Anda di halaman 1dari 3

Citra perempuan berunsur dasar citraan, yaitu gambaran dalam pikiran seseorang mengenai pribadi

atau bayangan yang bersifat visual tentang sesuatu, seperti kata, frasa, dan kalimat (Sugihastuti, 2000:
45). Gambaran ini adalah efek dalam pikiran yang menyerupai suatu objek pada kenyataannya. Dalam
kaitannya dengan perempuan, citra perempuan berarti gambaran perempuan yang direpresentasikan
melalui media tertentu, seperti karya sastra dan film. Citra perempuan adalah wujud gambaran mental
spiritual dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari perempuan yang timbul dari pikiran, pendengaran,
penglihatan, perabaan, dan pencecapan seseorang terhadap perempuan (Sugihastuti, 2000: 45).

Citra perempuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu citra diri perempuan dan citra sosial
perempuan (Sugihastuti, 2000: 7). Citra diri perempuan berkaitan dengan perempuan sebagai individu
yang identik dengan segala tingkah lakunya sedangkan citra sosial perempuan berkaitan dengan
perempuan sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan individu lain.

Citra diri perempuan adalah pandangan terhadap perempuan yang berasal dari diri perempuan itu
sendiri, yang meliputi aspek fisik dan aspek psikis. Aspek fisik perempuan dilihat dari ciri-ciri fisik
perempuan, seperti usia dan bentuk tubuh. Aspek fisik perempuan juga berkaitan dengan hal-hal bersifat
biologis yang khas yang dialami perempuan, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara itu,
aspek psikis perempuan dilihat dari posisi perempuan sebagai individu yang berpikir, berperasaan, dan
beraspirasi. Perempuan juga dilihat sebagai makhluk yang psikologisnya berbeda dengan laki-laki
(Sugihastuti dalam Udu, 2009: 91-92). Sifat khas perempuan identik dengan keindahan rohani, seperti
kasih sayang, sabar, dan lemah lembut (Kartono, 1981: 29). Aspek psikis perempuan berkaitan erat
dengan feminitas, yaitu kecenderungan yang ada dalam diri perempuan yang meliputi prinsip penerimaan,
cinta kasih, berorientasi komunal, dan memelihara hubungan interpersonal.

Kedua aspek yang mempengaruhi citra diri perempuan ini saling berhubungan. Seiring
bertambahnya usia, psikis perempuan mengalami perkembangan menuju kedewasaan. Perbedaan ciri fisik
perempuan dengan laki-laki menciptakan pola pikir yang khas dalam diri perempuan yang kemudian
mempengaruhi kepribadian dan tingkah lakunya. Hal-hal dalam diri perempuan seperti ideologi,
pengambilan keputusan, dan penilaian terhadap sesuatu mengalami perubahan dan perkembangan seiring
perempuan tersebut bertambah dewasa. Dilihat dari aspek psikis, perempuan adalah individu yang
memiliki pemikiran dan perasaan terhadap keadaan di dalam dan di luar dirinya.

Citra sosial perempuan dilihat dari posisi perempuan dalam sistem sosial dan interaksinya dengan
individu lain sebagai makhluk sosial. Sebagai anggota suatu kelompok sosial, perempuan memiliki peran
tertentu, menerapkan nilai dan norma sosial yang berlaku, dan menjalin hubungan antarmanusia. Dalam
kaitannya dengan interaksi perempuan dengan masyarakat, citra sosial perempuan berkaitan dengan citra
diri, bahwa pengalaman-pengalaman dalam dirinya menentukan cara ia bersikap dan berinteraksi dengan
masyarakat, termasuk kepada laki-laki (Sugihastuti, 2000: 143-144). Pengalaman pribadi perempuan
mempengaruhi tanggapannya terhadap rangsangan sosial. Tanggapan ini menjadi salah satu terbentuknya
sikap perempuan dalam aspek sosial (Haddizt dan Eddyono, 2005: 26)

Citra sosial perempuan dapat dibagi menjadi dua, yaitu citra sosial perempuan dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Citra sosial perempuan dalam keluarga adalah posisi perempuan sebagai ibu, istri, atau
anak yang masing-masing memiliki peran dan konsekuensi tertentu. Sementara itu, citra sosial perempuan
dalam masyarakat dapat dilihat dari hubungan kemanusiaan yang meliputi hubungan perempuan dengan
individu lain, perempuan dengan masyarakat, dan tanggapan perempuan terhadap masyarakat (Udu, 2010:
129).

Film Sang Penari menyoroti realitas kehidupan ronggeng yang berfokus pada tokoh utamanya,
Srintil, dengan menggunakan latar tempat Dukuh Paruk, sebuah desa di Banyumas, dan latar waktu tahun
1960-an. Penggambaran masyarakat Banyumas pada saat itu lekat dengan keprimitifan. Mereka sangat
fanatik terhadap hal-hal kepercayaan nenek moyang yang berkaitan erat dengan unsur supernatural. Dalam
film ini, tokoh Srintil dipercaya telah dirasuki roh indang ronggeng, yaitu roh halus yang dipercaya sebagai
wangsit yang dimuliakan dalam dunia ronggeng. Dengan menjadi ronggeng, seorang perempuan dianggap
naik derajatnya. Ronggeng dipercaya dapat memberi berkah kepada masyarakat. Oleh karena itu, ronggeng
sangat disenangi oleh masyarakat. Ia diagungkan, disanjung, dihormati, dan dipuja-puja.

Dalam film Sang Penari, ronggeng ditempatkan pada posisi yang tinggi dalam strata sosial
masyarakat Dukuh Paruk. Ronggeng digambarkan sebagai figur publik, yaitu sosok yang memiliki
pengaruh yang besar dalam masyarakat. Posisi ronggeng sebagai figur publik membuat ia dikenal oleh
seluruh warga desa dari semua kalangan usia. Sosoknya dihormati dan disegani sebagai penerus tradisi
yang sakral. Peran ronggeng sebagai tokoh yang dinilai memberikan pengaruh yang positif bagi
masyarakat menjadikannya seorang idola. Dengan segala kelebihan yang dimiliki ronggeng—berparas
cantik, bertubuh indah, dan memiliki keahlian di bidang menari dan melayani laki-laki—ronggeng sangat
diidolakan dan diagungkan. Akan tetapi, pengidolaan dan pengagungan ronggeng yang digambarkan dalam
film ini menjurus kepada obsesi yang berlebihan yang kemudian menjadikan ronggeng sebagai alat. Dalam
hal seksualitas, ia dianggap milik semua orang. Ronggeng dianggap sebagai alat pemuas nafsu yang dapat
“dipakai” oleh laki-laki yang mampu membayarnya. Dalam hal seni pertunjukan, ia dianggap sebagai alat
penghiburan. Dukun ronggeng yang berperan sebagai muncikari menjadikan ronggeng sebagai alat
penghasil uang dan mengeksploitasinya.

Selain dari sisi ronggeng sebagai tokoh dalam masyarakat, film Sang Penari juga menggambarkan
ronggeng dari sisi dirinya sebagai seorang perempuan. Ronggeng dalam film ini diperankan oleh tokoh
utamanya yang bernama Srintil. Melalui diri Srintil, film ini menggambarkan ronggeng yang berambisi
kuat dan berpendirian teguh. Menjadi seorang ronggeng adalah cita-cita Srintil sejak kecil dan ia berusaha
keras untuk mewujudkannya. Perempuan yang berprofesi sebagai ronggeng bukan merupakan hasil
paksaan dari adat dan tradisi, melainkan tujuan yang diidamkan oleh perempuan itu sendiri. Akan tetapi,
meskipun tujuannya telah tercapai, Srintil sebagai ronggeng kemudian melakukan tindakan-tindakan yang
dianggap menyimpang oleh masyarakat Dukuh Paruk. Hal itu ditunjukan oleh sikap Srintil yang tidak
patuh, seperti ketika ia menolak perintah dukun ronggeng untuk menari di depan kepala desa tetangga dan
ketika ia bersikeras untuk tetap menjalin hubungan asmaranya dengan Rasus, laki-laki yang dicintainya.
Selain itu, Srintil juga mempertahankan harga dirinya sebagai perempuan. Terlepas dari profesinya sebagai
ronggeng, Srintil menggunakan haknya untuk menyerahkan keperawananya kepada laki-laki yang
dicintainya, bukan kepada laki-laki asing yang membayarnya dengan uang.

Anda mungkin juga menyukai