Anda di halaman 1dari 14

UJIAN AKHIR SEMESTER:

PERSPEKTIF TEORI
KOMUNIKASI
‘SECONDARY DIGITAL NATIVES’ DALAM KACAMATA CPM: STUDI KASUS
PENCARIAN RUANG VALIDASI DAN KONSOLASI USER OFFICIAL ACCOUNT
‘BAGIKATA’

Aria A. Satwiko (1906437402)


aria.satwiko@yahoo.com
I. PENDAHULUAN 1

Secara historis, komunikasi antara satu pihak dengan pihak lainnya telah mengalami berbagai
perubahan melalui berbagai media, yang awal mulanya hanya melalui tatap muka, kemudian beralih ke
bentuk komunikasi tertulis melalui surat menyurat. Munculnya telepon pada pertengahan abad ke-20
memberikan instrumen lain untuk menopang perhubungan melalui pertukaran pesan yang lebih cepat,
terlebih apabila kedua belah pihak tersebut terpisah secara jarak (dan tentunya geografis.) Tren ini
berlanjut hari ini dengan perkembangan teknologi komunikasi interaktif melalui adanya internet di
dalam kehidupan sehari-hari manusia untuk saling menghubungkan mereka secara langsung. Salah satu
bentuk teknologi komunikasi yang muncul melalui adanya internet tentu saja instant messaging (IM),
yang merupakan media tertulis yang hampir sinkron, yang memberikan kesempatan kepada dua pihak
yang terpisah secara geografis untuk terlibat dalam interaksi 'real-time'. Yang menarik dalam artikel ini
adalah bagaimana IM berfungsi untuk memfasilitasi penggunanya dalam mencari validasi dan konsolasi
dengan cara yang melengkapi bentuk komunikasi yang lebih tradisional (mis., Interaksi tatap muka) atau
bahkan yang lebih tradisional (mis., Email).

Popularitas IM yang tersebar luas sepertinya merupakan perpanjangan dari 'pembicaraan' sehari-hari ke
dalam forum baru, daripada penggantian bentuk interaksi dan pemeliharaan relasional yang lebih
konvensional (Baym, 2002). Penelitian mengenai IM dengan demikian memberikan peluang unik untuk
memeriksa proses relasional penting seperti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
mereka memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi proses komunikasi yang memengaruhi dan
pada gilirannya dipengaruhi oleh alat dan hubungan yang terlibat. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Parks dan Floyd (1996: 94):

"The ultimate social impact of cyberspace will not flow from its exotic capabilities, but rather from the
fact that people are putting it to ordinary, even mundane, social uses”

Karena interaksi rutin mewujudkan pemeliharaan relasional (Duck, 1988), mereka memberikan konteks
yang kaya untuk memeriksa pertanyaan tentang karakteristik tingkat individu, relasional, dan
kontekstual.

1
Tulisan ini merupakan refleksi saya sebagai salah satu handler dan data manager yang terdapat di dalam akun
official BagiKata. Berangkat dari keisengan dan tawaran dari salah satu founder layanan tersebut saya menggeluti
bidang dengan mencoba menjadi ‘pendengar’ yang baik dan menerapkan prinsip ‘memanusiakan manusia’ dari
tahun 2016 s/d sekarang.
Ketika membicarakan IM, kita tidak dapat mengesampingkan keberadaan berbagai jenis aplikasi (atau
dapat dikatakan alat) yang saat ini menjadi ‘pemain’ besar di dalam kehidupan komunikasi masyarakat
Indonesia, seperti WhatsApp, Line, KakaoTalk, MiChat, etc. Aplikasi instant messaging ini memberikan
fitur yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda antara satu sama lainnya, terkhususnya dua layanan
yang saya sebutkan di awal. Dapat dikatakan bahwa dua layanan tersebut memiliki persaingan yang
cukup ketat dalam mencari konsumen, namun jika dilihat secara lebih lanjut kedua aplikasi tersebut
memiliki basis pengguna yang sebenarnya sangat berbeda. Jika WhatsApp menyasar kalangan orang
dewasa dengan bentuk interface yang terkesan simple dan tidak terlalu banyak feature yang membuat
pusing para penggunanya (dan tentunya dianggap terlalu kaku bagi para remaja), maka Line dapat
dikatakan menyasar ke kalangan remaja dengan berbagai fitur dan, sekali lagi, feature yang terdapat di
dalam aplikasi tersebut (namun, feature ini justru menjadi salah satu daya jual Line yang tidak ada di
aplikasi lain). Salah satu feature yang terdapat di dalam aplikasi Line adalah dengan mudahnya kita
membuat akun official (atau jika dalam konteks WhatsApp, akun bisnis) yang dapat digunakan untuk
berbagai hal, baik bisnis, memberikan pengetahuan, hingga menjadi layanan diskusi secara real-time.

Gambar 1 Poster ajakan diskusi BagiKata

Salah satu akun official yang memberikan layanan diskusi kepada para pengguna Line adalah BagiKata 2,
secara mudah, BagiKata memberikan ruang kepada para user mereka untuk membicarakan, bertanya,
berdiskusi tentang berbagai topik melalui aplikasi Line. Layanan akun official BagiKata menyediakan jasa
konsultasi secara perseorangan, yang berarti tiap satu user yang sedang chat di dalam layanan tersebut
2
http://bagikata.com/
akan dilayani (atau di handle) oleh satu handler. Saat ini, layanan akun official BagiKata sudah memiliki
lebih dari 100.000 pengguna yang setiap harinya melakukan aktivitas chat, baik hanya untuk sekedar
bertanya hal-hal yang remeh-temeh, hingga ke menceritakan berbagai keluh kesah permasalahan yang
sedang mereka hadapi. Di awal berdirinya BagiKata bekerja dengan sistem 24/7 selama 365 hari, hal ini
yang dianggap cukup menarik oleh para user yang ingin mencari teman mengobrol ketika melewati jam
tengah malam atau ketika sedang mengalami special cases3.

Sedikit penjelasan mengenai handler dan user yang menjadi pondasi bergeraknya akun official BagiKata,
handler adalah para ‘penanggap’ (atau mudahnya admin) yang membalas pesan dari para user. Para
handler ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan dipilih melalui proses recruitment yang
cukup ketat. Meskipun dalam praktiknya mereka berada di lokasi yang berbeda dan tentunya
merupakan individu-individu yang berbeda satu sama lain, namun mereka ‘diharuskan’ menganggap
kalau mereka adalah bagian dari entitas besar yang dinamakan BagiKata itu sendiri. Hal ini
menyebabkan para handler yang terdapat di dalam BagiKata bersifat anonim dan hanya menggunakan
nama samaran ketika sedang bertugas. Tentunya anonimitas menjadi faktor kunci di dalam peranan
menjadi handler, karena dengan sifat handler yang bersifat demikian maka user akan menganggap
mereka dapat membicarakan apapun tanpa harus merasa sungkan apabila pembicaraan tersebut
diketahui oleh pihak lain (misalnya teman atau keluarga dari user). Namun, meskipun demikian, mereka
masih dapat melontarkan pernyataan individual yang lebih bersifat opini pribadi kepada para user
BagiKata.

Dengan melihat tipologi karateristik aplikasi Line yang sudah saya jabarkan pada beberapa paragraf
sebelumnya, tentu kita dapat menebak bahwa mayoritas dari pengguna tersebut tergolong ke dalam
kalangan remaja dan dewasa muda. 4 Sementara itu, ketika saya mengacu pada terminologi mengenai
digital natives5, dapat dikatakan pula bahwa kalangan ini merupakan bagian dari generasi kedua digital

3
Istilah special cases dalam BagiKata merujuk pada dua tipologi kasus yang sedang dialami oleh user, yang pertama
adalah medical queries, dan yang kedua adalah crisis/psychological queries seperti mengalami mental health
issues, serious familial issues, abuse/bullying, hingga identity crisis.
4
Dalam melakukan pembagian klasifikasi ini, saya menggunakan tahapan psikososial yang dikembangkan oleh Erik
Homburger Erikson, menurutnya tahapan dewasa muda adalah tahap ketika seseorang merasa siap membangun
hubungan yang dekat dan intim dengan orang lain. Jika sukses membangun hubungan yang erat, seseorang akan
mampu merasakan cinta serta kasih sayang. Pribadi yang memiliki identitas personal kuat sangat penting untuk
dapat menembangkan hubungan yang sehat. Sementara kegagalan menjalin hubungan bisa membuat seseorang
merasakan jarak dan terasing dari orang lain.
5
Digital native adalah salah satu bentuk dari terminologi untuk menjelaskan sebuah generasi yang memiliki
perbedaan ekspektasi dan cara pembelajaran karena tumbuh kembang di masa akses ke teknologi digital sudah
mudah.
native, yang lahir antara rentang waktu 1990-2000. Secara keseluruhan, rata-rata pengguna layanan
BagiKata masih menempuh tingkat pendidikan SMA hingga baru mulai bekerja. Mereka yang berada
dalam fase ini dapat dikatakan berada dalam fase berusaha untuk mengeskplorasi diri mereka sendiri,
terlebih di era digital saat ini, mencari jatidiri hingga validasi semudah membalikkan telapak tangan,
dengan hanya menggenggam smartphone mereka dapat membagikan kehidupannya kepada para relasi
yang mereka miliki di media sosial, entah itu yang sifatnya privat atau pun yang bersifat publik. Ironisnya
keterbukaan mereka dalam membagikan pengalaman yang sifatnya ‘baik-baik’ saja atau
membahagiakan berbanding terbalik dengan keterbukaan mereka dalam menceritakan keluh kesah
terkait berbagai permasalahan yang mereka hadapi.

Keengganan mereka dalam menceritakan keluh kesah kepada orang-orang di sekitar mereka sebenarnya
lebih berdasarkan pada ketakutan adanya pandangan negatif, yang muncul setelah mereka
menceritakan permasalahan tersebut. Justru mereka lebih merasa nyaman ketika menceritakan
permasalahannya tersebut kepada orang asing, dalam hal ini handler BagiKata, yang tidak mereka kenal
sama sekali, baik di kehidupan nyata mau pun di kehidupan internet. Para pengguna BagiKata merasa
bahwa saat sedang melakukan interaksi dengan para handler mereka berada di dalam ruang baru yang
memberikan kenyamanan dan keamanan bagi mereka untuk menceritakan segala hal yang menjadi
concern mereka, baik itu kehidupan pribadi hingga hal yang sifatnya remeh-temeh. Yang menarik dari
sini adalah bagaimana para user tersebut memaknai ruang yang muncul ketika mereka sedang
menggunakan jasa layanan konsultasi BagiKata dan dengan tenangnya membagi hal-hal yang sifatnya
privat kepada lawan bicara yang tidak mereka ketahui wujudnya.

II. KERANGKA TEORI

Jürgen Habermas menjelaskan konsep ‘ruang publik’ sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari
negara (state) dan pasar (market). Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memilik akses
untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi, termasuk secara
informal, perilaku-perilaku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar. Habermas berargumen bahwa
masyarakat modern terdiri dari ‘dunia-kehidupan’ (lifeworld) dan ‘sistem’ (system). Konsep teoretis ini
mendemonstrasikan akar-akar dari ‘aksi instrumental atau strategis’ (instrumental or strategic action)
dan aksi komunikatif (communicative action). Sistem, menurutnya, terdiri dari subsistem ‘uang’ dan
‘kuasa’, dan di dalam subsistem ini perilaku manusia diinstrumentalisasikan untuk mencapai tujuan
subsistem-subsistem tersebut. ‘dunia-kehidupan’, di sisi lain, biasanya ‘kondusif untuk otonomi, artinya
pencapaian tujuan yang dipilih sendiri, yang tidak mungkin terjadi dalam sistem’.

Dengan menjadi rumah bagi aksi komunikatif, ‘dunia-kehidupan’ memungkinkan para peserta untuk
mencapai tujuannya secara kooperatif dengan pemahaman akan situasi yang didefinisikan bersama-
sama. Sebagai mekanisme untuk mencapai pemahaman, terkandung di dalam aksi komunikatif adalah
potensi rasional. Potensi rasional dari aksi komunikatif ini terdiri dari keterbukaan pada logika ( reason)
dan pendapat (argument). Di dalamnya, konsensus dicapai melalui pertukaran persetujuan dan
ketidaksetujuan yang menggunakan logika. Dengan argumen teoretis ini, Habermas juga berpendapat
bahwa tujuan dari perubahan sosial adalah untuk memastikan bahwa ‘dunia-kehidupan’, atau ‘ruang
publik’, ada secara mandiri terlepas dari tendensi ‘sistem’ dan subsistemnya yang menjajah.

Dalam “The Production of Space” Lefebvre berusaha menunjukkan bahwa ilmu pengetahuanlah yang
paling berperan memberi jalan bagi manusia untuk memaknai lingkungannya sebagai ruang. Baginya,
persoalan pemaknaan manusia terhadap ruang seharusnya menjadi agenda utama ilmu pengetahuan
karena keberadaan manusia itu sendiri di dalam ruang alamiahnya sebagai sebuah peristiwa spasial.
Lefebvre lalu memulainya dari perdebatan ruang dan waktu, yang ia maknai sebagai historisitas. Secara
sosial, ruang menjadi sarana untuk meraih dan menciptakan kontrol. Ruang dikonstruksi sedemikian
rupa sebagai sarana pemikiran dan tindakan, yang koheren sifatnya dengan upaya kontrol dan dominasi
dalam relasi produksi Marx. Dalam pengertian ini ruang diproduksi sedemikian rupa untuk
melanggengkan kekuasaan dan menciptakan dominasi.

Ruang Urban merupakan contoh yang paling tepat. Terminologi “Ruang Urban” itu sendiri merupakan
produksi dari praktik intelektual melalui sistem tanda yang verbal, dan terartikulasikan dalam ruang ilmu
pengetahuan. Terminologi Ruang Urban hadir sebagai istilah yang merepresentasikan ruang hidup
(Lived Space) manusia kontemporer di perkotaan. Dalam ruang hidup ini, praktik spasial terjadi dan
terus-menerus mengapropriasi spasialitas sehari-hari manusia urban. Lebih jauh lagi, spasialitas ini
kemudian dipersepsi oleh ilmuwan yang ahli di bidang ruang (sebagai Perceived Space).

Representasi Ruang, dalam konteks ini, berfungsi sebagai penata dari berbagai relasi yang
menghubungkan ruang-ruang tertentu dengan berbagai wacana di luar ruang itu sendiri. Representasi
inilah yang memberikan jalan bagi manusia untuk membingkai ruang pada konteksnya, dan kemudian
memaknainya melalui sistem tanda, kode dan bahasa. Pemaknaan ini diperlukan agar ilmu pengetahuan
tentang ruang dapat dikembangtumbuhkan, dan dengan demikian manusia dapat menempatkan dirinya
sebagai pengendali dari berbagai relasi antar-ruang yang terjadi. Manusia membutuhkan ilmu
pengetahuan tentang ruang agar dapat memroyeksikan dirinya dan orang lain dalam sebuah ruang.

Selain itu saya juga menggunakan konsepsi ruang yang diberikan oleh Michael Foucault, yang
mengatakan bahwa ruang (space) yang tampak dan membentuk cakrawala pengetahuan manusia,
termasuk yang mengonstruksi teori dan sistem dari struktur pengetahuan itu sendiri, bukanlah sebuah
inovasi melainkan sebuah produk dari historisitas. Dalam peradaban Barat, ruang dikonstruksi melalui
interseksinya dengan waktu, dan secara dikotomis pula, dipersandingkan dengan waktu dalam
kausalitas. Hal ini yang kemudian membedakan sebuah “ruang” (space) dengan “tempat” (place).
Massey (1994) mengatakan bahwa tempat adalah ruang yang telah diinvestasi/diberikan makna.

“Situs” yang digunakan Foucault merujuk pada “ruang-ruang yang liyan.” Ruang-ruang lain ini
merupakan ruang yang menjadi ada karena relasi reflektifnya dengan ruang di luar ruang itu sendiri.
Hubungan tersebut terkadang berlawanan atau berkebalikan secara langsung. Foucault menjelaskan:

“… certain ones that have the curious property of being in relation with all the other sites, but in such a
way as to suspect, neutralize, or invert the set of relations that they happen to designate, mirror, or
reflect. These spaces, as it were, which are linked with all the others, which however contradict all the
other sites…” (Foucault dalam Mirzoeff, 1998: 239).

Dalam situs seperti ini, terjadi epos penjungkirbalikkan relasi ruang yang diuraikan sebelumnya.
Runtuhnya batas antara jauh-dekat, dan bahkan hilang atau berubahnya pemaknaan terhadap jarak itu
sendiri. Secara spesifik, Foucault menyebut “situs” miliknya ini sebagai “situs utopia” dan “situs
heterotopia.”

Situs Utopia adalah situs tanpa tempat atau lokasi geografis yang nyata, namun memiliki relasi langsung
(dan terkadang sekaligus berkebalikan) dengan ruang-ruang lain yang sesungguhnya ada dalam
masyarakat. Artinya, walau tanpa tempat yang nyata secara geografis, situs utopia dapat dengan mudah
ditunjukkan locus-nya dalam kehidupan sehari-hari manusia. Situs utopia dalam konsep Foucault
merupakan konsep ruang itu sendiri. Ia merepresentasikan pemahaman manusia terhadap ruang yang
berimplikasi waktu di dalamnya. Oleh sebab itu, situs utopia selalu menghadirkan dirinya sendiri dalam
bentuk yang “disempurnakan.” Ia merepresentasikan (dapat juga dikatakan merefleksikan) realitas
secara tepat sama namun berkebalikan.
Situs heterotopia diposisikan oleh Foucault sebagai counter-site dari utopia. Heterotopia merupakan
sebuah konsep yang merujuk pada situasi dan tempat di mana berbagai utopia secara simultan
termanifestasi ke dalam berbagai wujud representasi, kontestasi dan diputarbalikkan. Heterotopia
berada di luar segala tempat yang ada sehingga seolah-olah menjadi tidak nyata, padahal,
keberadaannya dalam kenyataan sehari-hari dapat dengan mudah ditunjukkan.

Teori Communication Privacy Management (CPM) yang diperkenalkan oleh Petronio (2002) merupakan


pengembangan dari dua teori komunikasi terdahulu, yakni Politeness Theory dan Social Exchange
Theory. Teori CPM tergolong ke dalam macro theory  (teori makro), karena tidak hanya dapat
diaplikasikan dalam konteks interpersonal, namun juga level kelompok dan organisasional. Sebagai
bentuk pengembangan dari teori Social Exchange, teori ini juga diawali dengan asumsi bahwa setiap
komunikan memiliki pertimbangan cost  dan rewards  dalam berkomunikasi–namun, berbeda dengan
teori tersebut, teori CPM ini menitikberatkan aspek Privasi sebagai sesuatu yang dikelola oleh setiap
komunikan, guna mencapai rewards  tujuan akhir tersebut.

Premis utama yang dinyatakan dalam teori CPM adalah bahwa setiap orang memiliki sistem
pengambilan keputusan mengenai informasi apa saja yang layak diungkap ke publik (revealed
information) atau yang sebaiknya disimpan untuk diri sendiri (privacy information).

Teori Manajemen Privasi Komunikasi berakar pada asumsi tentang bagaimana individu berpikir dan
berkomunikasi serta asumsi tentang sifat manusia. Pertama, CPM mematuhi aspek aturan dan sistem.
Teori ini membuat tiga asumsi tentang sifat manusia yang sesuai dengan aturan dan sistem:

1. Manusia adalah pembuat keputusan.


2. Manusia adalah pembuat dan pengikut peraturan
3. Pilihan dan aturan manusia didasarkan pada pertimbangan orang lain maupun diri sendiri.

Petronio (2002) mencatat bahwa orang membuat pilihan dan aturan tentang apa yang harus diceritakan
dan apa yang harus ditahan dari orang lain berdasarkan “kalkulus mental” yang didasarkan pada kriteria
seperti budaya, gender, dan konteks, di antara hal-hal lainnya. Kriteria ini termasuk pertimbangan
tentang orang lain yang terlibat serta diri sendiri. Oleh karena itu, Petronio menggunakan istilah
pengungkapan dan pengungkapan pribadi daripada pengungkapan diri. Selain itu, Teori CPM adalah
teori dialektika. Sebagai teori dialektik, CPM berlangganan ke asumsi yang mirip dengan teori Ground
Relational Dialectics, termasuk:
1. Kehidupan relasional ditandai dengan perubahan.
2. Kontradiksi adalah fakta mendasar dari kehidupan relasional.

Asumsi-asumsi tersebut kemudian diambil untuk merepresentasikan persepsi aktif manusia dan
gambaran manusia yang terlibat dalam kehidupan relasional sejauh diri dan lainnya saling terkait.
Gagasan terjalin adalah penting untuk CPM. Tidak hanya diri dan yang lain dalam hubungan yang
terlibat, tetapi pengungkapan juga terkait dengan konsep privasi. Sebagaimana pengamatan Petronio
dan Caughlin (2006), privasi hanya dipahami dalam ketegangan dialektis dengan pengungkapan. Jika
kami mengungkapkan semuanya, kami tidak akan memiliki konsep privasi. Sebaliknya, jika semua
informasi bersifat pribadi, gagasan pengungkapan itu tidak masuk akal. Hanya dengan memasangkan
mereka bahwa setiap konsep dapat ditentukan.

CPM berguna untuk  menjelaskan proses negosiasi orang-orang seputar pengungkapan informasi
pribadi. Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa “apa yang membuat hal-hal yang menjadi
primadona sebagian besar adalah penting bagi konsepsi kita tentang diri kita sendiri dan hubungan kita
dengan orang lain” (Schoeman, 1984, hal. 406). Petronio (2000) berkomentar bahwa orang
mendefinisikan informasi pribadi sebagai informasi tentang hal-hal yang sangat penting bagi mereka.
Dengan demikian, proses mengkomunikasikan informasi pribadi dalam hubungan dengan orang lain
menjadi pengungkapan pribadi. Seperti yang telah kami nyatakan sebelumnya, CPM berfokus pada
pengungkapan pribadi daripada pengungkapan diri. CPM melihat definisi secara berbeda dalam tiga
cara.

Pertama, pengungkapan pribadi lebih menekankan pada konten pribadi dari pengungkapan daripada
literatur pengungkapan diri tradisional. Dalam hal ini, CPM memberi lebih banyak kepercayaan pada
substansi pengungkapan, atau yang dianggap pribadi.

Kedua, CPM memeriksa cara orang mengungkapkannya melalui sistem berbasis aturan.

Ketiga, CPM tidak menganggap bahwa pengungkapan hanya tentang diri. Disclosures merupakan proses


yang komunikatif.

Petronio (2002) mengamati bahwa untuk dapat memahami kedalaman dan luasnya pengungkapan
secara keseluruhan, CPM tidak membatasi proses hanya untuk diri sendiri, tetapi meluasnya untuk
merangkul berbagai tingkat pengungkapan termasuk diri dan kelompok. Akibatnya, teori CPM
menawarkan sistem manajemen privasi yang mengidentifikasi cara batas-batas privasi dikoordinasikan
antara dan di antara individu.

III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Seperti yang sudah saya paparkan di bagian awal tulisan ini, dengan maraknya perkembangan teknologi
menyebabkan manusia semakin memiliki kemudahan dalam berinteraksi antara satu sama lainnya,
membagikan pengalaman yang mereka alami secara terbuka, baik melalui media sosial atau melalui
instant messaging, sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ketika memasuki kehidupan di
dunia digital, apa yang dinamakan sebagai ruang privat sudah bertabrakan dengan ruang publik,
seseorang menciptakan ruang baru dan menganggap apa yang terjadi di dalam ‘ruang’ tersebut hanya
tersegmentasi di dalam kehidupan mereka tanpa memikirkan konsekuensi yang akan mereka dapatkan
kedepannya. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Lefebvre, di mana manusia menciptakan
representasi ruang melalui ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan, dan representasi ini berfungsi
sebagai penata kehidupan yang berada di luar ruang tersebut.

Dalam konteks remaja dan dewasa muda saat ini yang tergolong ke dalam kategori ‘secondary digital
natives’, ruang-ruang yang mereka ciptakan terbentuk karena adanya pengetahuan mengenai
pemaknaan di dalam ruang tersebut. Pengetahuan ini secara langsung muncul karena mereka sudah
terpapar terhadap akses teknologi dan dunia digital sejak usia dini, hal ini tentunya membuat mereka
merasa terbiasa di dalam membagikan ‘peristiwa’/’pengalaman’ yang mereka alami di kehidupan sehari-
hari kepada para khalayak di dunia digital. Ragam ‘peristiwa’/’pengalaman’ yang dibagikan oleh mereka
tentu sudah mengalami proses pemfilteran, dalam artian, mereka sendiri yang mengatur apa yang akan
mereka bagikan. Proses ini tentu muncul dari pengetahuan yang mereka dapatkan atau yang mereka
alami secara langsung di dalam dunia digital, di mana mereka diharapkan untuk tetap baik-baik saja oleh
masyarakat di sekitar mereka yang biasa dinamakan sebagai toxic positivity.

Melihat perkembangan remaja dan dewasa muda saat ini yang terkesan terkekang dalam kungkungan
kehidupan yang toxic positivity, para ahli berasumsi kalau para remaja dan dewasa muda ini memiliki
ketakutan apabila peristiwa/pengalaman yang sifatnya negatif dilihat oleh banyak orang dan
menimbulkan tendensi judgmental dari khalayak. Sejalan dengan hal tersebut, isu mengenai mental
health awareness menjadi isu yang lumrah dikalangan remaja dan dewasa muda, dan juga berbekal
dengan kemajuan teknologi, mulai banyak layanan konsultasi yang sebelumnya berupa sistem tatap
muka antara pasien dengan konselor beralih melalui sistem berbasis digital, dalam hal ini melalui
layanan chat 1-on-1. Dengan adanya layanan konseling berbasis digital, para remaja dan dewasa muda
yang tidak dapat menceritakan permasalahan hidupnya kepada khalayak umum, dapat dengan lebih
leluasa menceritakan permasalahan tersebut tanpa harus takut permasalahan tersebut akan tersebar ke
orang lain. Keberadaan layanan konseling berbasis digital tentunya menciptakan satu ruang baru bagi
mereka yang tidak dapat menceritakan/mendiskusikan permasalahannya kepada orang sekitar untuk
lebih leluasa bercerita/berdiskusi tanpa harus takut mendapatkan opini yang bertendensi judgmental.

Proses pembentukan ruang yang ‘liyan’ ini juga tercipta di dalam konteks akun official BagiKata, dalam
layanan tersebut, para pengguna mendapatkan ruang privat untuk merasa aman dan nyaman dalam
melakukan kegiatan diskusi dengan para handler. Hal-hal yang tidak dapat mereka bagikan kepada para
khalayak yang ada di dunia digital, mereka coba luapkan di dalam chatroom yang kemudian akan
ditanggap oleh para handler BagiKata, sehingga memunculkan diskusi yang aktif antara user dan
handler. Perasaan aman dan nyaman ini muncul karena mereka sudah memahami dan membaca terms
and condition6 yang tertera di dalam website mereka. Secara langsung, ini merupakan pengetahuan
yang mereka dapatkan dari melihat peraturan-peraturan tersebut, seperti halnya representasi ruang
yang coba dijelaskan oleh Lefebvre, ilmu pengetahuan membantu manusia memaknai ruang sebagai
Perceived Space, yakni ruang yang dipersepsi dalam kerangka pikir tertentu dan dikonversi ke dalam
sistem representasi tertentu dan menjadi ruang dalam tataran Conceived Space sebagai ruang yang
semata simbolik. Simbolisme tersebut mewujud dalam spasialisasi dominan yang sesungguhnya
memarjinalisasi Lived Space (Ruang yang Dihidupi).

Sementara itu dalam kacamata ruang yang coba dipahami oleh Foucault, kita dapat melihat bahwa
interaksi antara handler dan user termasuk ke dalam situs heterotopia, di mana melalui situs tersebut,
hubungan antar-ruang yang berbeda “dunia” seperti antara ruang fisik yang nyata dengan ruang virtual,
dapat dipahami secara komprehensif sebagai sebuah gejala kebudayaan kontemporer. Dalam hal ini,
saya melihat bagaimana interaksi diskusi yang seharusnya hidup jika seseorang berada dalam keadaan
tatap muka, bisa hidup hanya melalui obrolan yang berasal dari chatroom dari sebuah aplikasi instant
messaging. Para user dan handler berasal dari daerah yang berbeda-beda satu sama lainnya, namun
akibat adanya bantuan teknologi yang dinamakan internet, mereka dapat merasa dekat tanpa harus
dibatasi oleh jarak dan posisi geografis masing-masing. Perasaan kedekatan tersebut kemudian menjadi
bagian dari proses validasi dan konsolasi yang dicari oleh para user ketika sedang berdiskusi di BagiKata.

6
http://bagikata.com/termsandconditions/
Gambar 2 Contoh chat BagiKata & ajakan untuk bergabung

Proses validasi dan konsolasi yang ‘dicari’ oleh para user ini berimbas ke bagaimana mereka
memberikan informasi yang seharusnya bukan konsumsi publik, bahkan bukan konsumsi orang-orang
random yang baru mereka kenal atau temui beberapa saat. Namun, dengan tenangnya mereka dapat
membagikan informasi-informasi tersebut, dengan harapan orang asing yang berada di balik topeng
handler BagiKata membantu mereka menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Keyakinan
bahwa handler dapat menjadi lawan diskusi yang membantu mereka tentunya tidak berdasarkan alasan
kosong, karena seperti yang sudah saya jelaskan pada beberapa paragraf sebelumnya, mereka
mendapatkan keamanan dari terms and condition yang berlaku di BagiKata terkait terjaganya privasi
mereka selama melakukan kegiatan diskusi bersama handler BagiKata. Berkaitan dengan hal tersebut,
ketika kita melihat dalam kacamata CPM, kita harus kembali kepada premis utama teori itu, di mana
setiap orang memiliki sistem pengambilan keputusan mengenai informasi apa saja yang layak diungkap
ke publik atau yang sebaiknya disimpan untuk diri sendiri.

Teori CPM sendiri dapat dikatakan sebagai teori yang memiliki cakupan cukup luas, sehingga dapat
digolongkan ke dalam teori makro, di mana tidak hanya dapat diaplikasikan ke dalam bentuk komunikasi
interpersonal, namun juga ke dalam komunikasi dengan konteks kelompok, organisasi, dan digital.
Dalam hal ini, ketika melihat konteks relasi antara user dan handler BagiKata, maka kita dapat melihat
penerapan teori cpm dalam konteks komunikasi digital. Para user dan handler yang melakukan proses
interaksi di dalam chatroom BagiKata melakukan diskusi yang cukup dinamis, tanpa merasa harus takut
bahwa informasi yang mereka berikan akan disalahgunakan oleh lawan bicaranya. Ketakutan akan
adanya pandangan negatif yang muncul setelah user menceritakan permasalahannya seolah menjadi
sirna karena para handler memang ditugaskan untuk menjadi pendengar yang baik dan memberikan
solusi (atau opini) terhadap problematika yang dihadapi oleh user tanpa diiringi dengan tendensi
judgmental.

Kajian mengenai masyarakat digital dan hubungannya dengan CPM sebenarnya sudah cukup banyak,
beberapa dari mereka membahas mengenai batasan-batasan informasi yang dapat dibagikan (Quin &
Scott, 2007), strategi yang dilakukan untuk melindungi privasi (Child et al., 2009), hingga penggunaan
nama samaran untuk perlindungan privasi (Henderson & Gilding, 2004). Namun, masih jarang yang
melakukan kajian terhadap bagaimana seseorang secara sukarela memberikan informasi yang sifatnya
pribadi kepada orang asing untuk memberikan ‘saran’ dan penyelesaian seperti kasus user dan handler
dari akun official BagiKata. Tentunya kasus ini cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut, terutama ketika
kita melihatnya dari kacamata representasi ruang yang muncul di dalam kalangan user BagiKata. Selain
itu pembahasan ini tentu akan lebih menarik apabila kita mengaitkannya dengan konsepsi mengenai
representasi ruang, di mana sebuah ruang merupakan hasil dari bentuk historisitas yang dibentuk oleh
ilmu pengetahuan itu sendiri, dalam konteks BagiKata, ilmu pengetahuan tersebut dibentuk secara
bersama-sama, baik oleh user, maupun oleh handler.

IV. KESIMPULAN 7

Dari hasil analisis pada bab sebelumnya, kita dapat melihat bahwa kemajuan teknologi menjadi
perpanjangan manusia dalam mencari validasi dengan cara membagikan cerita kehidupan mereka di
media sosial, namun hal ini menjadi bumerang tersendiri karena mereka yang membagikan cerita
hidupnya, secara tidak langsung ‘dituntut’ untuk membagikan cerita yang terlihat ‘baik-baik saja’ kepada
para khalayak di media sosial. Hal ini tentu menyebabkan mereka terjebak dalam pemikiran toxic
positivity. Sejalan dengan hal tersebut, teknologi juga memudahkan para konselor untuk memberikan
bantuan kepada mereka yang tidak dapat secara leluasa menceritakan permasalahannya karena
memiliki ketakutan akan ‘dihakimi’ oleh khalayak yang terdapat di media sosial. Salah satunya adalah
keberadaan akun official BagiKata yang memberikan ruang bagi para penggunanya, dalam hal ini berasal
dari golongan secondary digital natives untuk berbicara lebih leluasa, karena terkadang ada hal-hal yang
tidak dapat mereka ungkapkan, bahkan kepada orang terdekat sekalipun.

7
Kesimpulan ini masih bersifat sementara karena belum ada pengkajian lebih lanjut terhadap interaksi yang terjadi
antara user dan handler BagiKata.
Dalam pembentukan ruang diskusi yang aman dan nyaman bagi para user, ilmu pengetahuan berperan
cukup penting, dalam hal ini melalui pranata peraturan yang diciptakan secara sepihak (dalam hal ini
pemangku kebijakan akun official BagiKata). Peraturan-peraturan yang berlaku tersebut, mau tidak mau
dipatuhi oleh para user yang membutuhkan jasa layanan diskusi BagiKata, sehingga dapat dikatakan
kenyamanan dan keamanan yang muncul tidak hanya diterapkan oleh handler, namun juga dipraktikkan
oleh para user BagiKata. Para user merepresentasikan ruang tersebut sebagai bagian dari Perceived
Space, yakni ruang yang dipersepsi dalam kerangka pikir para user tersebut, dalam hal ini, ruang yang
muncul di dalam chatroom BagiKata adalah ruang aman bagi mereka untuk mendiskusikan keluh kesah
yang tersimpan di dalam hati mereka. Diskusi yang muncul lebih lanjut adalah apabila sebuah ruang
tersebut dianggap sebagai ruang aman yang semu, lalu sejauh mana para user dapat mematuhi
peraturan-peraturan yang ada di dalamnya. Terlebih apabila ada ikatan yang muncul apabila seorang
user sudah menemuka handler yang dianggap cocok untuk menjadi pendengar/penanggap diskusi yang
dia ceritakan.

Dapat disimpulkan pula bahwa ketika kita melihat kasus ini dalam kacamata CPM, tentunya kita harus
melihat dalam kacamata komunikasi digital. Anggapan bahwa semua yang sudah masuk ke dalam dunia
digital merupakan konsumsi publik karena dunia digital itu sendiri merupakan representasi ruang publik
dalam bentuk virtual. Namun hal ini terkesan dipatahkan dengan adanya pembentukan ruang privat,
melalui konseling virtual dengan sistem 1-on-1 chat. Tentunya hal ini akan lebih menarik ketika kita juga
mengkajinya dari konsep hyperpersonal CMC untuk melihat bagaimana computer-mediated-
communication memfasilitasi impresi dan hubungan yang dibentuk melalui dunia online yang
melampaui keinginan dan keintiman interaksi secara offline. Karena meskipun bentuk interaksi yang
muncul dapat diklasifikasikan sebagai interaksi interpersonal, namun pada kenyataannya, handler
BagiKata lebih selektif dalam menunjukkan diri sendiri, hal ini ditandai dengan upaya mereka untuk
menyembunyikan penampilan fisik dan identitas diri yang asli.

Anda mungkin juga menyukai