Anda di halaman 1dari 11

1.

Pengaturan Pernafasan terhadap Keseimbangan Asam-Basa


Garis pertahanan kedua terhadap gangguan asam-basa adalah pengaturan
konsentrasi CO2 cairan ekstraselular oleh paru. Peningkatan ventilasi akan
mengeluarkan edua dari cairan ekstraselular, yang melalui kerja massal, akan
mengurangi konsentrasi H. Sebaliknya, penurunan ventilasi akan meningkatkan CO2,
yang juga meningkatkan konsentrasi H+ dalam cairan ekstraselular.
Ekspirasi CO2 oleh Paru Mengimbangi Pembentukan CO2 Metabolik
CO2 dibentuk secara terus-menerus dalam tubuh melalui proses metabolisme intrasel.
Setelah dibentuk, CO2 berdifusi dari sel masuk ke dalam cairan interstisial dan darah,
dan aliran darah mengangkut CO2 ke paru, tempat CO2 berdifusi ke dalam alveoli dan
kemudian dipindahkan ke atmosfer melalui ventilasi paru. Normalnya, terdapat sekitar
1,2 mol/L CO, yang terlarut di dalam cairan ekstraselular, yang sama dengan PCO2
sebesar 40 mm Hg. Bila kecepatan pembentukan CO, metabolik meningkat, PCO2
cairan ekstraselular juga meningkat. Sebaliknya, penurunan kecepatan metabolik
menurunkan PCO2. Bila kecepatan ventilasi paru meningkat, CO2 dihembuskan keluar
dari paru dan PCO2 dalam cairan ekstraselular menurun. Oleh karena itu, perubahan
ventilasi paru atau perubahan kecepatan pembentukan CO2 oleh jaringan dapat
mengubah PCO2 cairan ekstraselular.
Peningkatan Ventilasi Alveolus Menurunkan Konsentrasi H+ Cairan ekstraselular dan
Meningkatkan pH
Bila pembentukan CO2 metabolik tetap konstan, satu- satunya faktor lain yang
memengaruhi PCO2 cairan ekstraselular adalah kecepatan ventilasi alveolus. Semakin
tinggi ventilasi alveolus, semakin rendah PCO2; sebaliknya, semakin rendah kecepatan
ventilasi alveolus, semakin tinggi PCO2. Seperti telah dibahas sebelumnya, bila
konsentrasi CO2 meningkat, konsentrasi H2CO3 dan konsentrasi H+ juga meningkat,
sehingga menurunkan pH cairan ekstraselular.Gambar 1 menunjukkan perkiraan
perubahan pH darah yang disebabkan oleh peningkatan atau penurunan kecepatan
ventilasi alveolus. Perhatikan peningkatan ventilasi alveolus sampai sekitar dua kali nilai
normal akan meningkatkan pH
Gambar. 1 Perubahan pH cairan ekstraselularyang disebabkan
oleh peningkatan atau penurunan kecepatan ventilasi alveolus,
dinyatakan dalam beberapa kali normal.
cairan ekstraselular sekitar 0,23. Bila pH cairan tubuh 7,40 dengan ventilasi alveolus
normal, peningkatan 2 kali kecepatan ventilasi akan meningkatkan pH menjadi sekitar
7,63. Sebaliknya, penurunan ventilasi alveolus sampai seperempat normal akan
mengurangi pH sebesar 0,45. Artinya, bila pH 7,4 pada ventilasi alveolus normal,
penurunan ventilasi sampai seperempat normal akan mengurangi pH menjadi 6,95.
Oleh karena kecepatan ventilasi alveolus dapat berubah dengan nyata, dan serendah 0
sampai 15 kali normal, kita dapat dengan mudah memahami seberapa besar pH cairan
tubuh dapat diubah oleh sistem pernapasan.
Peningkatan Konsentrasi H+ Merangsang Ventilasi Alveolus
Tidak hanya kecepatan ventilasi alveolus saja yang memengaruhi konsentrasi H+
dengan mengubah PCO2 cairan tubuh, tetapi konsentrasi H+ juga memengaruhi
kecepatan ventilasi alveolus. Jadi, Gambar 2 menunjukkan bahwa kecepatan ventilasi
alveolus meningkat empat sampai lima kali kecepatan normal sewaktu pH turun dan
nilai normal 7,4 menjadi 7,0 yang sangat asam. Sebaliknya, saat pH plasma meningkat di
atas 7,4; keadaan ini menyebabkan penurunan kecepatan ventilasi. Seperti yang dapat
kita lihat pada grafik perubahan kecepatan ventilasi perperubahan unit pH jauh lebih
besar pada penurunan kadar pH (sama dengan peningkatan konsentrasi H+)
dibandingkan.
Gambar.2 Pengaruh pH darah terhadap kecepatan ventilasi alveolus.
Seperti yang dapat kita lihat pada grafik perubahan kecepatan ventilasi per perubahan
unit pH jauh lebih besar pada penurunan kadar pH (sama dengan peningkatan
konsentrasi H+) dibandingkandengan peningkatan kadar pH. Alasan untuk hal ini adalah
bahwa sewaktu kecepatan ventilasi alveolus menurun, karena peningkatan pH
(penurunan konsentrasi H+), jumlah penambahan oksigen ke dalam darah menurun dan
tekanan parsial oksigen (PO2) di dalam darah juga menurun, yang merangsang
kecepatan ventilasi. Oleh karena itu, kompensasi pernapasan untuk peningkatan pH
tidak seefektif respons terhadap penurunan pH yang nyata.
Pengaturan Umpan Balik Konsentrasi H+ oleh Sistem Pernapasan. Karena peningkatan
konsentrasi H+ merangsang pernapasan dan karena peningkatan ventilasi alveolus
menurunkan konsentrasi H+, sistem pernapasan bekerja sebagai pengatur umpan balik
negatif lazim untuk konsentrasi H+:

Jadi, bila konsentrasi H+ meningkat di atas normal, sistem pernapasan dirangsang, dan
ventilasi alveolus meningkat. Keadaan ini menurunkan PCO2 cairan ekstraselular dan
mengurangi konsentrasi H+ kembali menuju normal. Sebaliknya, bila konsentrasi H+
turun di bawah normal, terjadi depresi pusat pernapasan, ventilasi alveolus menurun,
dan konsentrasi H* meningkat kembali menuju normal.
Efisiensi Pengaturan Pernapasan Terhadap Konsentrasi H+
Pengaturan pernapasan tidak dapat mengembalikan konsentrasi H+ sepenuhnya
menjadi normal bila gangguan di luar sistem pernapasan telah mengubah pH. Biasanya,
mekanisme pernapasan untuk mengatur konsentrasi H+ mempunyai efektivitas antara
50 dan 75 persen, sama dengan peningkatan umpan balik dari 1 ke 3. Artinya, bila pH
tiba-tiba menurun melalui penambahan asam ke dalam cairan ekstraselular dan pH
turun dan 7,4 menjadi 7,0; sistem pernapasan dapat mengembalikan pH menjadi sekitar
7,2 sampai 7,3. Respons ini terjadi dalam waktu 3 sampai 12 menit.
Kekuatan Pendaparan Sistem Pernapasan. Pengaturan pernapasan terhadap
keseimbangan asam basa merupakan sistem dapar jenisfisiologis karena pengaturan ini
bekerja dengan cepat dan menjaga konsentrasi H+ dari perubahan yang terlalu besar
sampai ginjal yang berespons lambat dapat menghilangkan ketidak seimbangan
tersebut. Pada umumnya, keseluruhan kekuatan dapar sistem pernapasan satu sampai
dua kali lebih besar dan pada kekuatan dapar gabungan seluruh dapar kimia lain dalam
cairan ekstraselular. Artinya, satu sampai dua kali lebih banyak asam atau basa yang
secara normal dapat didapar oleh mekanisme ini dari pada oleh dapar kimia.
Gangguan Fungsi Paru Dapat Menyebabkan Asidosis Respiratorik. Sejauh ini kita telah
membahas peran mekanisme pernapasan normal sebagai alat untuk mendapar
perubahan konsentrasi H. Akan tetapi, gangguan pernapasan dapat juga menyebabkan
perubahan konsentrasi H. Sebagai contoh, gangguan fungsi paru, seperti emfisema
berat, menurunkan kemampuan paru untuk mengeluarkan CO2 keadaan ini kemudian
menyebabkan penumpukan CO2 dalam cairan ekstraselular dan kecenderungan ke arah
asidosis respiratorik.
Kemampuan untuk memberi respons terhadap asidosis metabolik juga menjadi
terganggu karena penurunan kompensasi PCO2 yang normal terjadi melalui
peningkatan ventilasi, menjadi berkurang. Pada keadaan ini, ginjal menjadi mekanisme
fisiologis tunggal yang masih ada untuk mengembalikan pH ke normal setelah terjadi
pendaparan kimia awal dalam cairan ekstraselular.
2.Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa oleh Ginjal
Ginjal mengatur keseimbangan asam-basa dengan mengekskresikan urine yang asam
atau basa. Pengeluaran urine asam akan mengurangi jumlah asam dalam cairan
ekstraselular, sedangkan pengeluaran urine basa berarti menghilangkan basa dari cairan
ekstraselular.Keseluruhan mekanisme ekskresi urine asam atau basa oleh ginjal adalah
sebagai berikut. Sejumlah besar HCO3- difiltrasi secara terus-menerus ke dalam tubulus,
dan bila HCO3- ini diekskresikan ke dalam urine, keadaan ini menghilangkan basa dan
darah. Sejumlah besar H+ juga disekresikan ke dalam lumen tubulus oleh sel epitel
tubulus, sehingga menghilangkan asam dan darah. Bila lebih banyak H+ yang
disekresikan daripada HCO3- yang difiltrasi, akan terjadi kehilangan neto asam dan
cairan ekstraselular. Sebaliknya, bila lebih banyak HCO3- yang difiltrasi daripada H+ yang
disekresikan, akan terjadi kehilangan basa.
Seperti telah dibahas sebelumnya, setiap hari tubuh menghasilkan sekitar 80 mEq asam
non-volatil (tak menguap), terutama dari metabolisme protein. Asam-asam ini disebut
non-volatil karena asam tersebut bukan H2CO3 dan, oleh karena itu, tidak dapat
diekskresikan oleh paru. Mekanisme primer untuk mengeluarkan asam ini dan tubuh
adalah melalui ekskresi ginjal. Ginjal juga harus mencegah kehilangan bikarbonat dalam
urine, suatu fungsi kuantitatif lebih penting daripada ekskresi asam non-volatil. Setiap
hari ginjal memfiltrasi sekitar 4.320 mEq bikarbonat (180 L/hari x 24 mEq/L), dan dalam
kondisi normal, hampir semua direabsorbsi dari tubulus, sehingga mempertahankan
sistem dapar utama cairan ekstraselular.
Seperti yang akan dibahas kemudian, reabsorpsi bikarbonat dan ekskresi H+, dicapai
melalui proses sekresi H+ oleh tubulus. Oleh karena HCO3- harus bereaksi dengan satu
H+ yang disekresikan untuk membentuk H2CO3 sebelum dapat direabsorbsi, 4.320 mEq
H+ harus disekresikan setiap hari hanya untuk mereabsorbsi bikarbonat yang difiltrasi.
Kemudian ada tambahan 80 mEq H+ harus disekresikan untuk menghilangkan asam
non-volatil yang diproduksi oleh tubuh setiap hari, sehingga tota14.400 mEq H+
disekresikan ke dalam cairan tubulus setiap harinya.
Bila terdapat pengurangan konsentrasi H+ cairan ekstraselular (alkalosis), ginjal gagal
mereabsorbsi semua HCO3- yang difiltrasi, sehingga meningkatkan ekskresi HCO3-.
Oleh karena HCO3- normalnya mendapar H+ dalam cairan ekstraselular, kehilangan
HCO3 ini sama dengan penambahan satu H+ ke dalam cairan ekstraselular. Oleh karena
itu, pada alkalosis, pengeluaran HCO3- akan meningkatkan konsentrasi H+cairan
ekstraselular kembali menuju normal.
Pada asidosis, ginjal tidak mengekskresikan HCO3 ke dalam urine tetapi mereabsorbsi
semua HCO3- yang difiltrasi dan menghasilkan HCO3, baru, yang ditambahkan kembali
ke cairan ekstraselular. Hal ini mengurangi konsentrasi H+ cairan ekstraselular kembali
menuju normal.
Jadi, ginjal mengaturkonsentrasi H+ cairan ekstraselular melalui tiga mekanisme dasar:
(1) sekresi H+, (2) reabsorpsi HCO3 yang difiltrasi, dan (3) produksi HCO3 baru. Semua
proses ini dicapai melalui mekanisme dasar yang sama, seperti yang akan dibahas pada
beberapa bagian berikut.
Sekresi H+ dan Reabsorpsi HCO3- oleh Tubulus Ginjal
Sekresi ion hidrogen dan reabsorpsi HCO3- terjadi hampir di seluruh bagian tubulus
kecuali segmen tipis pars desenden dan asenden ansa Henle. Gambar 30-4 merangkum
reabsorpsi HCO3- di sepanjang tubulus. Ingatlah bahwa untuk setiap HCO3- yang
direabsorbsi, satu H+ harus disekresikan.
Sekitar 80 hingga 90 persen reabsorpsi bikarbonat (dan sekresi H+) terjadi di tubulus
proksimal, sehingga hanya sejumlah kecil HCO3- yang mengalir ke tubulus distal dan
duktus koligens. Di segmen tebal pars asenden ansa Henle, terjadi tambahan reabsorpsi
10 persen HCO3- dari yang difiltrasi, dan sisanya direabsorpsi di tubulus distal dan
duktus koligens. Seperti telah dibahas sebelumnya, mekanisme reabsorpsi HCO3 juga
melibatkan sekresi H+ oleh tubulus, tetapi dengan cara yang berbeda-beda di tiap
segmen tubulus yang berbeda.
Gambar.3 Reabsorpsi bikarbonat di berbagai segmen tubulus ginjal Persentase beban
filtrasi HCO3 yang diabsorbsi oleh berbagal segmen tubulus diperlihatkan dan juga
jumlah reabsorbsi dalam miliekuivalen per hari pada keadaan normal.
H+ Disekresikan oleh Transpor Aktif Sekunder di Awal Segmen Tubulus
Sel epitel tubulus proksimal, segmen tebal pars asenden ansa Henle, dan bagian awal
tubulus distal, semuanya menyekresikan H+ ke dalam cairan tubulus melalui konter-
transpor natrium hidrogen, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 30-5. Sekresi aktif
sekunder dan H ini berpasangan dengan transpor Na+ ke dalam sel pada membran
luminal oleh protein penukar (exchanger) natrium-hidrogen, dan energi untuk sekresi
H+ melawan gradien konsentrasi berasal dari gradien natrium yang membantu
pergerakan Na+ ke dalam sel. Gradien ini dihasilkan oleh pompa natrium-kalium
adenosin trifosfatase (ATPase) di membran basolateral. Kira- kira 95 persen bikarbonat
direabsorbsi dengan cara ini, yang membutuhkan sekresi sekitar 4.000 mEq H' oleh
tubulus setiap harinya. Akan tetapi, mekanisme ml tidak menghasilkan konsentrasi H'
yang tinggi dalam cairan tubulus; cairan tubulus menjadi sangat asam hanya di tubulus
koligentes dan duktus koligens.
Gambar 4 menunjukkan bagaimana proses sekresi H2 menghasilkan reabsorpsi HCO3-.
Proses sekresi dimulai ketika CO2 berdifusi ke dalam sel tubulus atau dibentuk melalui
metabolisme di dalam sel epitel tubulus. CO „ di bawah pengaruh enzim anhidrase
karbonat, bergabung dengan H2O untuk membentuk H2CO3, yang berdisosiasi menjadi
HCO3- dan H. H2 disekresikan dari sel masuk ke dalam lumen tubulus melalui konter-
transpor natrium-hidrogen. Artinya, ketika Na+ bergerak dan lumen tubulus ke bagian
dalam sel, Na+ mula-mula bergabung dengan protein pembawa di luminal membran
sel; pada waktu yang bersamaan, H+ di bagian dalam sel bergabung dengan protein
pembawa. Na' bergerak ke dalam sel mengikuti gradien konsentrasi yang telah
dihasilkan oteh pompa natrium kalium ATPase di membran basolateral. Gradien untuk

Gambar 4 Mekanisme selular untuk (1) sekresi aktif H+ ke dalam tubulus ginjal; (Z)
reabsorpsi HCO3 oleh tubulus melalui penggabungan dengan H+ guna membentuk
asam karbonat, yang akan terurai menjadi karbon dioksida dan air; serta (3) reabsorpsi
ion natrium sebagai pertukaran dengan H+ yang disekresi. Pola sekresi ion hidrogen ini
terjadi di tubulus proksimal, segmen tebal asenden ansa Henle, dan bagian awal tubulus
distal.
pergerakan Na+ ke dalam sel kemudian menyediakan energi untuk menggerakkan H+
ke arah yang berlawanan, dan dalam sel ke lumen tubulus.
HCO3- yang dihasilkan di dalam sel (ketika H+ berdisosiasi dari H2CO3) kemudian
bergerak mengikuti gradien melintasi membran basolateral masuk ke dalam cairan
interstisial ginjal dan darah kapiler peritubulus. Hasil neto adalah bahwa untuk setiap H+
yang disekresikan ke dalam lumen tubulus, satu HCO3- masuk ke dalam darah.
HCO3- yang Difiltrasi, Direabsorbsi melalui Interaksi dengan H+ dalam Tubulus
Ion bikarbonat tidak mudah menembus membran luminal sel tubulus ginjal; oleh karena
itu, HCO3- yang difiltrasi oleh glomerulus tidak dapat direabsorbsi secara langsung.
Sebaliknya, HCO3- direabsorbsi melalui proses khusus; mula-mula HCO3- bergabung
dengan H+ untuk membentuk H2CO3, yang akhirnya menjadi CO, dan H2O3 seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Reabsorpsi HCO3- ini diawali oleh reaksi di dalam tubulus antara HCO3 yang difiltrasi
pada glomerulus dan H* yang disekresi oleh sel tubulus. H2CO3 yang terbentuk
kemudian berdisosiasi menjadi CO2 dan H2O. CO2 dapat bergerak dengan mudah
melewati membran tubulus; oleh karena itu, CO2 segera berdifusi masuk ke dalam sel
tubulus, tempat CO2 bergabung kembali dengan H2O, di bawah pengaruh anhidrase
karbonat, untuk menghasilkan molekul H2CO3 yang baru. H2CO3 ini kemudian
berdisosiasi membentuk HCO3- dan H'; HCO3kemudian berdifusi melalui membran
basolateral masuk ke dalam cairan interstisial dan dibawa ke darah kapiler peritubulus.
Transpor HCO3 melalui membran basolateral difasilitasi oleh dua mekanisme: (1) ko-
transpor Na-HCO3 - di tubulus proksimal dan (2) pertukaran CI-HCO3- di akhir tubulus
proksimal, bagian tebal pars asendens ansa Henle, dan di tubulus dan duktus
koligens.Jadi setiap kali satu H+ dibentuk di dalam sel epitel tubulus, satu HCO3- juga
dibentuk dan dilepaskan kembali ke dalam darah. Pengaruh neto reaksi ini adalah
"reabsorpsi" HCO3- dan tubulus, walaupun HCO3- yang sebenarnya memasuki cairan
ekstraselular bukan yang difiltrasi ke dalam tubulus. Reabsorpsi HCO3- yang difiltrasi
tidak menghasilkan sekresi H+ neto karena H+ yang disekresikan bergabung dengan
HCO3- yang difiltrasi dan karena itu, tidak diekskresikan
HCO3- "Dititrasi" terhadap H dalam Tubulus. Dalam kondisi normal, kecepatan sekresi
H+ tubulus adalah sekitar 4.400 mEq/hari dan kecepatan filtrasi HCO3- adalah sekitar
4.320 mEq/hari. Jadi, jumlah kedua ion yang memasuki tubulus ini hampir sama, dan
ion-ion itu bergabung untuk membentuk CO2 dan H2O. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa HCO3- dan ion H+normalnya melakukan "titrasi" satu dengan lainnya di dalam
tubulus.
Proses titrasi ini tidak begitu tepat karena biasanya terdapat sedikit kelebihan H+ dalam
tubulus yang akan diekskresikan dalam urine. Kelebihan H+ ini (sekitar 80 mEq/hari)
membersihkan tubuh dari asam non-volatil yang dihasilkan oleh metabolisme. Seperti
akan dibahas kemudian, sebagian besar H+ini tidak diekskresikan sebagai H+ bebas
tetapi dalam bentuk kombinasi dengan dapar urine lainnya, terutama fosfat dan
amonia.
Bila terdapat kelebihan HCO3- melebihi H+ dalam urine, seperti yang terjadi pada
alkalosis metabolik, kelebihan HCO3- tidak dapat direabsorbsi; oleh karena itu, kelebihan
HCO3- tetap di dalam tubulus dan akhirnya diekskresikan ke dalam urine, yang
membantu mengoreksi alkalosis metabolik. Pada asidosis, terdapat kelebihan jumlah H+
dibandingkan dengan HCO3- menyebabkan reabsorpsi pembawaHCO3 seluruhnya, dan
kelebihan H+ dikeluarkan ke dalam urine.
Kelebihan H+ ini didapar di dalam tubulus oleh fosfat dan amonia dan akhirnya
diekskresikan sebagai garam. Jadi, mekanisme dasar pengoreksian asidosis atau alkalosis
oleh ginjal adalah titrasi tidak lengkap H+ terhadap HCO3- yang menyebabkan salah
satu ion ini dikeluarkan ke dalam urine dan dihilangkan dan cairan ekstraselular.
Sekresi Aktif Primer dan H+ dalam Sel Interkatalus pada Tubulus Distal Bagian Akhir dan
Tubulus Koligens
Dimulai dari bagian akhir tubulus distal dan berlanjut melalui sisa sistem tubular, epitel
tubulus menyekresikan H+ melalui transpor aktif primer. Ciri-ciri transpor ini berbeda
dengan transpor yang dibahas untuk tubulus proksimal, ansa Henle, dan awal tubulus
distal.Mekanisme sekresi aktif primer H+ ditunjukkan pada Gambar 5. Sekresi terjadi
pada membran luminal sel tubulus, tempat H+ ditranspor secara langsung oleh protein
khusus, yaitu hydrogen-transporing ATPase. Energi yang dibutuhkan untuk memompa
H+ dihasilkan dari pemecahan ATP menjadi adenosin difosfat.
Sekresi aktif primer H+ terjadi di sel khusus yang disebut sel interkalatus pada tubulus
distal bagian akhir tubulus koligens. Sekresi ion hidrogen dalam sel ini dilakukan melalui
dua langkah: (1) CO2 terlarut dalam sel ini bergabung dengan H20 membentuk HCO3
dan (2) H2CO3 kemudian berdisosiasi menjadi HCO3- yang direabsorbsi ke dalam darah,
tambah H*, yang disekresikan ke dalam tubulus melalui mekanisme hidrogen-ATPase.
Untuk setiap H+ yang disekresikan, satu HCO3 direabsorbsi, mirip dengan proses yang
terjadi di tubulus proksimal. Perbedaan utamanya adalah H+ bergerak melewati
membran luminal melalui pompa H+ aktif dan bukan melalui konter-transpor, seperti
yang terjadi pada bagian-bagian awal nefron.

Gambar 5 Sekresi aktif primer H+ melalui membran luminal sel epitel interkalatus di
akhir tubulus distal dan tubulus koligens. Perhatikan bahwa satu HCO3 diabsorbsi untuk
setiap H+ yang disekresi, dan satu ion klorida disekresikan secara pasif bersamaan
dengan H.
Walaupun sekresi H+ di akhir tubulus distal dan tubulus koligens hanya merupakan
sekitar 5 persen H+ total yang disekresikan, mekanisme ini penting dalam pembentukan
urine asam yang maksimal. Di tubulus proksimal, konsentrasi H+ dapat ditingkatkan
hanya sekitar tiga sampai empat kali lipat, dan pH cairan tubulus dapat diturunkan
hanya sampal sekitar 6,7; walaupun sejumlah besar H+ disekresikan melalui segmen
nefron ini. Akan tetapi, konsentrasi H+ dapat ditingkatkan sebanyak 900 kali lipat di
dalam tubulus koligens. Penurunan pH cairan tubulus ini menjadi sekitar 4,5; yang
merupakan batas bawah pH yang dapat dicapai oleh ginjal normal.
Kombinasi H+ yang Berlebihan dengan Dapar Fosfat dan Amonia pada Tubutus
Menghasilkan HCO3 yang "Baru"
Bila ion H+ disekresikan lebih banyak dari HCO3- yang difiltrasi ke dalam cairan tubulus,
hanya sebagian kecil kelebihan ini yang dapat diekskresikan dalam bentuk ion H+ dalam
urine. Alasan untuk ini adalah pH minimal urine adalah sekitar 4,5; sama dengan
konsentrasi H+ 10- mEq/L, atau 0,03 mEq/L. Jadi, untuk setiap liter urine yang dibentuk,
jumlah maksimal H+ bebas yang dapat diekskresikan hanya sekitar 0,03 mEq. Untuk
mengekskresikan 80 mEq asam non-volatil yang dibentuk oleh metabolisme setiap
harinya, sekitar 2.667 liter urine harus diekskresikan bila H+ tetap dalam bentuk bebas di
dalam larutan.
Ekskresi sejumlah besar H+ (kadang-kadang sebanyak 500 mEq /hari) dalam urine
terutama dicapai dengan menggabungkan H+ dengan dapar dalam cairan tubulus.
Dapar yang paling penting adalah dapar fosfat dan dapar amonia. Sistem dapar lemah
lain, seperti urat dan sitrat, kurang begitu penting.Bila H+ dititrasi dalam cairan tubulus
dengan HCO3-, hal ini kemudian menyebabkan reabsorpsi satu HCO3- untuk setiap H+
yang disekresikan, seperti telah dibahas sebelumnya.
Tetapi bila terdapat kelebihan H+ dalam urine, H+ akan bergabung dengan dapar selain
HCO3-, dan hal ini kemudian menyebabkan pembentukan HCO3- baru yang juga dapat
masuk ke dalam darah. Jadi, bila terdapat kelebihan H dalam cairan ekstraselular, ginjal
tidak hanya mereabsorbsi semua HCO3- yang difiltrasi tetapi juga menghasilkan HCO3-
baru, dengan demikian membantu mengganti HCO3- yang hilang dari cairan
ekstraselular pada keadaan asidosis. Pada dua bagian berikut ini, kita akan membahas
mekanisme dapar fosfat dan amonia terhadap pembentukan HCO3- baru.
Sistem Dapar Fosfat Membawa Kelebihan H+ ke dalam Urine dan Membentuk HCO3-
Baru.Sistem dapar fosfat terdiri atas HPO4- dan H2PO4. Keduanya menjadi pekat di
dalam cairan tubulus karena air secara normal lebih banyak direabsorpsi daripada fosfat
oleh tubulus ginjal. Oleh karena itu, walaupun fosfat bukanlah dapar cairan ekstraselular
yang penting, fosfat jauh lebih efektif sebagai dapar dalam cairan tubulus.

Gambar.6 Pendaparan H+ yang disekresikan, oleh fosfat (NaHPO4 ) yang difiltrasi.


Perhatikan bahwa satu HCO3 baru dikembalikan ke darah untuk setiap NaHPO4 yang
bereaksi dengan H+ yang disekresikan.
Faktor lain yang membuat fosfat penting sebagai dapar tubulus adalah kenyataan
bahwa pK sistem ini adalah sekitar 6,8. Pada kondisi normal, urine sedikit asam dan pH
urine mendekati pK sistem dapar fosfat. Oleh karena itu, di dalam tubulus, sistem dapar
fosfat normalnya berfungsi mendekati kisaran pH-nya yang paling efektif.
Gambar 6 menunjukkan urutan kejadian ekskresi H+ dalam bentuk kombinasi dengan
dapar fosfat dan mekanisme penambahan HCO3- baru ke dalam darah. Proses sekresi
H+ ke dalam tubulus sama seperti yang dijelaskan sebelumnya. Selama terdapat
kelebihan HCO3 dalam cairan tubulus, kebanyakan H+ yang disekresikan bergabung
dengan HCO3-. Akan tetapi, begitu semua HCO3- telah direabsorbsi dan tidak ada lagi
yang tersedia untuk berikatan dengan H*, setiap kelebihan H+ dapat bengabung
dengan HPO4 dan dapar tubulus lainnya. Setelah H+ bergabung dengan HPO4-, untuk
membentuk H2PO4 , kemudian dapat diekskresikan sebagai garam natrium (NaH2PO4),
dengan membawa serta kelebihan H.
Ada satu perbedaan penting dalam urutan ekskresi H+ ini dengan yang telah dibahas
sebelumnya. Pada keadaan ini, HCO3- yang dihasilkan dalam sel tubulus dan yang
memasuki darah peritubulus merupakan tambahan neto HCO3- oleh darah, bukan
hanya penggantian HCO3- yang difiltrasi. Oleh karena itu, kapan pun H+ yang
disekresikan ke dalam lumen tubulus bergabung dengan dapar selain HCO3- hasil
akhirnya adalah penambahan HCO3- baru ke dalam darah. Hal ini menunjukkan salah
satu mekanisme yang dilakukan oleh ginjal untuk memperbarui simpanan HCO3- cairan
ekstraselular. Pada kondisi normal, kebanyakan fosfat yang difilirasi akan direabsorbsi,
dan hanya tersedia sekitar 30-40 mEql hari untuk mendapar H. OIeh karena itu,
sebagian besar pendaparan untuk kelebihan H+ dalam cairan tubulus pada keadaan
asidosis terjadi melalui sistem dapar amonia.

Anda mungkin juga menyukai