Anda di halaman 1dari 8

Payment rs

10/06/2017 mashani77 Kesehatan 0

Diskusi dengan tema remunerasi ataupun model pembagian jasa pelayanan di rumah sakit, tidak
mungkin dapat dilepaskan dari pembahasan tentang tarif rumah sakit. Lho… bukankah sekarang
sudah eranya tarif paket (Pocket Payment System) yang digunakan oleh BPJS Kesehatan dalam
membayar klaim dengan model tarif INA CBGs yang ditetapkan oleh NCC Kemenkes RI ? Benar
sekali, namun jangan lupa bahwasanya tarif rumah sakit masih sangat diperlukan untuk
setidaknya 4 (empat) hal berikut, yaitu :

1. Penghitungan jasa pelayanan dengan metode konversi dan proporsi menggunakan tarif


rumah sakit sebagai basis perhitungan Relative Value Unit (RVU) atau prosentase
kontribusi atau bobot tiap-tiap jenis layanan.
2. Terkait adanya peluang pasien BPJS Kesehatan yang menginginkan kelas lebih tinggi
dari hak kelas rawat nya, maka perhitungan selisih pembayaran tentu saja masih
memerlukan tarif pelayanan rumah sakit.
3. Adanya peluang koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (COB) antara BPJS
Kesehatan dengan penjamin asuransi lainnya, baik sebagai first payer maupun
sebagai second payer tetap memerlukan tarif pelayanan rumah sakit yang digunakan
sebagai dasar “negosiasi” untuk mencapai tarif kesepakatan antara RS dengan penjamin
diluar BPJS Kesehatan, contohnya : Mandiri Inhealth dan lain sebagainya.
4. Meskipun jumlahnya terus menurun, namun kunjungan pasien umum ataupun pasien
dengan penjamin non managed care masih ada di RS, yang tentu saja masih memerlukan
perhitungan dengan tarif pelayanan rumah sakit.

Jadi, menyusun tarif pelayanan rumah sakit hukumnya tetap WAJIB atau HARUS.

Berbicara tentang tarif rumah sakit sesungguhnya bukan sekedar besaran atau nominal tarif
tersebut, namun hal lain yang juga sangat penting adalah STRUKTUR TARIF. Sebuah RS yang
memiliki tarif pelayanan rumah sakit harus memperhatikan struktur tarif nya juga, sudahkah
sesuai dengan Pola Tarif Nasional Rumah Sakit yang telah ditetapkan oleh pemerintah ?

TERBITNYA PMK NOMOR 85 TAHUN 2015

Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 49 Ayat (1)
mengamanatkan bahwa “menteri menetapkan pola tarif nasional”. Menteri yang dimaksud tentu
saja adalah Menteri Kesehatan. Pada ayat (3) juga mengamanatkan Gubernur untuk
menetapkan pagu tarif maksimal berdasarkan pola tarif nasional yang ditetapkan oleh menteri.
Dan batas atas (PAGU) tari maksimal yang ditetapkan oleh gubernur ini HARUS menjadi acuan
besaran tarif rumah sakit yang berada di propinsi terkait.

Sehingga terbitlah PMK Nomor 85 Tahun 2015 tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit (7 Tahun
sejak UU RS ditetapkan) yang mungkin terkesan cukup lama rentang waktu untuk terbitnya
sebuah aturan turunan. Sebelum terbitnya PMK Nomor 85 Tahun 2015 ini, sesungguhnya
Menkes juga sudah menerbitkan PMK Nomor 12 Tahun 2013 tentang Pola Tarif Rumah Sakit
BLU Di Lingkungan Kementerian Kesehatan, yang artinya aturan tersebut hanya mengikat untuk
rumah sakit vertikal milik pemerintah pusat (Kemenkes) seperti RSCM Jakarta, RSHS Bandung,
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan lain sebagainya.
Sesuai amanat UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009, seharusnya dengan terbitnya PMK
Nomor 85 Tahun 2015 ini harus diikuti dengan terbitnya Pergub tentang PAGU Maksimal
besaran tarif rumah sakit yang ada di propinsi terkait. Namun, dapat kita lihat dan cari
informasinya sampai dengan saat ini saya masih belum bisa menemukan Propinsi yang sudah
menerbitkan Pergub tersebut (Mohon informasi bagi yang sudah mendapatkan data tentang
Pergub ini di sebuah propinsi). Yang ada hanyalah Pergub tentang pola tarif rumah sakit tertentu
(biasanya rumah sakit milik Pemerintah Propinsi). Sehingga rumah sakit daerah yang ada di
propinsi, kabupaten atau kota memang belum memiliki acuan besaran tarif maksimal untuk
pelayanan rumah sakit. Lantas bagaimana ? PMK Nomor 85 Tahun 2015 telah
mengantisipasinya pada Pasal 6 Ayat (6) yang menyebutkan bahwa dalam hal
Gubernur BELUM menetapkan Pergub tentang PAGU maksimal besaran tarif rumah sakit, maka
penetapan tarif rumah sakit mengacu pada Pola Tarif Nasional yang ditetapkan oleh Menkes
melalui PMK 85 Tahun 2015 tersebut.

TARIF BIAYA SATUAN VS TARIF PAKET

Baik dalam UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 maupun dalam PMK 85 Tahun 2015
keduanya mengatur bahwasanya tarif rumah sakit ditetapkan berdasarkan BIAYA
SATUAN pembiayaan atau sering kita sebut dengan UNIT COST (UC) dengan memperhatikan
kondisi regional. Lebih lanjut diatur bahwa penetapan biaya satuan tersebut harus
memperhatikan kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan
dan kepatutan serta kompetisi yang sehat.

Biaya satuan adalah hasil perhitungan total biaya dibagi dengan jumlah layanan dalam satu
satuan waktu tertentu (biasanya dalam 1 tahun). Sehingga sangat jelas dan tegas bahwa
penyusunan tarif rumah sakit tetap menggunakan perhitungan biaya satuan pembiayaan per
jenis layanan. Prinsip biaya satuan adalah menghitung setiap biaya (cost) yang dikeluarkan
untuk SETIAP jenis layanan, sehingga tarif rumah sakit adalah tarif yang berbasis Fee For
Services.

Pembiayan model paket (Pocket Payment System) di Indonesia pertama kali di kembangkan


pada Tahun 2005 dan mulai di implementasikan pada Tahun 2008 ketika
Program JAMKESMAS hadir menggantikan Program ASKESKIN / JPKMM (2005-2007) yang
masih menggunakan metode pembayaran tarif PER DIAGNOSA. Program JAMKESMAS
pertama kali menggunakan model tarif paket pelayanan yang disebut INA DRG (Indonesia
Diagnostic Related-Gorup) yaitu model paket tarif layanan yang
menggabungkan/mengelompokkan biaya untuk diagnosa-diagnosa yang mirip atau sejenis.
Selanjutnya pada Tahun 2010, Program JAMKESMAS merubah metode pembayaran paket dari
INA DRG menjadi INA CBGs (Indonesia Case-Base Groups) yaitu model paket tarif pelayanan
yang menggaungkan/mengelompokkan tarif layanan kasus-kasus yang mirip atau sejenis dan
menyerap sumber daya yang sama. Model tarif paket INA CBGs ini kemudian diteruskan
pada Tahun 2014 melalui Program JKN yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan sampai dengan
hari ini dengan telah mengalami beberapa kali perubahan / perbaikan dan perkembangan.

Persoalan tentu timbul ketika tarif pelayanan rumah sakit yang berbasiskan biaya satuan
dihadapkan dengan tarif paket INA CBGs yang berbasiskan paket dan BUKAN satuan
pelayanan. Masalahnya adalah, dari aspek perhitungan pembiayaan rumah sakit menggunakan
perhitungan per satuan jenis layanan, sedangkan saat menerima pembayaran klaim dari BPJS
adalah secara paket. Deviasi ini berdampak pada perhitungan alokasi rumah sakit untuk
pembiayaan sarana (termasuk obat dan BHP) dan alokasi untuk jasa pelayanan. Sehingga
rumah sakit harus pandai dan cermat dalam melakukan analisa dan perhitungan alokasi saat
“memecah” tarif paket tersebut menjadi tarif “eceran” atau tarif satuan. Kegiatan inilah yang
disebut “SPLIT PRICE” atau memecah-mecah paket tarif menjadi tarif satuan. Fungsinya adalah
untuk menentukan berapa alokasi biaya sarana, alokasi obat dan BHP serta alokasi untuk jasa
pelayanan.
STRUKTUR TARIF

Sepeti yang telah disebut diawal tulisan, bahwa menentukan atau menetapkan tarif bukanlah
semata ketepatan perhitungan biaya satuan atau Unit Cost, namun juga struktur tarif yang benar
dan sesuai kaidah serta ketentuan juga harus diperhatikan dengan serius. Menjadi hal yang sia-
sia ketika perhitungan biaya satuan sudah tepat, namun struktur tarif nya tidak tepat.
Dampaknya akan menimbulkan kesulitan saat melakukan pemecahan tarif paket menjadi tari per
unit satuan. Struktur tarif harus konsisten dan mengikuti suatu POLA. Nah pola tarif inilah yang
diatur dalam PMK Nomor 85 Tahun 2015 tersebut.

Secara garis besar, pola tarif yang diatur dalam PMK tersebut membagi kegiatan yang dapat
dikenakan tarif rumah sakit menjadi 2, yaitu : 1) Kegiatan Pelayanan; dan 2) Kegiatan Non
Pelayanan. Kegiatan Pelayanan adalah kegiatan yang menjadi core business nya rumah sakit,
yaitu pelayanan kepada pasien. Sedangkan kegiatan Non Pelayanan adalah kegiatan tambahan
sebagai sumber pendapatan rumah sakit yang sah seperti kegiatan pendidikan dan pelatihan,
kegiatan penelitian, sewa lahan, sewa ruang, sewa alat, lahan parkir RS, kantin, hostel dan Kerja Sama
Operasional (KSO).

Kegiatan Pelayanan yang dimaksud, dibedakan berdasarkan TEMPAT


PELAYANAN dan JENIS PELAYANAN. Kegiatan pelayanan berdasarkan tempat pelayanan
dibedakan menjadi Rawat Jalan, Rawat Inap dan Rawat Darurat. Sedangkan kegiatan pelayanan
berdasarkan Jenis Pelayanan dibedakan menjadi PELAYANAN MEDIS dan PELAYANAN
PENUNJANG MEDIS.

Kegiatan Pelayanan Medis  yang dikaitan dengan tempat pelayanan dibagi menjadi :

1. Pemeriksaan dan Pelayanan Konsultasi yang dilakukan di Rawat Jalan dan Rawat
Darurat.
2. Visite dan Pelayanan Konsultasi yang dilakukan di Rawat Inap.
3. Tindakan Operatif yang dilakukan di Kamar Operasi Untuk Pasien Rawat Jalan, Rawat
Inap dan Rawat Darurat.
4. Tindakan Non Operatif yaitu Tindakan Tanpa Pembedahan Untuk Pasien Rawat Jalan,
Rawat Inap dan Rawat Darurat.
5. Persalinan yaitu Tindakan Di Kamar Bersalin untuk Pasien Rawat Inap.

Sementara Tindakan Operatif atau Tindakan Medis Operatif (TMO) dibagi menjadi TMO Kecil,
Sedang, Besar dan Khusus. Begitupun untuk Tindakan Non Operatif atau Tindakan Medis Non
Operatif (TMNO) dibagi menjadi TMNO Kecil, Sedang, Besar dan Khusus. Untuk tindakan
persalinan di ruang bersalin dibedakan menjadi Tindakan Persalinan Normal, Persalinan Dengan
Tindakan Pervaginam dan Pelayanan Bayi Baru Lahir.

Tindakan Penunjang dibedakan menjadi :

1. Pelayanan Laboratorium
2. Pelayanan Radiodianostik
3. Pelayanan Diagnostik Elektromedis
4. Pelayanan Diagnostik Khusus
5. Pelayanan Rehabilitasi Medis
6. Pelayanan Darah
7. Pelayanan Farmasi
8. Pelayanan Gizi
9. Pelayanan Pemulasaraan Jenazah dan pelayanan penunjang lainnya.
Lebih lanjut diatur bahwa Pelayanan Laboratorium terbagi menjadi Pemeriksaan Patologi Klinik,
Patologi Anatomi dan Mikrobiologi. Pelayanan Rehabilitasi Medis dibedakan menjadi Rehabilitasi
Medis, Rehabilitasi Psikososial dan Pelayanan Ortotik/Prostetik. Sementara Pelayanan  Farmasi
dibedakan menjadi Farmasi Klinik (Konsultasi Farmasi) dan Farmasi Non Klinik (yang
dimaksudkan sangat mungkin Pelayanan Farmasi Produk, yaitu penyedian dan
pendistibusian Obat dan BHP). Selanjutnya pelayanan pemulasaraan jenazah terbagi menjadi
Perawatan dan Penyimpanan Jenazah, Konservasi Jenazah, Bedah Mayat dan Pelayanan
Lainnya.

Jika menilik dari PMK ini, maka semestinya tidak lagi menimbulkan kebingungan, kerancuan dan
tumpang tindih tentang pengelompokan tarif pelayanan di rumah sakit. Terdapat 2 kata kunci
utama tentang tarif pelayanan, yaitu TEMPAT pelayanan dan JENIS pelayanan. Tempat
Pelayanan yang terdiri dari Instalasi Rawat Inap (IRNA), Instalasi Rawat Jalan (IRJ) dan Instalasi
Gawat Darurat (IGD) mencerminkan tempat ASAL pasien, sehingga bisa disebut
sebagai INSTALASI INDUK. Yang dimaksud Instalasi Induk adalah tempat pasien yang
dilakukan tindakan berasal, apakah pasien Rawat Inap, pasien Rawat Jalan atau pasien IGD.
Untuk rumah sakit yang sudah memiliki Sistem Informasi Rumah Sakit (SIMRS) dapat dilihat dari
lokasi terdaftarnya (registrasi) pasien yang menunjukkan tempat asal pasien atau Instalasi Induk
nya. Jadi kesimpulannya hanya ada 3 Instalasi Induk di rumah sakit, yaitu Instalasi Rawat Inap
(IRNA), Instalasi Rawat Jalan (IRJ) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD). Nah tentang pelayanan
apa saja yang dapat diberikan atau dilakukan terhadap pasien pada ketiga Instalasi Induk
tersebut mengacu pada kata kunci JENIS pelayanan.

Pasal 10 Ayat (2) PMK Nomor 85 Tahun 2015 telah menegaskan bahwa Jenis Pelayanan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) terdiri dari PELAYANAN MEDIS dan PELAYANAN
PENUNJANG MEDIS. Kegiatan pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis ini terkait
dengan PELAKSANAAN pelayanan tersebut sehingga disebut dengan INSTALASI
PELAKSANA. Sehingga sampai pada titik ini kita mengenal istilah Instalasi Induk dan Instalasi
Pelaksana. Jika Instalasi Induk mengacu pada asal atau lokasi pasien berada (tempat terdaftar /
registrasi), maka Instalasi Pelaksana mengacu pada lokasi tempat pelaksanaan pelayanan yang
bisa berbeda dengan lokasi asal pasien. Contoh, pasien rawat inap yang dilakukan tindakan
operasi usus buntu di Instalasi Bedah Sentral (OK) maka Instalasi Induk nya adalah Instalasi
Rawat Inap dan Instalasi Pelaksana nya adalah Instalasi Bedah Sentral (OK). Contoh  lain
pasien rawat jalan yang dilakukan pemeriksaan laboratorium, maka Instalasi Induk nya Instalasi
Rawat Jalan (IRJ) dan Instalasi Pelaksana nya adalah Instalasi Laboratorium. Namun ada juga
yang lokasi asal dan lokasi pelaksanaan pelayanan berada pada instalasi yang sama, contoh
pasien di instalasi gawat darurat yang dilakukan tindakan penjahitan luka robek. Maka Instalasi
Induk nya adalah Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan Instalasi Pelaksana nya juga sama yaitu
Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Jika instalasi induk yang dikaitkan dengan tempat asal pasien di rumah sakit sudah ditegaskan
secara explisit pada PMK yaitu Instalasi Rawat Inap (IRNA), Instalasi Rawat Jalan (IRJ) dan
Instalasi Gawat Darurat (IGD); maka untuk instalasi pelaksana yang dikaitkan dengan jenis
pelayanan bisa berbeda untuk tiap rumah sakit tergantung kemampuan pelayanan yang
diberikan oleh rumah sakit. Namun minimal terdapat 2 jenis pelayanan yang harus mampu
dilaksanakan yaitu Pelayanan Medik dan Pelayanan Penunjang Medik. Jika melihat dari uraian
Jenis Pelayanan pada PMK ini, maka setidaknya terdapat :

1. Instalasi tempat pelaksanaan Pelayanan Medis :


 Instalasi Rawat Inap (IRNA)
 Instalasi Rawat Jalan (IRJ)
 Instalasi Gawat Darurat (IGD)
 Instalasi Bedah Sentral (OK)
 Instalasi Kamar Bersalin (VK); dan
 Instalasi Pelayanan Medis lain (tergantung kemampuan rumah sakit).
2. Instalasi tempat pelaksaan Pelayanan Penunjang Medis :
 Instalasi Laboratorium
 Instalasi Radiologi
 Instalasi Rehabilitasi Medis
 Instalasi Bank Darah
 Instalasi Kamar Jenazah
 Instalasi Gizi
 Instalasi Farmasi; dan
 Instalasi Penunjang Lain (tergantung kemampuan rumah sakit).

Sehingga jelas terlihat pemetaan mana instalasi yang hanya berfungsi sebagai Instalasi
Pelakasana saja dan mana instalasi yang berperan sebagai Instalasi Pelaksana merangkap
sebagai Instalasi Induk. Dengan pemetaan seperti diatas, maka seharusnya tidak menimbulkan
kebingungan dan tumpang tindih lagi dalam memahami struktur tarif pelayanan di rumah sakit.

HUBUNGAN PELAYANAN DAN INSTALASI

Dengan memadukan antara JENIS pelayanan dan TEMPAT pelayanan serta menyusun Instalasi
Induk dan Instalasi Pelaksana, maka dapat disusunlah jenis-jenis pelayanan yang mampu
diberikan oleh rumah sakit. Jenis pelayanan yang sudah tersusun, ada yang harus diuraikan
lebih lanjut dan ada pula yang tidak perlu diuraikan. Sebagai contoh, jenis pelayanan Tindakan
Medis Operasi (TMO) Besar, maka harus diuraikan lagi nama-nama tindakan operasi yang
masuk dalam kriteria TMO Besar tersebut. Ikatan Dokter Indonesia sudah memberikan panduan
jenis-jenis pelayanan atau tindakan yaitu Acuan Tarif Jasa Medik Dokter yang diterbitkan
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tahun 2013. Memang dalam acuan ini tidak dipisahkan
pelayanan atau tindakan berdasarkan kriteria, namun bisa dicari sumber-sumber referensi nya
dari masing-masing kolegium atau berdasarkan kebijakan rumah sakit dengan
mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal.

Contoh lain untuk Pelayanan Penunjang Medik, adalah Pemeriksaan Laboratorium yang harus
diuraikan lagi menjadi nama-nama pemeriksaan yang mampu dikerjakan oleh laboratorium
rumah sakit tersebut. Ini bisa berbeda antar satu rumah sakit dengan yang lain, tergantung
kemampuan, ketersedian sarana prasarana, fasilitas dan kemampuan sumber daya manusia.
Perbedaan antara detail uraian tindakan laboratorium dengan Tindakan Medis Operasi (TMO)
adalah jika tindakan di Laboratorium besaran tarif nya bisa berbeda atau sama, namun Tindakan
Medis Operasi (TMO) di ruang OK pada kelompok atau kriteria yang sama maka HARUS SAMA
karena dalam PMK Nomor 85 Tahun 2015 hanya membagi TMO menjadi Kecil, Sedang, Besar
dan Khusus. Begitu juga dengan Tindakan Medis Non Operasi (TMNO).

Langkah selanjutnya adalah untuk memudahkan secara sistem terutama kepentingan dalam
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS), maka masing-masing item jenis pelayanan
diberikan kode yang spesifik dan berfungsi sebagai primary key dalam databased. Contoh peng-
kodea an yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut : T – 01 – 04 – 20.

Huruf T melambangkan inisial dari TARIF, dua angka pertama menunjukkan kode Instalasi
Induk, dua angka kedua menunjukkan kode Instalasi Pelaksana dan dua angka terakhir
menunjukkan nomer urut jenis pelayanan pada Instalasi Induk terkait.

T          : Inisial dari TARIF

01        : Kode Instalasi INDUK

04        : Kode Instalasi PELAKSANA


20        : Nomer urut jenis pelayanan pada Instalasi Induk Terkait.

Pada tahap awal kita harus melakukan pemberian kode pada semua instalasi, baik Instalasi
Induk maupun Instalasi Pelaksana. Contoh adalah seperti terlihat pada tabel dibawah ini :

Sehingga tabel jenis pelayanan yang sudah diberikan kode akan menjadi seperti terlihat pada
tabel dibawah ini :

A. INSTALASI INDUK : RAWAT INAP (IRNA)


B. INSTALASI INDUK : RAWAT JALAN (IRJ)

C. INSTALASI INDUK : GAWAT DARURAT (IGD)

Beberapa catatan penting terkait struktur tarif pada PMK 85 Tahun 2015 ini adalah :
1. Tidak dikenal lagi istilah CITO dan ELEKTIF pada tindakan operatif atau TMO.
2. Tidak ada nomenklatur Tindakan Keperawatan atau Tindakan Perawat (beberapa rekan
perawat langsung protes dengan ketentuan ini).
3. Pelayanan ambulance dan mobil jenazah yang seharusnya termasuk dalam kegiatan
pelayanan tidak tercantum secara eksplisit sebagai bagian dari tindakan penunjang. Ada
kemungkinan dimasukkan dalam kategori pelayanan penunjang lainnya.
4. Pengelompokan Tindakan Operatif dan Tindakan Non Operatif menjadi kelompok Kecil,
Sedang, Besar dan Khusus sangat mungkin dimaksudkan bahwa tindakan yang berada
pada satu kelompok yang sama maka besaran tarifnya adalah sama.

Anda mungkin juga menyukai