7

54.00 P6
? P5
Paleo-

Late
cene

P4

P3
109.50 109.5
+++++ ++++ +++++
PRE-TERTIARY +++++ +++++ +++++

Gambar 2.5 Litostratigrafi Cekungan Tarakan (Courtney, 1991, dalam Bachtiar, 2006)

9
BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Proses Ubahan Hidrotermal


Proses ubahan hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang
mengakibatkan perubahan mineralogy, tektur, maupun kandungan kimia dari batuan
akibat reaksi dari larutan sisa magma, air meteoric, dan gas pada batuan samping yang
berada pada kondisi padat. Larutan hidrotermal adalah cairan panas yang umumya
berasosiasi dengan proses magmatic, namun dapat pula berasal dari air meteoric, air
connate, atau air yang mengandung mineral kemudian terpanaskan dalam perut bumi.
Proses naiknya larutan hidrotermal nantinya akan berpengaruh besar terrhadap terjadinya
ubahan pada batuan samping.

Banyak factor yang mempengaruhi pembentukan mineral ubahan namun


temperature dan sifat kimia larutan hidrotermal dianggap sebagai dua factor yang paling
penting dalam proses ini.

Gambar 3.1 Skema sebuah sistem hidrotermal ( sumber : blog.ub.ac.id)

Sistem endapan hidrotermal dapat dibedakan berdasarkan kedalaman terbentuknya


yaitu epitermal, mesotermal dan hipotermal. Epitermal adalah endapan yang terbentuk
dekat dengan permukaan dan temperaturnya mencapai 20°C-200°C dan terletak pada
10
kedalaman 1 hingga 2 Km (White dan Hedenquist, 1990). Mesotermal terbentuk pada
tekanan dan temperature menengah , kedalaman mencapai 1,3 hingga 3,6 Km. Sedangkan
untuk hipotermal terbentuk pada temperature 500°C - 600°C dan tekanan yang tinggi serta
kedalaman yang lebih dalam.

Sistem endapan epitermal terbagi menjadi dua jenis (White dan Hedenquist, 1990)
yaitu eptermal sulfide tinggi (high sulphidation) dan epitermal sulfide rendah (low
sulphidation). Kedua jenis ini terbentuk akibat perbedaan larutan kimia yang sangat
terlihat dan pengaruh air meteoric. Sistem epitermal sulfida rendah dicirikan oleh larutan
hidrotermal yang bersifat netral dan mengisi celah-celah batuan. Asosiasi mineral adalah
kuarsa adularia, karbonat, dan serisit.

Gambar 3.2 Sistem epitermal sulfida tinggi dan epitermal sulfida rendah (sumber:
http://valentinomalau31.blogspot.com/)

Sistem epitermal sulfide tinggi terbentuk dari reaksi antara batuan induk dengan
magma asam panas dan fluida bergerak secara vertical. Bergeraknya fluida ini dipengaruhi
oleh adanya zona sesar atau rekahan, fluida mengalir dengan cepat dan bercampur dengan
air meteorik, sehingga dihasilkan larutan dalam kondisi asam.

11
Tabel 3.1 Perbedaan Epitermal Sulfida Tinggi dan Epitermal Sulfida Rendah (White dan Hedenquist, 1990)

Daerah yang menunjukkan kesamaan penyebaran himpunan mineral ubahan disebut


dengan zona ubahan. Zona ubahan hidrotermal dapat dikelompokkan menjadi beberapa zona,
antara lain:

1. Argilik, merupakan suatu zona yang ditandai dengan pembentukan mineral


lempung yang bertemperatur rendah seperti kalolinit, mornmorilonit, dan illit.
Temperatur pembentukan relative rendah (<200°C-250°C) dengan pH 4-5.
2. Argilik Lanjut (Advance Argilic), merupakan zona alterasi yang terbentuk pada
fluida asam pH <4. Mineral penciri adalah silika dan kelompok mineral alunit.
3. Potasik, merupakan zona alterasi yang berada dekat dengan intrusi dengan
temperature fluida hidrotermal lebih dari 300° dengan salinitas yag tinggi.

12
Dicirikan dengan kehadiran biotit, K-Feldspar, Magnetit, Aktinolit, dan
klinopiroksen.

Gambar 3.3 Zona mineral ubahan dalam sistem hidrotermal

4. Skarn, merupakan zona yang berada didekat kontak antara intrusi larutan
hidroterma dengan litologi gampingan. Terbentuk pada temperature 300°C-
700°C. Mineral penciri adalah garnet, magnesit, wollastonit, scapolite, epidot,
amfibol, dan kalsit.
5. Filik, merupakan zona ubahan yang ditandai dengan kehadiran mineral ubahan
seperti serisit, kuarsa, pirit, dan anhidrit. Terbentuk pada pH yang sama dengan
Zona Argilik namun dengan temperature yang sedikit lebih tinggi (>200°C-
250°C). Biasanya terbentuk pada daerah permeable dan dekat dengan jalur urat.
6. Propilitik, merupakan zona ubahan yang terbentuk pada pH netral hingga alkali
dengan temperature (<200°C- 250°C). Mineral penciri adalah epidot dan klorit.
Mineral penyerta lain adalah kuarsa, adularia, serisit dan anhidrit.

13
3.2 Aplikasi Analytical Spectral Device (ASD TerraSpec)

Pemetaan geologi berdasarkan berbagai metode eksplorasi akan sangat baik bila
ditunjang oleh kemajuan teknologi yang berkembang saat ini. Salah satunya adalah
pemanfaaaran spektroskopi nirkabel. Analisis dari spektroskopi ini akan menghasilkan
data yang lebih spesifik dan kuantitatif. Spektroskopi akan mengidentifikasi jarak
spektrum dan ciri-ciri fisik dari batuan dan tanah yang berbeda dari mineralogi dan
penanda ubahannya. Spektroskopi mengukur energy ikatan yang bergetar di panjang
gelombang diskrit yang spesifik pada energy ikatan pada setiap mineral.

Prisip dasar dari analisis spektrum mineral adalah pola dan panjang gelombang
yang teridentifikasi akan menunjukan ciri khusus dari mineral. Pola ini dipengaruhi oleh
komposisi, orientasi, dan derajat kristalisasi dari mineral. Spektrum khusus dari masing-
masing mineral akan mempermudah eksplorasi dalam menaksir komposisi dari kumpulan
mineral. Untuk membedakan spektrum pada material geologi, interval pajang gelombang
yang paling sering digunakan adalah visible and near-infrared (VNIR), short-wavelength
infrared (SWIR), dan thermal infrared (TIR), sedangkan untuk melihat karakteristik
pemendaran digunakan sinar ultraviolet (UV)

Gambar 3.4 Plot daerah dengan spektrum elektromagnetik yang penting untuk reflektansi spektroskopi (Hauff,
2005, dalam Rura A, 2010)
14
Pada pemetaan Projek Seruyung teknologi yang digunakan adalah Analytical
Spectral Device (ASD) TerraSpec Pro yang mampu menganalisis sampel tanah (soil),
batuan, maupun core. Tiga komponen utama dari ASD adalah spektrometer, mineral probe,
dan laptop.

Gambar 3.5 Analisis sampel core dan soil menggunakan instrument dari ASD spektrometer, mineral probe,
laptop, dan spectralon standar.

Sampel untuk analisis pemetaan daerah ubahan berupa tanah, batuan, dan log hasil
coring. Mulanya sampel dikeringkan untuk menguapkan air agar tidak mempengaruhi
pengambilan data. Sampel batuan berasal dari semua singkapan yang diketahui pada
daerah penelitian. Sedangkan sampel core didapatkatkan dari hasil lubang bor pada daerah-
daerah yterpilih yang sudah diplot sebelumnya. Sedangkan sampel tanah berasal dari
daerah terpilih maupun acak sekitar daerah eksplorasi.

Proses selanjutnya adalah sampel dianalisis dalam ruangan yang sudah dibersihkan
dari kontaminan dan telah dipastikan bahwa tidak ada sinar yang masuk. Sinar yang masuk
akan mempengaruhi hasil refleksi dan mampu mendegradasi hasil perhitungan spektrum.
Hasil dari pengukuran selanjutnya akan ditabulasikan melalui Microsoft Exel dan
dianalisis melalui penggunaan software pendukung ASD untuk pembuatan zonasi dan
grafik.

15
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Data Hasil Pengamatan


Hasil identifikasi menggunakan ASD terhadap beberapa sampel yang diambil dari
lokasi projek menghasilkan mineral utama yaitu alunit, silika, kuarsa, kaolinit, dan
piropilit. Illit-smektit menjadi mineral ubahan minor pada daerah pengamatan.

Alunit ditemukan hampir disemua sampel terukur. Hal ini diketahui dari ciri khas
panjang gelombang duplet alunit pada 1425 - 1439 μm dan 1478 - 1495μm. Jenis alunit
dominan adalah potassium alunit yang berasosiasi dengan larutan hidrotermal yang berasal
dari magama berkomposisi asam. Pembentukan alunit umumnya berasosiasi dengan
pembentukan kaolinit, silika, dan kuarsa.

Silika dan kuarsa yang teramati pada analisis ASD menjadi mineral ubahan
dominan bersama dengan alunit. Pada sampel singkapan, tanah, dan core dominansi silika
dan kuarsa terutama berada pada daerah Main Silica Cap. Mineralisasi emas-sulfida
umumnya berasosiasi dengan unit volkanik yang memilikai vuggy silica dan tekstur
silicified breccia. Kehadiran silika dan kuarsa berasosiasi dengan kehadiran alunit dan
kalolinit.

Gambar 4.1 Peta geologi Projek Seruyung


15
Kaolinit menjadi penciri mineral ubahan yang berasosiasi dengan hadirnya alunit,
silika kuarsa, dan piropillit. Pada kondisi low crystalline kaolinit berasosiasi minor dengan
mineral lempung illite dan smektit dan ditemukan hanya di pemukaan saja serta bagian
dangkal dari core. Sedangkan piropillit adalah mineral ubahan yang terbentuk pada
temperature tinggi dan pH yang rendah. Piropillit ditemukan hampir di semua sampel dan
singkapan yang diambil di daerah Main Silica Cap dan Western Breccia. Sedangkan illit,
dickit, klorit, dan mineral oksida ditemukan secara kecil pada setiap bagian sampel namun
selalu berasosiasi dengan mineral ubahan utama.

4.2 Analisis Data Hasil Pengamatan


Hasil dari pengukuran dan pengamatan dengan menggunakan ASD nantinya akan
digunakan untuk memperjelas serta memperhalus batas-batas dari zona ubahan mineral
hasil pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya dengan berbagai metode geologi.
Terdapat 3 zona ubahan utama dalam Projek Seruyung ini, yaitu vuggy dan massive silika,
argilik lanjut, dan argilik. Kehadiran dari potassium alunit bersama piropillit adalah
indikasi bahwa larutan hidrotermal berasal dari magma yang bersifat asam.

Zona vuggy dan massive silika memiliki asosiasi mineral utama yang dicirikan
dengan kehadiran silika-kuarsa, alunit, dan sulfida. Kehadiran zona ini terutama terdapat
pada pucak Gunung Seruyung sebagai daerah Main Silica Cap. Mineralisasi emas biasanya
selalu berasosiasi dengan kehadiran zona ini.

Gambar 4.2 Lokasi hasil identifikasi ASD pada Projek Seruyung


16
Mineral ubahan yang berada pada zona Argilik Lanjut didominasi oleh alunit-pirit,
piropillit, kaolinit, dan dickit. Zona ini melingkupi zona vuggy dan massive silika. Kaolinit
dan dickit yang ditemukan pada zona ini memiliki tipikal mineral kristalin. Sedangkan zona
Argilik memiliki kaolinit, illit, illit-smektit, dan dickit sebagai penciri kumpulan mineral
ubahan pada daerah pengamatan. Distribusi zona Argilik berada pada arah NW daerah
prospek dan ditemukan pada bagian bawah dari lubang pemboran.

Pola ubahan yang terdapat pada Projek Seruyung adalah asimetrik dengan zona
Argilik lanjut yang melingkupi berbentuk seperti ‘kecebong’. Bentuk seperti ini adalah
indikasi dari kemunculan larutan hidrotermal yang secara kuat dipengaruhi oleh struktur
dan litologi sekitar. Kumpulan ubahan mengikuti pola distribusi dari zona vuggy massive
silica yang tinggi secara progressive menurun sampai zona argilik.

Gambar 4.3 Peta daerah ubahan Projek Seruyung

Tipe mineralisasi pada daerah Seruyung merupakan tipe replacement, epitermal


sulfidasi tinggi dengan kualitas tinggi emas berada pada letak daerah yang tinggi (Vuggy

17
Massive Slica ) dan yang paling rendah berada pada zona argilik lanjut. Kehadiran emas
berkadar rendah pada zona Argilik Lanjut ditandai dengan adanya alunit yang disertai
dengan silisifikasi sepanjang struktur.

Dalam zona Argilik hampir tidak ditemukan kandungan emas. Kehadiran piropillit
dan dickit menandakan bahwa zona ini tidak membawa kandungan emas secara langsung,
namuan kehadiran mineral ubahan ini mengindikasikan bahwa batas daerah dengan
prospek emas ada pada batas-batas daerah ini. Hubungan spasial ini dapat digunakan untuk
menentukan arah dari kemungkinan emas berkadar tinggi.

Gambar 4.4 Penampang melintang daerah ubahan Projek Seruyung

18
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Pemetaan zona ubahan Projek Seruyung yang terletak di Kabupaten Malinau Utara,
Provinsi Kalimantan Utara akan jauh lebih baik apabila kita mengetahui batas-batas zona
ubahan dengan lebih jelas. Oleh karena itu, dilakukan analisis dengan menggunakan
spektrometer ASD. Mineral ubahan yang teridentifikasi adalah alunit, kuarsa, silika,
kaolinit, dan piropillit. Sedangkan dickit, illit, dan illit-smektit adalah mineral minor yang
ditemukan pada bagian bawah lubang bor. Kehadiran potassium alunit dan piropillit
mengindikasikan asal larutan hidrotermal berasal dari magma yang berkomposisi asam dan
berasosiasi dengan proses mineralisasi dan ubahan.

Zona ubahan pada daerah penelitian dikenali dari kumpulan mineral penciri.
Terdapat tiga zona yaitu, vuggy dan massive silica, yang dibungkus dengan zona argilik
lanjut, dan zona terluar adalah argilik. Zona propilitik teramati pada sekeliling zona argilik
hanya ditemukan pada bagian bawah lubang bor (bagian bawah core). Pola ubahan bersifat
asimetrik dan memanjang, hal ini mengindikasikan bahwa larutan hidrotermal dipengaruhi
oleh struktur dan unit lithologi yang sesuai. Dilihat dari bentuk, sebaran kumpulan mineral
ubahan, dan distribusi zona tipe endapan pada daerah penelitian adalah epitermal sulfidasi
tinggi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aribas, A.Jr. 1995. Characteristics of High-Sulfidation Epithermal Deposits, and Their


Relation to Magmatic Fluid. Mineralogical Association of Canada Short Course
Vol. 23

Bachtiar, A. 2006. Pengantar Kuliah Geologi Indonesia, Program Studi Teknik Geologi,
FIKTM-ITB.

Pirajno, F., 1992, Hydrothermal Mineral Deposits, Principles and Fundamental Concepts
for the Exploration Geologist, Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg, 709 hal.

Satyana, A. H., Nugroho, D. dan Surantoko, I. 1999. Tectonic controls on the hydrocarbon
habitats of the Barito Kutei, and Tarakan Basins, Eastern Kalimantan, Indonesia:
major dissimilarities in adjoining basins, Journal of Asian Earth Sciences 17, hal.
99-122.

Setijadji, L.D., Basuki, N.I. dan Prihatmoko, S. 2010. Kalimantan Mineral Resources: An
Update on Exploration and Mining Trends, Synthesis on Magmatism History and
Proposed Models for Metallic Mineralization, Proceedings PIT IAGI Lombok
2010.

White, N. C. dan Hedenquist, J. W. 1995. Epithermal Gold Deposits: Styles,


Charecteristics and Exploration, Society of Economic Geology 25, hal 1, 9-13.

20
LAMPIRAN

21

Anda mungkin juga menyukai